Kehidupan baru Ferdy dan Nadia di rumah kecil di pinggir kota telah berjalan selama beberapa bulan. Mereka menikmati ketenangan yang dulu terasa begitu jauh. Pagi-pagi mereka dipenuhi dengan suara burung berkicau dan aroma kopi yang menyegarkan, sementara sore hari dihabiskan dengan berjalan-jalan di taman dekat rumah, di mana angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka dengan lembut.Namun, di balik kedamaian itu, ada satu hal yang selalu ada dalam pikiran Ferdy—mimpi untuk hidup dalam ketenangan tidak sepenuhnya mudah dicapai. Meskipun dia telah meninggalkan dunia lamanya, jejak dari masa lalunya masih terus menghantuinya. Ferdy sadar bahwa bagaimanapun dia ingin melarikan diri, akan ada masa lalu yang mencoba menariknya kembali.Suatu pagi, ketika Ferdy sedang duduk di beranda dengan secangkir kopi di tangannya, teleponnya berdering. Nadia, yang sedang menyiram tanaman di halaman, menoleh saat Ferdy mengambil telepon.“Siapa?” tanya Nadia dengan suara penuh perhatian.Ferdy melihat lay
Setelah menuntaskan masalah yang membayangi masa lalu Ferdy, mereka kembali menikmati ketenangan di rumah kecil mereka. Pagi-pagi yang damai dan senja yang tenang kini benar-benar terasa lebih berharga bagi Ferdy dan Nadia. Ferdy, yang sudah mantap meninggalkan dunia lamanya, merasa lega karena bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang kekacauan yang dulu selalu menghantuinya.Namun, seiring berjalannya waktu, Nadia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang berubah. Meski Ferdy sudah berjanji untuk tidak kembali ke dunia lamanya, ada perasaan cemas yang mulai menghantui Nadia. Ia khawatir Ferdy belum benar-benar lepas dari beban masa lalu, dan situasi yang tak terduga mungkin bisa menariknya kembali.Suatu malam, setelah makan malam yang tenang, Nadia memutuskan untuk berbicara dengan Ferdy. “Kau yakin sudah meninggalkan semuanya, kan? Aku tahu kau bilang ini yang terakhir, tapi aku takut ada sesuatu yang masih kau sembunyikan.”Ferdy tersenyum, mencoba meyakinkan Nadia. “Aku sudah ben
Seminggu berlalu sejak pria berjas hitam itu muncul di depan pintu rumah Ferdy dan Nadia. Dalam keheningan yang penuh ketegangan, Ferdy mencoba mempertimbangkan semua pilihan yang ada. Surat dan pesan yang datang sebelumnya tidak pernah mudah diabaikan, dan tawaran yang diajukan bukan hal yang bisa dia tolak begitu saja.Nadia bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh suaminya. Meskipun Ferdy tidak banyak bicara, dia tahu bahwa di dalam dirinya, ada pertarungan batin yang sedang berlangsung. Setiap hari, dia mencoba menenangkan suaminya, meyakinkan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.Pada hari ketujuh, Ferdy duduk di ruang tamu, matanya menatap keluar jendela. Dalam hati, dia masih meragukan apakah keputusan untuk menghadapi orang-orang dari masa lalunya adalah langkah yang tepat. Namun, dia tahu bahwa jika dia menolak tawaran ini, mungkin ancaman yang lebih besar akan datang, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Nadia.Ketika malam ti
Malam itu terasa panjang, lebih panjang dari malam-malam sebelumnya. Ferdy duduk di meja makan, berhadapan dengan Nadia yang berusaha memahami kegelisahan yang memancar dari wajah suaminya. Sejak Ferdy kembali dari pertemuan dengan pria misterius itu, suasana di rumah mereka berubah tegang. Ada sesuatu yang belum diungkapkan, dan Nadia tahu bahwa keputusan yang akan diambil Ferdy kali ini tidak mudah.“Ada apa, Sayang? Kau terlihat begitu berbeda,” tanya Nadia dengan nada lembut, mencoba mengurangi beban yang terlihat jelas di mata Ferdy.Ferdy menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. “Aku… aku mendapatkan tawaran. Tawaran yang tak bisa kuabaikan begitu saja.”Nadia mengernyitkan dahi. “Tawaran apa? Apakah ini berhubungan dengan masa lalumu?”Ferdy mengangguk pelan. “Ya. Dunia yang dulu kutinggalkan kembali mencariku. Mereka ingin aku bergabung dengan organisasi yang lebih besar, lebih kuat. Mereka menawarkan kekuasaan, uang, segalanya... tapi ada harga yang harus diba
Malam itu, Ferdy duduk di tepi jendela kamar, memandangi langit yang gelap tanpa bintang. Pikirannya terus bergelut dengan berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kata-kata Raka masih terngiang-ngiang di telinganya, memberi dia sedikit kelegaan tetapi sekaligus juga menambah tekanan. Pilihan yang ia hadapi seakan membawa dirinya pada jalan tanpa akhir.Di tempat tidur, Nadia terbaring dengan punggung menghadap Ferdy, mencoba tertidur meski jelas terlihat bahwa dia juga sama gelisahnya. Nafasnya terdengar berat dan tidak teratur. Nadia tidak pernah pandai menyembunyikan perasaannya, dan malam ini, dia tidak berbeda. Ferdy bisa merasakan ketegangan di antara mereka."Nadia..." Ferdy memanggil pelan, suara itu hampir tenggelam dalam keheningan malam. Tapi Nadia mendengarnya.Dia berbalik perlahan, matanya berkedip mengusir kantuk yang tak kunjung datang. "Ya, apa yang kau pikirkan, Ferdy?" tanyanya dengan suara serak. "Kau tidak tidur sama sekali."Ferdy menghela napas. "Aku... Aku masih
Ferdy meninggalkan apartemen dengan pikiran yang bergejolak. Nama "Armand" bergema di kepalanya, membawa rasa ingin tahu dan kecemasan. Doni tidak banyak memberikan detail, tapi dari nada bicaranya, jelas bahwa Armand bukanlah orang sembarangan. Jika Ferdy ingin menghadapi ancaman yang terus menghantui hidupnya, bertemu dengan Armand mungkin satu-satunya cara.Setelah menyusuri jalanan yang mulai sepi di malam hari, Ferdy tiba di rumah dan mendapati Nadia sudah tertidur di ruang tamu, menunggunya pulang. Rasa bersalah menyelinap dalam hati Ferdy, tapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain melindungi Nadia dengan segala cara, bahkan jika itu berarti harus berurusan dengan orang-orang berbahaya lagi.Pagi itu, Ferdy bangun lebih awal, mempersiapkan dirinya untuk pertemuan dengan Armand. Ia tidak memberitahu Nadia ke mana ia akan pergi, hanya mengatakan bahwa ia akan bertemu seseorang yang mungkin bisa membantu mereka keluar dari masalah ini.Nadia, meski terlihat cemas, tidak ba
Ferdy berjalan keluar dari kafe dengan langkah berat. Tawaran Armand tadi bukan hanya membawa kebingungan, tetapi juga kegelapan yang sudah lama ingin ia hindari. Pikiran tentang Darius, pria yang harus ia singkirkan jika ingin melindungi keluarganya, membuat dadanya sesak. Darius bukan sekadar orang biasa dalam dunia bawah tanah. Ia adalah simbol kekuatan, ketakutan, dan kekuasaan yang mendalam.Saat Ferdy berjalan di trotoar yang sepi, ia memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia tahu bahwa setiap langkah yang salah bisa mengancam hidupnya dan, yang paling penting, keselamatan Nadia. Namun, kembali ke dunia kriminal seperti yang diminta Armand adalah hal yang bertentangan dengan prinsipnya. Dunia itu sudah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu dengan susah payah. Kembali lagi ke sana berarti mengorbankan kebahagiaan yang ia dan Nadia coba bangun.Setibanya di rumah, Ferdy menemukan Nadia sedang duduk di ruang tamu, menatap ke luar jendela dengan wajah termenung. Ia mungkin sudah lama men
Ferdy menatap kosong ke arah meja di depannya setelah mendengar penjelasan dari Doni. Di satu sisi, rencana Doni tampak menjanjikan. Melibatkan Aldo—pria yang tidak dikenal banyak orang tetapi memiliki peran penting di lingkaran dalam Darius—adalah strategi yang cerdas. Keluarga Aldo bisa menjadi titik lemah yang dapat dimanfaatkan tanpa harus terlibat dalam pertempuran fisik yang berisiko. Namun, di sisi lain, melibatkan keluarga tak bersalah dalam permainan berbahaya seperti ini bertentangan dengan prinsip yang selama ini Ferdy pegang.Ferdy menghela napas panjang. Dilema moral yang ia rasakan semakin berat, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimanapun juga, Nadia adalah prioritas utamanya. Melindungi istri dan keluarganya adalah tujuan akhir dari semua yang ia lakukan. Tetapi apakah itu pantas dibayar dengan melukai orang lain yang mungkin juga hanya berusaha melindungi keluarga mereka?“Aku mengerti jika kau ragu, Fer,” kata Doni sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tapi kau har
Matahari pagi bersinar lembut di atas desa, memberikan kehangatan yang meresap ke hati setiap penduduk. Hari itu terasa berbeda, lebih tenang, tetapi juga lebih penuh harapan. Pusat pembelajaran yang telah dibangun dengan kerja keras menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Laras dan Rizal bersama komunitas desa. Namun, meski proyek besar itu telah selesai, perjalanan hidup mereka masih jauh dari kata usai.Hari itu, Laras dan Rizal memutuskan untuk memulai rapat kecil dengan para pengurus pusat pembelajaran. Ada banyak hal yang harus mereka bahas, dari jadwal pelatihan hingga pengelolaan perpustakaan. Mereka ingin memastikan bahwa tempat itu terus berkembang dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.“Aku berpikir untuk mengadakan pelatihan komputer,” ujar Rizal di tengah diskusi. “Kita bisa mulai dari hal-hal dasar seperti mengetik dan menggunakan internet. Ini akan membantu mereka terhubung dengan dunia luar.”Laras mengangguk setuju. “Itu ide bagus. Selain itu, kita juga bisa
Setelah lahan untuk pusat pembelajaran resmi menjadi milik komunitas, Laras dan Rizal tidak membuang waktu untuk memulai pembangunan fasilitas permanen. Sebuah rapat besar diadakan di balai desa, melibatkan penduduk, relawan, dan pemuda desa untuk berdiskusi tentang rencana dan desain pusat pembelajaran baru.“Ini adalah milik kita bersama,” kata Laras membuka rapat. “Kami ingin mendengar pendapat kalian tentang apa yang dibutuhkan agar tempat ini menjadi rumah bagi pendidikan dan perkembangan desa.”Beberapa orang mulai memberikan ide-ide mereka. Siti, seorang ibu muda yang sering mengikuti kegiatan belajar-mengajar, mengusulkan adanya ruang khusus bagi ibu-ibu untuk belajar keterampilan baru.“Kami butuh sesuatu yang bisa membantu kami menambah penghasilan,” katanya dengan semangat.“Setuju,” sahut Pak Hadi, seorang petani setempat. “Kalau bisa, ada juga pelatihan teknologi pertanian modern.”Rizal mencatat semua usulan itu. Ia menambahkan, “Kita juga bisa membangun perpustakaan kec
Setelah kembali dari desa terpencil, Laras dan Rizal memulai babak baru dalam perjuangan mereka. Program pendidikan yang mereka bangun di sana mulai menunjukkan hasil. Berbagai laporan dari tim lapangan mengabarkan bahwa anak-anak semakin semangat belajar, para pemuda mulai mengajukan ide-ide untuk memperbaiki desa, dan komunitas menjadi lebih solid.Namun, kabar baik itu tidak berarti tanpa tantangan. Saat Laras dan Rizal duduk di ruang kerja mereka di kantor kecil Rumah Kita, telepon berdering.“Laras, kita punya masalah besar,” suara Maya, salah satu relawan senior mereka, terdengar di ujung telepon.Laras langsung merasa waspada. “Apa yang terjadi, Maya?”“Lahan yang kita gunakan untuk pusat pembelajaran sementara di desa itu ternyata akan dijual oleh pemiliknya. Kalau tidak segera bertindak, kita bisa kehilangan tempat itu,” jelas Maya dengan nada cemas.Rizal, yang mendengar percakapan itu, langsung menegakkan tubuhnya. “Apa kita tahu siapa pemiliknya?” tanyanya setelah Laras me
Pagi itu, Laras dan Rizal sibuk mempersiapkan keberangkatan mereka ke salah satu wilayah terpencil yang akan menjadi lokasi program pendidikan baru dari Rumah Kita. Dengan dana hasil penggalangan festival seni yang sukses besar, mereka kini bisa merealisasikan rencana untuk membangun pusat pembelajaran di sana.“Semua barang sudah masuk ke mobil, kan?” tanya Laras sambil memeriksa daftar logistik di tangannya.“Sudah, semuanya lengkap,” jawab Rizal sambil memastikan tenda portabel dan peralatan belajar sudah diangkut.Perjalanan kali ini memiliki arti yang sangat mendalam bagi mereka. Bukan hanya sebagai upaya untuk memperluas misi mereka, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada masyarakat yang akan mereka bantu.---Setelah menempuh perjalanan enam jam yang penuh tantangan, mulai dari jalanan yang berlumpur hingga tanjakan curam, akhirnya mereka tiba di desa kecil di kaki bukit. Desa itu tampak sederhana, dengan rumah-rumah dari kayu dan atap seng yang terlihat sudah tua.“Selamat
Hari itu, Laras dan Rizal memulai pagi dengan semangat baru. Setelah resmi bertunangan, mereka merasa hubungan mereka semakin kuat. Namun, baik Laras maupun Rizal tahu bahwa cinta saja tidak cukup. Mereka memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada visi mereka untuk mengembangkan Rumah Kita."Jadi, apa langkah kita berikutnya?" tanya Rizal sambil menyeruput kopi paginya.Laras memandang papan tulis kecil di dinding dapur, di mana mereka sering menuliskan rencana mingguan. "Aku pikir kita harus fokus pada ekspansi program pendidikan kita. Ada banyak anak di daerah terpencil yang belum terjangkau."Rizal mengangguk setuju. "Aku setuju. Tapi untuk itu, kita butuh lebih banyak dana dan mitra yang kuat. Kita bisa menghubungi beberapa organisasi yang kita temui saat acara sosial bulan lalu."Laras tersenyum. "Kita bisa melakukannya bersama. Kita sudah pernah menghadapi tantangan besar sebelumnya, dan aku yakin kita bisa melakukannya lagi."---Sore hariny
Pagi itu, langit cerah, dan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela kamar Laras. Ia bangun dengan perasaan lega setelah malam panjang yang penuh kenangan indah. Hari sebelumnya adalah salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya, tetapi ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Laras turun ke dapur. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara. Rizal sudah ada di sana, sibuk menyiapkan sarapan sederhana."Selamat pagi," sapa Rizal dengan senyum lebar."Selamat pagi," balas Laras sambil duduk di meja. "Kamu bangun lebih pagi hari ini.""Aku hanya ingin memastikan kamu memulai harimu dengan baik," jawab Rizal.Laras tersenyum. Ada sesuatu yang berbeda pada Rizal pagi itu, seolah-olah ia menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Namun, Rizal hanya menyajikan sarapan dan mengobrol ringan seperti biasa.---Beberapa jam kemudian, Laras menerima panggilan dari salah satu mitra kerja Rumah Kita. Mereka mendiskusikan peluang untuk
Hari itu, Laras berdiri di depan balkon rumahnya yang menghadap taman kecil yang baru saja ditata ulang. Angin pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari bunga-bunga yang baru mekar. Ia merasa tenang, meskipun hatinya dipenuhi oleh berbagai emosi.Beberapa bulan terakhir adalah perjalanan yang luar biasa. Dari kesedihan mendalam hingga kebahagiaan yang kini perlahan ia temukan. Laras tidak menyangka bahwa hidupnya akan sampai di titik ini, titik di mana ia merasa kuat, dihargai, dan dicintai.Pagi itu, Rizal datang dengan membawa kopi hangat dan senyum khasnya. "Sudah siap untuk hari ini?" tanyanya sambil menyerahkan secangkir kopi kepada Laras.Laras tersenyum, mengangguk pelan. "Aku siap. Meskipun aku masih sedikit gugup."Rizal tertawa kecil. "Tidak perlu gugup. Kamu sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Hari ini hanya perayaan kecil untuk semua yang telah kamu capai."Hari itu adalah hari peresmian program pelatihan daring yang dikembangkan oleh tim Laras. P
Hari itu adalah hari yang sangat dinanti di Rumah Kita. Laras berdiri di depan aula besar yang sudah dihias dengan sederhana namun elegan. Hari ini adalah acara kelulusan angkatan pertama peserta pelatihan. Ia merasa bangga sekaligus haru melihat perjalanan mereka selama beberapa bulan terakhir.Para peserta, yang dulunya datang dengan berbagai cerita dan latar belakang menyedihkan, kini berdiri dengan penuh percaya diri. Mereka telah menemukan tujuan baru dalam hidup mereka, berkat program ini. Laras memandang mereka dengan senyum lebar, merasa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.Ketika waktu menunjukkan pukul 10 pagi, Rizal mengambil alih mikrofon untuk membuka acara. Pria itu mengenakan setelan jas yang rapi, namun tetap menampilkan senyum ramahnya.“Selamat pagi semuanya,” sapa Rizal. “Hari ini adalah momen spesial bagi kita semua. Kita tidak hanya merayakan keberhasilan program pelatihan ini, tetapi juga keberanian dan kerja keras setiap peserta yang telah berjuang untuk mera
Pagi itu, Laras membuka matanya dengan perasaan lebih ringan dari sebelumnya. Udara pagi yang segar membawa aroma embun yang menenangkan. Ia menatap keluar jendela, melihat mentari yang mulai menyinari dunia perlahan. Hari itu, ia memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang ia sayangi.Setelah bersiap-siap, Laras menuju kafe lebih awal. Ia tahu bahwa pekerjaan di Rumah Kita masih banyak, terutama untuk persiapan program pelatihan tahap kedua. Semangatnya terasa lebih membara setelah suksesnya acara semalam. Ia ingin memastikan bahwa program ini terus berkembang, menyentuh lebih banyak kehidupan yang membutuhkan.Di kafe, Laras menemukan Bima sudah duduk di salah satu meja dengan laptop terbuka. Anak itu tampak fokus bekerja, matanya berbinar dengan semangat muda yang menular.“Pagi, Bima,” sapa Laras sambil menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.“Pagi, Kak Laras,” jawab Bima dengan senyum lebar. “Aku sedang mencoba m