Setelah berpamitan dengan Tanu, Ryan dan Erika berjalan keluar dari rumah sakit. Mereka berdua merasa lega melihat perkembangan positif Tanu. Namun, suasana tetap menyimpan sedikit keraguan di hati mereka. Ryan menghela napas, menggenggam tangan sang istri - Erika.“Dia akan baik-baik saja, sayang. Jadi, tenang ya?” Ryan, menatap Erika yang terlihat cemas.“Ya, aku yakin,” jawab Erika, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Dia hanya butuh waktu dan dukungan kita. Kita harus terus ada untuknya.”“Mari kita cari sesuatu yang enak untuk dimakan,” usul Ryan, berusaha mengalihkan perhatian dan rasa khawatir sang istri. “Aku rasa kita sudah layak merayakan kemajuan Tanu hari ini.”“Setuju!” Erika tersenyum, matanya berbinar-binar. “Bagaimana kalau kita mampir ke warung tenda pinggir jalan yang terkenal itu? Mereka punya makanan yang enak sekali.” Erika kembali bersemangat mengingat makanan yang dua sukai.“Bagus! Aku ingat kamu sangat menyukai soto di sana,” Ryan berkata, mulai merasa berse
Sementara di dalam mobil yang mengejar Ryan dan Erika, suasana justru menjadi tegang setelah kehilangan jejak. Dua pria yang duduk di dalamnya saling bertukar tatapan frustasi, sebab misi mereka gagal.“Damn it! Kita hampir dapatkan mereka!” kata pria bertubuh kekar dengan nada marah, memukul stir mobil dengan keras.“Kenapa mereka harus belok ke jalan itu?” umpatnya kesal.“Tenang, Daf,” jawab temannya yang lebih kurus, mencoba meredakan ketegangan. “Kita bisa cari jalan lain dan coba ikuti mereka lagi. Mereka tidak akan jauh dari sini.”Di mobil kedua, wanita bertudung hodie itu menggigit bibirnya, tampak tidak puas karena mangsa lepas. “Kita seharusnya lebih cepat. Jika mereka melapor ke polisi, semua ini bisa menjadi masalah besar bagi kita.”“Aku juga tau itu. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang,” pria pengemudi itu menjawab, tatapannya tajam. “Kita hanya perlu menemukan mereka sekali lagi sebelum mereka ke tempat yang lebih aman. Ayo kita pergi ke arah yang mereka tempuh!”Kedu
Sebenarnya, Ryan bisa saja menunggu orang-orangnya di pom bensin tadi. Tapi posisi jalan dan lokasi ternyata lebih jauh dari pusat keramaian, jadi dia memutuskan untuk pergi untuk mencari tempat yang lebih aman dibandingkan pom bensin tersebut.Di perjalanan, Erika memberikan usulan untuk pergi ke mall dan disetujui Ryan yang segera memberitahu lokasinya ke orang-orang yang menyusul. Dan untungnya, orang-orangnya bisa dengan cepat sampai di mall tersebut.Ryan dan Erika berlari secepat mungkin saat dari parkiran menuju mall, berusaha menghindari perhatian dari penguntit mereka. Keduanya masuk ke dalam mall dengan napas terengah-engah, merasakan sedikit kelegaan saat melihat kerumunan orang di sekeliling mereka. Suasana ramai ini memberi mereka harapan untuk bisa bersembunyi dengan lebih baik.“Mas, aku rasa kita bisa pergi ke lantai atas dan mencari tempat yang lebih aman,” saran Erika, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan.“Setuju. Kita perlu mencari tempat untuk bersembunyi
Setelah melewati pintu darurat dan bergegas keluar dari mal, Ryan dan Erika berlari menuju mobil yang sudah menunggu di area parkir belakang. Dengan Aris dan timnya di belakang, mereka melesat dengan cepat, menghindari kerumunan yang terjebak dalam suasana mall yang sibuk.Sesampainya di mobil, Ryan segera memasukkan Erika ke dalam dan mengunci pintunya supaya bisa secepatnya pergi dari tempat tersebut.“Aman sekarang. Kita sudah jauh dari mereka,” katanya, berusaha menenangkan istrinya. Erika terlihat masih tegang, napasnya masih terengah-engah karena ketakutan."Ya, iya ... mas. Ayo kita pulang," ajak Erika yang sudah merasa lelah.Mereka segera meluncur menuju rumah mereka, menghindari jalur utama yang mungkin terlalu terbuka - memberikan kemudahan untuk para pengungkit. Di sepanjang perjalanan, Ryan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Menanyakan kondisi istrinya, meskipun dia juga tahu bahwa istrinya tidak terluka atau kurang suatu apapun.“Kamu baik-baik saja, kan, saya
Saat itu, Aris dan timnya bergerak cepat setelah mendapatkan petunjuk tentang lokasi para penguntit yang telah meneror Ryan dan Erika. Mereka memang sengaja tidak langsung melakukan penangkapan di mall, menghindari kericuhan dan kepanikan pengunjung. Jadi, saat Ryan dan Erika pulang dengan pengawalan, beberapa orang mengejar para penguntit tersebut. Kini, Aris dan orang-orangnya datang ke sebuah gudang tua di pinggiran kota, mereka sudah bersiap untuk melakukan penangkapan. Mereka mengetahui tempat ini tentu atas bantuan Tomi yang mengawasi mereka dari jauh, selain memang ada orang-orang khusus yang mengikuti. Sekarang, suasana malam yang gelap membuat mereka lebih mudah bergerak tanpa terdeteksi. Dengan menggunakan alat komunikasi canggih, Aris memimpin timnya menyusuri area tersebut. “Mari kita pastikan semua pintu keluar tertutup. Mereka tidak boleh lolos,” perintah Aris dengan wajah tegas. Timnya yang terdiri dari beberapa orang bersiap di posisi masing-masing, siap menghadap
Proses penangkapan telah diceritakan oleh Aris, membuat Ryan menunggu dengan tegang saat Aris melanjutkan penjelasannya. Suara Aris tampak serak, dan Ryan bisa merasakan suasana mendesak di balik kata-kata yang disampaikan.“Mereka adalah suruhan dari pesaing kita, Pak. Sepertinya mereka mencoba mengintimidasi kita dan mencari tahu informasi tentang Tuan Lee dan bisnis kita,” Aris menjelaskan, nadanya tegas namun penuh kekhawatiran.Ryan tertegun sejenak. “Apa? Mereka berani melakukan itu? Bukankah ini sudah melampaui batas?” pikirnya, merasa marah dan tak percaya.“Ya, mereka mulai beroperasi secara agresif, terutama setelah insiden yang menimpa Tuan Tanu. Ini terlihat jelas, Pak. Mereka ingin memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka,” Aris melanjutkan, dengan suara yang lebih tenang.Ryan menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai informasi ini. “Tapi kenapa mereka menargetkan kita? Kami bukan orang besar di industri ini. Tuan Lee pun tidak pernah terlihat sebagai ancaman,
Beberapa waktu lalu.Aris memandang para penguntit yang terikat di depan matanya, rasa sabar semakin menipis. Dia merasakan kemarahannya yang kini seperti menyelimuti ruangan, dan suara cambuk yang dia pegang menggema dalam pikirannya - menunggu untuk memberikan hukuman.“Siapa yang berani melawanku, ha?!” teriak Aris, suaranya menggema menembus kesunyian malam. “Kalian akan menyesali keputusan kalian untuk tidak berbicara!” lanjutnya dengan wajah merah padam.Dia menghampiri penguntit pertama, yang telah disekap dengan tangan terikat. Mengintimidasi supaya penguntit tersebut mau bicara, memberitahu siapa orang yang sudah memberikan mereka tugas.“Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya jika kami membiarkanmu merasakan kesakitan, dengan cambuk ini?” Aris bertanya dengan nada dingin. “Kami tidak hanya akan menyakiti tubuhmu, tetapi juga membiarkan pikiranmu menderita. Meminta untuk mati saja, huh!"Aris mulai menggerakkan cambuknya, menciptakan suara berdengung yang membuat para penguntit
Saat ini, Aris sedang berada di tempat penahanan. Dia memandangi para penguntit yang kini semakin takut setelah beberapa waktu lalu mengungkapkan nama Darto. Dia memberi isyarat kepada timnya untuk menjaga agar mereka tidak kabur, lalu menghubungi Ryan untuk memberikan kabar terbaru.“Pak Ryan, kita sudah mendapatkan nama yang bisa kita buru. Bos mereka bernama Darto, dan dia yang mengarahkan semua penguntit ini untuk mengikuti kalian,” kata Aris melalui alat komunikasi. Suara Ryan di seberang terdengar cemas.“Darto? Siapa dia?” tanya Ryan.“Sepertinya tidak ada hubungan langsung dengan keluarga Lee, tapi kita harus menyelidiki lebih jauh. Dia bisa jadi ancaman baru bagi keluarga pak Ryan. Saya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut,” terang Aris menjawab, bertekad untuk segera mengungkap siapa Darto sebenarnya.Setelah menutup komunikasi, Aris memutuskan untuk membawa para penguntit ke markas utama yang tersembunyi. Dia merasa perlu melakukan lebih banyak penyelidikan untuk memast
"Apa maksudmu, Bang Ded?" tanya Elsa dengan nada heran, menatap Dedi dengan bingung - tidak mengerti arah pembicaraannya tadi.Dedi menghela napas panjang, berhenti sejenak di depan lift yang belum terbuka. Ia memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka sebelum melanjutkan pembicaraannya."Aku tahu kamu dekat dengan Pak Ryan. Kita semua dekat dengannya, tapi aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional antara kamu dan dia," ujar Dedi dengan serius, menatap langsung ke mata Elsa.Elsa mengerutkan kening. "Maksudmu, aku dan Pak Ryan...?" Ia tertawa kecil, merasa absurd dengan apa yang dipikirkan Dedi. "Bang Ded, kamu salah paham. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Ryan. Dia bosku, dan kita hanya bekerja sama. Hubungan kita sebatas profesional, tidak lebih."Namun, Dedi tampak tidak terpengaruh oleh penjelasan Elsa. "El, aku tahu kamu orang yang baik. Tapi terkadang, kedekatan bisa menimbulkan persepsi yang salah, apalagi ketika orang lain melihatny
Beberapa hari setelah perbincangan Ryan dan Rangga, suasana di sekitarnya semakin stabil. Hubungan Ryan dengan orang-orang di sekitarnya mulai membaik, terutama dengan istrinya - Erika, yang sempat syok berat karena mengetahui papanya ikut terlibat dalam konspirasi yang ingin menjatuhkan suaminya. Sementara Nyonya Lee juga ikut syok dan akhirnya harus mengungsi ke luar negeri demi kesehatan mentalnya.Tanu yang sempat khawatir dengan kehadiran Rangga, akhirnya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Rangga tidak lagi memiliki ambisi untuk mengambil alih perusahaan. Tindakan Ryan yang memperbaiki hubungan dengan Rangga menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih jauh, dan itu membuatnya semakin dihargai oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya.Sementara itu, di rumah, hubungan Ryan dan Erika semakin hangat. Meskipun sibuk dengan urusan perusahaan dan masalah-masalah yang baru saja berlalu, Ryan selalu meluangkan waktu untuk istrinya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama d
