Angin dingin Puncak Rotos menyapu wajah lelah kelompok Kiran. Seminggu perjalanan yang penuh tantangan telah mereka lalui—melewati hutan lebat, menyeberangi sungai berbatu, dan mendaki jalanan curam gunung.Malam telah turun, membawa serta kabut tipis yang menyelimuti puncak, sementara bintang-bintang berkilauan di langit gelap seperti permata yang ditaburkan di atas beludru hitam.Gallileon mendengus lelah, uap putih keluar dari hidungnya yang besar. Monster iblis itu telah membawa mereka tanpa henti, kekuatannya yang luar biasa mempercepat perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua minggu menjadi hanya tujuh hari."Kita sampai," ucap Kiran, turun dari punggung Gallileon dan menatap dinding tebing tinggi di hadapan mereka. Tidak ada tanda-tanda pintu masuk atau gerbang, hanya bebatuan keras yang menjulang tinggi.Emma mengikuti, meregangkan tubuhnya yang kaku. "Bagaimana cara kita masuk? Aku tidak melihat pintu apapun.""Pintu masuk Kota Ironhold tersembunyi," jawab Pigenor, turun
"Bagaimana kalian bisa mendapatkan Orchid Altaalaite?" tanya Skarfum saat mereka berjalan menyusuri lorong. "Permata itu telah dicari selama berabad-abad, dan tidak ada yang berhasil kembali dari Tambang Tartaf."Kiran menceritakan secara singkat petualangan mereka—pertemuan dengan Jasper di Paradox Colosseum, pertarungan melawan para penjaga di danau hitam, dan pengkhianatan Zephyrus."Kau memanggil Merak Api Gurun Atulla?" Skarfum bersiul kagum. "Makhluk roh legendaris itu? Sungguh luar biasa!"Jasper mengangguk. "Kiran memiliki kekuatan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ia mengalahkan Penjaga Api Abadi seorang diri."Kiran tersenyum malu. "Aku hanya beruntung.""Keberuntungan tidak ada hubungannya dengan keberanian dan keterampilan," Skarfum menepuk punggung Kiran. "Kau memang ditakdirkan untuk hal-hal besar, anak muda."Lorong akhirnya berakhir pada sebuah ruangan besar dengan pintu gerbang raksasa di ujungnya. Pintu itu terbuat dari besi hitam dengan ukiran-ukiran rumit yang
Tiga hari telah berlalu sejak Kiran menyerahkan Orchid Altaalaite kepada Roric. Bengkel penempa legendaris itu kini tertutup rapat, dengan asap berwarna ungu kemerahan sesekali mengepul dari cerobongnya—tanda bahwa proses peleburan permata legendaris itu sedang berlangsung.Kiran duduk di beranda penginapan kurcaci, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan tidak sabar. Matanya menatap jauh ke arah bengkel Roric yang terletak beberapa tingkat di bawah. Emma duduk di sampingnya, menyesap minuman hangat dari cangkir batu yang dihiasi ukiran rumit."Menurutmu berapa lama lagi?" tanya Kiran, menghela napas berat.Emma mengangkat bahu. "Roric bilang butuh waktu. Melebur Orchid Altaalaite dan menyatukannya dengan pedangmu bukan proses yang sederhana."Di sudut beranda, Jasper berlatih mengendalikan api kecil di telapak tangannya, membentuknya menjadi berbagai bentuk—burung, naga, dan akhirnya merak. Chen mengamati dengan takjub, sesekali memberikan saran tentang kontrol energi."Aku bosan,
"Kita sudah sampai," Skarfum turun dari kambingnya, menghirup udara dalam-dalam. "Hutan Hermiford—salah satu hutan terindah di perbatasan Kekaisaran Qingchang."Mereka menambatkan tunggangan di tepi hutan dan mempersiapkan peralatan berburu. Skarfum membagikan busur pendek khas kurcaci kepada mereka yang tidak memiliki senjata jarak jauh."Kita akan berburu dalam kelompok kecil," instruksi Skarfum. "Aku dengan Kiran, Emma dengan Jasper, dan Chen dengan dua Imp kita. Jangan pergi terlalu jauh, dan gunakan ini untuk memberi sinyal jika menemukan sesuatu."Ia memberikan masing-masing kelompok sebuah terompet kecil dari tanduk. "Satu tiupan untuk memanggil bantuan, dua tiupan untuk berkumpul, tiga tiupan untuk bahaya."Dengan anggukan setuju, mereka berpencar ke dalam hutan. Kiran mengikuti Skarfum, bergerak dengan langkah ringan di atas dedaunan kering. Kurcaci itu, meski bertubuh pendek dan kekar, bergerak dengan keheningan yang mengejutkan—hasil dari berabad-abad berburu di pegunungan.
"Agung dalam kebohongan, mungkin," tambah Kon, menyeringai lebar, memamerkan gigi tonggosnya. "Kami sudah mendengar bagaimana Kekaisaran Hersen memperlakukan tetangga-tetangganya. Mengambil tanah sedikit demi sedikit, seperti tikus yang mencuri remah roti."Para pemburu Hersen menggeram marah, tangan mereka bergerak ke arah senjata di pinggang. Pemimpin mereka melangkah maju, tangannya mencengkeram gagang pedang."Kalian akan menyesali kata-kata itu," desisnya. "Kami bisa saja membunuh kalian di sini dan tidak akan ada yang tahu."Skarfum mengangkat kapaknya, bersiap untuk pertarungan. Jasper dan Emma bergerak ke posisi bertarung, sementara Chen bersiap dengan tongkat sihirnya.Namun Burs dan Kon hanya tertawa—tawa yang aneh dan tidak manusiawi, yang membuat para pemburu Hersen terdiam kebingungan."Membunuh kami?" Burs memiringkan kepalanya. "Itu akan jadi kesalahan terakhir kalian."Dengan gerakan cepat dan mengejutkan, tubuh Burs dan Kon mulai berubah. Kulit mereka yang pucat berub
Matahari mulai tenggelam di balik Pegunungan Rotos ketika rombongan berburu kembali ke Kota Ironhold. Langit senja mewarnai puncak-puncak gunung dengan semburat keemasan dan merah, menciptakan pemandangan yang memikat mata.Angin dingin pegunungan menyapu wajah mereka, membawa aroma pinus dan salju abadi dari puncak tertinggi.Di gerbang kota, Pigenor menunggu dengan wajah tenang. Matanya berbinar melihat teman-temannya kembali dengan selamat, meski alisnya terangkat melihat hasil buruan yang mereka bawa."Sepertinya perburuan kalian berhasil," komentarnya, mengamati kijang dan kelinci yang tergantung di pelana kuda."Lebih dari sekadar berhasil," jawab Skarfum dengan tawa menggelegar. "Kami juga berhasil mengusir pemburu Hersen dari wilayah kita!"Pigenor mengerutkan kening. "Pemburu Hersen? Di Hutan Hermiford?""Ceritanya panjang," Kiran turun dari Gallileon, menepuk leher monster iblis itu dengan lembut. "Akan kami ceritakan sambil makan."Skarfum menepukkan tangannya dengan semang
Suasana menjadi hening sejenak, kontras dengan keceriaan beberapa saat lalu. Kiran menatap api unggun, pikirannya berkecamuk. Jika Kekaisaran Hersen benar-benar berencana menginvasi, mereka harus bergerak cepat.Keheningan..."Bagaimana dengan Roric?" tanya Kiran akhirnya, memecah keheningan. "Aku tidak melihatnya di pesta ini."Gladgrik menggeleng, senyum tipis muncul di wajahnya yang keriput. "Roric dan seluruh penempa di bengkelnya tidak akan keluar sampai pekerjaan mereka selesai. Sejak kau memberikan Orchid Altaalaite, mereka bekerja tanpa henti, siang dan malam.""Apakah itu normal?" tanya Emma, keningnya berkerut khawatir."Untuk Roric? Ya," Gladgrik tertawa kecil. "Dia selalu seperti itu ketika bekerja dengan material istimewa. Dan Orchid Altaalaite..." ia menggelengkan kepalanya dengan takjub, "itu adalah material paling istimewa yang pernah ia tangani."Kiran mengangguk, merasa sedikit lega. Ia menatap ke arah bengkel Roric yang terletak beberapa tingkat di bawah alun-alun.
