Situasi sudah begitu memanas saat itu, sampai-sampai kami memutuskan untuk segera meninggalkan rumah itu. Aku merasa tak bisa lagi mencampuri perseteruan antara Bu Mirna, Mas Raka, dan Kalea, biarkan itu menjadi urusan mereka sendiri.Cukup sudah rasa sakit hati yang aku alami karena masalah rumah tangga mereka. Dalam kebimbangan, tiba-tiba Mas Attala tersenyum ke arahku, seolah memberikan dukungan dan meyakinkan bahwa aku harus mengikhlaskan masa lalu yang pahit itu."Rania kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi dengan mereka bukan? Sebaiknya kamu melupakan semua yang mereka lakukan kepadamu waktu dulu, aku tahu ini sulit bagimu," ujarnya, dengan menatap wajahku penuh dukungan."Mereka memang berbuat buruk kepadamu, tapi apa yang terjadi sekarang, ini bukti bahwa kita tidak bisa merebut apa yang bukan milik kita tanpa menimbulkan bencana bagi diri sendiri. Belajarlah menerima dan berserah pada Allah, aku yakin semuanya akan lebih baik dari yang kita pikirkan." Kata-kata Mas Atta
Aku, Kalea, benar-benar merasa murka ketika mengetahui rencana ibu mertuaku yang menginginkan Mas Raka mencari istri kembali, terlebih di saat aku sedang mengalami keterpurukan. Tidak ada rasa simpati sama sekali, bukan dukungan yang diberikan, melainkan ide untuk menggantikan posisiku sebagai menantu dan seorang istri di keluarga ini. Tanpa pikir panjang, aku kejutkan mereka saat itu juga, aku menggebrak meja dengan keras, lalu menatap mereka satu persatu dengan tatapan penuh amarahku. Melihat wajah mereka yang gugup saat itu, bagai anak nakal yang tertangkap basah ketika melakukan kenakalan. "Kalea, kau ....!" Ibu mertuaku terbata-bata dan sangat gugup melihat diriku yang saat itu datang tiba-tiba dan mendengar percakapan mereka. Bagaimana tidak, di saat yang seharusnya mereka memberikan dukungan dan perhatian, justru aku menemukan sisi tergelap dari keluarga suamiku sendiri. "Iya, aku mendengar semua yang kalian bicarakan. Sungguh aku tidak menyangka jika saat ini aku berada
Aku, Kalea, merasa sangat terpukul atas ucapan yang dilayangkan boleh ibu mertuaku kepadaku. Hatiku benar-benar sangat hancur, menerima kenyataan pahit yang terjadi dalam hidupku. Masihkah ada sisa kebahagiaan yang tertuai dari pernikahan ini? Andai aku bisa memutar balikkan waktu.***Aku, Rania, merasa sangat bahagia, setelah Mas Attala memberikan aku sebuah kejutan untukku.Setelah kami menjenguk Kalea, Mas Attala mengajakku pergi ke sebuah showroom mobil milik temannya.Sesampainya di sana, aku dan Mas Attala disambut oleh seorang pria yang umurnya sepantaran dengan Mas Attala.Aku merasa bingung, kenapa Mas Attala tiba-tiba mengajakku ke sini."Mas, kenapa kita ke sini?" tanyaku dengan menatap wajah suamiku yang tersenyum ke arahku."Memberikan dirimu kejutan," kata Mas Attala dengan merangkul pundakku.Aku bingung, kejutan apa yang dia maksud, mungkinkah dia akan membelikan aku sebuah mobil baru? Ah mana mungkin, untuk apa Mas Attala membelikan aku mobil, nyetir saja aku tidak
Aku meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Mas Attala, "Bekerja secara profesional saja, kamu tidak perlu menyangkut pautkan antara masalah pekerjaan dan masalah pribadi, tunjukkan dirimu, bahwa kamu itu wanita cerdas dan bukan seperti yang dia pikirkan selama ini." Dia menyeruput kopinya dengan santai, seperti sedang memberi contoh bagaimana seharusnya menghadapi permasalahan hidup."Kamu bisa memberikan pelajaran hidup untuk mantan suami kamu, agar tidak meremehkan orang yang dipandang rendah olehnya. Namun, saat melakukan itu, jangan gunakan jabatanmu untuk kembali merendahkan orang yang sudah merendahkan dirimu," lanjut ucapan Mas Attala saat memberikan nasehat kepadaku. Dalam keheningan hati, aku mulai merenung. Apakah aku hanya ingin balas dendam dengan kesuksesanku nanti? Apakah yang dicontohkan Mas Attala lebih dari sekadar pelajaran tapi juga sebagai pengajaran? Aku bertanya pada diriku sendiri tentang nilai yang bisa aku ambil dari ucapannya. Sungguh bijak lelaki yan
