Pagi datang dengan sunyi di markas Ferdy. Udara masih dingin, tetapi suasana penuh ketegangan belum menghilang. Setelah malam penuh darah dan pengkhianatan, kelompok Ferdy tetap waspada. Semua tahu bahwa setelah kejadian kemarin, pertempuran dengan Aditya sudah semakin dekat, dan kali ini, taruhannya lebih besar dari sebelumnya. Namun, ada sesuatu yang belum mereka sadari—sebuah kekuatan yang siap muncul kembali, lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.Di sebuah lokasi terpencil di pinggiran kota, suara langkah sepatu yang berat memecah keheningan pagi. Di sana, di bawah sinar matahari yang baru terbit, berdiri seorang pria berusia tiga puluhan dengan wajah penuh bekas luka, tubuhnya kekar dan penuh karisma. Dia mengenakan seragam militer berwarna hitam dengan lencana khusus di dada kirinya—simbol kehormatan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dia bukan pria biasa. Dia adalah Alex, seorang mantan jenderal militer yang selama ini bekerja di bawah radar
Malam yang dinanti akhirnya tiba. Di markas Ferdy, suasana penuh dengan persiapan terakhir. Semua anak buahnya sudah siap, dengan senjata lengkap dan hati yang penuh tekad. Sejak kedatangan Alex, semua pergerakan semakin tersusun rapi, dan rencana besar mereka siap dijalankan. Aditya, musuh terbesar mereka, tidak akan pernah menyangka bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir kekuasaannya.Ferdy berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding ruangan rapat. Di belakangnya, Alex dan Nadia berdiri mengamati. Mata Ferdy menelusuri garis-garis yang telah mereka tandai, menunjuk ke lokasi-lokasi penting yang menjadi target mereka."Kita sudah sepakat," kata Ferdy, suaranya tenang tapi penuh wibawa. "Serangan pertama akan dimulai dari titik ini," ia menunjuk sebuah area di peta, yang merupakan salah satu gudang penyimpanan senjata milik Aditya. "Jika kita bisa menghancurkan ini, mereka akan kehilangan akses ke persenjataan berat mereka."Alex mengangguk sambil menyilangkan tangan d
Pintu besar ruang utama markas Aditya terbanting terbuka dengan keras. Ferdy, dengan langkah penuh percaya diri, memasuki ruangan bersama Alex di sisinya. Di sudut ruangan, Aditya berdiri dengan wajah penuh keringat dan ketakutan, tubuhnya menegang, seolah siap melawan tetapi tahu takdirnya sudah pasti. Untuk pertama kalinya, sosok yang selama ini memegang kekuasaan terlihat begitu rapuh dan tidak berdaya."Ini akhir dari semuanya, Aditya," suara Ferdy terdengar tenang namun sarat dengan kekuatan. "Kau tidak punya tempat lagi untuk bersembunyi."Aditya menatap Ferdy dengan mata penuh kebencian, tetapi ada juga rasa putus asa yang tidak bisa dia sembunyikan. Selama bertahun-tahun, dia berkuasa dengan tangan besi, menggunakan ketakutan untuk mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Namun, malam ini, semua itu runtuh. Rencana Ferdy telah menutup semua celah pelariannya, dan sekarang dia dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa kekuatannya telah menguap.“Kau pikir ini sudah berakhir, Ferdy?