Suara lonceng kota berdentang tiga kali, menandakan dini hari telah tiba. Kiran, yang belum sempat memejamkan mata setelah kilatan cahaya semalam, bangkit dari tempatnya duduk di dekat api unggun yang kini hanya menyisakan bara.Alun-alun Kota Ironhold yang tadinya penuh dengan kurcaci yang berpesta kini lengang, hanya tersisa beberapa yang tertidur di tempat, terlalu mabuk untuk kembali ke rumah."Kita harus ke bengkel Roric," ucapnya, mengguncang bahu Emma yang tertidur bersandar pada sebuah tong bir kosong.Emma tersentak bangun, matanya mengerjap beberapa kali untuk mengusir kantuk. "Apa? Sekarang?""Ya, sekarang," Kiran mengangguk tegas. "Cahaya itu... aku yakin Roric telah menyelesaikan Pedang Bintang."Jasper, yang duduk tidak jauh dari mereka, bangkit dengan gerakan kaku. "Aku ikut," ucapnya, meregangkan tubuhnya yang pegal karena tertidur dalam posisi duduk.Mereka bergegas membangunkan yang lain. Chen terbangun dengan mudah, selalu siaga bahkan dalam tidurnya.Pigenor, yang
Alis Magister Farouk terangkat, seketika memperlihatkan wajahnya yang culas dan jahat."Dua ratus pot? Itu jumlah yang sangat banyak untuk perjalanan biasa. Bahkan penyihir tingkat tinggi jarang membutuhkan lebih dari lima atau enam untuk perjalanan panjang."Kiran mencoba mencari alasan yang masuk akal, namun Roneko menyambar pertanyaan itu dengan percaya diri."Kami memiliki kebutuhan khusus," kata Roneko dengan suara lembut, memainkan perannya dengan baik. "Perjalanan kami melintasi daerah dengan energi spiritual yang rendah."Magister Farouk menatap mereka beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Namun ada kilatan tersembunyi dimatanya. Namun semua ini tak lolos dari pengawasan Kiran, dan Roneko."Baiklah. Dua puluh pot mana kualitas terbaik. Itu akan menjadi dua ratus lima puluh dinar emas."Kiran mengeluarkan kantong koin dari balik jubahnya dan menghitung jumlah yang diminta.Sementara itu, Magister Farouk berjalan ke ruang belakang dan kembali dengan kotak kayu berukir. Ia
Awan kelabu menggantung rendah di atas Zahranar, seolah kota itu diselimuti selendang abu-abu yang meredam cahaya matahari.Jalanan yang biasanya ramai oleh pedagang dan pengunjung festival kini tampak lengang.Para penjaga berseragam biru tua Kekaisaran Zolia berdiri di setiap persimpangan, mata mereka waspada mengawasi setiap orang yang lewat.Di sudut-sudut kota, pengumuman tertulis ditempelkan pada dinding-dinding bangunan—peringatan tentang mata-mata berbahaya dari Qingchang yang sedang bersembunyi di kota.Wajah-wajah penduduk menyiratkan kecemasan, berbisik-bisik tentang pencurian Kyuubi berekor sembilan dan kemungkinan penyusupan musuh.Di kamar Penginapan Bulan Sabit, Kiran berdiri di dekat jendela, mengamati situasi di luar dengan seksama. Meskipun wajahnya tenang, matanya menyiratkan perhitungan dan kewaspadaan."Penjagaan semakin ketat," kata Kiran, berpaling pada tiga sosok yang menunggu instruksinya. "Mereka menempatkan penjaga di setiap sudut kota."Roneko, dalam wujud
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah