Elsa merasa jantungnya berdegup kencang saat mendengar nama Darto disebut oleh Dedi, apalagi saat memandangi layar ponsel yang menunjukkan informasi tentang Darto. Wajahnya Elsa berubah pucat, seakan-akan menemukan sesuatu yang membuatnya ketakutan. Di dalam pikirannya, berbagai kenangan dan momen yang dilalui bersama orang yang bernama Darto muncul satu per satu, membuatnya merasa bingung.“Hai, Elsa! Kenapa, apa kamu kenal orang ini?” tanya Dedi sekali lagi dengan nada ingin tahu, memperhatikan perubahan ekspresi wajah Elsa yang terlihat gelisah.Elsa menelan ludah, berusaha untuk menenangkan diri. Darto adalah seseorang yang telah ada dalam hidupnya sejak lama, seorang "teman baik" yang selalu ada untuknya. Namun, dia tidak pernah tahu detail mengenai pekerjaan atau aktivitas Darto yang sebenarnya. Darto selalu menjaga jarak dengan kehidupan yang lebih gelap, berusaha untuk tidak membebani Elsa dengan masalah pribadinya - lebih tepatnya urusan pekerjaan dan finansial.“Aku… a-ku me
Darto merasakan ketegangan di dadanya saat ia melangkah menuju tempat pertemuannya dengan seseorang yang penting. Malam itu gelap dan sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar di trotoar menuju gang yang sepi. Dia terus memikirkan bagaimana menjaga jarak dari Elsa, meskipun setiap detik terasa menyakitkan. Ia tidak ingin melibatkan gadis itu dalam segala masalah yang sedang dihadapinya.Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan, Darto tiba di sudut gelap di gang tersebut, tempat di mana ia biasa bertemu dengan rekan-rekannya. Dia melihat sosok yang sudah ditunggunya berdiri menunggu di sudut jalan, bertubuh kekar dengan tatapan tajam.“Darto,” panggil sosok tersebut, suaranya dalam dan terdengar berwibawa.“Julian,” jawab Darto, berusaha menampilkan sikap tenang meskipun jantungnya berdebar.“Apakah semua sudah siap?” tanya Julian, sambil melirik ke sekeliling memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka.“Ya, kita sudah mendapatkan semua yang kita butuhkan. Tapi aku ingi
Darto merasakan dinginnya malam menyelimuti tubuhnya saat dia ditangkap dan diborgol. Langkah kakinya terasa berat ketika para petugas menyeretnya ke mobil polisi, pikirannya berkecamuk antara rasa takut dan penyesalan. Ia tidak tahu bagaimana semua ini akan berdampak pada Elsa. Yang terbayang di benaknya adalah wajah gadis itu, penuh harapan dan cinta. Semua usaha untuk melindungi Elsa kini berujung pada kehampaan yang menyakitkan.Mobil polisi itu meluncur ke arah kantor polisi, suara sirine menggema di malam yang sunyi. Darto duduk di kursi belakang dengan hati yang berat, menyadari bahwa semua yang telah ia lakukan untuk melindungi dirinya dan orang yang dicintainya kini malah mengundang masalah yang lebih besar. Dia menoleh ke luar jendela, memperhatikan lampu-lampu kota yang berkelip, mencerminkan semua keputusasaannya."Aku tidak pernah tahu jika orang yang menjadi targetku adalah orang yang berjasa padamu, Elsa. Maafkan, aku." Darto hanya bisa menyesali perbuatannya.Di tempat
Ryan duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan berkas-berkas dan laporan yang berserakan di atas mejanya. Suasana di kantor terasa lebih tegang setelah kabar penangkapan Darto sampai di telinganya, dampak negatifnya mulai terlihat. Ia tahu, sebagai pemimpin di perusahaan Lee - sebab Tanu belum bisa kembali beraktivitas, ia harus bergerak cepat untuk menstabilkan keadaan.Tuan Lee, memasrahkan berbagai permasalahan di perusahaan Lee pada Ryan. Ini karena Ryan juga memiliki power di perusahaan keluarganya, selain sebagai suaminya Erika yang memang memiliki beberapa persen saham perusahaan.Dari pinjaman dana yang dulu diterima bersama Tanu - secara tidak langsung, Ryan juga memiliki kekuatan di perusahaan keluarga Lee. Apalagi sampai sekarang perusahaan juga belum bisa mengembalikan uang pinjaman tersebut.“Tomi, apakah sudah ada kabar terbaru mengenai Darto? Apa dia sudah mengaku siapa yang menjadi bosnya?” tanya Ryan, suaranya mantap meskipun hatinya juga was-was - kekhawatiran.Tomi,
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Konferensi pers dijadwalkan di ruang pertemuan utama perusahaan Lee, yang dipenuhi dengan jurnalis, fotografer, dan para pemangku kepentingan lainnya. Ryan berdiri di depan podium, merapikan dasinya dengan tangan yang sedikit bergetar. Ia bisa merasakan ketegangan di sekitarnya, sebab ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kekuatan dan kepemimpinannya di tengah badai yang menerpanya selama ini.Sebelum konferensi dimulai, Ryan menyempatkan diri melihat sekeliling ruangan. Banyak wajah-wajah familiar yang ada diantara para investor, karyawan, dan mitra bisnis. Dan yang paling penting ada sang istri tercintanya juga, Erika. Namun, ada juga banyak wajah asing—wartawan dari berbagai media yang siap meliput setiap kata yang akan ia ucapkan. Semua mata kini tertuju padanya, menunggu apa yang akan ia sampaikan.Tomi berdiri di sampingnya, memberikan semangat dengan tatapan percaya diri. Elsa, Dedi, dan Fery juga hadir, memberikan dukungan moral bagi
Setelah konferensi pers yang sukses, Ryan dan Erika melangkah keluar dari gedung pertemuan dengan perasaan campur aduk. Erika merasakan bangga dan terkejut melihat betapa percaya dirinya suaminya saat berbicara di depan umum. Namun, di balik senyumnya, ada keraguan dan ketidaknyamanan yang menyelimuti pikirannya, terutama saat mendengar bahwa kakaknya - Tanu, hanya ingin berbicara berdua hanya dengan Ryan saja di rumah sakit.“Kenapa kak Tanu hanya mau berbicara denganmu, mas?” tanya Erika, suaranya menampakkan keprihatinan.“Apa dia tidak tahu bagaimana perasaanku? Kita sudah menghadapi banyak hal bersama, dan sekarang, apa dia ingin memisahkan kita lagi?" lanjut Erika dengan kecurigaannya.Ryan menatap istrinya dengan lembut, memahami keraguan yang muncul. Apalagi selama ini sikap Tanu memang terlihat jelas tidak menyukai dirinya.“Mungkin kak Tanu butuh waktu untuk membicarakan sesuatu yang penting, sayang. Aku akan memastikan untuk tidak membiarkan apa pun mengganggu hubungan kita
Di sebuah apartemen mewah di luar kota, Julian duduk gelisah di ruang kerjanya. Matanya memandangi layar laptop yang menyala, namun pikirannya berkelana jauh dari sana. Pikiran tentang Darto yang ditangkap terus menghantuinya. Ia tahu, jika Darto memutuskan untuk membuka mulut, namanya bisa saja terseret dalam kasus penguntitan terhadap Ryan, sebuah insiden yang telah membuat posisinya sebagai pribadi maupun dalam perusahaan semakin rentan dengan segala resiko.Julian berusaha menenangkan dirinya sendiri, mengingat kata-kata Tuan Arman beberapa hari sebelumnya keberangkatannya ke luar kota - di sini, untuk dinas."Jangan khawatir, Julian. Aku akan memastikan semuanya terkendali. Darto tidak akan berani menyebut namamu. Percayalah, selama aku ada, kamu aman," suara Tuan Arman masih terngiang jelas di kepalanya.Meskipun begitu, Julian tidak bisa sepenuhnya mempercayai jaminan tersebut. Darto dikenal sebagai orang yang bisa bertindak tak terduga dalam situasi tertekan, dan jika keadaan
Beberapa bulan telah berlalu sejak konferensi pers bersejarah itu. Ryan, dengan kerja keras dan ketangguhannya, berhasil membawa perusahaan keluarga Lee melewati masa-masa sulit. Berbagai tantangan dan ancaman yang datang bertubi-tubi, baik dari luar maupun dari dalam perusahaan, sedikit demi sedikit mulai menemukan jalan keluarnya.Di tengah semua kekacauan, Ryan tidak pernah sendirian. Keempat asistennya—Elsa, Dedi, Fery, dan Tomi—setia mendampinginya, menjadi pilar yang menopang langkahnya.Hari ini, Ryan duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan laporan yang menunjukkan perkembangan positif perusahaan. Rasa lega mulai merayap di hatinya. Meskipun masalah Julian dan konspirasi di balik layar belum sepenuhnya terselesaikan, ia tahu bahwa upaya yang dilakukan oleh timnya telah membuahkan hasil yang signifikan.Elsa, salah satu asistennya yang merupakan seorang wanita, datang menghampirinya sambil membawa beberapa dokumen baru. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya, tetapi ada
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang