"Kak, uang." Wisnu yang sudah rapi dengan kaos dan tas kuliahnya meminta uang saku pada Bayu."Yang kemarin habis?""Ya habis lah. Pan hanya 200 ribu, masa iya uang segitu buat seminggu.""Kan ini baru dua hari, Nu. Hemat napa, Kakak lagi nggak banyak job ini. Sepi, proyekan kosong.""Wisnu nggak mau tahu, mana duit? Ada nggak?"Akhirnya Bayu menyerah. Dirogohnya saku celana kemarin yang belum sempat ia lepas menyisakan uang berwarna biru."Nih, tinggal segini-gininya. Nggak tahu nanti mau makan apa. Kamu coba kuliah sambil kerja kan bisa," sungut Bayu."Ogah. Kakak kan ada! Kalau nggak punya uang, cari lah. Bini aja nggak punya, uang banyak mau buat apa kalau bukan buat Wisnu? Dah lah, Wisnu mau berangkat. Wassalamualaikum," salam Wisnu lalu beranjak menaiki motornya menuju kampusnya."Waalaikumsalam," lirih Bayu. Ia menghembuskan nafasnya perlahan, merutuki kisah hidupnya sekarang. Wisnu berubah setelah Reni pergi dan sekarang bahkan ia susah di nasehati.Sebuah motor yang ditumpang
Iya, tapi bagaimana lagi. Proyek sedang full, semoga saja Pak Bayu dapat pekerjaan di tempat lain yang bayarannya lebih besar daripada kuli proyek seperti ini," sarkas Arman."Aamiin, makasih doanya, Pak Arman.""Sama-sama."Setelah panggilan terputus Bayu mencoba menghubungi beberapa kontak yang lain. Jawaban dari mereka rata-rata sama. Full job atau tidak ada lowongan, membuat Bayu benar-benar frustasi.Bayu teringat Arin. Sebulan sejak kematian Reni, tak ada kabar darinya. Jangankan kabar, pesan atau telepon tak pernah Arin angkat. Sesibuk itukah Arin sekarang? Bayu berandai-andai. Jika ia dulu masih dengan Arin, pasti semua tak akan sesulit ini. Susi juga bisa hilang begitu saja tanpa kabar dan sama sekali tak terlihat batang hidungnya.Bayu memang salah. Ia terlalu meremehkan Arin dan membuangnya dengan memilih Susi sebagai penggantinya. Justru ia sekarang sangat menyesal karena akhirnya ia yang terbuang dan tidak memiliki apa-apa selain rumah peninggalan orang tuanya. Janganka
"Bu, tadi ada mantan suami Ibu datang ke sini cariin Ibu." Yuli memberitahu kedatangan Bayu saat Arin baru sampai di rumah setelah dari pesantren menjemput Rani. Kenzi yang mendengarnya tampak melipat keningnya heran."Udah pulang orangnya?" tanya Arin."Belum. Tadi nggak ketemu emangnya di pos? Tadi Yuli minta dia menunggu di pos satpam. Tuh, motornya masih di sana," ucap Yuli menunjuk motor butut Bayu."Oh. Ya sudah, biarkan saja. Nanti kalau kembali, suruh menunggu di teras saja. Nanti kamu panggil saya di dalam.""Siap, Bu bos."Rani yang dibantu turun dari mobil karena kakinya sedikit terkilir tadi saat sedang bersiap kemas. Kenzi ikut membantu membawa koper dan ransel milik Rani. Hari ini Rani diberi libur setelah ujian sekolah selesai. Pak Kyai meminta Rani menunggu pengumuman sekolah sambil mempersiapkan kepergiannya ke Kairo."Biar, Kakak bantu," ucap Kenzi pada Rina yang kesulitan membawa tas gendong ukuran kecilnya."Nggak usah, Om," tolak Rani halus."Om?" Arin terkekeh me
Bayu menengok ke arah Kenzi yang sudah tak bersahabat. Nyalinya menciut, ia teringat kejadian tempo dulu saat ia menghajarnya dengan brutal."Anda punya ijazah kan? Kenapa tak melamar kerja saja? Cilacap kota Industri, tak akan sulit mencari pekerjaan asal tak pilih-pilih, banyak! Kenapa justru memilih meminta pekerjaan pada Arin? Anda ingin kembali lagi pada Arin? Ck! Modusnya payah!" ucap Kenzi sinis."Nggak, Mas. Saya sungguh menyesal sudah menyakiti Arin dan saya memang tak ada niatan kembali༼.lagi. Kesalahan saya sudah fatal dan yang saya rasakan sekarang adalah sebab dan akibat dari perbuatan yang dulu terjadi. Untuk masalah pekerjaan, saya serius Mas. Tolong carikan untuk saya. Apapun itu," bujuk Bayu.Kenzi tetap bergeming di tempat. Dia orang yang berpendirian kuat, sekali tidak maka akan tidak untuk selamanya."Cari saja di tempat lain. Arin tak membutuhkan karyawan lagi," ucap Kenzi dengan keputusan yang sama.Hati Arin iba sebenarnya. Tapi memang nyatanya yang bosnya adala
*Happy Reading*Hari ini Arin lumayan sibuk. Ia harus mengantar Rani ke pesantren untuk pelepasan keberangkatannya ke Kairo. Pakde, Bude, Bulik, serta keluarga besar Karyo ikut mengantar kepergian Arin. Benar-benar suasana haru campur bahagia menjadi satu. Terlebih saat Rani mencium Narsih berulang-ulang sambil meminta restu sang Ibu agar mendoakan kesuksesannya. Mereka yang melihatnya sampai meneteskan air mata. Terlebih saat Rani melambaikan tangan saat dirinya sudah masuk mobil yang akan mengantarnya menuju Jogja. Ya, Rani akan terbang dari Bandara Internasional Yogyakarta menuju negara tujuannya, Kairo."Senangnya jadi Rani, bisa mengejar cita-cita sampai negeri orang. Sayangnya anakku nggak begitu, malah minta nikah dini," celetuk Bude Ratmi membuat Sekar menengok."Apaan sih, Mami. Pake acara bawa-bawa Sekar, pan Mami sama Papi yang minta Sekar di rumah bae. Kenapa malah jadi salahin Sekar?" sungut Sekar tak terima dibandingkan dengan Rani."Ya, kamu sibuk pacaran. Ya Mami sam
Zidan mengangguk pelan sambil menunduk mengurangi pandangan mata pada Sekar."Punten semuanya. Kenapa tidak pakai proses ta'aruf seperti biasanya, karena yang kali ini saya jodohkan adalah Zidan. Anak saya sendiri dan kebetulan dia jarang sekali pulang. Jadi, jika Nak Sekar bersedia kita langsungkan saja pernikahan karena Zidan hanya cuti dua minggu di rumah."Sekar bertambah kaget, secepat itukah menjalin pernikahan? Apa mungkin dia bisa menjalani pernikahan dengan putra seorang Ulama besar sedangkan dirinya bukanlah wanita baik-baik."Saya sebagai orang tua tentu senang anaknya mau menikah. Terlebih, anak kami dilamar putra Abah Yai sendiri. Pasti lah bagi kamu suatu kebanggan. Namun hasil akhirnya, tetap Sekar yang akan memutuskan mau tidaknya," ucap Pakde Supri."Baiklah kalau begitu, mari kita istikharahkan. Baik Dik Sekar maupun saya sendiri, hanya Allah yang akan menentukan," sela Zidan."Itu keputusan terbaik, Nang. Ya begitu saja Pak Supri, anak saya memberi waktu tiga hari
*Happy Reading*"Kai, kamu yakin sama calon istrimu kali ini?" tanya Kanjeng Mami."InsyaAllah, Mi.""Udah kamu istikharahkan?""Alhamdulillah. Apa Kaisar boleh segera melamarnya? Dia sudah selesai masa iddah. Kai nggak mau lama-lama menyempurnakan ibadah Kaisar. Bagaimana, Mi?" tanya Kaisar meminta restu sang ibu."Oma bilang apa kemarin?""Oma nggak bilang apa-apa saat Kaisar pamit pulang. Kaisar sudah menjelaskan kepada Irma kalau Kaisar tidak bisa menikahinya.""Keluarga papimu pasti menolak pernikahan ini. Mami dulu begitu, sampai dibenci dan diasingkan karena status janda Mami. Entahlah, kenapa sekarang kamu menuruni Mami.""Itu yang namanya jodoh, Mi. Kaisar hanya menjalankan sesuai alur yang Allah gariskan. Tak pernah sengaja mendekati tapi rasa ini timbul begitu saja. Apakah salah jika Kaisar ingin menikahi Arin yang berstatus janda? Dia bahkan belum memiliki anak, jadi keluarga tak perlu repot memikirkan itu.""Justru itu yang akan jadi masalah, kalau Arin belum mempunyai an
Kanjeng mami memainkan jarinya dengan menopang dagu sambil berpikir."Kayaknya sih sehat, tapi kok ada yang aneh ya?" ucap Mami penuh selidik."Udah, Kenzi sehat. Yuk kita duduk, Mami mau minum apa? Biar Kenzi bikinnin.""Lah, yang tamu kan kamu, Sayang. Kenapa jadi Mami yang kamu bikinin minum? Mami aja ke dapur bikinin kalian minum.""Eits, no no no. Mami duduk diam atau Kenzi balik lagi ke Cilacap."Akhirnya Kanjeng Mami duduk di sofa bersama Kaisar. Keduanya tampak diam dan mungkin masih teringat kejadian tadi saat lamaran yang Kaisar inginkan pada Arin ditolak Kanjeng Mami."Kai." Kaisar mendongak lalu tersenyum. Ia tak boleh terlihat marah pada maminya, bagaimanapun surga tetap berada di bawah kaki maminya."Ya.""Maafin Mami ya.""Nggak apa, Kaisar paham kekhawatiran Mami. Besok akan Kaisar sampaikan pada Arin kalau Kaisar menunda acara melamarnya. Kaisar mau istirahat dulu, semoga besok Mami sudah Berubah pikiran. Kaisar mencintai Arin, tapi Kaisar juga tak bisa durhaka pada o
Tentu saja sikap Arin yang mencegah Kaisar untuk mencari tahu mengenai kejadian jatuhnya Arin di kamar mandi sekolah itu membuat Kaisar semakin penasaran. Sekolah yang memiliki biaya cukup mahal untuk bisa mengenyam pendidikan di sana itu sangat mustahil jika memiliki kloset yang licin. Tanpa sepengetahuan Arin, Kaisar pun mendatangi sekolah Shaka. Sengaja hari ini Arin tidak diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah dan istirahat di rumah ditemani oleh Shaka. Ibunya—Narsih—juga diminta Kaisar untuk menemani Arin di rumah karena Arin menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Kaisar langsung datang menemui kepala sekolah. Dia datang untuk menanyakan perihal kualitas sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya itu. Kaisar merasa heran karena Shaka tiba-tiba terlihat tidak nyaman bersekolah di sana."Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak Kaisar. Silahkan duduk!" titah Pujiono–kepala sekolah itu."Ada perlu apa ini? Tumben datang ke sekolah seorang diri.""Hari ini saya ingin meminta izin untuk
“Mas.”Malam ini Arin ingin sekali bercerita mengenai alasan ia mengajak Shaka pulang lebih awal. Kaisar yang masih sibuk dengan pekerjaannya pun menghentikan sementara.“Kenapa, Rin?”“Kayaknya keputusan Mas untuk pindahin Shaka itu betul deh.”“Kenapa emangnya? APa tadi ada masalah lagi yang terjadi di sekolah.”Arin mengembuskan napasnya kasar. Bukan perihal yang mudah untuk bercerita hal mengenai mantan suaminya itu pada suaminya kini yang notabene super protektif pada keluarganya.“Aku pikir, semua yang kita bicarakan saat itu adalah suatu hal yang harus kita lakukan sekarang.”“Kenapa?”“Tadi aku ketemu Mas Bayu. Dia …”“Dia kenapa?”Arin bingung mau mengatakan hal ini atau tidak, namun ia juga tak mau direndahkan sampai dibuat kasar dengan cara yang tidak patut oleh lelaki yang sudah menjadi mantan. Jika dulu saja ia bisa marah saat Bayu memukulnya, seharusnya ia sekarang lebih marah dari pada itu. Namun, ia kembali berpikir mengenai bisnis sang suami yang sedang dianggap sedan
Arin tak menyangka bakal bertemu Bayu di sekolah Shaka. Ia sangat menyesali kenapa harus menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Arin pun semakin yakin memindahkan Shaka setelah ini dan memilih sekolah di tempat lain yang berbeda dengan Bayu.Jam istirahat dimulai. Para murid keluar dan berhambur bermain di taman bermain yang ada di sekolah itu. Shaka mendekat ke arah Arin dengan wajah yang ditekuk.“Kenapa, Sayang? Kenapa nggak main sama teman teman?”“Nggak mau ah, Ma. Satria nakal lagi. Tadi buku Shaka dicoret coret dan disobek. Ma, Shaka mau pulang aja. Nggak mau sekolah,” rengek Shaka.Arin yang melihat anaknya menangis pun memilih untuk memangkunya dan memeluknya hangat. Memberi pengertian agar Shaka tidak sedih lagi setelah dikerjai Satria.“Ada anak Mami! Ada anak mami! Hahaha.”Suara Satria yang meledek Shaka membuat Arin geram. Namun, Arin bukan memarahi Satria melainkan mendatangi Bayu yang sibuk bermain gadget sendiri tanpa memperhatikan anaknya.Brak!Arin menggebrak m
“Gatsu.”“Nggak usah. Nanti langsung ke rumah aja, istirahat. Kasihan SHaka diajak kerja juga.”“Nggak kerja lah, cuma temani doang.”“Baiklah. Terserah kamu saja. MAs pergi dulu.”Arin kembali turun setelah bersalaman dengan Kaisar lalu melambaikan tangan melepas kepergian suaminya bekerja. Faktor keuangan yang sedang menurun, membuat Arin harus banyak banyak berdoa dan berusaha. Makanya dia akan menyusul nanti jika sekolah Shaka sudah selesai. Hitung hitung membantu suaminya bekerja. Tentunya dia niatkan beribadah. Biar tidak menimbulkan pertengkaran dan perdebatan jika hasilnya tidak memuaskan.Suara klakson mengagetkan Arin yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu wali murid. Sebenarnya tidak disarankan masuk dan menunggu anaknya, tetapi Arin masih ingin memastikan baik baik saja. Tin!Lagi lagi Arin dibuat kesal karena mobil itu justru membuntutinya jalan ke halaman sekolah, hingga Arin bertambah kesal saat ada Bayu yang di dalamnya“Hai, Rin.” Bayu menyapa dengan senyum
“Kenapa dengan Satria? Siapa dia?” tanya Narsih."Teman Shaka, Bu. Dia biasa jahilin Shaka. Nggak hanya saka, yang lain juga. Emang dasar anaknya gitu. Mau marahin juga percuma. Gak bakalan mudeng. Orangtuanya aja gak tahu etitut," adu Arin."Sudah sudah. Kita bicarakan nanti saja. Udah siang ini Shakanya," sela Kaisar yang tidak ingin membahas tentang keburukan orang lain di depan anaknya.Kaisar benar benar mengantar Shaka. Dia meminta Arin untuk menunggu Shaka masuk dan meminta Arin untuk kembali ke mobil."Ada apa sih, Mas?" tanya Arin heran melihat gelagat suaminya yang aneh."Nggak. Shaka udah masuk?""Udah. Barusan udah masuk. Hari ini Satria nggak datang. Aman."Arin mengembuskan napasnya perlahan lalu tersenyum di depan Kaisar."Mas mau tanya apa?""Memang Mas mau tanya?""Hiz! Serius. Mau nanya kali ini sama Arin nggak?""Mau sih. Tapi, kamu harus jawab jujur.""Apa?" tanya Arin serius mendengarkan."Mas mau tanya. Wajah kamu pake formalin ya? Kok awet cantiknya?" kelakar Ka
“Kenapa kamu bangunkan Mas kesiangan, Rin? Hari ini Mas akan ke gudang buat cek data yang semalam belum Mas selesaikan,” tanya Kaisar panik saat dibangunkan Arin kesiangan.“Tenang aja. File udah aku cek dan memang ada keanehan di Mellynya. Bukan salah toko atau gudang. Jadi Mas hanya perlu tanyai Melly, kenapa dia sampai berlaku demikian. Kita butuh penjelasan dia mengenai hal ini. Dia harus bertanggung jawab dan Mas harus bisa bertindak bijak. OKe?”Arin memang sudah menyelesaikannya semalam. Dia hanya membereskan beberapa dan itu cukup sangat membantu membuat Kaisar lelap tidur dan puas istirahat sampai pagi.“Ya ampun, begini ini yang kadang bikin Mas nggak mau tidur dulu kalau kerjaan sudah beres. Kamu pasti yang selesaikan. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Kamu pasti udah siapkan sarapan, ya?” “Belum. Aku mau sarapan di rumah Ibu bareng kamu.”“Tumben?” tanya Kiasar heran.“Lagi pengin aja. Yuk ah, buruan! Mas mandi, aku mandiin Shaka.”Keduanya gegas beranjak sebelum melakukan ak
“Mas,” panggil Arin.Kaisar yang sedang memeriksa laporan keuangan tempatnya bekerja, menengok sekilas. Wajahnya nampak serius, membuat Arin untung untuk mengatakan perihal kejadian di sekolah tadi.“Kenapa, Rin?” tanya Kaisar saat ia sudah kembali melihat berkas berkasnya dan merasa Arin tidak berkata apapun setelah itu.“Arin bantu ya pekerjaannya?” Arin pun memikirkan untuk membantu saja, daripada mengeluhkan ini itu.“Shaka udah tidur?”“Udah. Boleh ya?”“Ini itu bentar lagi selesai. Ada sedikit perbedaan antara income di aplikasi sama yang Mely tulis.”“Kok bisa?” tanya Arin kaget.Akhir akhir ini memang usahanya agak bermasalah. Selain bisnis yang kian menjamur, juga adanya pesaing yang memakai cara kotor, akhirnya perusahaan pun banyak yang terancam. Meski dalam hal bisnis ini adalah hal yang biasa, tetap saja Arin merasa sedih dan ingin kembali ikut membantu suaminya.“Itulah. Kalau percetakan yang di Gatsu itu nggak lagi beromset banyak, kemungkinan pengurangan karyawan pun h
“Ma,” panggil Shaka saat kini sudah mulai jam istirahat sekolah.“Udah istirahat, Sayang?”“Udah. Mom nungguin Shaka?” tanya Shaka heran karena melihat Arin yang ada di sekolah. Biasanya Arin akan meninggalkan Shaka di kelas dan Arin akan menyusul Kaisar bekerja. Namun, kali ini ia memang ingin menunggui anaknya itu untuk menjamin keselamatannya.“Iya. Sengaja Mom tunggu, biar nggak ada yang bisa gangguin kamu.”“Hai Shaka, main yuk!” ajak bocah kecil bernama Gendis.“Ma, Shaka main sama Gendis di perosotan sana ya?” tunjuk Shaka pada mainan yang ramai dipenuhi oleh anak anak yang asyik bermain.“Iya. Hati-hati ya, Nak.”Arin melihat dari kejauhan, apa yang sedang dilakukan Shaka. Dia nampak senang anaknya itu punya banyak kawan di sekolah ini. Meski kebanyakan yang berteman dengan Shaka adalah anak-anak perempuan, ia tak masalah. Justru ia merasa lega karena berteman dengan anak perempuan membuatnya merasa aman karena terhindar dari perkelahian antar teman nantinya.Satria mendekati
Ternyata Prameswari hanya mengantar Satria saja. Anak bawaan Bayu itu tidak ditunggui oleh ibunya dan itu adalah hal yang cukup mengagetkan karena setalah Prameswari keluar ruangan, Arin diminta untuk masuk ke dalam ruangan kepala sekolah."Sebenarnya ada hal apa saja yang dipanggil ke ruangan ini?" Tanya Arin heran sekaligus bingung."Maaf jika saya memanggil Ibu secara mendadak dan tiba tiba. Tetapi pas kebetulan ibu berada di sini untuk mengantar, jadi saya berpikir untuk meminta ibu langsung menemui saya di sini.""Tidak masalah. Apa yang sudah terjadi, Pak?""Justru itu hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu Arin. Sebenarnya ada masalah apa ibu dengan orang tua Satria?""Orang tua Satria? Siapa yang sedang Bapak maksud itu?""Bu Prameswari. Beliau tadi melaporkan bahwa, katanya Ibu sudah membuat beliau kesal dengan kata-kata yang tidak patut dan tidak sopan. Jadi, Saya ingin mengetahui masalah apa yang sedang terjadi antara Bu Arin dan Prameswari? Apakah ini karena pertengkar