Suara lonceng kota berdentang tiga kali, menandakan dini hari telah tiba. Kiran, yang belum sempat memejamkan mata setelah kilatan cahaya semalam, bangkit dari tempatnya duduk di dekat api unggun yang kini hanya menyisakan bara.Alun-alun Kota Ironhold yang tadinya penuh dengan kurcaci yang berpesta kini lengang, hanya tersisa beberapa yang tertidur di tempat, terlalu mabuk untuk kembali ke rumah."Kita harus ke bengkel Roric," ucapnya, mengguncang bahu Emma yang tertidur bersandar pada sebuah tong bir kosong.Emma tersentak bangun, matanya mengerjap beberapa kali untuk mengusir kantuk. "Apa? Sekarang?""Ya, sekarang," Kiran mengangguk tegas. "Cahaya itu... aku yakin Roric telah menyelesaikan Pedang Bintang."Jasper, yang duduk tidak jauh dari mereka, bangkit dengan gerakan kaku. "Aku ikut," ucapnya, meregangkan tubuhnya yang pegal karena tertidur dalam posisi duduk.Mereka bergegas membangunkan yang lain. Chen terbangun dengan mudah, selalu siaga bahkan dalam tidurnya.Pigenor, yang
"Demi Moradin," bisik Skarfum, mundur selangkah. "Apakah pedang itu... hidup?"Roric tidak tampak terkejut. "Dalam pengertian tertentu, ya.”“Orchid Altaalaite adalah permata yang memiliki kesadaran. Saat disatukan dengan Pedang Bintang, ia memberikan sebagian kesadarannya pada senjata itu."Pedang itu bergetar lebih kuat, lalu perlahan terangkat beberapa inci dari meja—melayang di udara tanpa ada yang menyentuhnya. Kemudian, dengan gerakan anggun, pedang itu berputar hingga gagangnya mengarah ke Kiran, seolah menawarkan diri untuk digenggam."Luar biasa," ucap Gladgrik takjub. "Pedang itu memilih pemiliknya.""Ini sangat langka," tambah Pigenor. "Dalam sejarah Elf, hanya ada beberapa senjata yang diketahui memiliki kemampuan untuk memilih pemiliknya. Semua adalah artefak dengan kekuatan luar biasa."Kiran menatap pedang yang melayang di hadapannya, ragu-ragu. "Apakah... aman untuk kusentuh?"Roric mengangguk. "Pedang itu memanggilmu, Kiran. Ia telah memilihmu sebagai pemiliknya. Jika
Bengkel Roric masih dipenuhi aura sihir yang mengambang di udara seperti kabut tipis, sisa-sisa dari proses penempaan yang luar biasa. Kiran berdiri di tengah ruangan, Pedang Bintang tergenggam erat di tangannya, cahaya ungu kemerahan dari Orchid Altaalaite berkedip-kedip seperti detak jantung yang tenang.Roric, yang telah membersihkan wajahnya dari jelaga dan sedikit memulihkan tenaganya dengan secangkir minuman keras kurcaci, menatap pedang itu dengan mata berbinar. Namun ada kerutan di dahinya, seolah ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya."Ada apa, Roric?" tanya Kiran, menyadari ekspresi kurcaci penempa itu.Roric menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pedang itu... ia bukan lagi Pedang Bintang yang dulu.""Apa maksudmu?" Emma melangkah maju, alisnya terangkat penasaran."Pedang Bintang adalah nama yang diberikan pada senjata itu sebelum disempurnakan dengan Orchid Altaalaite," jelas Roric, tangannya yang kasar mengusap janggutnya. "Sekarang, setelah menyatu dengan p
Kiran mengambil salah satu topeng, merasakan materialnya yang dingin namun anehnya terasa hidup di tangannya. "Bagaimana cara kerjanya?""Kenakan saja," jawab Roric. "Topeng akan menyesuaikan diri dengan pemakainya, menciptakan penyamaran yang sempurna."Dengan ragu-ragu, Kiran mendekatkan topeng ke wajahnya. Saat topeng itu menyentuh kulitnya, sensasi dingin menjalar, diikuti oleh perasaan aneh seperti air yang mengalir menutupi seluruh wajahnya. Ia memejamkan mata, dan ketika membukanya kembali, ia merasakan sesuatu yang berbeda."Kiran?" Emma menatapnya dengan mata melebar. "Kau... berubah."Roric menyodorkan cermin kecil pada Kiran.Saat ia melihat refleksinya, napasnya tercekat. Wajahnya telah berubah sepenuhnya—rambut hitamnya kini berwarna coklat keemasan, matanya yang dulu coklat gelap kini berwarna biru cerah, dan fitur wajahnya lebih keras dan tegas, dengan bekas luka tipis melintang di pipi kanannya."Ini... luar biasa," ucap Kiran, terkejut mendengar suaranya sendiri yang
Perjalanan dari Gunung Rotos menuju Kota Shanggu bukanlah perjalanan yang mudah. Kelompok Kiran memutuskan untuk menghindari jalur utama yang mengarah langsung ke Kota Qingchang, memilih rute memutar yang lebih panjang namun lebih aman bagi lima buronan dengan harga tinggi di kepala mereka.Mereka menyusuri kaki Pegunungan Rotos ke arah timur, melewati lembah-lembah tersembunyi dan hutan-hutan lebat yang jarang dijamah manusia.Gallileon, monster iblis yang setia, membawa Kiran dan Emma melewati medan yang sulit dengan langkah pasti. Jasper, Chen, dan Pigenor mengikuti di belakang dengan kuda-kuda gunung tangguh pemberian kurcaci, sementara Burs dan Kon dengan keledai mereka sering tertinggal dan harus diingatkan untuk bergegas."Kita harus menghindari Lembah Mystral," ucap Kiran suatu pagi, saat mereka berkemah di tepi sungai kecil.Ia membentangkan peta pemberian Roric, menunjuk jalur berkelok yang menjauh dari lembah tersebut. "Terlalu banyak kenangan di sana."Emma, yang kini tamp
Mereka menunggu hingga sore, bersembunyi di balik pepohonan di tepi Padang Rumput Perak. Saat matahari mulai condong ke barat, mereka bergerak mendekati gerbang, bergabung dengan pedagang-pedagang dan petani yang juga ingin masuk ke kota sebelum gerbang ditutup pada malam hari.Gerbang Timur Kota Shanggu adalah struktur besar dari batu dan besi, dengan dua menara pengawas di kedua sisinya. Penjaga bersenjata berdiri di sepanjang tembok, sementara petugas pemeriksaan berdiri di depan gerbang, memeriksa setiap orang yang ingin masuk.Yang membuat Kiran dan kelompoknya waspada adalah papan pengumuman besar di samping gerbang, dipenuhi selebaran "DICARI" dengan gambar wajah mereka—wajah asli mereka, sebelum mengenakan Topeng Spiritual.Hadiah yang ditawarkan untuk penangkapan mereka sangat besar, cukup untuk membuat siapapun tergoda untuk mengkhianati mereka."Jangan panik," bisik Kiran pada teman-temannya saat mereka semakin dekat dengan pemeriksaan. "Bersikaplah wajar. Kita hanya pedaga
Malam telah merayap di atas Kota Shanggu, membawa kegelapan yang hanya sedikit diusir oleh lentera-lentera yang bergoyang di tiap sudut jalan.Kiran dan kelompoknya bergerak dengan hati-hati menyusuri jalan-jalan yang semakin sepi, berusaha tidak menarik perhatian patroli penjaga yang sesekali lewat."Kita tidak bisa menginap di penginapan biasa," bisik Kiran, matanya yang kini berwarna biru cerah mengamati sekeliling dengan waspada. "Terlalu berisiko. Banyak mata-mata Kekaisaran di sana."Jasper mengangguk setuju. "Ada tempat yang lebih aman di kawasan selatan kota. Pasar Gelap Alphaworks.""Pasar Gelap?" Emma mengerutkan kening, tidak menyukai ide tersebut. "Bukankah itu lebih berbahaya?""Justru sebaliknya," jawab Jasper, suaranya yang kini lebih dalam terdengar yakin. "Di sana, tidak ada yang peduli siapa kau sebenarnya, selama kau punya koin untuk membayar. Dan penjaga Kekaisaran jarang berpatroli di sana.""Karena mereka takut," tambah Chen, janggut peraknya bergoyang saat ia me
Di tengah lorong Sunny Row, di antara toko ramuan terlarang dan kios penjual jimat kutukan, berdiri sebuah toko dengan papan nama yang hampir tidak terlihat: "Crafty Chimera". Toko itu tampak lebih terawat dibandingkan toko-toko lain di sekitarnya, dengan jendela yang bersih meski ditutupi tirai tebal dan pintu kayu yang diukir dengan simbol-simbol perlindungan."Ini tempatnya," ucap Jasper. "Crafty Chimera menjual segala macam perlengkapan sihir, termasuk peta dan informasi. Pemiliknya dikenal tidak pernah bertanya terlalu banyak."Kiran mengangguk, dan mereka melangkah masuk ke dalam toko. Lonceng kecil berdenting saat pintu terbuka, mengumumkan kedatangan mereka.Interior Crafty Chimera jauh lebih luas dari yang terlihat dari luar, dengan rak-rak tinggi berisi buku-buku kuno, botol-botol ramuan berwarna-warni, kristal sihir berbagai ukuran, dan berbagai artefak yang berkilauan di bawah cahaya lentera.Udara di dalam toko terasa hangat dan berbau seperti perkamen tua, lilin, dan rem
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol
"Belenggu ganda," gumam Kiran, alisnya bertaut dalam konsentrasi. "Kerangkeng ini dan kalung di lehermu sama-sama disihir untuk menahanmu. Satu sihir menguatkan yang lain." Ia menoleh pada Burs yang terus mengawasi sekeliling. "Ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan.""Bisakah Anda mematahkannya?" tanya Burs, suaranya tenang namun matanya terus bergerak waspada, menyapu area sekitar yang masih sunyi."Kita tidak punya banyak waktu," tambah Kon, melirik ke arah timur di mana langit mulai semakin terang. "Fajar semakin dekat."Kiran tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, merasakan struktur sihir yang mengikat kerangkeng dan kalung. Setiap sihir memiliki pola, seperti kunci yang membutuhkan gembok yang tepat. Dan setiap penyihir memiliki tanda tangannya sendiri—cara unik dalam menenun energi magis."Sihir ini..." gumamnya, "memiliki pola yang kukenal. Sihir Barat, ciri khas Zolia." Matanya terbuka, kini dipenuhi keyakinan. "Aku bisa mematahkannya,
Kiran dan kawan-kawannya berhenti di balik sebuah tenda besar saat seorang penjaga berjalan melewati jalur mereka. Ketiganya menahan napas, menyatu dengan bayangan hingga penjaga itu berlalu, terhuyung-huyung dalam langkahnya yang tidak stabil."Penjagaan mereka lebih lemah dari yang kuduga," bisik Burs, matanya mengawasi penjaga yang kini menjauh, sesekali tersandung kakinya sendiri."Kesombongan," balas Kiran pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka merasa aman di ibukota, dilindungi oleh nama besar mereka dan hubungan dengan bangsawan tinggi." Ada jejak menghina disana."Ditambah lagi, mereka terlena oleh kesuksesan penampilan perdana dan pesta yang berlebihan."Kemudian... mereka melanjutkan perjalanan, bergerak dari bayangan ke bayangan dengan kecepatan dan ketepatan yang hanya bisa dicapai melalui latihan bertahun-tahun. Setiap kali ada suara, mereka berhenti, mendengarkan, kemudian melanjutkan ketika yakin aman.Akhirnya, mereka tiba di area kerangkeng hewan. Berbeda deng
Cahaya bulan menembus jendela kayu penginapan Bulan Sabit, menciptakan pola-pola keperakan pada lantai kamar yang sederhana. Kiran duduk bersila di tengah ruangan, tubuhnya tak bergerak bagaikan patung. Hanya dadanya yang naik turun dalam ritme teratur menandakan bahwa ia masih hidup. Aura keemasan tipis menyelimuti tubuhnya, berpendar lembut dalam kegelapan kamar seperti kunang-kunang yang menari perlahan.Kon bersandar di dinding dekat jendela, jari-jarinya mengetuk pelan pada bingkai kayu yang sudah tua. Matanya yang tajam tak pernah lepas dari jalanan kota yang semakin sepi seiring malam semakin larut. Sementara Burs duduk di kursi kayu dekat pintu, posturnya tegang meski wajahnya menampakkan kelelahan. Sesekali ia menguap, namun tatapannya tetap waspada, menyapu ruangan dan pintu secara bergantian."Sudah lima jam," gumam Burs, melirik Kiran yang masih bermeditasi dalam keheningan. Ia mengusap wajahnya seolah ia memiliki hiasan jenggot tipis. "Berapa lama lagi menurutmu?"Kon
