“Tidak usah malu. Aku ini suamimu,” kekeh Azril memerhatikan Safa yang tersipu.“Tapi aku bisa jalan sendiri.” Safa begitu malu. Tidak seharusnya diperlakukan seperti ini.“Aku tidak yakin kamu bisa berjalan, Sayang!” Azril berhasil membawa Safa ke dalam kamar mandi. Bahkan, sebelumnya sudah menyiapkan air hangat untuk wanitanya berendam.Mata Safa langsung membulat kaget. Pasalnya, di antara kedua kaki Safa memang terasa ngilu dan pikirannya semakin buyar saat Azril masih terdiam di hadapannya.“Mas tidak mungkin mau mandorin aku di sini, ‘kan?” tegas Safa menggigit bibir bawahnya.“Kenapa tidak, Sayang?” Pria itu sengaja menggoda istrinya dengan kedua alisnya naik turun.“Mas Azriil!” Safa bersiap hendak memukul Azril dan pria itu sudah lebih dulu pergi dari kamar mandi. Seketika pintunya di kunci rapat dan Safa menetralkan isi jantungnya yang masih saja gugup di hadapan Azril. Senyumnya melebar saat mengingat malam tadi, tidak menyangka jika dirinya sudah menjadi istri seutuhnya.
Safa tersentuh mendengar kalimat Azril yang membuat hatinya bergelora. Memang seharusnya bagi pasangan memiliki waktu berdua, terutama dirinya yang belum banyak mengenal Azril.Selama ini, banyak hal baru dari sosok Azril termasuk perubahannya yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya yang luar biasa.“Aku menyayangimu, Safa Brenda.”Azril mendekatkan bibirnya pada lengan Safa dan mengecupnya penuh mesra berbarengan dengan dada Safa yang berdesir merasakan ketulusan pria yang pernah dibencinya.Seolah rasa cinta yang menggema mengalir begitu saja, mungkin karena tubuh yang sudah menyatu sehingga hatinya amat terharu.“Aku juga menyayangimu, Mas,” lirih Safa pelan.Pagi itu menjadi indah dengan sikap Azril yang manis. Keduanya saling bertukar mesra tanpa memedulikan orang lain, walau nyatanya ruangan yang ditempati hanyalah berdua.Sampai siang tiba, kedua sejoli itu sudah berpindah tempat menuju rencananya yang akan menginap di tempat Amih. Azril melirik istrinya yang sedari tadi
Kedua sejoli pun sudah rapi dengan pakaiannya yang saling bergandeng mesra menghampiri sang tuan rumah dengan bibir merekah.“Loh, kalian mau pulang sekarang?”“Iya, Mih, besok Azril sudah kembali bekerja dan Safa juga banyak kegiatan.” Azril tak melepaskan genggamannya.Rencananya memang hanya menginap satu hari dan pagi ini sudah mengatur rencananya untuk menghabiskan waktu berdua. Entah ke mana, yang penting jalan bersama Safa.“Kenapa tidak sore saja pulangnya. Amih masih kangen dengan kalian.” Hamidah baru merasakan kebersamaan sehari dan kini harus ditinggal lagi.“In syaa Allah nanti Azril dan Safa akan menyempatkan waktu main ke sini,” tutur Azril.Sebenarnya, ia tidak tega melihat ibunya yang sendu, tetapi waktu liburnya pun tidak banyak bahkan meninggalkan Safa sendiri juga tidak mungkin karena Safa meninggalkan ayahnya sendiri.“Iya, Mih, nanti Safa main ke sini lagi.” Safa ikut menimpali.Hamidah pun pasrah, tak bisa memaksa anak dan menantunya untuk tetap tinggal. Ia mere
Safa menghela napas, lalu menggeser duduknya agar saling berhadapan. “Tidak sama sekali, Mas.”Hatinya penuh sesak mengingat dirinya pernah egois yang selalu menginginkan yang sempurna, tetapi sadar ia tak bisa terus menuntut dan mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi ketentuan Allah.“Aku bisa kembali mengukir impian itu bersamamu.”Meski Azril dan Faqih berbeda, tetapi Safa tak membandingkan. Ia menjalani pernikahan penuh ikhlas serta dirinya berjanji memberi yang terbaik untuk suaminya.Bibir Azril pun merekah penuh haru. Matanya memandang intens dan langsung merengkuhnya penuh syukur. Hatinya sendu tak terhitung banyak salah yang diperbuat.“Sekarang apa kamu bahagia hidup bersamaku?” Azril menguraikan dekapan, lalu tangannya mengusap kelopak mata Safa yang terlihat basah.Safa mengangguk tersenyum. “In syaa Allah aku bahagia..”Azril semakin haru hingga keduanya saling mendekap. Dalam hatinya berjanji tidak sedikit pun membuat istrinya terluka apalagi menangis
“Kamu tidak ingin aku mati kelaparan, ‘kan, Mas?” Safa berjalan merapikan baju kotor yang masih tersimpan di dalam paper bag.“Aku yang akan membawa makanan ke kamar nanti.”Wanita itu berdecak bahkan tatapan itu langsung dilayangkan ke arah Azril yang justru sedang tersenyum. Sama sekali tidak ada rasa bersalah, tetapi apa mungkin dia benar ingin mengurungnya?Safa menghela napas, lalu segera membersihkan diri daripada berdebat dan suaminya semakin nekat. Ia tidak habis pikir jika Azril memiliki sifat yang menyeramkan di balik sisi kasih sayangnya yang luar biasa.Usai bebersih, hati Safa sudah lebih tenang bahkan tanpa malu lagi menunjukkan rambut cantiknya. Ia memandang wajahnya di depan cermin sembari menyisir rambut hitamnya yang panjang dan sedikit bergelombang.“Mau sampai kapan lihatin aku terus?” Safa sadar dengan tatapan suaminya, terlihat dari pantulan kaca.Tak mendapat jawaban yang justru pria itu seolah enggan bangkit. “Aku tidak akan keluar kamar. Lebih baik kamu mandi
Tubuh Safa kaku dan tungkai kakinya lemas. Bagaimana bisa calon suaminya kembali hadir setelah satu bulan tak ada kabar.“Ka-mu benar Mas Faqih?” tanya Safa memastikan.“Iya, Dik, ini Mas,” lirih pria itu sendu. Matanya berkaca yang akhirnya bisa bertemu dengan sang kekasih.Safa sendiri tak bisa berkata, bibirnya terkatup rapat bahkan tangannya mencengkeram kuat lengan Azril dan pria itu membantu menopang tubuhnya yang jika tanpanya sudah dipastikan Safa akan terjatuh.“Maafkan Mas, Dik.”Hatinya semakin sembilu begitu hebat seolah takdir sedang memermainkannya. Tubuh yang masih berjarak melihat jelas jika di hadapannya benar Faqih.Dada Safa bergemuruh. Entah mengapa di saat hatinya sudah mulai mencoba melupakan calon suaminya, malah kembali dipertemukan dengan keadaan yang berbeda.Bahkan cengkeraman lengan Safa semakin kuat enggan untuk dilepaskan. Matanya melirik Azril, terlihat aura datar yang timbul di wajahnya. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat suaminya murka.“Dia siapa,
“Lepas, saya ingin mengejar Safa.” Faqih berontak dan meminta dilepaskan.Azril menahan Faqih untuk tidak masuk ke dalam. Ia tahu perasaan Faqih yang masih mencintai istrinya, tetapi Safa butuh waktu untuk menata hatinya.“Safa, Mas yakin kamu masih mencintai Mas,” teriak Faqih kencang.“Tolong, jangan membuat keributan di sini.” Sebagai tuan rumah dan kepala rumah tangga wajib baginya melindungi Safa. “Lebih baik Abang pulang sebelum saya menarik paksa Abang.”Azril masih tahu sopan santun dan masih memiliki hati baik. Jangan sampai kesabarannya habis karena sikap Faqih yang melewati batas.Faqih pun mendesis hingga melepaskan cekalannya kasar. Matanya memandang nyalang seolah menyiratkan kebencian yang mendalam. Seketika merapikan bajunya dan melenggang pergi.“Lihat, Dik, Mas tidak akan menyerah,” batinnya melangkah menjauhi rumah Safa.Sementara Azril masih berdiri di pintu memastikan jika pria itu tidak kembali lagi. Setelah aman, ia menyusul Safa yang pasti sedang bimbang.Di da
Safa begitu sumringah menyambut hari. Kegiatannya yang hanya mengurusi suami menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Tidak pernah absen sedikit pun seolah tidak ingin melewatinya.“Biar aku saja, Sayang.” Azril segera merebut dasi di tangan Safa untuk dipakainya.Melihat wajah Safa yang murung tidak bermaksud membuatnya sedih justru dia sudah melakukan tugasnya dengan baik.“Lebih baik kamu segera bersiap. Kamu juga ingin pergi, bukan?” Azril tidak ingin egois. Sejak tadi, Safa sudah sibuk dengan dirinya sedangkan dia sendiri seolah lupa padahal dia pun ingin pergi.“Iya, Mas, tetapi mengurus suami adalah kewajibanku jadi aku melakukan kewajiban terlebih dahulu daripada yang lain.” Safa menyingkirkan tangan Azril dan menyimpulkan dasinya untuk terikat sempurna.“Ma syaa Allah istri salehahku,” puji Azril terharu. Jawabannya selalu mengagumkan dan di luar dugaan. Bagaimana rasa cinta itu tidak semakin besar jika sikap Safa selalu membuat hatinya terbuai.Senyumnya mengembang dan Safa sada
Safa tersenyum senang melihat tingkah Zahra yang semakin hari semakin pintar. Terlihat dia sudah sangat aktif dan mudah diberitahu. Kini, ia sedang membantu dirinya yang menyiram tanaman.“Nda, duduk saja,” kata Ara.“Memangnya Zahra bisa?” tanya Safa tersenyum.Zahra mengangguk, lalu mengambil selang air dari tangan sang bunda dan menyiraminya ke tanaman. Seketika Safa terharu dengan sikap dewasa Zahra.“Ma syaa Allah, pintarnya anak Bunda. Ya sudah sekarang kita mandi, yuk.” Mengingat waktu sudah sore dan Zahra harus sudah rapi sebelum abinya datang.Zahra pun mengangguk dan berlari kencang. Sedangkan Safa menggeleng, lalu mengejarnya perlahan. Ia tak sanggup lagi untuk berlari seperti Zahra.“Jangan main air, Nak,” ujar Safa saat melihat putrinya sudah berada di kamar mandi. Dia sudah bisa mandi sendiri sehin
Selesai acara, wajah sumringah dan bahagia terpancar dalam diri Safa. Ia memang selalu senang seakan mendapat amunisi dalam tubuhnya.“Fin, bagaimana kesan pertamamu?” tanya Safa melihat wajah Finna yang murung.Finna menggeleng, tak bisa berkata lagi. Apa yang didengar cukup meresap dalam hati dan seolah tertampar membawa dirinya untuk menjadi lebih baik.“Terima kasih, Saf, sudah mengajakku ke sini,” ujar Finna sendu.“Semua atas izin Allah, Fin,” kata Safa. Ia senang jika Finna pun senang, penantian dan perubahannya tak sia-sia berarti.Mereka pun pulang dan Safa kembali mengantarkan Finna ke rumah. Setelah itu langsung bergegas karena Azril sudah menunggunya di rumah.“Mba mampir dulu ke dalam, istirahat, kita makan,” kata Safa menawarkan.“Nggak usah, Mba, saya langsung pulang saja,” balas Vio. Ia tidak enak dan ingin langsung istirahat di rumah saja.“Masuk dulu saja, Mba, jarang-jarang Safa menawarkan.”Suara itu muncul dari ambang pintu siapa lagi jika bukan Azril. Safa pun la
Pagi hari, Azril merengek pada Safa karena dirinya yang terabaikan. Biasanya baju dan perlengkapan sudah berada di atas kasur, tetapi kini tidak ada.“Sayang, bajuku mana?”“Iya, Mas, sebentar.” Safa menggeleng karena Zahra pun tidak ingin ditinggal.Drama setiap pagi memang selalu begitu. Anak dan suami memperdebatkan perhatiannya, Zahra pun selalu bisa mengambil simpati Safa yang membuat Azril cemburu.“Anak Bunda sudah cantik, ma syaa Allah.” Safa mengecup rambut Zahra yang wangi, lalu memberikan bedak yang sudah tertutup sebagai mainannya.Sedangkan Safa bangkit untuk mengambil baju sang suami dan Zahra langsung menangis mengejarnya.“Zahra, sini, Nak.” Azril memanggilnya, tetapi tidak digubris oleh Zahra.Anak itu justru menarik baju ibunya dan Azril pun mendekat untuk menggendongnya. Namun, bukannya anteng, anak itu malah mengamuk.“Anak salehah ko ambekan sih. Bentar, Sayang, bundanya lagi ambil baju dulu buat Abi,” kata Azril memberitahu.Zahra tetap menangis dan Safa yang sud
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me