Kiran terbaring dalam keadaan tidak sadarkan diri, terombang-ambing di antara dunia nyata dan mimpi. Kegelapan merengkuhnya seperti selimut beludru yang dingin, menciptakan sensasi hampa dan tanpa arah.Dia melayang tanpa berat, seolah terperangkap dalam dimensi yang tak bisa dipahami. Bayangan-bayangan kabur berputar perlahan di sekelilingnya, membentuk pola-pola aneh yang tak pernah ia lihat sebelumnya.“Apa ini?” batin Kiran, antara sadar dan tidak sadar. Pikirannya berkabut, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pertama-tama, dia hanya merasakan kehangatan samar. Itu adalah titik kecil cahaya yang muncul dari kejauhan.Titik itu perlahan membesar, bergetar, dan mulai berkobar. Semakin lama, cahaya itu berubah menjadi lidah api raksasa yang bergerak hidup, seolah memiliki kesadarannya sendiri.Kiran mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa ringan, hampir seperti asap. Meski begitu, ada sesuatu yang menahannya di sini, mencegahnya untuk pergi. Dia hanya bisa memandang api itu, y
Roric melangkah di antara puing-puing bengkel, kakinya yang pendek menginjak serpihan logam yang meleleh. Para pekerja kurcaci bergerak cepat, membersihkan sisa-sisa kerusakan dengan gerakan terlatih, seolah-olah mereka telah melakukan ini berkali-kali sebelumnya.Beberapa menggunakan ember air, yang lain mengangkut puing-puing logam ke sudut ruangan, suara palu dan gergaji beradu dengan ritme yang teratur."Kau harus membayar kerusakan ini," kata Roric, suaranya dingin dan tegas, memecah kebisingan yang ada. Dia berhenti tepat di hadapan Kiran, mata birunya menatap tajam, seolah menembus jiwa sang manusia.Kiran mengangkat sebelah alis, menantang. "Berapa banyak koin emas yang kau inginkan?"Roric tertawa, nada bicaranya mengandung sedikit kemarahan sekaligus ejekan. "Bukan koin emas, manusia. Tenagamu yang akan membayar kerusakan ini. Kau akan menebus kesalahanmu dengan keringatmu."Di belakang mereka, seorang kurcaci muda dengan jenggot merah muda sedang mencungkil paku logam yang
Pagi itu, cahaya matahari pertama mulai menembus jendela bengkel Kemrick, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut.Kiran sudah berada di depan paron, tangannya dengan terampil mulai menempa sebilah pedang. Keringat mulai membasahi dahinya, namun gerakannya tetap stabil dan fokus, seolah-olah ia telah melakukan ini selama bertahun-tahun.Tiba-tiba, langkah kaki Roric terdengar, memecah konsentrasi Kiran. Kiran menoleh, sedikit terkejut melihat ekspresi kurcaci itu berbeda dari kemarin—tidak lagi marah, melainkan serius namun bersahabat."Kau cukup terampil untuk manusia," gumam Roric, mengamati gerakan tangan Kiran, menilai kemampuannya.Kiran tersenyum tipis, merasa sedikit lega dengan perubahan sikap Roric. "Aku belajar cepat," jawabnya, nada bicaranya penuh percaya diri.Roric mendekati, memperhatikan pedang yang sedang Kiran tempa, matanya penuh minat. "Bagus. Karena aku punya tawaran untukmu.""Tawaran?" Kiran menghentikan pekerjaannya, menatap Roric penuh minat, menunggu
Perjalanan memasuki hari ketiga, lanskap di sekitar mereka berubah perlahan, menawarkan pemandangan yang berbeda. Pegunungan Rotos mulai merata, memberikan jalan bagi dataran luas yang membentang tak berujung.Langit biru yang luas menjadi kanvas, dan awan-awan putih menjadi kuas yang melukis pemandangan indah.Perbatasan antara Kekaisaran Qingchaang dan Chosa terlihat samar, hanya rerumputan yang menari lembut tertiup angin dan bebatuan yang tersebar di kejauhan, menjadi saksi bisu perjalanan mereka.Kiran merasakan perubahan energi spiritual di sekitarnya, perubahan yang halus namun jelas. Wilayah ini berbeda, penuh dengan nuansa rahasia yang menggantung di udara, seperti aroma misterius yang tak kasat mata."Kita sudah memasuki wilayah Chosa," gumamnya pada Nethon dan Malven, suaranya pelan namun penuh perhatian.Nethon mengencangkan pegangan pada tongkat sihirnya, api kecil di ujung jarinya bergetar, seolah merespon getaran misterius di udara. "Aku siap menghadapi apa pun. Aku ti
Bulan sabit, bagaikan mata pedang perak, menggantung di langit malam. Cahayanya yang redup terselubung kabut kelabu dan awan hitam yang berarak, bagaikan pasukan bayangan yang bergerak di atas lembah. Angin malam, bagaikan nafas dingin naga, berdesir di antara pepohonan, membawa serta aroma tanah basah dan ketegangan yang menusuk kalbu.Sudah semalaman Onimur, si pemanggil arwah, Panglima Perang Sang Warlock dari kaum Dark Elf, bersembunyi di balik bayang-bayang, mengintai rombongan kurcaci yang kabarnya tengah mengiringi sang pewaris Klan Phoenix—pemuda yang disebut-sebut sebagai kunci bagi kebangkitan klan mereka."Terlalu berisiko jika aku menyerang mereka sekarang, Orgor," gumam Onimur, suaranya yang rendah bergetar oleh amarah. "Pihak Chosa akan murka, dan perang akan berkobar lebih luas lagi."Onimur, penunggang Mandrazath, naga hitam terkutuk yang menjadi tunggangannya, baru saja singgah di Kota Tengzhi. Seorang pendongeng mabuk, dengan lidah yang tak terkendali, telah memboco
ROARR!Mandrazath memekik keras, suaranya menggema membelah keheningan malam, membuat langit seolah terbakar oleh amarahnya. Dentuman naga itu mengoyak udara, disusul semburan api iblis berwarna kehitaman yang menyala-nyala, seakan ingin melahap segalanya."Kurang ajar! Sihir kelas rendah semacam itu berani menandingi dentuman naga, api terkutuk yang disertai api neraka? Tak mungkin!" Desis Onimur, sang Dark Elf, dalam kemarahan yang membara, tatapannya dipenuhi kebencian.Langit yang semula hitam pekat pada saat itu berubah menjadi terang, kebiru-biruan, seolah-olah alam semesta turut merasakan gejolak pertempuran. Onimur langsung melantunkan sebuah lagu, lagu sihir kuno yang membangkitkan roh-roh dan mengendalikan mayat-mayat hidup, kekuatan yang hanya dimiliki oleh mereka yang menguasai sihir gelap.SUIIITNada suara yang kadang tinggi melengking dan kadang rendah mengalun, terdengar tidak indah namun membuat bulu kuduk berdiri, merambat di setiap tulang. Suara itu seperti bisikan
Api dari Pedang Bintang melesat dengan kecepatan luar biasa, membelah kegelapan malam yang pekat. Mantra "Ignis Morsus" yang diucapkan Kiran, menghasilkan ledakan api yang dahsyat, mengarah langsung ke Onimur dan Mandrazath, membakar udara di sekitarnya.Namun, Onimur, panglima perang Dark Elf yang licik, bukanlah lawan sembarangan. Dengan gerakan tangan yang cepat dan penuh perhitungan, ia menciptakan perisai hitam pekat, menyerap sebagian besar serangan api Kiran, meminimalkan dampaknya."Kau pikir api kecil seperti itu bisa mengalahkanku?" ejek Onimur, suaranya yang dingin dan menghina bergema di seluruh Lembah Mystral, menantang Kiran. "Kau masih terlalu hijau, bocah Phoenix! Kekuatanmu belum seberapa!"Mandrazath, naga hitam terkutuk itu, mengaum, suaranya menggetarkan bumi, mengguncang segalanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar, mengeluarkan semburan api yang jauh lebih besar dan lebih panas dari sebelumnya, sebuah gelombang kehancuran. Api hitam kebiruan itu bergerak sepe
Kiran merasakan panas yang aneh menjalar dari dadanya, menyebar ke seluruh tubuhnya, memberikan kekuatan yang luar biasa. Bukan rasa panas yang menyakitkan, melainkan kehangatan yang familiar—seperti yang ia rasakan saat bertemu The Flame di Hutan Ternola, kekuatan yang telah lama ia cari.Tanpa peringatan, tubuh Kiran diselimuti api, kekuatan yang luar biasa. Tablet naga di bawah kakinya hancur berkeping-keping, tidak lagi berguna, namun ia tidak jatuh, ia tetap melayang. Ia terangkat, diangkat oleh kekuatan yang tidak ia pahami, kekuatan yang tak terduga.Api itu berubah bentuk, membesar, membentuk sosok burung raksasa dengan sayap yang membentang lebar, simbol kekuatan. Kiran tidak lagi terlihat—ia telah menjadi satu dengan api itu, menjadi Phoenix - The Flame yang legendaris, kekuatan yang luar biasa.Di bawah, pertempuran terhenti, semua terdiam. Zombie-zombie berhenti menyerang, seolah-olah merasakan kekuatan yang luar biasa, tak berani bergerak. Para kurcaci menurunkan senjata
*Bab Ekstra, karena gem bertambah diatas 5 gem. Terima kasih pembaca.Akhirnya, giliran mereka tiba. Kiran melangkah maju dengan sikap seorang petani sederhana, sedikit membungkuk dan menghindari kontak mata langsung—sikap yang umum di kalangan rakyat biasa saat berhadapan dengan otoritas. Ia bisa merasakan sihir ilusinya bergetar halus di sekitar tubuhnya, seperti lapisan tipis air yang berusaha mempertahankan bentuknya di telapak tangan."Nama dan tujuan," perintah seorang prajurit dengan suara datar, tombaknya mengetuk tanah sekali — sesekali mengirimkan getaran magis kecil yang bisa Kiran rasakan merambat melalui kakinya."Rajan dari Desa Rohini," jawab Kiran dengan suara yang ia buat lebih berat dan kasar, sempurna meniru aksen pedesaan Wilayah Timur Zolia.Tatapan prajurit manatap dengan sorot menusuk, membuat Kiran memperjelas..."Er... Aku membawa keponakan-keponakanku untuk melihat festival musim semi. Anak-anak ini belum pernah melihat sirkus Arvandis sebelumnya."Kapten B
Dengan gerakan halus yang hampir tak terlihat — hanya jari-jarinya yang bergerak dalam pola rumit di balik jubah — Kiran mulai melafalkan mantra ilusi tingkat tinggi dalam bahasa kuno. Kata-kata magis mengalir dari bibirnya seperti melodi lembut, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya. Kiran memusatkan energi spiritualnya, merasakan aliran reiki yang berputar di dalam meridiannya, bersinar keemasan dalam pandangan mata batinnya, sebelum kemudian menyebar ke luar, menyelimuti dirinya, Kon, dan Burs dalam lapisan tipis energi tak kasat mata."Lumiiseo Aviectum Mortalis," bisik Kiran, menambahkan kata terakhir untuk memperkuat mantra. Seketika, perubahan halus mulai terjadi pada penampilan mereka, menyebar seperti riak air di kolam yang tenang.Wajah Kiran yang khas dengan mata tajam seperti serigala dan tulang pipi tinggi berubah menjadi wajah pria biasa dengan fitur-fitur yang mudah dilupakan— tipe wajah yang akan terlewatkan dalam kerumunan dan terlupakan seger
Gerbang ZahranarGerbang Zahranar menjulang tinggi, dibangun dari batu marmer putih yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari. Ukiran-ukiran rumit menghiasi setiap sentinya, menggambarkan sejarah kuno Kekaisaran Zolia—pertempuran epik, perjanjian damai, dan ritual sihir kuno yang telah lama terlupakan.Simbol-simbol arkais dan rune-rune sihir tersembunyi di antara relief, memancarkan aura magis yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kepekaan terhadap energi spiritual.Di bawah lengkungan tembok kota yang megah, ada lebih dari lima ratus orang berbaris dalam antrean panjang yang meliuk seperti naga raksasa yang sedang tertidur. Udara dipenuhi dengan aroma beragam—rempah-rempah eksotis dari pedagang dengan gerobak penuh barang dagangan, aroma dupa yang dibawa peziarah berjubah sederhana, dan wewangian mahal yang menguar dari bangsawan dengan tandu mewah berukir. Semua berbaur dalam ketidaknyamanan yang sama, menunggu giliran diperiksa dalam panas terik yang menyenga
Kiran berdiri diantara sosok penyamun yang kesakitan, tiada tara..."Bagaimana rasanya?" tanya Kiran, suaranya hampir berbisik namun entah bagaimana terdengar jelas di tengah teriakan-teriakan kesakitan. "Bagaimana rasanya tidak berdaya menghadapi sesuatu yang tidak bisa kau lawan?"Kon dan Burs menatap pemandangan itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka telah menyaksikan Kiran bertarung sebelumnya—melihatnya memanggil api Phoenix yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu, atau menggunakan Crimson Dawn yang membelah baja seolah itu hanya kain sutra. Tapi ini—sihir ilusi yang menciptakan rasa sakit tanpa meninggalkan bekas fisik—adalah manifestasi kekuatan yang jauh lebih mengerikan. Lebih halus, namun pada saat yang sama, jauh lebih kejam."Tuan," bisik Burs akhirnya, suaranya bergetar. Ia memberanikan diri menyentuh lengan Kiran. "Mereka... mereka sudah cukup menderita."Kiran tidak langsung merespon. Matanya masih terfokus pada para bandit ya
Matahari memantulkan cahaya tanpa ampun di lembah berbatu sempit itu, menciptakan bayangan tajam yang menggeliat di permukaan karang.Dua puluh bandit Zolia mengepung Kiran, Kon, dan Burs dalam formasi yang semakin menyempit, pedang-pedang bengkok mereka berkilauan mengerikan setiap kali tertimpa cahaya.Pemimpin bandit, seorang pria dengan bekas luka melintang di pipi kanannya, maju selangkah. Jubah kulitnya yang compang-camping menandakan bertahun-tahun hidup keras di bawah terik matahari padang pasir."Aku tidak akan mengulang perintahku," geramnya, suaranya serak dan penuh ancaman. "Serahkan semua hartamu, atau kau akan menyesal sampai saat-saat terakhir hidupmu."Kiran berdiri tegak, posturnya menunjukkan ketenangan yang ganjil untuk seseorang yang terkepung. Matanya yang tajam bergerak dari satu bandit ke bandit lainnya, mengkalkulasi jarak, senjata, dan postur tubuh mereka."Kami hanya membawa sedikit makanan dan beberapa koin," kata Kiran, suaranya tenang namun tegas. "Ambilla
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Matahari bersinar terik di atas padang rumput luas yang membentang hingga kaki langit, menciptakan gelombang panas yang menari-nari di atas tanah.Kiran berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan setapak yang telah dilewati ribuan kaki pedagang dan penjelajah selama berabad-abad. Jalur Kafilah—rute kuno yang menghubungkan kota-kota besar Zolia—terbentang di hadapannya seperti ular raksasa yang meliuk di antara bukit-bukit hijau.Jubah linen tipis berwarna cokelat tanah menutupi tubuhnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya untuk melindungi dari terik matahari dan tatapan penasaran.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam bintang jatuh — tersembunyi dengan baik di dalam tas punggungnya, terbungkus kain tebal yang dilapisi rune-rune peredam energi agar aura sihirnya tidak menarik perhatian penyihir atau pemburu bounty yang mungkin berkeliaran."Tuan, apakah masih jauh?" tanya seorang anak laki-laki berusia sekit
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat