Sebenarnya, Ryan bisa saja menunggu orang-orangnya di pom bensin tadi. Tapi posisi jalan dan lokasi ternyata lebih jauh dari pusat keramaian, jadi dia memutuskan untuk pergi untuk mencari tempat yang lebih aman dibandingkan pom bensin tersebut.Di perjalanan, Erika memberikan usulan untuk pergi ke mall dan disetujui Ryan yang segera memberitahu lokasinya ke orang-orang yang menyusul. Dan untungnya, orang-orangnya bisa dengan cepat sampai di mall tersebut.Ryan dan Erika berlari secepat mungkin saat dari parkiran menuju mall, berusaha menghindari perhatian dari penguntit mereka. Keduanya masuk ke dalam mall dengan napas terengah-engah, merasakan sedikit kelegaan saat melihat kerumunan orang di sekeliling mereka. Suasana ramai ini memberi mereka harapan untuk bisa bersembunyi dengan lebih baik.“Mas, aku rasa kita bisa pergi ke lantai atas dan mencari tempat yang lebih aman,” saran Erika, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan.“Setuju. Kita perlu mencari tempat untuk bersembunyi
Setelah melewati pintu darurat dan bergegas keluar dari mal, Ryan dan Erika berlari menuju mobil yang sudah menunggu di area parkir belakang. Dengan Aris dan timnya di belakang, mereka melesat dengan cepat, menghindari kerumunan yang terjebak dalam suasana mall yang sibuk.Sesampainya di mobil, Ryan segera memasukkan Erika ke dalam dan mengunci pintunya supaya bisa secepatnya pergi dari tempat tersebut.“Aman sekarang. Kita sudah jauh dari mereka,” katanya, berusaha menenangkan istrinya. Erika terlihat masih tegang, napasnya masih terengah-engah karena ketakutan."Ya, iya ... mas. Ayo kita pulang," ajak Erika yang sudah merasa lelah.Mereka segera meluncur menuju rumah mereka, menghindari jalur utama yang mungkin terlalu terbuka - memberikan kemudahan untuk para pengungkit. Di sepanjang perjalanan, Ryan tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Menanyakan kondisi istrinya, meskipun dia juga tahu bahwa istrinya tidak terluka atau kurang suatu apapun.“Kamu baik-baik saja, kan, saya
Saat itu, Aris dan timnya bergerak cepat setelah mendapatkan petunjuk tentang lokasi para penguntit yang telah meneror Ryan dan Erika. Mereka memang sengaja tidak langsung melakukan penangkapan di mall, menghindari kericuhan dan kepanikan pengunjung. Jadi, saat Ryan dan Erika pulang dengan pengawalan, beberapa orang mengejar para penguntit tersebut. Kini, Aris dan orang-orangnya datang ke sebuah gudang tua di pinggiran kota, mereka sudah bersiap untuk melakukan penangkapan. Mereka mengetahui tempat ini tentu atas bantuan Tomi yang mengawasi mereka dari jauh, selain memang ada orang-orang khusus yang mengikuti. Sekarang, suasana malam yang gelap membuat mereka lebih mudah bergerak tanpa terdeteksi. Dengan menggunakan alat komunikasi canggih, Aris memimpin timnya menyusuri area tersebut. “Mari kita pastikan semua pintu keluar tertutup. Mereka tidak boleh lolos,” perintah Aris dengan wajah tegas. Timnya yang terdiri dari beberapa orang bersiap di posisi masing-masing, siap menghadap
Proses penangkapan telah diceritakan oleh Aris, membuat Ryan menunggu dengan tegang saat Aris melanjutkan penjelasannya. Suara Aris tampak serak, dan Ryan bisa merasakan suasana mendesak di balik kata-kata yang disampaikan.“Mereka adalah suruhan dari pesaing kita, Pak. Sepertinya mereka mencoba mengintimidasi kita dan mencari tahu informasi tentang Tuan Lee dan bisnis kita,” Aris menjelaskan, nadanya tegas namun penuh kekhawatiran.Ryan tertegun sejenak. “Apa? Mereka berani melakukan itu? Bukankah ini sudah melampaui batas?” pikirnya, merasa marah dan tak percaya.“Ya, mereka mulai beroperasi secara agresif, terutama setelah insiden yang menimpa Tuan Tanu. Ini terlihat jelas, Pak. Mereka ingin memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka,” Aris melanjutkan, dengan suara yang lebih tenang.Ryan menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai informasi ini. “Tapi kenapa mereka menargetkan kita? Kami bukan orang besar di industri ini. Tuan Lee pun tidak pernah terlihat sebagai ancaman,
