Sore ini Arin mengajak Oma berkeliling alun-alun Purwokerto bersama Rahayu dan Agam. Wajah bahagia nampak pada semua orang termasuk Oma. Oma yang menyaksikan Agam bermain, tak sadar melukiskan banyak senyuman di sana.“Sepertinya Oma sudah mulai menyukai Agam. Lihat! Oma begitu antusias meniup balon dan Agam juga sudah nampak bebas. Kamu pandai mengambil hati Oma, Rin.”“Alhamdulillah, Mi. Ini semua berkat dukungan Mami juga. Arin hanya mencoba membantu sebisanya. Dua hari lagi, Agam sudah harus kembali, Mas Kaisar juga janji besok akan pulang dan mengajak Oma pergi jalan-jalan.”Rahayu mengangguk dan menatap kedua orang yang sedang bermain dengan ceria. Ponsel Rahayu berdering, nomor Pras tertera dan segera ia mengangkatnya.“Assalamualaikum, Pras.”“Waalaikumsalam, Mbak. Maaf, Prass baru menelpon. Bagaimana kabar Oma?”“Alhamdulillah, baik.”“Mbak, ngapunten banget. Kita tidak jadi jemput Oma besok. Kita jemput minggu depan saja ya? Kita ada banyak kegiatan dan belum sempat ke sana.
Sesuai janji Kaisar pada Oma dan Arin, hari ini mereka semua pergi liburan. Kaisar memilih taman rekreasi Dinoland di Purbalingga, taman yang belum lama dibuka di kota yang dijuluki kota Perwira itu. Tadinya Arin memilih Baturaden saja agar tak terlalu jauh, tetapi Kenzi mengatakan bosan dan ingin pergi ke daerah yang belum ia jangkah. “Om, kok jalannya pohon semua. Mirip kayak di film yang biasa Tante Yumna lihat. Nanti ada hantunya keluar dari pohon-pohon itu, hih … serem, Om,” kata Agam saat mobil melintasi hutan menuju Lembah asri. “Masa, sih? Bagus tahu, banyak kabut kabut gitu. Mirip kaya negeri di atas awan. Bagus banget buat kita nanti foto-foto, Agam mau foto nggak?” tanya Kenzi yang ada di samping Oma.“Boleh, Agam kasihan kalau nggak mau foto sama Om.”“Kok kasihan?” tanya Oma.“Om kan jomblo, Eyang. Kata Papa, nasib jomblo itu selalu menyedihkan, makannya Papa nikah sama Mama. Biar nggak jomblo,” jawab Agam membuat semuanya menertawakan celotehan anak berumur 7 tahun i
Pras datang setelah Kaisar menelpon dan mengabari Oma Wira sembuh total. Bukan ia merasa sungkan, tetapi semua keluarga besar ayahnya harus tahu bagaimana membuat orang tua bahagia. Terlebih hanya Oma, satu-satunya keluarga sepuh dari keturunan Wirateja. Kakak-kakak Oma Wira, sudah tak ada di dunia ini lagi.“Hati-hati, Oma. Agam pasti akan merindukan Oma. Lain kali mampir ke Bandung, ya? Besok Agam juga mau pulang diantar Mama Papa, Oma jangan sedih, ya,” ucap Agam.“Nggak, lah. Oma nggak sedih, Agam kali yang sedih.”Agam merenges menampakkan gigi gupis sebelah kirinya. “Hati-hati, Om, bawa mobilnya pelan-pelan saja. Jaga Oma baik-baik, kami akan sering berunjung nanti ke Jakarta,” ucap Kaisar.“Seriusan, Kai? Wah, Oma tunggu kalian datang. Arin juga, Oma tunggu buyut Oma hadir segera. Oma akan menginap di rumah kalian kalau kamu nanti punya anak,” ucap Oma.“Doakan saja, Oma. Oma jaga kesehatan di sana. Ohya, di box itu, Arin bawakan seblak kesukaan Oma dan juga keripik tempe buata
"Kenapa sedih mukanya? Jelek tahu," ucap Arin pada Kaisar."Udah dibilangin, jangan kerjain tugas Mas sampai larut. Kamu kemarin sakit, masih mau kerja?" Kaisar berlaku demikian karena tidak ingin hari ini kembali sakit akibat kelelahan bekerja membantunya ditambah mengurus Shaka yang sedang aktif aktif nya."Lihat Mas sampe ketiduran di tempat kerja, Arin gak tega.""Kenapa? Tega gak tega harus tega. Ini sudah menjadi kewajiban Mas sebagai kepala rumah tangga untuk menjadi tulang punggung. Bukan kami, Sayang.""Oke , oke. Sekarang mandi dulu, gih. Jangan ngomel ngomel Mulu! Kasihan Shaka udah nungguin.""Baiklah."Saat ditinggal mandi, ponsel Kaisar berdering. Kali ini nomer tanpa nama, terlihat memanggilnya. Arin tak suka mengangkat panggilan jika ada di taman sami dan memilih membiarkan. Namun, saat ponsel di dalam panggilan itu mati, ada pesan yang menyusul setelahnya.[Pa, izinkan Ibu datang. Azam gak minta banyak, hanya minta Ibu mau datang ke hajatan hitanan Agam. Ya?]Arin me
Arin membawa Shaka ke rumah di GSP yang juga tempat kerja para karyawan gudang. Ia diantar oleh Kaisar dan akan dijemput jika pekerjaan Kaisar sudah selesai.“Tumben nggak mampir dulu suamimu, Rin?” tanya Narsih.“Nggak, Bu. Lagi sibuk banget soalnya.”Narsih langsung mengambil alih Saka dan membiarkan Arin menuju gudang untuk melakukan pekerjaannya. Kali ini wajah murung Arin membuat Narsih ingin sekali bertanya pada anaknya perihal ini. Narsih mengajak Shaka bermain di dalam rumahnya dan seperti biasanya, ia akan bertugas menjaga Shaka jika Arin sedang datang ke rumah ini.“Shaka mana, Bu?” tanya Arin saat jam istirahat ia kembali ke ruang utama.“Tidur. Tadi habis dibuatkan susu, dia langsung tidur di depan TV.” Narsih membawakan es teh yang memang sudah ia siapkan untuk Arin.“Kayak kepanasan gitu, nih ada es teh. Diminum, biar seger.”“Makasih, Bu. Ngomong-ngomong, Ibu kok bisa tahu Arin haus?”“Kelihatan dari mukanya. Kaku kek kanebo,” ejek Narsih yang kemudian dibalas dengan se
Malam ini Kaisar lembur. Arin lebih paham jika suaminya pergi kerja dan pulang larut ini ada dua kemungkinan. Yang pertama, menghindar atau yang kedua memang benar-benar sibuk. Kehidupan bahagia memang sebuah harapan, namun tidak ada hal yang lebih membahagiakan jika melihat suami yang selalu bahagia dan membuat istrinya tersenyum setiap hari. Namun yang namanya pernikahan, kerikil kerikil kecil itu pasti ada dan Arin akan berusaha melepas semuanya. Mengurai masalah dan tak ingin menjadi alasan kenapa suaminya selalu marah jika membahas mengenai keluarga mantan suaminya."Mau Arin buatkan teh?" tanya Arin saat suaminya baru saja pulang bekerja."Shaka sudah tidur?"Arin mengernyit. Bukan jawaban dari pertanyaannya yang dia dapat, malah justru anaknya yang Kaisar tanyakan. "Sudah. Arin sudah siapkan air hangat, Mas mau langsung mandi atau_"Kaisar langsung berjalan meninggalkan sambutan yang Arin tujukan. Arin merasa sedih jika sudah begini. Arin bukan lagi pasangan muda, tetapi jika
"Shaka, main dan jalan jalan sama Mama aja dulu ya? Papa sibuk. Atau mau sama Kak Khumaira?" tanya Arin."Nggak! Shaka maunya sama Papa!" ketus Shaka.Kaisar membawa Shaka ke dalam pangkuannya. Dia tersenyum dan mencium pipi Shaka."Sayang, main sama Mama dulu, ya. Nanti kalau Papa udah nggak sibuk, Papa aja Shaka ke Jakarta.""Ke rumah Mas Abi ya, Pa?""Iya. Nanti ke rumah Aa Abi. Sekarang mainnya sama Mama dulu, Papa ada banyak pekerjaan. Oke, Sayang?""Tapi Papa jangan bohong ya? Papa sibuk terus," ucap Shaka."Sibuk kan demi Shaka. Biar nanti Shaka bisa sekolah yang tinggi, biar bisa jadi Presiden. Anak Papa kan pinter, kan?" Arin melihat cara Kaisar yang nampak bingung membujuk Shaka. Anaknya itu memang cukup kritis akan hal yang ada di sekitarnya."Kamu tak usah khawatir. Kalau kamu udah mulai beraktivitas, dia pasti lupa dengan hal ini. Nanti aku yang bujukin," timpal Arin.Kaisar pun percaya dengan cara pengasuhan yang Arin ajarkan pada Shaka. Selama tiga tahun lebih menjadik
Arin mengantar Shaka ke taman bermain. Usianya yang hampir menginjak empat tahun itu, membuat Kaisar dan Arin menyekolahkan anaknya di sekolah usia dini. Aktivitasnya hampir sama dengan Sekar dan Indah, keduanya memutuskan menyekolahkan anaknya di tempat yang sama.“Hari ini berangkat sama Mas atau Bang Fai?” tanya Arin saat mereka sedang sarapan.“Sama Mas aja. Hari ini nggak terlalu sibuk. Kamu nampak pucat, Rin?”“Iya kah? Perasaan Arin biasa aja.”Arin melihat wajahnya lewat pantulan ponsel dan ia memang melihat ada mata panda yang sedikit kentara. “Butuh ke salon mungkin. Nanti deh, Arin mampir ke salon langganan. Habis itu, Arin nyusul ke percetakan ya?”“Nggak usah, jagain Shaka aja. Mas hari ini gak di percetakan. Mau urus cafe milik Kenzi.”“Ada apa dengan cafe itu?”“Ada sedikit masalah.”Arin mengerutkan keningnya bingung. Masalah akhir akhir ini membuat Kaisar nampak berbeda dan lebih memilih diam. Arin memaksa bertanya pun, Kaisar seperti ada hal yang ditutupi.“Papa, mo