Darius mundur selangkah ketika Ferdy masuk ke ruangannya dengan tenang, diikuti oleh beberapa orang kepercayaannya. Ruangan yang megah, dengan lampu kristal bergemerlapan di atas kepala, tampak begitu kontras dengan ketegangan yang mencekam di antara kedua pria itu. Darius, yang biasanya angkuh dan penuh kendali, kini terlihat terguncang. Seluruh skandal yang meledak di media dalam waktu singkat telah membuatnya kehilangan pijakan. Semua rahasianya terbongkar, dan pasukan yang dia kirim untuk menumpas Ferdy sudah kehabisan tenaga."Dari semua orang, aku tidak menyangka akan kau yang berani melakukan ini, Ferdy." Suara Darius berat, mencoba terdengar percaya diri meskipun jelas ada keraguan di dalamnya.Ferdy tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Kau meremehkan banyak hal, Darius. Kau terlalu percaya diri dengan kekuasaan dan koneksimu. Tapi seperti yang kau lihat sekarang, semuanya rapuh. Hanya perlu sedikit dorongan, dan seluruh duniamu runtuh."Darius meremas gagang meja di d
Setelah jatuhnya Darius, keadaan mulai tenang. Dunia Ferdy, yang selama ini dipenuhi dengan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman, perlahan-lahan mulai kembali ke jalurnya. Meski kekuasaan Darius telah runtuh, Ferdy tahu bahwa langkah ke depan tidak akan mudah. Masih ada bekas luka yang perlu disembuhkan, dan dunia bisnis serta kekuasaan yang dia jalani masih penuh dengan bahaya yang belum terlihat. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Ferdy merasa bisa bernapas dengan lega.Dia duduk di ruang kerjanya yang luas, menatap tumpukan dokumen di mejanya. Semua kekacauan yang ditinggalkan Darius sekarang menjadi tanggung jawabnya untuk diatasi. Namun, dia tidak merasa terbebani. Justru, ini adalah awal dari kebebasan yang selama ini dia impikan—kesempatan untuk membangun kembali segalanya, dari awal, sesuai dengan prinsip-prinsipnya sendiri."Ferdy, rapat dengan para pemegang saham akan dimulai dalam sepuluh menit," kata Aldo, yang masuk ke ruangan itu dengan membawa tablet d
Ferdy duduk di balkon kamarnya, menikmati secangkir kopi yang hangat. Angin malam menghembus perlahan, membawa kesegaran yang membuat pikirannya lebih jernih. Meski banyak hal telah terjadi, ia merasa ini adalah momen yang tenang, sejenak sebelum badai berikutnya datang.Pikirannya kembali ke pertemuan dengan para pemegang saham. Mereka semua mendukungnya, setidaknya untuk saat ini. Tapi Ferdy tahu dunia ini kejam, dan kepercayaan bisa hilang dalam sekejap. Dia tidak bisa lengah. Rencana yang ia susun baru saja dimulai, dan dia harus memastikan setiap langkahnya tepat, tanpa celah untuk serangan balik.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu. Aldo masuk, wajahnya tampak serius, menyiratkan bahwa sesuatu telah terjadi."Ada sesuatu yang perlu kau lihat," kata Aldo tanpa basa-basi.Ferdy meletakkan cangkir kopinya, berdiri, dan mengikuti Aldo menuju ruang kerja. Sesampainya di sana, Aldo menyalakan layar besar di dinding. "Kita mendapatkan informasi baru. Sepert
