Selepas menemani Agam bermain sambil bekerja, kini saatnya mereka pulang. Kebetulan hari ini kedua majikannya tak ada yang pulang ke rumah ini, jadi Arin bisa pulang agak sorean untuk mengantar Agam ke rumah Bayu."Kita mau pulang ya, Bu?" Agam menunduk sambil menendang-nendang pelan gerbang yang sedang Arin kunci."Iya, Sayang. Kenapa? Masih mau main?" tanya Arin dan Agam diam saja membuat Arin menghembuskan nafas perlahan dan menjongkokkan dirinya menyelaraskan tinggi dengan Agam."Kenapa murung?""Bolehkah Agam memilih Ibu saja? Agam mau sama Ibu saja, Agam nggak betah sama Ayah dan nenek. Sekarang Ayah juga sibuk jarang di rumah, nenek juga sering marah kalau Agam minta sesuatu. Kalau sama Ibu, Agam bisa bercerita banyak. Bu, tolong bicara sama Ayah untuk izinkan Agam sama Ibu saja, Agam kesepian." Air mata Arin menetes, tak tega rasanya mendengar keluhan anak tirinya yang sudah dianggap sebagai anak kandung. Walau bukan terlahir dari rahimnya, cinta pada Agam tak bisa diukir den
Rasa hati sudah berkabut, pikiran jernih sedang tak berkenan hadir saat tadi Arin bertemu Bayu. Narin teringat akan tatapan sendu Agam, memintanya dengan sangat untuk membawa dirinya bersamanya. Ah, jika itu semudah yang dibayangkan, pasti itu sudah Arin lakukan. "Rin, besok kamu kerja 'kan? Titip belika bumbu dapur sekalian kalau ke pasar, Ibu sedang malas ke warung," ucap Narsih."Kenapa, Bu? Tumben sekali malas ke warung," tanya Arin heran."Semua tetangga suka tanya yang aneh-aneh, Ibu risih dengernya. Lebih baik Ibu di rumah saja sama ternak dan tanaman di kebun daripada ketemu mereka, bikin Ibu pengin ulek mulut nyinyir mereka. Heran deh Ibu sama mereka, tahu dari mana coba kalau kamu mau bercerai. Perasaan Ibu nggak ada ngomong apa-apa, mereka ini sudah tanya tapi menyudutkanmu. Ucapan mereka tak ada yang betul," ungkap Narsih kesal."Ya sudah lah, Bu. Biarin saja mereka begitu, yang penting Arin tak begitu. Ibu nggak usah mikirin omongan tetangga, nanti mereka bakalan diem ka
"Rin." Arin yang sedang merapikan buku dan berkas di kamar kerja Kaisar menengok ke arah pintu."Ya, Mas. Ada yang bisa Arin bantu?""Ikut Mas, yuk!""Kemana?""Latihan mobil di lapangan, ya?""Arin nggak bisa, Mas. Takut mobilnya rusak nanti kalau buat latihan Arin.""Nggak apa, tak kan tahu bisa atau tidak kalau belum dicoba. Tapi Mas yakin kamu bisa," ujar Kaisar. Arin mengangguk dan meninggalkan ruangan kerja Kaisar untuk mengikuti kemana Kaisar mengajaknya latihan mobil."Kamu masukan kuncinya begini, lalu putar untuk menyalakan. Coba!" Kaisar mengajari Arin cara menghidupkan mobil terlebih dahulu."Nanti kalau mau pakai mobil, panaskan dulu untuk membuat mobil dapat bekerja dengan optimal." Arin mencoba memutar kunci mobil dan menjalankannya, jarak antara Kaisar dan Arin yang begitu dekat membuat Arin bertambah grogi."Gampang 'kan? Nanti belajar mengemudikan di lapangan saja." Arin mengangguk dan mengikuti setiap instruksi yang Kaisar ajarkan. Kaisar menunjukkan tombol dan k
"Mas, rumah kamu udah ada yang beli belum? Pengin pindah banget dari sini, tetangga pada resek suka gunjingin Susi. Hm, bagaimana kalau kita pindah ke perum Rinjani saja? Disana ada rumah mau dijual, katanya yang punya mau pindah ke Semarang. Susi punya kontaknya, Mas hubungi coba." Bayu yang baru saja selesai mandi hanya melirik sekilas lalu menengok Agam di kamar."Mas! Susi lagi ngomong nggak di dengerin, sebel deh!" sungut Susi."Sst! Jangan berisik, Agam baru tidur. Bentar napa kalau mau tanya hal penting kayak gitu, nunggu Agamnya tidur. Kecil-kecil gitu, dia suka ngadu sama Omanya di Bandung."Susi memilih menunggu Bayu di ruang tamu, setelah memastikan Agam terlelap Bayu menyusul Susi ke depan."Kamu ini, Mas. Sama anak kecil aja segitunya, sama aku nggak. Emangnya mantan mertua kamu yang di Bandung nggak minta hak asuh Agam apa? Kan lebih enak kalau ikut Oma, kita jadi nggak repot.""Hus! Sembarangan kamu, Agam itu anak semata wayangku. Mertuaku itu sebenarnya minta Agam buat
"Mas, bagaimana Agam?" tanya Arin yang baru saja sampai di rumah sakit."Dia sedang ditangani dokter, Rin. Kita tunggu saja," ujar Kaisar. Arin sungguh tak menyangka jika Agam akan mengalami hal seperti ini."Mas, bagaimana ini bisa terjadi? Apa Mas tak melihat ada Mas Bayu atau keluarganya di sana?""Tidak, Mas tidak lihat siapapun. Mas melihat Agam sedang berjalan seorang diri di pinggir jalan dan kecelakaan tadi tak ada yang Mas lihat.""Astaghfirullah, bagaimana Mas Bayu ini. Aku akan coba telepon Mas Bayu sekarang.""Tunggu, kita tunggu keterangan dokter saja. Jika parah, kita telepon Bayu. Kalau hanya luka ringan, kita akan diskusikan dengan Bayu dan menegurnya," ujar Kaisar."Kelamaan, Kak. Kenapa nggak sekalian adukan polisi atas penelantaran anak. Ini semua sudah sangat keterlaluan, punya anak kok ditinggalkan sendiri," ucap Kenzi geram.Ketiganya tampak tak memiliki jalan keluar, tiba-tiba Kaisar memiliki ide."Rin, punya nomor Omanya Agam di Bandung?" Arin menautkan alisnya
Arin akhirnya menelpon Bayu dan mengabarkan jika Agam ada di rumah sakit. Tadinya memang Kaisar melarang, namun setelah mengetahui kabar Agam yang tak terlalu parah membuat Kaisar setuju memberi kabar Bayu. Biarlah setelah ini, ia bisa pulang dan beristirahat di rumah."Rin." Arin yang menunggu di luar menengok ke arah Bayu. Dia datang bersama Susi dan Reni."Agam di dalam sedang istirahat, karena kalian sudah datang, Arin pamit pulang. Lain kali, jaga Agam dengan baik. Kalau tak bisa menjaganya, biar Arin yang mengurus dia. Buka sok bisa tapi aslinya nol besar, ditinggal sebentar saja sudah begini. Ck!" Arin berlalu setelah berbicara secara tegas kepada Bayu dan Susi. Tampak tak suka dengan ucapan Arin, Susi mencegahnya pergi."Apa maksudmu?" sentak Susi."Apa? Aku nggak lagi bilang kamu, aku lagi bilang ke kalian semua. Kenapa hanya situ yang marah? Situ nyadar kalau salah? Bagus deh, jadi wanita itu harus punya jiwa keibuan. Biar nggak murahan dan tahu batasan!" Arin mengibaskan ta
"Belum tidur, Rin?" tanya Narsih yang masih melihat lampu di kamar Arin terang."Belum, Bu. Lagi kerjain tugas dari Mas Kaisar, tinggal dikit lagi. Ibu kalau ngantuk tidur saja, jangan tungguin Arin." Narsih tampak beranjak ke belakang dan kembali lagi dengan secangkir susu."Ibu nggak buatkan kopi karena takut kamu tipesnya kambuh. Susu saja biar nggak lelah banget di layar hp besar kayak gitu," ucap Narsih. Arin tertawa kecil sambil menerima secangkir susu pemberian Ibunya."Makasih, Bu. Ini itu namanya laptop, temennya ponsel dan Tv," terang Arin."Lektop?""Leptop, Bu. Pakai P, bukan k.""Oh, Tengtop.""Oalah, Laptop, Bu. Ya wis lah apapun itu, intinya ini itu yang biasa orang kelurahan pake buat input-input data.""Heleh, kamu ngomong kayak gitu Ibu nggak tahu. Ya sudah, Ibu mau tidur dulu. Kamu jangan kemalaman, besok berangkat jam berapa?""Mungkin jam setengah enam, bangunkan jam empat ya, Bu.""Nggak terlalu awal?""Arin harus siapkan semua ini dan memastikan semua beres.""B
Arin memasukan kembali ponsel di saku celananya. Ia berusaha tak menggubris panggilan telepon Bayu, hendak ia blokir tetapi takutnya Agam yang membutuhkannya.[Angkat, Rin. Agam cariin kamu, dia tak mau makan kalau nggak sama kamu.] Mungkin lelah karena panggilan tak juga diangkat, akhirnya Bayu memilih mengirim pesan saja pada Arin. Arin tak membuka, hanya sedikit mengintip dari beranda depan ponselnya dan kemudian mengabaikannya begitu saja.Panggilan telepon dari Kaisar masuk dan kali ini Arin langsung mengangkatnya.[Assalamualaikum, Rin. Kenzi sudah pergi?][Waalaikumsalam, sudah, Mas. Ada apa ya?][Kamu cek email yang baru masuk di laptop ruang kerja saya, ada tiga pesanan masuk yang katanya harus diselesaikan hari ini. Mas minta tolong sama kamu, bantu saya kerjakan hari ini ya. Mas lagi ada urusan penting, sepertinya hari ini nggak bisa pulang dan agak lama di Purwokerto. Bisa nggak?][Arin coba kerjakan dulu ya, sorean nanti Arin kirimkan laporannya ke ponsel Mas Kai. Gimana
Tentu saja sikap Arin yang mencegah Kaisar untuk mencari tahu mengenai kejadian jatuhnya Arin di kamar mandi sekolah itu membuat Kaisar semakin penasaran. Sekolah yang memiliki biaya cukup mahal untuk bisa mengenyam pendidikan di sana itu sangat mustahil jika memiliki kloset yang licin. Tanpa sepengetahuan Arin, Kaisar pun mendatangi sekolah Shaka. Sengaja hari ini Arin tidak diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah dan istirahat di rumah ditemani oleh Shaka. Ibunya—Narsih—juga diminta Kaisar untuk menemani Arin di rumah karena Arin menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Kaisar langsung datang menemui kepala sekolah. Dia datang untuk menanyakan perihal kualitas sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya itu. Kaisar merasa heran karena Shaka tiba-tiba terlihat tidak nyaman bersekolah di sana."Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak Kaisar. Silahkan duduk!" titah Pujiono–kepala sekolah itu."Ada perlu apa ini? Tumben datang ke sekolah seorang diri.""Hari ini saya ingin meminta izin untuk
“Mas.”Malam ini Arin ingin sekali bercerita mengenai alasan ia mengajak Shaka pulang lebih awal. Kaisar yang masih sibuk dengan pekerjaannya pun menghentikan sementara.“Kenapa, Rin?”“Kayaknya keputusan Mas untuk pindahin Shaka itu betul deh.”“Kenapa emangnya? APa tadi ada masalah lagi yang terjadi di sekolah.”Arin mengembuskan napasnya kasar. Bukan perihal yang mudah untuk bercerita hal mengenai mantan suaminya itu pada suaminya kini yang notabene super protektif pada keluarganya.“Aku pikir, semua yang kita bicarakan saat itu adalah suatu hal yang harus kita lakukan sekarang.”“Kenapa?”“Tadi aku ketemu Mas Bayu. Dia …”“Dia kenapa?”Arin bingung mau mengatakan hal ini atau tidak, namun ia juga tak mau direndahkan sampai dibuat kasar dengan cara yang tidak patut oleh lelaki yang sudah menjadi mantan. Jika dulu saja ia bisa marah saat Bayu memukulnya, seharusnya ia sekarang lebih marah dari pada itu. Namun, ia kembali berpikir mengenai bisnis sang suami yang sedang dianggap sedan
Arin tak menyangka bakal bertemu Bayu di sekolah Shaka. Ia sangat menyesali kenapa harus menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Arin pun semakin yakin memindahkan Shaka setelah ini dan memilih sekolah di tempat lain yang berbeda dengan Bayu.Jam istirahat dimulai. Para murid keluar dan berhambur bermain di taman bermain yang ada di sekolah itu. Shaka mendekat ke arah Arin dengan wajah yang ditekuk.“Kenapa, Sayang? Kenapa nggak main sama teman teman?”“Nggak mau ah, Ma. Satria nakal lagi. Tadi buku Shaka dicoret coret dan disobek. Ma, Shaka mau pulang aja. Nggak mau sekolah,” rengek Shaka.Arin yang melihat anaknya menangis pun memilih untuk memangkunya dan memeluknya hangat. Memberi pengertian agar Shaka tidak sedih lagi setelah dikerjai Satria.“Ada anak Mami! Ada anak mami! Hahaha.”Suara Satria yang meledek Shaka membuat Arin geram. Namun, Arin bukan memarahi Satria melainkan mendatangi Bayu yang sibuk bermain gadget sendiri tanpa memperhatikan anaknya.Brak!Arin menggebrak m
“Gatsu.”“Nggak usah. Nanti langsung ke rumah aja, istirahat. Kasihan SHaka diajak kerja juga.”“Nggak kerja lah, cuma temani doang.”“Baiklah. Terserah kamu saja. MAs pergi dulu.”Arin kembali turun setelah bersalaman dengan Kaisar lalu melambaikan tangan melepas kepergian suaminya bekerja. Faktor keuangan yang sedang menurun, membuat Arin harus banyak banyak berdoa dan berusaha. Makanya dia akan menyusul nanti jika sekolah Shaka sudah selesai. Hitung hitung membantu suaminya bekerja. Tentunya dia niatkan beribadah. Biar tidak menimbulkan pertengkaran dan perdebatan jika hasilnya tidak memuaskan.Suara klakson mengagetkan Arin yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu wali murid. Sebenarnya tidak disarankan masuk dan menunggu anaknya, tetapi Arin masih ingin memastikan baik baik saja. Tin!Lagi lagi Arin dibuat kesal karena mobil itu justru membuntutinya jalan ke halaman sekolah, hingga Arin bertambah kesal saat ada Bayu yang di dalamnya“Hai, Rin.” Bayu menyapa dengan senyum
“Kenapa dengan Satria? Siapa dia?” tanya Narsih."Teman Shaka, Bu. Dia biasa jahilin Shaka. Nggak hanya saka, yang lain juga. Emang dasar anaknya gitu. Mau marahin juga percuma. Gak bakalan mudeng. Orangtuanya aja gak tahu etitut," adu Arin."Sudah sudah. Kita bicarakan nanti saja. Udah siang ini Shakanya," sela Kaisar yang tidak ingin membahas tentang keburukan orang lain di depan anaknya.Kaisar benar benar mengantar Shaka. Dia meminta Arin untuk menunggu Shaka masuk dan meminta Arin untuk kembali ke mobil."Ada apa sih, Mas?" tanya Arin heran melihat gelagat suaminya yang aneh."Nggak. Shaka udah masuk?""Udah. Barusan udah masuk. Hari ini Satria nggak datang. Aman."Arin mengembuskan napasnya perlahan lalu tersenyum di depan Kaisar."Mas mau tanya apa?""Memang Mas mau tanya?""Hiz! Serius. Mau nanya kali ini sama Arin nggak?""Mau sih. Tapi, kamu harus jawab jujur.""Apa?" tanya Arin serius mendengarkan."Mas mau tanya. Wajah kamu pake formalin ya? Kok awet cantiknya?" kelakar Ka
“Kenapa kamu bangunkan Mas kesiangan, Rin? Hari ini Mas akan ke gudang buat cek data yang semalam belum Mas selesaikan,” tanya Kaisar panik saat dibangunkan Arin kesiangan.“Tenang aja. File udah aku cek dan memang ada keanehan di Mellynya. Bukan salah toko atau gudang. Jadi Mas hanya perlu tanyai Melly, kenapa dia sampai berlaku demikian. Kita butuh penjelasan dia mengenai hal ini. Dia harus bertanggung jawab dan Mas harus bisa bertindak bijak. OKe?”Arin memang sudah menyelesaikannya semalam. Dia hanya membereskan beberapa dan itu cukup sangat membantu membuat Kaisar lelap tidur dan puas istirahat sampai pagi.“Ya ampun, begini ini yang kadang bikin Mas nggak mau tidur dulu kalau kerjaan sudah beres. Kamu pasti yang selesaikan. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Kamu pasti udah siapkan sarapan, ya?” “Belum. Aku mau sarapan di rumah Ibu bareng kamu.”“Tumben?” tanya Kiasar heran.“Lagi pengin aja. Yuk ah, buruan! Mas mandi, aku mandiin Shaka.”Keduanya gegas beranjak sebelum melakukan ak
“Mas,” panggil Arin.Kaisar yang sedang memeriksa laporan keuangan tempatnya bekerja, menengok sekilas. Wajahnya nampak serius, membuat Arin untung untuk mengatakan perihal kejadian di sekolah tadi.“Kenapa, Rin?” tanya Kaisar saat ia sudah kembali melihat berkas berkasnya dan merasa Arin tidak berkata apapun setelah itu.“Arin bantu ya pekerjaannya?” Arin pun memikirkan untuk membantu saja, daripada mengeluhkan ini itu.“Shaka udah tidur?”“Udah. Boleh ya?”“Ini itu bentar lagi selesai. Ada sedikit perbedaan antara income di aplikasi sama yang Mely tulis.”“Kok bisa?” tanya Arin kaget.Akhir akhir ini memang usahanya agak bermasalah. Selain bisnis yang kian menjamur, juga adanya pesaing yang memakai cara kotor, akhirnya perusahaan pun banyak yang terancam. Meski dalam hal bisnis ini adalah hal yang biasa, tetap saja Arin merasa sedih dan ingin kembali ikut membantu suaminya.“Itulah. Kalau percetakan yang di Gatsu itu nggak lagi beromset banyak, kemungkinan pengurangan karyawan pun h
“Ma,” panggil Shaka saat kini sudah mulai jam istirahat sekolah.“Udah istirahat, Sayang?”“Udah. Mom nungguin Shaka?” tanya Shaka heran karena melihat Arin yang ada di sekolah. Biasanya Arin akan meninggalkan Shaka di kelas dan Arin akan menyusul Kaisar bekerja. Namun, kali ini ia memang ingin menunggui anaknya itu untuk menjamin keselamatannya.“Iya. Sengaja Mom tunggu, biar nggak ada yang bisa gangguin kamu.”“Hai Shaka, main yuk!” ajak bocah kecil bernama Gendis.“Ma, Shaka main sama Gendis di perosotan sana ya?” tunjuk Shaka pada mainan yang ramai dipenuhi oleh anak anak yang asyik bermain.“Iya. Hati-hati ya, Nak.”Arin melihat dari kejauhan, apa yang sedang dilakukan Shaka. Dia nampak senang anaknya itu punya banyak kawan di sekolah ini. Meski kebanyakan yang berteman dengan Shaka adalah anak-anak perempuan, ia tak masalah. Justru ia merasa lega karena berteman dengan anak perempuan membuatnya merasa aman karena terhindar dari perkelahian antar teman nantinya.Satria mendekati
Ternyata Prameswari hanya mengantar Satria saja. Anak bawaan Bayu itu tidak ditunggui oleh ibunya dan itu adalah hal yang cukup mengagetkan karena setalah Prameswari keluar ruangan, Arin diminta untuk masuk ke dalam ruangan kepala sekolah."Sebenarnya ada hal apa saja yang dipanggil ke ruangan ini?" Tanya Arin heran sekaligus bingung."Maaf jika saya memanggil Ibu secara mendadak dan tiba tiba. Tetapi pas kebetulan ibu berada di sini untuk mengantar, jadi saya berpikir untuk meminta ibu langsung menemui saya di sini.""Tidak masalah. Apa yang sudah terjadi, Pak?""Justru itu hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu Arin. Sebenarnya ada masalah apa ibu dengan orang tua Satria?""Orang tua Satria? Siapa yang sedang Bapak maksud itu?""Bu Prameswari. Beliau tadi melaporkan bahwa, katanya Ibu sudah membuat beliau kesal dengan kata-kata yang tidak patut dan tidak sopan. Jadi, Saya ingin mengetahui masalah apa yang sedang terjadi antara Bu Arin dan Prameswari? Apakah ini karena pertengkar