Beberapa hari setelah Tuan Lee, Tuan Haris, dan Nadia diproses hukum, suasana di perusahaan Ryan mulai stabil. Tidak ada yang bisa lepas begitu saja dari jerat hukum, jika memang mereka bersalah. Dan Ryan, tidak memiliki toleransi bagi mereka yang berkhianat.Berbeda dengan keadaan Ryan, Tanu justru sedang resah. Keberadaan Rangga yang masih berkeliaran di sekitar perusahaan Lee membuatnya merasa terganggu. Meski Rangga tidak lagi membuat keributan atau mencoba mengambil alih perusahaan, kehadirannya tetap memicu ketegangan yang membuat suasana tidak nyaman. Tanu tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya, sering kali mengeluh pada Ryan atau Erika tentang hal tersebut.Melihat ketidaknyamanan Tanu dan menyadari bahwa permasalahan di antara mereka bisa saja merusak hubungan keluarga yang tersisa, Ryan memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia merasa sudah waktunya berbicara dengan Rangga, bukan sebagai rival bisnis, tetapi sebagai saudara yang masih memiliki ikatan darah dengan istrinya
Ryan berhenti melangkah dan menoleh kembali ke arah Tanu, matanya tampak serius. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Tanu membuat suasana yang semula mulai mereda kembali terasa tegang. Erika, yang berdiri di samping suaminya, menatap Tanu dengan cemas, seakan tahu bahwa pembahasan ini akan membawa kembali ingatan-ingatan buruk yang tentu saja masih membekas dengan jelas.Ryan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kak Tanu, aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk kita semua. Apalagi, bagimu dan Erika, dia tetaplah papa kalian." Ryan berbicara dengan hati-hati, tak ingin memancing lebih banyak perasaan keduanya terluka."Tapi, Papa..." Suara Tanu tercekat, menelan ludahnya susah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jika dia—""Kita harus menyerahkan semuanya pada hukum, Kak Tanu." Ryan memotong dengan tegas, namun suaranya tetap tenang. "Semua bukti sudah jelas mengarah ke Papa. Dia terlibat dalam rencana bersama Tuan Haris dan melibatkan Nadia juga untuk mencelakak
Erika berjalan anggun memasuki ruang meeting, di sampingnya ada Ryan yang selalu tampak tenang namun penuh wibawa. Suara langkah kaki mereka berdua yang berirama membuat suasana di ruangan itu terasa semakin menegangkan. Tanu yang masih berdiri di depan meja konferensi menatap ke arah keduanya, sementara Rangga yang semula tampak percaya diri, kini mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiran mereka.Ryan, yang memegang saham terbesar di perusahaan ini setelah penyuntikan dana besar-besaran saat perusahaan Lee hampir bangkrut, hanya memberikan anggukan kecil kepada Tanu. Ia kemudian berjalan ke arah kursi di ujung meja, posisi yang biasanya diisi oleh pemegang keputusan tertinggi dalam pertemuan semacam ini.Erika, yang selama ini menjadi sosok penting di balik layar - sebab dirinya juga memiliki beberapa persen saham di perusahaan keluarganya ini, tidak banyak bicara. Namun kehadirannya kali ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan sekadar anak perempuan dari Tuan Lee, tetapi juga seora
Tanu berdiri tegak di ruang pertemuan yang luas, matanya menatap dengan tajam ke arah sepupunya - Rangga, yang memaksa ikut dalam pertemuan ini. Rangga duduk di hadapannya dengan sikap percaya diri, merasa menjadi bagian dari perusahaan yang saat ini dipimpin Tanu.Rangga, sepupu Tanu yang juga sekaligus keponakan Tuan Lee, kini berani menunjukkan ketertarikannya untuk mengambil alih kepemimpinan perusahaan yang selama ini dijalankan oleh Tuan Lee. Sementara itu, Tuan Lee, ayah Tanu dan Erika, kini tengah mendekam di penjara, jelas telah membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi banyak hal - termasuk merosotnya harga saham perusahaan. Namun, meskipun hubungan keluarga ini mengikat mereka dalam ikatan darah, Tanu tahu bahwa tidak ada tempat bagi Rangga di dalam dunia bisnisnya ini —terutama dengan segala yang telah terjadi.Tangga sendiri - bersama dengan keluarganya yang lain, sudah mendapatkan bagiannya di luar kota - perusahaan cabang yang selama ini ditangani mendiang ayahnya R