Pagi itu, cahaya matahari menyinari halaman rumah Ferdy dengan lembut. Setelah malam penuh ketegangan dan pertempuran yang sengit, suasana pagi itu terasa begitu tenang, seakan semesta memberi waktu bagi mereka untuk bernapas sejenak. Ferdy duduk di teras depan, menikmati secangkir kopi panas. Nadia berada di sisinya, wajahnya tenang, matanya menatap jauh ke arah langit biru yang cerah.Segala sesuatunya mulai kembali normal setelah kejatuhan Aditya. Markas musuh telah dibersihkan, dan sisa-sisa pengikutnya ditangkap atau melarikan diri. Bagi Ferdy, kemenangan ini bukan sekadar menghancurkan musuh, tetapi juga meneguhkan posisinya sebagai pemimpin yang kuat dan dihormati. Namun, di balik semua itu, dia tahu bahwa perjuangan sebenarnya baru saja dimulai."Apa yang kau pikirkan?" tanya Nadia lembut, menyadari bahwa pikiran Ferdy melayang jauh.Ferdy menoleh padanya dan tersenyum tipis. "Aku hanya berpikir tentang masa depan. Setelah semua yang terjadi, aku sadar bahwa ada begitu banyak
Kehidupan baru Ferdy dan Nadia di rumah kecil di pinggir kota telah berjalan selama beberapa bulan. Mereka menikmati ketenangan yang dulu terasa begitu jauh. Pagi-pagi mereka dipenuhi dengan suara burung berkicau dan aroma kopi yang menyegarkan, sementara sore hari dihabiskan dengan berjalan-jalan di taman dekat rumah, di mana angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka dengan lembut.Namun, di balik kedamaian itu, ada satu hal yang selalu ada dalam pikiran Ferdy—mimpi untuk hidup dalam ketenangan tidak sepenuhnya mudah dicapai. Meskipun dia telah meninggalkan dunia lamanya, jejak dari masa lalunya masih terus menghantuinya. Ferdy sadar bahwa bagaimanapun dia ingin melarikan diri, akan ada masa lalu yang mencoba menariknya kembali.Suatu pagi, ketika Ferdy sedang duduk di beranda dengan secangkir kopi di tangannya, teleponnya berdering. Nadia, yang sedang menyiram tanaman di halaman, menoleh saat Ferdy mengambil telepon.“Siapa?” tanya Nadia dengan suara penuh perhatian.Ferdy melihat lay
Setelah menuntaskan masalah yang membayangi masa lalu Ferdy, mereka kembali menikmati ketenangan di rumah kecil mereka. Pagi-pagi yang damai dan senja yang tenang kini benar-benar terasa lebih berharga bagi Ferdy dan Nadia. Ferdy, yang sudah mantap meninggalkan dunia lamanya, merasa lega karena bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang kekacauan yang dulu selalu menghantuinya.Namun, seiring berjalannya waktu, Nadia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang berubah. Meski Ferdy sudah berjanji untuk tidak kembali ke dunia lamanya, ada perasaan cemas yang mulai menghantui Nadia. Ia khawatir Ferdy belum benar-benar lepas dari beban masa lalu, dan situasi yang tak terduga mungkin bisa menariknya kembali.Suatu malam, setelah makan malam yang tenang, Nadia memutuskan untuk berbicara dengan Ferdy. “Kau yakin sudah meninggalkan semuanya, kan? Aku tahu kau bilang ini yang terakhir, tapi aku takut ada sesuatu yang masih kau sembunyikan.”Ferdy tersenyum, mencoba meyakinkan Nadia. “Aku sudah ben
Seminggu berlalu sejak pria berjas hitam itu muncul di depan pintu rumah Ferdy dan Nadia. Dalam keheningan yang penuh ketegangan, Ferdy mencoba mempertimbangkan semua pilihan yang ada. Surat dan pesan yang datang sebelumnya tidak pernah mudah diabaikan, dan tawaran yang diajukan bukan hal yang bisa dia tolak begitu saja.Nadia bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh suaminya. Meskipun Ferdy tidak banyak bicara, dia tahu bahwa di dalam dirinya, ada pertarungan batin yang sedang berlangsung. Setiap hari, dia mencoba menenangkan suaminya, meyakinkan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.Pada hari ketujuh, Ferdy duduk di ruang tamu, matanya menatap keluar jendela. Dalam hati, dia masih meragukan apakah keputusan untuk menghadapi orang-orang dari masa lalunya adalah langkah yang tepat. Namun, dia tahu bahwa jika dia menolak tawaran ini, mungkin ancaman yang lebih besar akan datang, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Nadia.Ketika malam ti
Ferdy duduk di ruang tamu rumah kecilnya, merapikan dasi di lehernya yang sudah mulai kendor. Di seberangnya, istrinya, Nadia, sedang sibuk mengeriting rambutnya di depan cermin besar yang terletak di dinding ruang tamu mereka. Nadia adalah wanita cantik dengan wajah lembut dan senyum yang menawan, tetapi belakangan ini, senyuman itu jarang sekali terlihat.“Apakah kamu yakin dengan ini?” Ferdy mencoba memecah keheningan yang terasa begitu tegang. Dia selalu berusaha memahami istrinya, meskipun semakin sulit dari hari ke hari.Nadia berhenti sejenak, memandang suaminya melalui cermin. “Kamu tahu bagaimana keluarga ku, Fer. Mereka selalu menuntut lebih. Aku hanya berharap kita bisa membuktikan bahwa kita bisa sukses tanpa mereka.”Ferdy mengangguk, meskipun hatinya merasa berat. Dia tahu bahwa keluarga Nadia tidak pernah menyukainya. Mereka selalu memandang rendah karena pekerjaannya yang sederhana sebagai pegawai di sebuah perusahaan kecil. Mereka menginginkan seseorang yang bisa memb