Beberapa waktu lalu.Aris memandang para penguntit yang terikat di depan matanya, rasa sabar semakin menipis. Dia merasakan kemarahannya yang kini seperti menyelimuti ruangan, dan suara cambuk yang dia pegang menggema dalam pikirannya - menunggu untuk memberikan hukuman.“Siapa yang berani melawanku, ha?!” teriak Aris, suaranya menggema menembus kesunyian malam. “Kalian akan menyesali keputusan kalian untuk tidak berbicara!” lanjutnya dengan wajah merah padam.Dia menghampiri penguntit pertama, yang telah disekap dengan tangan terikat. Mengintimidasi supaya penguntit tersebut mau bicara, memberitahu siapa orang yang sudah memberikan mereka tugas.“Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya jika kami membiarkanmu merasakan kesakitan, dengan cambuk ini?” Aris bertanya dengan nada dingin. “Kami tidak hanya akan menyakiti tubuhmu, tetapi juga membiarkan pikiranmu menderita. Meminta untuk mati saja, huh!"Aris mulai menggerakkan cambuknya, menciptakan suara berdengung yang membuat para penguntit
Saat ini, Aris sedang berada di tempat penahanan. Dia memandangi para penguntit yang kini semakin takut setelah beberapa waktu lalu mengungkapkan nama Darto. Dia memberi isyarat kepada timnya untuk menjaga agar mereka tidak kabur, lalu menghubungi Ryan untuk memberikan kabar terbaru.“Pak Ryan, kita sudah mendapatkan nama yang bisa kita buru. Bos mereka bernama Darto, dan dia yang mengarahkan semua penguntit ini untuk mengikuti kalian,” kata Aris melalui alat komunikasi. Suara Ryan di seberang terdengar cemas.“Darto? Siapa dia?” tanya Ryan.“Sepertinya tidak ada hubungan langsung dengan keluarga Lee, tapi kita harus menyelidiki lebih jauh. Dia bisa jadi ancaman baru bagi keluarga pak Ryan. Saya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut,” terang Aris menjawab, bertekad untuk segera mengungkap siapa Darto sebenarnya.Setelah menutup komunikasi, Aris memutuskan untuk membawa para penguntit ke markas utama yang tersembunyi. Dia merasa perlu melakukan lebih banyak penyelidikan untuk memast
Elsa merasa jantungnya berdegup kencang saat mendengar nama Darto disebut oleh Dedi, apalagi saat memandangi layar ponsel yang menunjukkan informasi tentang Darto. Wajahnya Elsa berubah pucat, seakan-akan menemukan sesuatu yang membuatnya ketakutan. Di dalam pikirannya, berbagai kenangan dan momen yang dilalui bersama orang yang bernama Darto muncul satu per satu, membuatnya merasa bingung.“Hai, Elsa! Kenapa, apa kamu kenal orang ini?” tanya Dedi sekali lagi dengan nada ingin tahu, memperhatikan perubahan ekspresi wajah Elsa yang terlihat gelisah.Elsa menelan ludah, berusaha untuk menenangkan diri. Darto adalah seseorang yang telah ada dalam hidupnya sejak lama, seorang "teman baik" yang selalu ada untuknya. Namun, dia tidak pernah tahu detail mengenai pekerjaan atau aktivitas Darto yang sebenarnya. Darto selalu menjaga jarak dengan kehidupan yang lebih gelap, berusaha untuk tidak membebani Elsa dengan masalah pribadinya - lebih tepatnya urusan pekerjaan dan finansial.“Aku… a-ku me
Darto merasakan ketegangan di dadanya saat ia melangkah menuju tempat pertemuannya dengan seseorang yang penting. Malam itu gelap dan sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar di trotoar menuju gang yang sepi. Dia terus memikirkan bagaimana menjaga jarak dari Elsa, meskipun setiap detik terasa menyakitkan. Ia tidak ingin melibatkan gadis itu dalam segala masalah yang sedang dihadapinya.Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan, Darto tiba di sudut gelap di gang tersebut, tempat di mana ia biasa bertemu dengan rekan-rekannya. Dia melihat sosok yang sudah ditunggunya berdiri menunggu di sudut jalan, bertubuh kekar dengan tatapan tajam.“Darto,” panggil sosok tersebut, suaranya dalam dan terdengar berwibawa.“Julian,” jawab Darto, berusaha menampilkan sikap tenang meskipun jantungnya berdebar.“Apakah semua sudah siap?” tanya Julian, sambil melirik ke sekeliling memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka.“Ya, kita sudah mendapatkan semua yang kita butuhkan. Tapi aku ingi
Waktu jam kantor sudah usai, sementara Ryan duduk termenung sendirian di ruang kantornya yang sepi - semua asistennya sudah pergi dan melakukan tugasnya masing-masing.Lampu meja yang redup memberikan suasana muram pada ruangan, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak pernah pergi dari benaknya Ryan. Tangannya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang jauh, menembus waktu, ke kehidupan yang pernah ia jalani. Suatu kehidupan yang membuatnya mati dengan cara yang tragis—dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya berada di sisinya.Ryan masih ingat dengan jelas, hari itu adalah hari yang kelam. Saat semua yang ia bangun perlahan hancur berantakan, dan ia tidak pernah sempat menemukan siapa yang berada di balik semua penderitaannya. Ryan tersenyum pahit, mengingat detik-detik menjelang kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tubuhnya terlempar dari mobil yang tergelincir di tikungan tajam jalan raya, dan saat kesadarannya perlahan memudar, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya saat itu
Erika sedang duduk di teras rumahnya - sendiri karena Ryan masih berada di kantor, menikmati sore yang tenang dengan secangkir teh di tangannya. Udara sejuk sedikit membantu meredakan pikirannya yang sejak beberapa hari terakhir terus dipenuhi oleh kekacauan yang menimpa dirinya dan Elsa. Belum lagi pikiran tentang ancaman demi ancaman yang diterimanya - juga Tanu yang sering membuatnya khawatir, terutama setelah kegagalan perusahaan yang sempat membebani kakak laki-lakinya itu."Atau, kegagalan kakak ada kaitannya dengan semua ini?" gumam Erika yang sedang berpikir.Ketika sedang tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Erika menoleh dan mendapati Nyonya Lee turun dari mobil mewahnya dengan elegan. Sosok wanita paruh baya itu tampak anggun dalam balutan busana mahal, namun senyum yang menghiasi wajahnya kali ini berbeda—ada sesuatu yang nampaknya ingin ia sampaikan.“Ma…” Erika berdiri, menyambut kedatangan ibu mereka dengan sedikit canggung. Biasany
Ceklek!"Tanu!" panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruangannya - dengan nada tinggi."Kau..." Tanu tidak sanggup menyebutkan sebuah nama, yang baru saja masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Tanu mematung di tempatnya, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Wajah itu tidak asing baginya—begitu akrab hingga membawa kenangan yang sempat ia kubur dalam-dalam."Mei..." gumam Tanu, suaranya serak.Wanita itu melangkah masuk dengan tatapan penuh emosi. Dia tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Raut wajahnya tidak hanya memancarkan kemarahan, tetapi juga keteguhan, seolah dia datang dengan tujuan yang jelas."Tanu, kita harus bicara," kata Mei tegas, tanpa basa-basi."Kalau ini soal masa lalu, Maya, aku sudah selesai dengan semua itu. Aku sudah minta maaf..." Tanu menghela napas panjang, lalu kembali duduk di kursinya.Maya mendengus tak suka dengan jawaban Tanu, sebab dia ingin bicara sesuatu yang lebih besar daripada masalah yan
Perusahaan keluarga Lee.Di ruangannya, Tanu duduk termenung di balik meja kerjanya. Laporan keuangan yang sebelumnya memenuhi pikirannya kini hanya seperti bayangan kabur. Kata-kata mamanya, "Keluarga Lee membutuhkan penerus," terus terngiang di kepalanya. Meski ia tahu maksud mamanya baik, tapi rasanya terlalu banyak beban yang harus ia pikul.Bukannya Tanu tidak tertarik dengan Clara. Gadis itu anggun dan terlihat cerdas. Namun, pikirannya terlalu penuh dengan masalah perusahaan. Di balik pintu tertutup ruangannya, Tanu merasa sendirian, memikul harapan keluarganya yang begitu besar."Hm..."Dia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, ada panggilan tak terjawab dari papanya - Tuan Lee. Mungkin sang papa ingin membahas situasi perusahaan, atau lebih buruk lagi, tentang rencana perjodohan ini.Bisa jadi, kan? Nyonya Lee tentu meminta dukungan dari suaminya, dengan alasan jika sudah waktunya Tanu menikah dan memiliki keluarga agar punya anak juga. Dan Nyonya Lee pastinya mengompor-
Rumah Sakit.Di kamar rawat inap Elsa, suasana terasa tenang meski udara dingin dari AC sedikit menusuk kulit. Elsa masih terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap menunjukkan tekadnya yang kuat. Di kursi sebelah tempat tidurnya, Dedi duduk dengan serius, tangannya memegang laptop kecil yang terhubung dengan ponsel Elsa.“Mas Dedi,” panggil Elsa, suaranya pelan namun tetap terdengar pasti.“Ya, El?” Dedi langsung menoleh, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.“Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki seseorang,” ujar Elsa tanpa basa-basi. Ia berusaha duduk, tetapi Dedi segera membantunya agar tidak terlalu memaksakan diri - karena Elsa masih belum cukup kuat.“Siapa yang harus aku selidiki, El?” tanya Dedi, wajahnya menunjukkan kesiapan penuh.“Diana,” jawab Elsa sambil menarik napas dalam. “Dia staf keuangan di perusahaan, mas. Beberapa waktu lalu, aku menemukan bukti kalau dia melakukan penyelewengan dana. Tapi sebelum aku bisa
Di tengah kesibukannya di kantor keluarga Lee, Tanu sibuk memeriksa tumpukan laporan keuangan yang harus ia teliti. Ia mengerjakan setiap angka dengan teliti, memastikan tidak ada kesalahan yang terlewatkan. Fokusnya penuh, meski kelelahan mulai terasa. Namun, keseriusannya tiba-tiba terhenti ketika pintu ruangannya diketuk keras, dan masuklah mamanya, Nyonya Lee, bersama seorang gadis muda yang cantik dan anggun.“Mama?” Tanu menatap mamanya dengan sedikit bingung, apalagi melihat kehadiran tamu tak diundang itu.Nyonya Lee tersenyum, tampak sangat senang dengan apa yang dilakukannya. "Tanu, sayang, Mama ingin mengenalkan seseorang padamu." Ia memandang gadis di sebelahnya dengan bangga."Ini Clara, anak temannya Mama. Kalian harus saling mengenal lebih baik, ya!" Nyonya Lee memperkenalkan gadis yang berada di sampingnya.Tanu menghela napas dalam-dalam. Ia bisa menebak ke mana arah percakapan ini akan menuju. Ya, sama seperti beberapa waktu lalu sebelum adiknya - Erika, resmi menika
Dia hari berlalu, suasana yang menegangkan perlahan-lahan mulai tenang. Erika, yang sebelumnya diteror dengan ancaman dan rasa takut, kini bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada lagi pesan-pesan menakutkan atau kejadian aneh yang mengancam keselamatan keluarganya. Meski begitu, Ryan tidak mau lengah. Dia tetap waspada dengan keselamatan istrinya. Dia tahu bahwa meskipun keadaan terlihat tenang, ancaman bisa datang kapan saja.Ryan mengambil keputusan untuk meningkatkan pengamanan bagi Erika. Ia mempekerjakan tim keamanan pribadi - yang memang dimiliki dan dipimpin Tomi untuk menjaga rumah mereka, memastikan Erika selalu ditemani oleh pengawal setiap kali ia keluar rumah. Meskipun Erika sempat merasa tidak nyaman dengan langkah ini, Ryan bersikeras bahwa ini adalah langkah pencegahan yang memang diperlukan."Aku tidak ingin mengambil risiko, Erika. Kita belum tahu siapa yang benar-benar ada di balik semua ini," terang Ryan saat istrinya protes.Erika masih mencoba meyakinkan Ryan bahwa
Elsa terdiam sejenak, menggigit bibirnya sambil menatap Erika dan Nyonya Lee yang sedang menunggu jawabannya dengan penuh harap. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pintu ruang rawat terbuka. Ryan masuk dengan langkah tergesa, diikuti oleh Fery yang tampak membawa beberapa dokumen.Wajah Ryan langsung mencari Elsa begitu dia masuk. Tapi dia tersenyum begitu melihat keberadaan isteri dan mertuanya, Nyonya Lee. Setelah menyapa dan memberikan kecupan di kening, Ryan beralih pada Elsa. Dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada asistennya yang seorang ahli IT tersebut, meskipun saat ini Elsa masih berbaring di rumah sakit."Elsa, apa kabar?" tanyanya dengan nada kekhawatiran, tapi tetap tegas. Ia lalu menoleh sekilas ke arah Erika dan Nyonya Lee, memberi mereka senyum singkat sebelum akhirnya berjalan mendekat ke tempat tidur Elsa."Saya baik, Pak Ryan. Terima kasih sudah datang," jawab Elsa pelan, sedikit ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia merapikan selimut di pan
Ryan tiba di kantor dengan suasana hati yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang istrinya, Erika yang pergi ke rumah sakit untuk menemui Elsa. Meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaan, pikirannya terus melayang pada Erika dan ancaman-ancaman yang mereka hadapi.Kantor pusat Ryan terletak di gedung perkantoran modern di pusat kota, lantai paling atas dengan pemandangan kota yang luas. Begitu ia masuk ke ruang kerjanya, dua asistennya, Dedi dan Fery, sudah menunggunya dengan tumpukan laporan yang perlu diselesaikan."Selamat pagi, Pak Ryan," sapa Dedi, sambil memberikan setumpuk dokumen yang sudah dirapikan. "Semua berkas sudah siap untuk presentasi pagi ini. Meeting dengan tim akan mulai lima belas menit lagi."Ryan mengangguk singkat, mengambil dokumen itu dan mulai membacanya sekilas. "Terima kasih, Dedi. Fery, pastikan kamu tetap standby selama meeting. Ada beberapa detail yang mungkin perlu kita diskusikan lebih lanjut setelah itu."Fery yang