Pov Akbar Sidang demi sidang dijalani, tapi harapanku sia-sia. Hanifah tetap bersikeras untuk bercerai dan setelah sidang mediasi pertama kami, dia tidak pernah datang lagi. Semua sidang diwakilkan pengacaranya. Padahal aku sengaja datang hanya untuk bertemu dengannya. Namun orang yang kutunggu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Entah seperti apa hidupnya sekarang, apa benar dia ada main dengan pengacara tersebut atau laki-laki lainnya karena gaya hidup Hani benar-benar berubah. Berbanding terbalik denganku, hidupku saat ini terasa hampa tepat saat pembacaan hasil sidang perceraian kami dimana kami–aku–dan–Hanifah dinyatakan resmi bercerai. Ketuk palu yang paling kutakutkan akhirnya terdengar juga. "Hei, sabar. Ini cobaan. Namanya juga hidup ada pasang surutnya kehidupan. Kalau kamu sudah dinyatakan tak bersamanya ya sudah. Jalani saja. Ini pasti sudah takdirnya." Eka, rekan kerja di kantor mencoba memberi kekuatan dan nasihat atas hasil keputusan sidang perceraianku dimana
"Nit." Aku menyapa Nita seraya menatap lekat laki-laki yang masih berdiri di depannya. "Eh, Sayang. Kenalkan ini Andi, sepupuku, dia bela-belain datang ke sini buat acara kita, Mas."Andi? Aku baru tahu dan baru dengar nama tersebut. Memang kuakui belum mengenal betul keluarga Nita. Sejauh ini baru kenal ibu mertua dan adik ibunya yang bernama Pak Yogi. Orang inilah yang menikahkanku waktu itu saat ijab kabul. Ayah Nita sudah meninggal lima tahun lalu. Makanya diwakilkan sama pamannya tersebut. "Andi." Laki-laki muda kisaran dua puluh lima tahun ke atas itu mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan tatapan tajam tak suka. Kenapa? Karena sejak bicara berdua dengan istriku ini, tangannya tak henti memegang perut Nita. Aku tahu hubungan mereka sepupu, tapi setahuku tak harus seakrab itu. Tak perlu pegang-pegang terus perut istriku yang membuncit tersebut. Aku tak suka dan tak nyaman juga dengan pandangan orang-orang di sini. Takut dikira tak sopan atau mereka berpikir negatif sa
Pov Akbar"Ibu boleh tinggal di sini ya sementara nunggu kelahiran anakmu, biar Ibu nggak bolak-balik lagi, sekalian jagain Nita." Ibu mertuaku tiba-tiba melontarkan permintaan tersebut. Sebenarnya aku tak masalah, tapi karena di sini juga ada ibuku, otomatis aku harus izin juga padanya. Apalagi ini adalah rumahnya atau rumah orangtuaku, rasanya tak sopan kalau aku iyakan saja tanpa persetujuan darinya. Walaupun kurasa Ibu takkan keberatan karena mereka adalah teman lama. Mungkin Ibu malah kesenangan ada teman sebayanya dalam satu rumah. "Oh, begitu, Bu. Sebenarnya nggak papa sih, Bu. Tapi saya tanya Ibu saya dulu, ya? kan ini rumahnya, Bu, saya masih numpang di sini," ujarku bicara dengan sangat hati-hati takut Ibu mertua berpikir yang tidak-tidak dengan tidak segera mengiakan permintaanya tersebut. "Oh, pake izin ya? Padahal tak perlu, Bar. Ibumu pasti takkan keberatan dengan keputusanmu. Mau bagaimanapun juga rumah ini pasti diwariskan padamu, anak laki-lakinya."Aku hanya ters
Aku terdiam dengan mulut terbuka dan mata membola saat rombongan lima orang memasuki ruangan tempat meeting akan dilangsungkan. Aku sampai mengucek mata karena merasa tak percaya dengan apa yang kulihat. Hanifah. Salah satu dari lima orang itu adalah mantan istriku. Dia ikut meeting. Wajah wanita itu wajahnya. Namun apa mungkin dia kerja dan …. Tidak! Itu tidak mungkin. Pasti aku salah orang. Mana mungkin Hanifah bisa datang dan ikut rapat bersama denganku? Dia siapa? Kerja dimana? Rasanya tidak mungkin wanita yang cuma tamatan SMA bisa kerja kantoran dan sekarang ada di hadapanku. Ikut rapat lagi, mungkin cuma mirip saja. "Hanifah, kamu …?"Rizki. Teman satu kantorku itu mengenal Hanifah dan tentu saja penglihatannya sama denganku. Terkejut. Ia pasti kaget menemukan wajah istriku diantara tiga wanita yang datang saat ini mengikuti rapat bersama kami. "Akbar?" sapanya pula bergantian menatapku dan wanita berwajah Hanifah tersebut dengan raut tak percaya. "Ekhem." Aku berdeham
"Kamu kenapa Mas kok pulang kerja berwajah masam begitu?"Nita menegurku saat masuk ke dalam kamar karena melihat wajahku yang kusut ini. Sepertinya tampak sekali raut tak menyenangkan itu terlihat di mukaku. "Hm." Aku berdeham sekali, lalu menghembuskan napas kasar. Kurebahkan diri ke kasur berharap lelahku hilang. Hari ini merupakan hari terburuk bagiku. Bertemu dengan sosok mantan, tapi tak bisa diajak bicara sedikit pun. Dia bahkan seolah tak mengenalku. Bahkan sepertinya ini untuk pertama kalinya aku diabaikan oleh seorang wanita. Yang kedua aku gagal dapat bonus dari Bos gara-gara aduan dari wanita bernama Hanifah. Ya, dia yang menjadi klien kami wajahnya sangat mirip dengan mantan istriku. Namanya pun sama, apa mungkin beda orang? Ternyata benar kata Rizki dan Yosep, seharusnya aku tak begitu penasaran dengan wanita tersebut hingga membuatnya tidak nyaman selama proses meeting berlangsung bersama kami. Tapi kenapa dia tega sekali mengadukan rasa tak senangnya itu pada atasan
"Mas, bangun.""Mas.""Mas ….""Mas, sakit Mas. Sepertinya aku mau lahiran." "Heh? Hm … udah, bawa tidur aja. Paling cuma kontraksi palsu. Mas ngantuk," jawabku menepisnya masih dengan memejamkan mata membalas ucapan Nita yang kuanggap sedang mengganggu tidurku saja. Hari ini aku lembur demi dapat uang tambahan buat persiapan lahirannya, dan barusan hitungan sejam lalu aku tertidur, dan sekarang dibangunkannya dengan pernyataannya yang mengerjaiku. Sudah tiga sampai lima kali terjadi hal seperti ini. Awalnya aku siaga, gerak cepat dengan membawa langsung Nita ke rumah sakit bersalin karena kupikir dia sungguhan ingin melahirkan, tapi apa yang terjadi, sudah sampai di sana yang ada ternyata hanya kontraksi palsu. Sakitnya tiba-tiba hilang begitu saja sedang aku, karena saking paniknya pergi ke rumah sakit tanpa alas kaki dan cuma pakai celana pendek di atas paha. Untung masih pakai baju. Rasanya memalukan. Sekarang terjadi lagi hal seperti ini. Aku malas menanggapinya. Dibiarkan saja,
"Akbar, bagaimana Nita, anaknya? Ibu dengar suara tangisan bayi? anakmu lahir selamat kan?" Ibu bertanya. Aku diam belum menjawab. "Nita baik-baik saja kan, Bar? Kok wajah kamu kayak gitu?" Sekarang giliran Ibu mertua ikut menimpali. Kedua ibu yang menunggu kabar tentang Nita mencercaku setelah aku keluar dari ruang operasi. wajah mereka masih diliputi senang dan cemas. Apalagi melihat wajahku yang sepertinya nampak sekali ada masalah. Padahal anak kami baru saja lahir, tapi ekspresiku tak menunjukkan kebahagiaan. "Eh, Nita … baik. Anaknya baik juga. Akbar keluar sebentar sekalian nenangin diri dulu," jawabku sembari berjalan mengambil duduk di kursi tunggu yang ada di dekatku. Rasanya tenaga dan jiwaku butuh istirahat sejenak. "Alhamdulillah." Ibu mengucap syukur dibarengi juga ucapan syukur dari Ibu mertua. "Loh, kok malah di sini? Masuk lagi Bar, temani Nita. Kasihan dia baru saja melahirkan," paksa Ibu mertua menarik lengan bajuku agar bangun dari posisi duduk bersandar. Sese
"Cuma apa? Sudahlah nanti saja dibicarakan. Ayo ikut Ibu ke ruangan Nita. Dia sudah nunggu kamu di sana. Anakmu harus diadzankan segera. Lagian kok bisa lupa. Malah nyelonong pergi keluar begitu saja. Bukannya perhatikan Nita dulu, tanya keadaannya bagaimana, perhatikan anakmu juga, tunggu dia, sampai mereka sendiri yang minta kamu keluar. Baru kamu keluar. Lagian tadi ngapain ngejar dokter, apa ada masalah? Semuanya baik-baik saja kan?" Panjang lebar Ibu menanyakan perihal aku keluar dan malah mengejar dokter. Tangannya setia menarikku seolah aku adalah anak kecil yang masih dituntun untuk berjalan. Aku memilih diam karena bingung harus menjawab apa. Separuh jiwaku sepertinya tidak berada di tempat. Aku masih kepikiran tentang perkataan Dokter Abi kalau kandungan Nita sudah genap, tidak kurang seperti yang diketahui olehku atas laporan Nita tentang hasil pemeriksaan kehamilannya tiap bulan, dan menurut perhitunganku, sama dengan Nita, dia seharusnya belum genap. Seharusnya anak ini
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap