"Akbar, bagaimana Nita, anaknya? Ibu dengar suara tangisan bayi? anakmu lahir selamat kan?" Ibu bertanya. Aku diam belum menjawab. "Nita baik-baik saja kan, Bar? Kok wajah kamu kayak gitu?" Sekarang giliran Ibu mertua ikut menimpali. Kedua ibu yang menunggu kabar tentang Nita mencercaku setelah aku keluar dari ruang operasi. wajah mereka masih diliputi senang dan cemas. Apalagi melihat wajahku yang sepertinya nampak sekali ada masalah. Padahal anak kami baru saja lahir, tapi ekspresiku tak menunjukkan kebahagiaan. "Eh, Nita … baik. Anaknya baik juga. Akbar keluar sebentar sekalian nenangin diri dulu," jawabku sembari berjalan mengambil duduk di kursi tunggu yang ada di dekatku. Rasanya tenaga dan jiwaku butuh istirahat sejenak. "Alhamdulillah." Ibu mengucap syukur dibarengi juga ucapan syukur dari Ibu mertua. "Loh, kok malah di sini? Masuk lagi Bar, temani Nita. Kasihan dia baru saja melahirkan," paksa Ibu mertua menarik lengan bajuku agar bangun dari posisi duduk bersandar. Sese
"Cuma apa? Sudahlah nanti saja dibicarakan. Ayo ikut Ibu ke ruangan Nita. Dia sudah nunggu kamu di sana. Anakmu harus diadzankan segera. Lagian kok bisa lupa. Malah nyelonong pergi keluar begitu saja. Bukannya perhatikan Nita dulu, tanya keadaannya bagaimana, perhatikan anakmu juga, tunggu dia, sampai mereka sendiri yang minta kamu keluar. Baru kamu keluar. Lagian tadi ngapain ngejar dokter, apa ada masalah? Semuanya baik-baik saja kan?" Panjang lebar Ibu menanyakan perihal aku keluar dan malah mengejar dokter. Tangannya setia menarikku seolah aku adalah anak kecil yang masih dituntun untuk berjalan. Aku memilih diam karena bingung harus menjawab apa. Separuh jiwaku sepertinya tidak berada di tempat. Aku masih kepikiran tentang perkataan Dokter Abi kalau kandungan Nita sudah genap, tidak kurang seperti yang diketahui olehku atas laporan Nita tentang hasil pemeriksaan kehamilannya tiap bulan, dan menurut perhitunganku, sama dengan Nita, dia seharusnya belum genap. Seharusnya anak ini
“Hai, Bro. Selamat ya. Akhirnya jadi bapak juga.”Rizki menyambutku dengan ucapan selamatnya saat keluar dari lift yang membawaku ke lantai ruangan tempatku kerja. Baru juga datang, laki-laki itu sudah tahu saja kabarku ini. Rizki memang paling gercep karena pasti dia lihat story medsosku. Itu semua gara-gara Nita yang memamerkan foto anak kami ke dalam story medsosku. Katanya biar semua orang tahu dan hanya ingin berbagi kebahagiaan. Entah apa maksudnya. Apa dia ingin semua orang tahu siapa dia dan statusnya di hidupku? Selama ini pernikahan kami belum resmi secara hukum walaupun sudah beberapa bulan telah bercerai dari Hani. Aku tersenyum dan menjabat tangannya serta tak lupa mengucapkan terimakasih. “Terima kasih ya.”Sebuah tepukan ringan di bahu jadi balasan dari Rizki. Dan tak lama teman kerja yang lain ikut memberi ucapan yang sama meskipun ada beberapa yang bingung serta kaget mendengar berita aku telah menjadi seorang Ayah. “Eh sudah jadi ayah saja, kapan nikahnya?” Mery be
Hari ini akhirnya Nita dan anak kami sudah bisa keluar dari rumah sakit. Semalaman Ibu dan aku berjaga karena si kecil selalu terbangun dan menangis. Sedangkan ibunya nyaman sekali tidur pulas tak tahu menahu dengan kondisi kami yang kelelahan akibat begadang sampai subuh. “Keadaanmu sudah baikan bukan?” Aku bertanya memastikan. Aku tak mau kalau nanti harus ke sini lagi hanya karena menuruti ego Nita yang ingin segera pulang tapi kondisinya tak sebaik yang dilihat. “Huum, sudah enakan, kok, Mas. Cuma rasa nyeri saja yang kadang terasa kalau efek obat hilang,” balasnya sambil memegang pelan area bagian perut, memberitahukan.“Nanti juga dikasih obatnya sama dokter. Yang penting kamu hati-hati. Hm, jadi kan hari ini pulang?” sekali lagi aku bertanya memastikan. Nita mengangguk sambil menyusui Kesya. Sekarang dia baru mau menyusui anaknya setelah merasa b*ah dadanya bengkak karena ASInya penuh dan sudah lancar keluar dengan sendirinya. “Ya sudah. Kamu sama Ibu siap-siap. Setelah do
“Bagaimana kuliahmu? Lancar?” Bu Rosa bertanya setelah aku duduk di depannya, di ruang tamu. Setelah cukup lama bergelut sibuk dengan kuliah, aku mencoba hadir mengunjungi keluarga baruku. Tak enak jika aku terkesan melupakan mereka dan tidak berkunjung ke rumah. Sekarang aku resmi diangkat anak oleh pasangan suami-istri–orangtua dari Reni. Aku tak tahu seperti apa prosedur administrasinya, yang jelas semua sudah diurus mereka, aku terima beres saja dan ada bukti resmi aku telah jadi bagian dari keluarga mereka. “Alhamdulillah baik, Bu.” Tak lupa senyum menghiasi bibirku. Seperti janji mereka, aku harus kuliah jurusan bisnis untuk dipersiapkan masuk ke dalam perusahaan mereka nantinya. Sebagai penerus keluarga Dermawan. Konsekuensi yang harus kudapat karena bersedia jadi bagian dari mereka. Aku mungkin layaknya sebuah boneka. Harus patuh dengan aturan mereka. Namun setelah menimbang semuanya, selama tak menodai harga diri, aku tak peduli. Mereka sangat baik padaku dan memperlakukan
“Kamu yakin?” “Iya, Bu. Besok acara tasyakuran tujuh bulanan istrinya.”Aku tersenyum kecut mendengar informasi dari Beni–orang yang kuminta mengawasi Mas Akbar dan keluarganya. Setelah mendapat ketidakadilan dan fitnah dari mantanku itu, kuputuskan bersuara dan membalaskan semuanya. Diamku ternyata malah dimanfaatkan olehnya. Padahal dia cukup diam saja, tak perlu mengusikku, kita telah hidup masing-masing setelah perpisahan tersebut, maka aku pun tak kan mengusiknya. Takkan kubuka juga aibnya. Biarkan waktu yang membukanya dan kurasa itu pasti akan sangat menyakitkan kalau nanti dia tahu anak yang dikandung istrinya selama ini dan telah disayanginya ternyata bukanlah anaknya. Itulah yang menyebabkan aku diam dan rela pergi dari rumah dengan cemoohan sumbang mereka, dan menutup rapat rahasianya. Namun rupanya sikapku tersebut membuatnya memutarbalikkan fakta tentang apa yang selama ini kututupi. Aku yakin itu sebagai umpan agar orang bersimpati padanya dan aku terlihat sebagai istr
“Nah itu dia orang yang kita tunggu akhirnya datang juga.” suara Bu Rossa terdengar saat kaki ini melangkah mendekati mereka yang telah berkumpul di ruang tengah. Sorot matanya ke arahku diikuti oleh yang lainnya. Aku mengernyit, merasa tak nyaman jadi pusat perhatian. Sepertinya akulah yang terlambat datang ke rumah ini, dan sedang dinantikan kedatangannya. Sebenarnya ada acara apa ini? Aku kira cuma undangan makan malam biasa, dan itu pun diundang dadakan oleh Bu Rossa, kupikir cuma untuk keluarga kami saja. Tak tahunya ada keluarga Dokter Alfian juga yang datang. Iya, mereka memang cuma berdua, dokter dan ibunya, tapi tetap saja rasanya aneh. Seperti pertemuan dua keluarga atau … apalah. Aku merasa ada sesuatu yang sedang direncanakan, tapi apa, aku sendiri belum bisa meraba. “Assalamu'alaikum. Maaf telat,” ujarku menangkupkan kedua tangan ke arah mereka semua merasa tak enak, lalu menyalami semuanya kecuali Dokter Alfian. Tanganku tak terulur padanya. Aku cuma sedikit menundukkan
Pov Author“Kenapa dimatikan? Pacar?”Hanifah tercengang mendapatkan pertanyaan selidik dari Dr. alfian. Ia menatap balik sosok laki-laki tersebut dengan kening berkerut. “Bukan, rekan kerja,” jawab Hanifah sekedarnya. Ia tidak ingin bercerita banyak tentang siapa yang sedang menghubunginya barusan. Lagipula tak penting juga dijelaskan pada laki-laki di sebelahnya karena mereka tak ada hubungan apa-apa meskipun barusan pasangan orangtua angkat dan ibu dari laki-laki tersebut berencana menjodohkan keduanya. “Ya, kenapa tidak diangkat kalau cuma rekan kerja,” ulang Dr. Alfian mendesak ingin tahu. Ia yakin yang barusan menghubungi Hanifah adalah laki-laki. Entah lagi dekat atau bisa jadi itu pacarnya. Rasanya sulit mempercayai kalau wanita yang sekarang ini sedang diantarkannya pulang belum memiliki tambatan hati. Itu juga yang meyakininya kenapa Hanifah tak langsung menyetujui perjodohan keduanya. ***Seminggu sebelumnya. “Yan, masih ingat Hanifah bukan?” ibunya Dr. Alfian bertanya
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap