Safa tersentuh mendengar kalimat Azril yang membuat hatinya bergelora. Memang seharusnya bagi pasangan memiliki waktu berdua, terutama dirinya yang belum banyak mengenal Azril.Selama ini, banyak hal baru dari sosok Azril termasuk perubahannya yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya yang luar biasa.“Aku menyayangimu, Safa Brenda.”Azril mendekatkan bibirnya pada lengan Safa dan mengecupnya penuh mesra berbarengan dengan dada Safa yang berdesir merasakan ketulusan pria yang pernah dibencinya.Seolah rasa cinta yang menggema mengalir begitu saja, mungkin karena tubuh yang sudah menyatu sehingga hatinya amat terharu.“Aku juga menyayangimu, Mas,” lirih Safa pelan.Pagi itu menjadi indah dengan sikap Azril yang manis. Keduanya saling bertukar mesra tanpa memedulikan orang lain, walau nyatanya ruangan yang ditempati hanyalah berdua.Sampai siang tiba, kedua sejoli itu sudah berpindah tempat menuju rencananya yang akan menginap di tempat Amih. Azril melirik istrinya yang sedari tadi
Kedua sejoli pun sudah rapi dengan pakaiannya yang saling bergandeng mesra menghampiri sang tuan rumah dengan bibir merekah.“Loh, kalian mau pulang sekarang?”“Iya, Mih, besok Azril sudah kembali bekerja dan Safa juga banyak kegiatan.” Azril tak melepaskan genggamannya.Rencananya memang hanya menginap satu hari dan pagi ini sudah mengatur rencananya untuk menghabiskan waktu berdua. Entah ke mana, yang penting jalan bersama Safa.“Kenapa tidak sore saja pulangnya. Amih masih kangen dengan kalian.” Hamidah baru merasakan kebersamaan sehari dan kini harus ditinggal lagi.“In syaa Allah nanti Azril dan Safa akan menyempatkan waktu main ke sini,” tutur Azril.Sebenarnya, ia tidak tega melihat ibunya yang sendu, tetapi waktu liburnya pun tidak banyak bahkan meninggalkan Safa sendiri juga tidak mungkin karena Safa meninggalkan ayahnya sendiri.“Iya, Mih, nanti Safa main ke sini lagi.” Safa ikut menimpali.Hamidah pun pasrah, tak bisa memaksa anak dan menantunya untuk tetap tinggal. Ia mere
Safa menghela napas, lalu menggeser duduknya agar saling berhadapan. “Tidak sama sekali, Mas.”Hatinya penuh sesak mengingat dirinya pernah egois yang selalu menginginkan yang sempurna, tetapi sadar ia tak bisa terus menuntut dan mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi ketentuan Allah.“Aku bisa kembali mengukir impian itu bersamamu.”Meski Azril dan Faqih berbeda, tetapi Safa tak membandingkan. Ia menjalani pernikahan penuh ikhlas serta dirinya berjanji memberi yang terbaik untuk suaminya.Bibir Azril pun merekah penuh haru. Matanya memandang intens dan langsung merengkuhnya penuh syukur. Hatinya sendu tak terhitung banyak salah yang diperbuat.“Sekarang apa kamu bahagia hidup bersamaku?” Azril menguraikan dekapan, lalu tangannya mengusap kelopak mata Safa yang terlihat basah.Safa mengangguk tersenyum. “In syaa Allah aku bahagia..”Azril semakin haru hingga keduanya saling mendekap. Dalam hatinya berjanji tidak sedikit pun membuat istrinya terluka apalagi menangis
“Kamu tidak ingin aku mati kelaparan, ‘kan, Mas?” Safa berjalan merapikan baju kotor yang masih tersimpan di dalam paper bag.“Aku yang akan membawa makanan ke kamar nanti.”Wanita itu berdecak bahkan tatapan itu langsung dilayangkan ke arah Azril yang justru sedang tersenyum. Sama sekali tidak ada rasa bersalah, tetapi apa mungkin dia benar ingin mengurungnya?Safa menghela napas, lalu segera membersihkan diri daripada berdebat dan suaminya semakin nekat. Ia tidak habis pikir jika Azril memiliki sifat yang menyeramkan di balik sisi kasih sayangnya yang luar biasa.Usai bebersih, hati Safa sudah lebih tenang bahkan tanpa malu lagi menunjukkan rambut cantiknya. Ia memandang wajahnya di depan cermin sembari menyisir rambut hitamnya yang panjang dan sedikit bergelombang.“Mau sampai kapan lihatin aku terus?” Safa sadar dengan tatapan suaminya, terlihat dari pantulan kaca.Tak mendapat jawaban yang justru pria itu seolah enggan bangkit. “Aku tidak akan keluar kamar. Lebih baik kamu mandi
Tubuh Safa kaku dan tungkai kakinya lemas. Bagaimana bisa calon suaminya kembali hadir setelah satu bulan tak ada kabar.“Ka-mu benar Mas Faqih?” tanya Safa memastikan.“Iya, Dik, ini Mas,” lirih pria itu sendu. Matanya berkaca yang akhirnya bisa bertemu dengan sang kekasih.Safa sendiri tak bisa berkata, bibirnya terkatup rapat bahkan tangannya mencengkeram kuat lengan Azril dan pria itu membantu menopang tubuhnya yang jika tanpanya sudah dipastikan Safa akan terjatuh.“Maafkan Mas, Dik.”Hatinya semakin sembilu begitu hebat seolah takdir sedang memermainkannya. Tubuh yang masih berjarak melihat jelas jika di hadapannya benar Faqih.Dada Safa bergemuruh. Entah mengapa di saat hatinya sudah mulai mencoba melupakan calon suaminya, malah kembali dipertemukan dengan keadaan yang berbeda.Bahkan cengkeraman lengan Safa semakin kuat enggan untuk dilepaskan. Matanya melirik Azril, terlihat aura datar yang timbul di wajahnya. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat suaminya murka.“Dia siapa,
“Lepas, saya ingin mengejar Safa.” Faqih berontak dan meminta dilepaskan.Azril menahan Faqih untuk tidak masuk ke dalam. Ia tahu perasaan Faqih yang masih mencintai istrinya, tetapi Safa butuh waktu untuk menata hatinya.“Safa, Mas yakin kamu masih mencintai Mas,” teriak Faqih kencang.“Tolong, jangan membuat keributan di sini.” Sebagai tuan rumah dan kepala rumah tangga wajib baginya melindungi Safa. “Lebih baik Abang pulang sebelum saya menarik paksa Abang.”Azril masih tahu sopan santun dan masih memiliki hati baik. Jangan sampai kesabarannya habis karena sikap Faqih yang melewati batas.Faqih pun mendesis hingga melepaskan cekalannya kasar. Matanya memandang nyalang seolah menyiratkan kebencian yang mendalam. Seketika merapikan bajunya dan melenggang pergi.“Lihat, Dik, Mas tidak akan menyerah,” batinnya melangkah menjauhi rumah Safa.Sementara Azril masih berdiri di pintu memastikan jika pria itu tidak kembali lagi. Setelah aman, ia menyusul Safa yang pasti sedang bimbang.Di da
Safa begitu sumringah menyambut hari. Kegiatannya yang hanya mengurusi suami menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Tidak pernah absen sedikit pun seolah tidak ingin melewatinya.“Biar aku saja, Sayang.” Azril segera merebut dasi di tangan Safa untuk dipakainya.Melihat wajah Safa yang murung tidak bermaksud membuatnya sedih justru dia sudah melakukan tugasnya dengan baik.“Lebih baik kamu segera bersiap. Kamu juga ingin pergi, bukan?” Azril tidak ingin egois. Sejak tadi, Safa sudah sibuk dengan dirinya sedangkan dia sendiri seolah lupa padahal dia pun ingin pergi.“Iya, Mas, tetapi mengurus suami adalah kewajibanku jadi aku melakukan kewajiban terlebih dahulu daripada yang lain.” Safa menyingkirkan tangan Azril dan menyimpulkan dasinya untuk terikat sempurna.“Ma syaa Allah istri salehahku,” puji Azril terharu. Jawabannya selalu mengagumkan dan di luar dugaan. Bagaimana rasa cinta itu tidak semakin besar jika sikap Safa selalu membuat hatinya terbuai.Senyumnya mengembang dan Safa sada
"M-Mas," ujar Safa bernapas lega saat melihat suaminya."Iya, Sayang. Ko kaget gitu, kenapa?" Azril mengernyit bingung.Safa segera mengalihkan, tidak ingin membuat suaminya murka karena dirinya yang melihat Faqih. Mungkin saja matanya memang salah melihat."Ah, tidak, Mas. Mas dari tadi?""Enggak, Sayang. Padahal, aku ada di sampingmu tadi. Aku pikir kamu hapal dengan mobilku, ternyata malah diam di sini." Sebenarnya Azril sudah melihat kehadiran Safa didekatnya.Namun, sepertinya Safa tidak melihat dan justru menghubunginya. Saat itu, Azril pun langsung turun dan menghampiri Safa.Safa hampir terkejut dan karena ketakutannya membuat Safa tak bisa fokus. Ia pun menarik lengan Azril ke dalam mobil untuk menghindari kerumunan para akhwat yang mulai mendekat.Sebelum memasuki mobil, Safa sempat mengedar pandangan untuk memastikan kehadiran Faqih dan ternyata sudah tidak ada."Sayang, ayo," kata Azril yang sudah berada di kursi pengemudi.Safa pun mengiyakan dan segera duduk. Tidak ingin