Ferdy berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Gemerlap lampu-lampu malam membentuk pola indah, tetapi baginya, semua itu terasa hambar. Kota yang selama ini menjadi arena permainannya kini dipenuhi ancaman yang tak terlihat. Musuh-musuhnya bersembunyi dalam bayang-bayang, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.Aldo telah memberi tahu tentang pergerakan bawah tanah yang semakin aktif. Kelompok-kelompok kecil yang sebelumnya dianggap tak berdaya kini menunjukkan taring mereka. Mereka bukan lagi sekadar serpihan yang tersebar, tetapi ancaman nyata yang harus diperhitungkan.Ferdy merenung, mengingat setiap langkah yang telah diambil. Langkah-langkahnya selama ini penuh perhitungan. Dia bukan seseorang yang bertindak impulsif. Setiap gerakan musuh telah diperhitungkan, tetapi kali ini, ada yang berbeda. Lawannya tampak lebih berani, lebih cerdas. Mereka menyusun strategi dengan hati-hati, tidak lagi bergerak sembarangan.Pintu ruangannya terbuka, Aldo masuk tanpa menget
Suara ledakan yang menggema masih berputar di kepala Ferdy. Kepanikan terasa di udara, namun Ferdy tidak bisa membiarkan dirinya terguncang. Ia tahu betul bahwa dalam dunia seperti ini, kehilangan kendali berarti kalah. Matanya tetap fokus pada layar yang baru saja menjadi hitam. Timnya, yang sebelumnya siap siaga, kini terputus dari komunikasi.Aldo bergegas masuk ke ruangan, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. "Kami kehilangan kontak dengan beberapa tim. Sepertinya mereka sudah berada dalam perangkap musuh."Ferdy menggertakkan gigi, menatap layar yang kosong itu dengan mata tajam. "Berapa banyak tim yang hilang?""Empat tim utama di titik strategis yang kita pasang," jawab Aldo. "Musuh tahu langkah kita, dan mereka memanfaatkannya dengan sempurna."“Keparat,” gumam Ferdy dengan nada rendah tapi penuh amarah. "Mereka tahu kita sedang memancing mereka. Tapi bagaimana bisa mereka bereaksi begitu cepat?"Aldo hanya menggelengkan kepala. "Entah bagaimana, mereka
Udara dingin menerpa wajah Ferdy ketika helikopter mulai menjauh dari reruntuhan gedung yang baru saja meledak. Semburan api masih terlihat dari jauh, membakar apa pun yang tersisa. Semua orang di dalam helikopter diam, tidak ada yang berbicara. Mereka masih terguncang oleh jebakan yang hampir saja menewaskan mereka. Namun, di tengah kesunyian itu, amarah Ferdy membara. Aldo, yang duduk di sebelahnya, menatap Ferdy dengan pandangan penuh keprihatinan. "Boss, kita harus menyusun ulang strategi. Mereka sudah tahu semua gerakan kita, dan ini bukan pertarungan biasa. Musuh kita kali ini jauh lebih licik."Ferdy mengangguk, meski pandangannya masih tertuju ke luar jendela. "Kita salah langkah, tapi ini belum berakhir. Mereka mungkin sudah menghancurkan markas kita, tapi mereka belum menghancurkan kita.""Bagaimana kita bisa melawan balik?" tanya Aldo, mencoba merencanakan langkah selanjutnya. "Mereka jelas lebih siap. Siapa pun yang memimpin mereka, tahu setiap gerakan kita dan bahkan ren
Malam itu, Ferdy berdiri di balkon markas barunya. Pemandangan kota di bawahnya dipenuhi gemerlap lampu-lampu malam, tapi semuanya terasa jauh dan hampa. Di pikirannya, hanya ada satu nama: Erwin. Pertarungan ini bukan sekadar tentang kekuasaan atau uang lagi. Ini adalah pertarungan hidup dan mati, kehormatan, dan pembalasan dendam. Erwin telah menyerang tempat paling rapuh dalam kehidupannya, memporakporandakan fondasi kekuatan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.Aldo muncul di belakangnya, berjalan dengan hati-hati. "Boss, semuanya sudah siap. Orang-orang kita sudah dikumpulkan. Kita hanya menunggu perintahmu."Ferdy mengangguk pelan. "Bagaimana dengan Erwin? Apakah kita sudah menemukan lokasi pastinya?"Aldo menyerahkan tablet berisi laporan terbaru dari tim intelijen mereka. "Kami baru saja mengonfirmasi keberadaannya di sebuah vila di pinggir kota. Tempat itu dijaga ketat, tapi tidak seketat yang biasanya. Sepertinya dia merasa aman di sana."Ferdy tersenyum tipis, meskip