Malam itu, Ryan duduk di tepi tempat tidur mereka, memandangi Erika yang duduk masih betah terpaku di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Udara malam yang sejuk tampaknya tidak bisa menenangkan kekacauan yang bergejolak di dalam diri Erika.Ryan bisa melihatnya, bagaimana istrinya itu memendam sesuatu yang besar, sebuah kepedihan yang lebih dalam dari sekadar banyak peristiwa - termasuk kecelakaan yang pernah dia alami beberapa waktu lalu."Aku nggak tahu harus bagaimana, mas Ryan," ujar Erika pelan, suaranya serak."Kenapa, hm?" Ryan bertanya maksud perkataan istrinya."Papa... dia... dia..." Erika terhenti, suaranya hampir hilang ditelan perasaan yang mendalam."Selama ini aku merasa terjebak dalam permainan yang tak aku pahami. Semua ini ternyata sudah direncanakan sejak lama, dan aku... aku tidak pernah tahu apa-apa tentang rencana papa." Akhirnya, Erika bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu menyesakkan dadanya.Ryan menghembuskan napas panjang, berjalan mendekat dan du
Setelah peristiwa yang mengguncang mereka semua, hari-hari selanjutnya penuh dengan ketegangan meskipun situasi sudah mulai mereda. Ryan masih berusaha menenangkan Erika dan dirinya sendiri setelah semua yang terjadi, sementara Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi berusaha memberikan dukungan moral pada mereka berdua. Namun, ada satu hal yang tak banyak orang ketahui, bahkan Elsa sendiri belum menyadarinya.Dedi selalu memperhatikan Elsa dari kejauhan, bahkan sudah sejak lama. Di tengah segala kecemasan dan ketegangan yang mereka alami, Dedi merasa cemas dengan keberadaan Elsa yang selalu berada di dekat Ryan. Entah mengapa, setiap kali melihat Elsa tertawa atau berbicara dengan Ryan, hatinya terasa teriris. Dedi tahu perasaan ini bukan hal yang bisa ia tunjukkan, apalagi di tengah kesibukan mereka yang terus bergulir. Namun, perasaan itu semakin tak bisa ia bendung."Elsa, bisa bantu aku sebentar?" Dedi memanggil, berusaha tidak terlalu terlihat gelisah.Elsa yang sedang berdiri bersama Fery d
Ketika suasana semakin tegang dan tak terkontrol di ruangan gelap itu, tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dari kejauhan, semakin dan mendekat ke lokasi. Ryan, Julian, dan Tuan Lee sama-sama tersentak, menyadari bahwa keadaan akan segera berubah drastis.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Dedi, Fery, dan Tomi masuk berbarengan, wajah mereka tegang namun sedikit lega melihat Ryan masih berdiri meskipun dengan wajah yang tampak lelah dan tubuh penuh luka."Kalian?!" seru Ryan, terkejut melihat asistennya. "Bagaimana kalian bisa tahu kami di sini?" tanyanya kemudian.Dedi mendekat cepat, matanya melirik sejenak ke arah Tuan Lee yang masih tersandar di dinding dan Tuan Haris yang tergeletak di lantai, juga Julian yang diam saja seperti tidak melakukan apapun dalam keadaan ini."Kami dapat info dari Elsa, Pak Ryan. Kami segera ke sini begitu tahu kau dalam bahaya," terang Dedi."Kau tamat, selesai sekarang ini, Tuan Haris. Polisi juga sudah di sini," ujar Fery dingi