Kejutan besar itu, membuat kedua mata Mas Raka langsung terbelalak, ia tampak tak bisa berkata-kata lagi, saat mengetahui Mas Attala adalah bosnya.Mas Attala tersenyum dan dia merangkul tubuhku dengan mesra, wajah Mas Raka seketika memucat, saat ia melihat kami bersama.Dia tidak menyangka jika bos yang dia kenal dengan bos Attar adalah suamiku."Kenapa Raka? Kau sepertinya terkejut melihat ini?" Mas Attala tampak santai saat melihat Mas Raka saat ini sedang gugup dan shich setelah mengetahui dirinya adalah bosnya.Mas Raka hanya terdiam seribu bahasa, wajahnya tampak pucat pasi dan tak sedikit pun dia berani menatap wajah Mas Attala yang saat ini berada di depannya.Mas Attala yang mungkin tau jika situasi ini sedikit pribadi, membuatnya meminta Pak Amri untuk keluar dari sana."Pak Amri, tolong tinggalkan kami di sini," perintah Mas Attala dengan nada sopan."Baik, Pak, kalau begitu saya permisi dulu," pamit pak Amri kepada Mas Attala.Mas Attala menjawab dengan bahasa tubuhnya den
Aku terkejut, saat Mas Attala mengatakan jika Mas Raka saat ini berbuat curang pada perusahaan miliknya."Maaf, Mas, aku hanya melihat ada data yang memang belum dimasukkan. Namun, semuanya sudah balance perhitungannya," ralatku saat itu.Mas Attala tersenyum menatap wajahku, dia terlihat santai saat mendengar ucapanku. "Sudahkah kau melihat lebih teliti sejauh ini?" Mas Attala tersenyum dan mengacak rambutku dengan mesra, lalu menunjukkan bukti di mana ada beberapa barang-barang yang hilang dari gudang penyimpanan yang hendak dikirim ke beberapa supplier besar. "Tidak banyak, hanya saja setiap bulannya kita menderita kerugian 6 jutaan, dan ini sudah berlangsung lima bulan yang lalu, sebelum aku ke sini," jelas Mas Attala dengan santai. Aku terkejut, hatiku berkecamuk saat mengetahui bahwa kerugian perusahaan akibat kehilangan barang-barang tersebut. Namun, meskipun ada bukti yang kuat, aku masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa itu adalah ulah Mas Raka. "Tapi, apa Mas Attala y
Aku melihat wajah Mas Raka yang saat itu sangat gugup, ketika aku meminta untuk mengganti laporan yang salah itu dengan laporan yang benar.Aku yakin, dia pastinya sudah tau, jika ada selisih barang dari laporan itu, jika dia menggantinya dengan data yang benar.Raut wajah Mas Raka terlihat pucat pasi dan kulihat wajahnya kini dipenuhi dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya, setelah aku menodongkan sebuah pernyataan yang cukup membuat Mas Raka tak mampu berkata-kata lagi."Kenapa kamu diam, Mas? Kau mau mengaku di depanku sekarang, atau di kantor polisi, Mas?" desakku mulai mengintimidasi Mas Raka.Mas Raka semakin resah, dia tak beraani menatapku, dan ku lihat raut wajahnya mulai resah menatap wajahku, hingga akhirnya dia pun mengatakan yang sebenarnya kepadaku."Rania, tolong jangan laporkan aku ke polisi, aku minta maaf," jawab Mas Raka dengan nada sedikit tercekat di tenggorokan.Mendengar itu, seketika membuat diriku semakin penasaran dengan apa yang akan diakui oleh Mas
Aku sudah terlalu lama berdebat dengan Kalea, membuat emosiku meluap. "Maaf Kalea, aku ke sini bukan untuk berdebat dengan dirimu, apalagi mendengar ocehanmu. Aku ke sini hanya ingin mengambil mobil yang sudah menjadi milik kami," ujarku dengan nada kesal."Jangan bermimpi, Rania. Jika kamu mau mobil, sebaiknya kamu beli sendiri, jangan minta mobil mantan suami kamu," balas Kalea, yang tampaknya masih belum mengenal betul siapa aku sebenarnya. Rasa frustasi mulai menggelayut di dalam pikiran. Mobil itu sudah di oper kredit Mas Raka kepada suamiku, tentu saja aku memiliki hak atas mobil itu, tapi Kalea terus menyangkalnya, tak percaya dengan apa yang aku katakan, meskipun aku sudah memberikan bukti untuk dirinya.Aku ingin menegaskan posisiku dan mendapatkan mobil itu secepatnya. Namun, tidak ingin memperpanjang perdebatan, aku pun memutuskan untuk berteriak memanggil Mas Raka, agar dia keluar dari dalam rumahnya. "Mas Raka! Mas Raka!" teriakku dengan suara lantang, berharap dia aka