Sinar pagi menembus jendela kaca besar di ruang kerja Ferdy. Suasana di dalam ruangan terasa berat, seolah udara pun tak ingin bergerak. Meskipun Erwin sudah tak lagi menjadi ancaman, bayang-bayang yang ditinggalkan oleh kata-kata terakhirnya masih menghantui Ferdy. Kalimat yang diucapkan Erwin sebelum kematiannya, "Aku hanya pion kecil," terus bergema di pikirannya. Ferdy merasakan ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia sadari selama ini.Aldo mengetuk pintu dan masuk dengan ekspresi serius. "Bos, semua sudah beres. Vila Erwin sudah kita kuasai sepenuhnya, dan orang-orangnya menyerah tanpa banyak perlawanan."Ferdy hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada jendela, tapi pikirannya melayang jauh. "Apa yang kita dapatkan dari tempat itu? Apakah ada informasi yang berguna?"Aldo menyerahkan sebuah map tebal berisi laporan. "Kami menemukan beberapa dokumen keuangan dan catatan transaksi. Tapi ada sesuatu yang aneh. Kami menemukan sebuah catatan pribadi milik Erwin yang me
Laras bangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Udara dingin menyejukkan kamar tidurnya, tetapi pikirannya terus mengulang percakapan semalam dengan Rizal. Kata-kata pria itu bergaung di kepalanya, membawa kehangatan sekaligus kebingungan.Setelah mencuci muka dan menyeduh secangkir kopi, Laras duduk di balkon kecil rumahnya. Pemandangan jalanan yang mulai ramai tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya. Hubungan profesionalnya dengan Rizal selama ini selalu menyenangkan, tetapi ia tidak pernah membayangkan bahwa ada perasaan lain yang berkembang di antara mereka.Laras menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia sadar bahwa perasaan Rizal tulus, tetapi ia takut untuk melangkah terlalu cepat. Luka lama di hatinya belum sepenuhnya sembuh, dan ia tidak ingin mengambil risiko tanpa kepastian.“Laras, fokus,” gumamnya pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatian dengan bekerja. Program pelatihan di Rumah Kita adalah prioritasnya saat ini.---Hari itu, Laras tiba
Matahari pagi menyinari jendela besar di ruang tengah Rumah Kita, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai kayu. Laras duduk di salah satu meja, memandangi daftar acara yang telah direncanakan untuk bulan depan. Kafe ini telah menjadi tempat yang tidak hanya menyatukan komunitas, tetapi juga memberi makna baru dalam hidupnya.Kegiatan sehari-hari di kafe selalu membuat Laras sibuk, tetapi hari ini terasa berbeda. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya, seperti firasat baik yang tak bisa ia jelaskan. Suara pintu yang berderit menarik perhatiannya. Seorang pria masuk, membawa sebuah kotak besar di tangannya."Laras, ini pesanannya," kata Rizal sambil tersenyum lebar."Oh, Rizal! Terima kasih sudah mengantar," jawab Laras, berdiri untuk membantu.Rizal meletakkan kotak itu di meja dekat dapur, lalu duduk di kursi di depan Laras. "Kamu kelihatan sibuk. Semua berjalan lancar, kan?""Lancar, tentu saja," jawab Laras. "Tapi aku selalu merasa ada yang kurang. Aku ingin melakukan leb
Pagi itu, Laras bangun dengan perasaan ringan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, ia merasa benar-benar bebas. Udara pagi yang segar menyusup melalui jendela yang terbuka, membawa aroma bunga melati dari halaman belakang. Ia berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak lebih ceria.Ia mengambil surat balasannya kepada Arman yang masih tergeletak di meja. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah surat itu benar-benar perlu dikirim. Namun, setelah beberapa saat merenung, Laras memutuskan untuk tidak mengirimkannya. Baginya, menuliskan perasaan itu sudah cukup. Itu adalah caranya untuk menutup lembaran lama tanpa harus menggali luka yang telah ia sembuhkan.Laras mengambil amplop itu, merobeknya menjadi potongan kecil, lalu membuangnya ke tempat sampah. "Ini adalah akhir," gumamnya pada diri sendiri, "dan juga awal yang baru."---Hari itu, Laras memutuskan untuk mengunjungi kantor barunya. Setelah lama mempertimbangkan, ia akhirnya membuka usaha kecil yang
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah, seolah menyambut kehidupan baru yang siap dijalani Laras. Ia bangun lebih pagi dari biasanya, menyeduh kopi hangat, dan menikmati suasana rumah yang sunyi. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, rasa tenang yang belum pernah ia rasakan selama ini.Di ruang tamunya, surat dari Arman masih tergeletak di meja. Laras menatapnya sebentar, berpikir apakah ia harus melakukan sesuatu terhadap surat itu. Namun, ia tahu bahwa keputusan besar tidak boleh diambil tergesa-gesa.Sambil menghirup kopinya, Laras memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar komplek. Ia ingin menyegarkan pikiran dan merasakan udara pagi yang menyegarkan. Saat melangkah keluar, ia melihat tetangganya, Bu Rina, sedang menyiram tanaman di halaman.“Pagi, Laras! Wah, sudah jarang sekali lihat kamu keluar pagi-pagi begini,” sapa Bu Rina dengan senyuman ramah.Laras tersenyum balik. “Iya, Bu. Lagi ingin menikmati udara pagi saja.”“Kamu kelihatan lebih segar sekarang. Ada kab
Hari itu, Laras duduk di ruang kerjanya dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Semua yang ia rencanakan, yang ia perjuangkan selama ini, mulai menunjukkan hasil. Namun, hari ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih pribadi, sesuatu yang sudah lama ia nantikan.“Bu Laras, ini dokumen yang perlu tanda tangan Anda,” ujar Dani, asistennya, sembari menyerahkan setumpuk berkas.“Terima kasih, Dani. Bisa kamu tinggalkan di sini? Aku akan periksa sebentar lagi,” jawab Laras dengan nada lembut.Dani mengangguk sebelum keluar, meninggalkan Laras sendiri. Laras menarik napas panjang, menatap dokumen-dokumen itu sejenak, lalu memindahkan pandangannya ke foto keluarganya di atas meja. Foto itu adalah pengingat tentang bagaimana perjalanan hidupnya dimulai.---Pukul lima sore, Laras meninggalkan kantornya lebih awal dari biasanya. Mobilnya melaju perlahan melewati jalanan kota yang mulai dipadati kendaraan. Tujuannya kali ini adalah sebuah panti asuhan di pinggiran kota, temp
Sinar matahari pagi menembus jendela ruang kerja Laras. Meja kayu besar di depannya dipenuhi berkas-berkas yang tersusun rapi. Hari itu, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Setelah sekian lama menghadapi badai dan perjuangan tanpa henti, hari ini ia merasa lebih ringan. Namun, bukan karena pekerjaannya berkurang, melainkan karena keyakinan bahwa langkah-langkah yang ia ambil sudah berada di jalur yang benar.“Bu Laras, rapat dengan investor akan dimulai 30 menit lagi,” ujar Dani setelah mengetuk pintu.“Terima kasih, Dani. Tolong pastikan semuanya sudah siap,” jawab Laras dengan senyuman.Sejak proyek pendidikan untuk anak-anak kurang mampu diluncurkan, Laras semakin sibuk. Namun, ia menyukai kesibukan itu. Setiap laporan tentang anak-anak yang kini mendapatkan akses pendidikan layak menjadi sumber semangat baru baginya. Laras merasa, untuk pertama kalinya, perusahaan yang ia pimpin bukan hanya tentang keuntungan, tetapi juga tentang memberikan manfaat bagi banyak orang.---Di ru
Pagi itu, mentari bersinar hangat, seolah memberikan semangat baru untuk memulai hari. Laras duduk di ruang kerjanya yang sekarang terasa lebih lapang dan terang, bukan hanya karena dekorasi barunya, tetapi juga karena beban yang perlahan mulai terangkat dari pundaknya. Kemenangan terakhir melawan Pak Rahmat telah memberikan angin segar bagi Laras dan timnya. Namun, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanannya.Laras memandang papan strategi di depannya, yang penuh dengan catatan dan diagram rencana masa depan perusahaannya. Di sudut kanan papan, sebuah kalimat tertulis tebal: “Integritas adalah kekuatan.” Kalimat itu menjadi mantra yang terus ia ulang di tengah badai yang telah ia hadapi."Kita harus memastikan setiap langkah ke depan tidak hanya memperkuat bisnis ini, tapi juga berdampak positif pada masyarakat," gumamnya.---Dani mengetuk pintu sebelum masuk dengan setumpuk dokumen di tangannya. Wajahnya yang biasanya serius kini tampak lebih santai, bahkan dihiasi senyuman
Pagi itu, udara terasa dingin, seperti memberikan pertanda akan sesuatu yang besar. Laras baru saja menyelesaikan rutinitas paginya ketika Dani masuk ke ruang kerjanya dengan wajah yang lebih serius dari biasanya."Ada apa, Dani?" tanya Laras, mencoba membaca raut wajahnya.Dani meletakkan sebuah map tebal di meja. "Ini hasil penyelidikan terakhir. Ada informasi yang sangat mengejutkan di dalamnya."Laras membuka map itu dengan hati-hati. Lembar demi lembar dokumen di dalamnya mengungkap jaringan rahasia yang selama ini tersembunyi, termasuk bukti bahwa Pak Rahmat tidak hanya menyabotase bisnisnya, tetapi juga melakukan penipuan besar-besaran terhadap beberapa perusahaan lain."Ini tidak mungkin," gumam Laras, matanya melebar saat membaca salah satu dokumen. "Jadi, dia bahkan menipu mitranya sendiri?""Benar," jawab Dani. "Dan ada sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. Salah satu dokumen ini menunjukkan bahwa salah satu asetnya yang paling penting, perusahaan utama yang selama ini menda
Pagi itu, Laras bangun dengan perasaan berbeda. Semalam, setelah berminggu-minggu menghadapi tekanan dari semua sisi, ia merasa ada secercah harapan. Bukti yang dikumpulkan dari pria misterius telah dikonsolidasikan, laporan hukum telah disusun, dan timnya mulai menatap ke depan dengan keyakinan baru. Namun, Laras tahu perjuangan ini belum selesai."Dani, apa ada kabar terbaru dari pihak berwenang?" tanya Laras saat mereka bertemu di ruang kerja.Dani mengangguk. "Mereka sudah mulai menyelidiki. Tapi, seperti yang kita duga, ini tidak akan berjalan mulus. Pak Rahmat punya koneksi kuat di berbagai institusi. Kita harus siap menghadapi serangan balik."Laras menghela napas. "Aku tahu. Kita juga harus memastikan bahwa mereka tidak bisa menyentuh kita dengan cara yang sama lagi."---Di tengah kesibukan itu, sebuah berita mengejutkan datang dari salah satu mitra lama mereka. "Laras, Pak Rahmat mulai bergerak menyerang kita secara terbuka," kata Mira saat memasuki ruangan dengan wajah tega