Arin memandangi kotak berwarna merah hati dengan pita pink yang menghiasinya. Kenzi bilang ia boleh membukanya setelah sampai di rumah. Sekarang Arin sangat penasaran dan begitu masuk kamar ia langsung membukanya.Kotak dibuka. Ternyata ada kotak kecil lagi di dalam. Arin membukanya lagi dan lagi-lagi ada kotak kecil lagi."Ish! Apaan sih? Banyak amat kotak misterinya." Kotak berubah menjadi seukuran balok kecil dan ketika Arin membukanya terlihat wadah kaca yang berisi cincin emas putih. Arin tersenyum melihatnya. Ia membukanya dan mengambil cincin itu. Arin memperhatikan dengan jelas cincin pemberian Kaisar."K?" Arin kembali melihat ada sesuatu yang menempel di bagian bawah penutup kotak paling besar, sebuah amplop warna pink dan ia mengambilnya. Tertulis di depan sebuah pantun jadul yang membuat Arin tersenyum.Dear : Arinda wulandariFrom : Den Bagus Kaisar Kesayangan.'4×4 = 12Sempat nggak sempat, harap sabar untuk membalas'Arin tak sabar membukanya. Perasaan yang tak karu
Arin mengambil ponselnya dan mencari kontak atas nama Kaisar. Ia ingin mengucapkan terimakasih untuk hal mengejutkan ini. Namun Arin sedikit kecewa karena nomor Kaisar masih sama seperti sebelumnya. Di luar jangkauan dan hal itu membuat Arin menyerah menghubungi Kaisar."Rin, ada Faisal datang sama Sekar. Kamu sudah selesai mandi apa belum?" tanya Narsih dari luar pintu.Arin menepuk jidatnya. Hanyut dalam suasana romantis dengan kiriman hadiah Kaisar membuat Arin lupa jika ia baru pulang bekerja dan belum mandi."Iya. Sebentar lagi Arin keluar," sahut Arin dan langsung beranjak ke kamar mandi. Ia menyiramkan air dengan cepat karena tak ingin terlalu lama membuat saudaranya menunggu. Mereka tadi mengajak Arin ke rumah sahabat Faisal yang sedang mengadakan grand opening cafe barunya.Setelah selesai mandi Arin keluar kamar. Sekar yang menunggu sambil rebahan di pangkuan Faisal sampai monyong karena lelah menunggu."Kamu mandi apa semedi sih? Lama amat? Kita udah kesorean ini," protes S
"Kak, uang." Wisnu yang sudah rapi dengan kaos dan tas kuliahnya meminta uang saku pada Bayu."Yang kemarin habis?""Ya habis lah. Pan hanya 200 ribu, masa iya uang segitu buat seminggu.""Kan ini baru dua hari, Nu. Hemat napa, Kakak lagi nggak banyak job ini. Sepi, proyekan kosong.""Wisnu nggak mau tahu, mana duit? Ada nggak?"Akhirnya Bayu menyerah. Dirogohnya saku celana kemarin yang belum sempat ia lepas menyisakan uang berwarna biru."Nih, tinggal segini-gininya. Nggak tahu nanti mau makan apa. Kamu coba kuliah sambil kerja kan bisa," sungut Bayu."Ogah. Kakak kan ada! Kalau nggak punya uang, cari lah. Bini aja nggak punya, uang banyak mau buat apa kalau bukan buat Wisnu? Dah lah, Wisnu mau berangkat. Wassalamualaikum," salam Wisnu lalu beranjak menaiki motornya menuju kampusnya."Waalaikumsalam," lirih Bayu. Ia menghembuskan nafasnya perlahan, merutuki kisah hidupnya sekarang. Wisnu berubah setelah Reni pergi dan sekarang bahkan ia susah di nasehati.Sebuah motor yang ditumpang
Iya, tapi bagaimana lagi. Proyek sedang full, semoga saja Pak Bayu dapat pekerjaan di tempat lain yang bayarannya lebih besar daripada kuli proyek seperti ini," sarkas Arman."Aamiin, makasih doanya, Pak Arman.""Sama-sama."Setelah panggilan terputus Bayu mencoba menghubungi beberapa kontak yang lain. Jawaban dari mereka rata-rata sama. Full job atau tidak ada lowongan, membuat Bayu benar-benar frustasi.Bayu teringat Arin. Sebulan sejak kematian Reni, tak ada kabar darinya. Jangankan kabar, pesan atau telepon tak pernah Arin angkat. Sesibuk itukah Arin sekarang? Bayu berandai-andai. Jika ia dulu masih dengan Arin, pasti semua tak akan sesulit ini. Susi juga bisa hilang begitu saja tanpa kabar dan sama sekali tak terlihat batang hidungnya.Bayu memang salah. Ia terlalu meremehkan Arin dan membuangnya dengan memilih Susi sebagai penggantinya. Justru ia sekarang sangat menyesal karena akhirnya ia yang terbuang dan tidak memiliki apa-apa selain rumah peninggalan orang tuanya. Janganka
"Bu, tadi ada mantan suami Ibu datang ke sini cariin Ibu." Yuli memberitahu kedatangan Bayu saat Arin baru sampai di rumah setelah dari pesantren menjemput Rani. Kenzi yang mendengarnya tampak melipat keningnya heran."Udah pulang orangnya?" tanya Arin."Belum. Tadi nggak ketemu emangnya di pos? Tadi Yuli minta dia menunggu di pos satpam. Tuh, motornya masih di sana," ucap Yuli menunjuk motor butut Bayu."Oh. Ya sudah, biarkan saja. Nanti kalau kembali, suruh menunggu di teras saja. Nanti kamu panggil saya di dalam.""Siap, Bu bos."Rani yang dibantu turun dari mobil karena kakinya sedikit terkilir tadi saat sedang bersiap kemas. Kenzi ikut membantu membawa koper dan ransel milik Rani. Hari ini Rani diberi libur setelah ujian sekolah selesai. Pak Kyai meminta Rani menunggu pengumuman sekolah sambil mempersiapkan kepergiannya ke Kairo."Biar, Kakak bantu," ucap Kenzi pada Rina yang kesulitan membawa tas gendong ukuran kecilnya."Nggak usah, Om," tolak Rani halus."Om?" Arin terkekeh me
Bayu menengok ke arah Kenzi yang sudah tak bersahabat. Nyalinya menciut, ia teringat kejadian tempo dulu saat ia menghajarnya dengan brutal."Anda punya ijazah kan? Kenapa tak melamar kerja saja? Cilacap kota Industri, tak akan sulit mencari pekerjaan asal tak pilih-pilih, banyak! Kenapa justru memilih meminta pekerjaan pada Arin? Anda ingin kembali lagi pada Arin? Ck! Modusnya payah!" ucap Kenzi sinis."Nggak, Mas. Saya sungguh menyesal sudah menyakiti Arin dan saya memang tak ada niatan kembali༼.lagi. Kesalahan saya sudah fatal dan yang saya rasakan sekarang adalah sebab dan akibat dari perbuatan yang dulu terjadi. Untuk masalah pekerjaan, saya serius Mas. Tolong carikan untuk saya. Apapun itu," bujuk Bayu.Kenzi tetap bergeming di tempat. Dia orang yang berpendirian kuat, sekali tidak maka akan tidak untuk selamanya."Cari saja di tempat lain. Arin tak membutuhkan karyawan lagi," ucap Kenzi dengan keputusan yang sama.Hati Arin iba sebenarnya. Tapi memang nyatanya yang bosnya adala
*Happy Reading*Hari ini Arin lumayan sibuk. Ia harus mengantar Rani ke pesantren untuk pelepasan keberangkatannya ke Kairo. Pakde, Bude, Bulik, serta keluarga besar Karyo ikut mengantar kepergian Arin. Benar-benar suasana haru campur bahagia menjadi satu. Terlebih saat Rani mencium Narsih berulang-ulang sambil meminta restu sang Ibu agar mendoakan kesuksesannya. Mereka yang melihatnya sampai meneteskan air mata. Terlebih saat Rani melambaikan tangan saat dirinya sudah masuk mobil yang akan mengantarnya menuju Jogja. Ya, Rani akan terbang dari Bandara Internasional Yogyakarta menuju negara tujuannya, Kairo."Senangnya jadi Rani, bisa mengejar cita-cita sampai negeri orang. Sayangnya anakku nggak begitu, malah minta nikah dini," celetuk Bude Ratmi membuat Sekar menengok."Apaan sih, Mami. Pake acara bawa-bawa Sekar, pan Mami sama Papi yang minta Sekar di rumah bae. Kenapa malah jadi salahin Sekar?" sungut Sekar tak terima dibandingkan dengan Rani."Ya, kamu sibuk pacaran. Ya Mami sam
Zidan mengangguk pelan sambil menunduk mengurangi pandangan mata pada Sekar."Punten semuanya. Kenapa tidak pakai proses ta'aruf seperti biasanya, karena yang kali ini saya jodohkan adalah Zidan. Anak saya sendiri dan kebetulan dia jarang sekali pulang. Jadi, jika Nak Sekar bersedia kita langsungkan saja pernikahan karena Zidan hanya cuti dua minggu di rumah."Sekar bertambah kaget, secepat itukah menjalin pernikahan? Apa mungkin dia bisa menjalani pernikahan dengan putra seorang Ulama besar sedangkan dirinya bukanlah wanita baik-baik."Saya sebagai orang tua tentu senang anaknya mau menikah. Terlebih, anak kami dilamar putra Abah Yai sendiri. Pasti lah bagi kamu suatu kebanggan. Namun hasil akhirnya, tetap Sekar yang akan memutuskan mau tidaknya," ucap Pakde Supri."Baiklah kalau begitu, mari kita istikharahkan. Baik Dik Sekar maupun saya sendiri, hanya Allah yang akan menentukan," sela Zidan."Itu keputusan terbaik, Nang. Ya begitu saja Pak Supri, anak saya memberi waktu tiga hari