"Ada apa, Tuan Rashid?" tanya Kiran dengan suara lemah. "Kami baru saja hendak beristirahat." Sorot mata Kiran terlihat seperti menegur, membuat Tuan Rashid merasa malu.Namun... Faridah, yang berdiri di belakang Rashid, melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya melebar melihat Kon dan Burs yang tampak seperti anak-anak biasa, tidak ada tanda-tanda dari sosok hantu mengerikan yang ia lihat sebelumnya."Itu dia! Anak itu!" teriak Faridah tiba-tiba muncul, lalu menunjuk ke arah Kon. "Dia berubah menjadi setan mengerikan! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Ekspresi ketakutan masih ada di mata Faridah, namun keangkuhannya kembali bangkit.Kon menatapnya dengan mata bulat yang polos. "Apa yang Bibi bicarakan?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. "Aku hanya anak biasa."Rashid menatap Faridah dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. Di belakangnya, beberapa tamu penginapan lain mulai berbisik-bisik, beberapa tertawa kecil melihat tingkah Faridah."Nyonya Faridah," kata
Kon, yang berdiri di samping Kiran, merasakan kemarahan memuncak dalam dirinya. Wajahnya merah padam, dan tangannya terkepal erat. Ia membuka mulutnya, siap melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat situasi semakin buruk.Namun, sesuatu dalam dirinya berubah. Wajahnya berubah menjadi keji licik ciri khas Imp sesungguhnya. Namun perempuan gemuk yang sombong ini tidak mencium gelagat bahaya. Dia masih terus menampilkan sikap pongah, merasa superior dan diatas angin."Cukup sudah!" Batin Kon dengan amarah yang tak terkendali."Sepertinya kemarahan ini tidak lagi bisa ekspresikan dalam wujud manusianya!""Harus melakukan sesuatu yang dramatis, yang membuat perempuan gembrot ini kapok...!"Dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, Kon mencopot ilusi manusia, sosok remaja berwajah polos, lugu yang mudah di tindasBOOM!.Sosoknya berubah drastis —tidak menjadi Imp kecil bersayap, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Tubuh Kon memanjang dan melayang, kulitnya berubah
Kamar itu memang sederhana—satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah meja kecil dengan kursi, dan jendela yang menghadap ke jalan. Namun bagi Kiran yang hampir kehabisan tenaga, kamar itu tampak seperti istana."Beristirahatlah dengan nyaman," kata Rashid sebelum meninggalkan mereka. "Jika butuh sesuatu, saya ada di bawah."Setelah Rashid pergi, Kiran segera duduk bersila di atas tempat tidur, bersiap untuk bermeditasi. Kon mengunci pintu, sementara Burs menyalakan lilin kecil di meja."Aku akan bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual," kata Kiran, matanya sudah setengah terpejam. "Jaga pintu dan jangan biarkan siapapun masuk.""Baik, Tuan," jawab Kon dan Burs bersamaan.Kiran menutup matanya sepenuhnya, mengatur napasnya dalam ritme tertentu. Ia mulai memasuki keadaan meditasi, merasakan aliran reiki di dalam tubuhnya yang lemah mulai bergerak perlahan. Ketenangan mulai menyelimuti pikirannya, menjauhkannya dari kekacauan dunia luar.Namun, baru beberapa menit berlalu, suara
Malam semakin larut di Zahranar. Lampu-lampu sihir berpendar di sepanjang jalan, menciptakan atmosfer magis yang kontras dengan kelelahan yang mendera tubuh Kiran. Setelah pertemuan tak terduga dengan Roneko, Kiran merasakan urgensi yang semakin besar untuk memulihkan kekuatannya, demi membebaskan Roneko di Kyuubi berekor sembilan."Tuan, kita harus segera menemukan tempat beristirahat," kata Burs, menopang tubuh Kiran yang semakin lemah. "Anda perlu bermeditasi untuk memulihkan energi spiritual."Kiran mengangguk lemah. "Aku tahu. Tapi semua penginapan penuh karena festival.""Kita belum mencoba semua," kata Kon dengan optimisme yang dipaksakan. "Lihat, ada satu lagi di ujung jalan itu," ujarnya memberi harapan.Lalu... mereka bertiga berjalan tertatih-tatih menuju sebuah bangunan dua lantai dengan papan nama "Penginapan Bulan Sabit" yang tergantung di depannya. Bangunan itu tidak terlalu mewah, namun tampak bersih dan terawat, dengan lampu-lampu kecil yang berpendar hangat di je