Di sebuah restoran mewah, ruangan VIP dihiasi dengan indahnya. Penuh bunga mawar merah, putih, dan pink. Kombinasi yang begitu terasi. Lampu secerah bulan purnama semakin melengkapi kehangatan. Meja berbentuk lingkaran pun dihiasi pernak-pernik perlengkapan makan yang elegan. Lilin putih yang menyala semakin memperindah meja. Yang biasanya hanya ada sepasang kursi, berbeda dengan ini, ada tiga kursi yang siap di duduki oleh yang punya acara."Ma, mama udah selesai?" tanya Devina di depan pintu."Masuk aja, Na!"Devina membuka pintu kamar Ratna yang tak dikunci."Wah, mama cantik sekali pakai gaun peach ini." Puji Devina kagum. Matanya sama sekali tak berkedip saat baru masuk ke kamar perempuan yang melahirkannya itu.Dipuji anak semata wayangnya, Ratna pun menoleh ke belakang. Tampak gurat wajah tak percaya diri dari ibu satu anak ini."Mama keliatan lebay ya, Na?" tanya Ratna. "Mama ganti baju aja ya? Lagian 'kan cuma makan malam biasa.""Ma, sesekali nggak apalah dandan. Oom Arjuna
Ratna menutup mulut dengan kedua tangannya, menatap cincin yang masih berada dalam kotak merah berbentuk love, detik kemudian dia menatap Arjuna yang tersenyum. Alunan musik instrumental semakin menambah haru di hati Ratna."Kalau kamu mau menerima aku sebagai ayah Devina, ambil cincin ini, tapi … kalau tidak kamu tutup kotak cincin ini!" Penjelasan Arjuna sedikit membuyarkan tatapan Ratna.Ratna tidak langsung menjawab, dia malah menoleh ke arah kanan, dimana sang anak tercintanya berdiri."Terima, Ma!" pinta Devina meski hanya dengan gerakan bibir dan disusul dengan senyum semringah.Ratna tampak menghela napas dalam-dalam kemudian dia lepaskan perlahan. Sempat juga memejam matanya beberapa detik.Jantung Arjuna terasa mau jatuh dari posisinya, kala melihat tangan Ratna perlahan mendekat ke kotak cincin yang ada di tangannya."Kalau aku ragu bagaimana?" tanya Ratna bersamaan dengan terhentinya tangannya yang hanya berjarak satu sentimeter dari kotak cincin tersebut."Kalau kamu ragu
Arjuna menepati janjinya menghubungi Ratna lewat sambungan telepon."Jadi gimana, Mas? Aku nggak mau kalau, kisah lama kejadian lagi," jelas Ratna membuka pembicaraan setelah mereka basa-basi hal lain saat telepon baru saja tersambung."Aku udah cerita semuanya ke mami, satu bulan yang lalu. Pas, pulang dari rumah sakit. Mami langsung nyodorin aku dengan berbagai macam pertanyaan. Apalagi dia juga melihat berita itu di televisi.""Terus apa tanggapan mami kamu?""Ya … aku jelasin semuanya, dari awal hingga bagaimana Bram begitu berniat untuk menghancurkan aku. Dan, aku juga kasih tahu, semua berjalan mulus atas dorongan Dara yang juga memberi Bram sejumlah uang.""Yang jelas, mami shock, wajar menurutku. Apalagi soal Dara. Jelas ada bentuk ketidakpercayaan mami soal itu. Tapi aku juga nggak maksa mami. Karena aku paham, pasti nggak gampang buat mami. Jadi, seminggu setelahnya, barulah mami tanya lagi. Apa motif Bram sampai nekat berbuat seperti itu.""Kamu jawab apa, Mas?""Dia sakit
Flashback …."Bagaimana keadaan si pengkhianat itu?" Dua hari setelah acara, Jayanto menyempatkan diri datang ke kantor sekaligus ingin memantau keadaan kantor secara langsung. Sudah lama rasanya dia tak berkunjung."Belum tahu, Pak. Masih ditangani dokter sampai saya pulang.""Kenapa nggak ditungguin?" tanya Jayanto sedikit heran. Karena dia juga meminta Arjuna untuk melihat kondisi Bram secara langsung. Apalagi pasca insiden kecelakaan itu, Jayanto langsung bergegas meninggalkan hotel."Mamanya ngamuk ke saya, Pak. Malah nuduh yang macam-macam. Bikin suasana rumah sakit kacau jadinya, sampai satpam turun tangan. Saya masih sempat nunggu setelah keributan itu, hanya saja takut mamanya heboh lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk pergi.""Pasti ibunya akan laporkan ke polisi ya?""Katanya begitu, Pak. Ya … silakan saja, yang ada anaknya bakalan tidur di penjara. Untuk kondisi Bram, biar saya yang ke sana nanti pas jam makan siang. Gimananya, saya kabari bapak.""Oke, saya hanya ingin tah
"Kamu udah ngasih tahu Ratna kalau mami pengen ketemu sama dia?"Shanti menagih janji anaknya, yang katanya akan mencarikan waktu untuk bertemu dambaan hati."Aku sudah ngasih tahu kalau mami kasih restu. Cuma untuk waktunya belum."Mereka membicarakan ini tepat esok paginya setelah Arjuna melamar Ratna secara pribadi semalam.Dirinya pun menghentikan aktivitas makan roti bakar dan menatap lekat wanita yang melahirkannya itu."Semalam, secara pribadi, aku udah ngelamar Ratna ….""Apa?" Saking kagetnya roti bakar yang baru saja digigitnya jatuh ke piring.Tentunya, sikap kaget Shanti malah membuat Arjuna bingung, apalagi Shanti memotong pembicaraannya yang belum selesai."Kenapa, Mi? Kok kaget banget, sampai gigitan rotinya jatuh gitu," tutur Arjuna heran. Shanti berusaha mengontrol diri."Iya, ya kaget dong. Harusnya kamu lamar dia bawa mami dong.""Oh … kirain apaan tadi. Sebelum sama mami, tentu secara pribadi dulu.""Terus Ratna gimana? Nggak nolak 'kan?""Nggak, dia nerima. Lamara
Seminggu pun berlalu, hubungan antara Shanti dan Arjuna lebih dingin dari sebelumnya. Apalagi setelah Arjuna mengetahui jika maminya belum sepenuhnya hati menerima Ratna. Dan, malah memaklumi sikap Dara yang terbilang tak ada moral itu."Jadi gimana? Ini sudah seminggu lho dari waktu yang kamu tuduh mami itu lho?""Nanti-nanti ajalah ketemunya, Mi. Aku lagi sibuk di kantor," sahut Arjuna se lewat saat hendak berangkat kerja."Oh oke, nggak masalah. Mami terserah kamu juga. Mau cepat nikah atau enggaknya juga tergantung kamu," balas Shanti dengan nada ketus.Komunikasi Shanti dan Dara kian intens, Dara yang kemarin-kemarin itu sempat kual mahal, sekarang kembali menjilat ludah sendiri. Demi menarik hati Shanti, modal berapapun kembali tak jadi persoalan baginya. Dan, bagi Shanti, ini adalah kesempatan emas yang mustahil akan datang untuk kesekian kalinya. Akibat hasutan Dara yang meracuni pikiran Shanti, sekalipun Ratna kaya punya saham besar di perusahaan Arjuna bekerja, belum tentu R
Saat Dara dan Shanti digiring masuk ke dalam mobil. Pak Sobri pun langsung menghubungi Arjuna."Bagaimana bisa begini, Pak?" tanya Arjuna saat baeu sampai di kantor polisi."Saya juga tidak tahu, Pak. Tadi ibu cuma minta antar ke kafe ini. Awalnya saya juga tidak tahu jika ibu akan bertemu dengan Neng Dara."Berulang kali Arjuna menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan. Wajah paniknya pun tak bisa dia sembunyikan.Di kantor polisi, Dara mengikuti tes urine serta beberapa introgasi lainnya. Sementara Shanti, diinterogasi beda ruangan, untuk meminimalisir informasi palsu."Saya cukup kenal dengan Dara serta keluarganya. Mana mungkin anak lulusan luar negeri seperti dia memakai barang haram itu," sanggah Shanti.Dia tak bisa menyembunyikan rasa geramnya setelah dicecar dengan beberapa pertanyaan."Segala kemungkinan bisa terjadi. Apalagi keadaan seperti ini sangat rawan.""Atur sajalah, Pak. Tapi yang jelas saya tidak percaya," balas Shanti tegas."Oke. Sekarang giliran ibu juga di
Rasa kaget tak bisa dielakkan Arjuna."Apa, Pak? Pengedar?" tanya Arjuna tak yakin.Polisi itupun mengangguk, "Ini baru dugaan karena kami menemukan plastik kecil beberapa buah. Makanya, sementara kami menahan saudari Dara untuk pengembangan kasus ini. Kalau nanti kami butuh bantuan, apakah bapak bersedia untuk memberikan infomasi?""Siap, Pak. Saya bersedia."Arjuna pun pamit setelah polisi mengucapkan terima kasih."Langsung pulang aja, Mi. Dara ditahan." Arjuna menjelaskan secara singkat kala bertemu Shanti di teras luar."Ditahan kenapa? Jelas dia bukan pemakai, kenapa musti ditahan?""Nanti aku ceritakan di rumah."Shanti dan Arjuna berada dalam satu mobil, sedangkan Pak Sobri sendiri.Baru saja mobil melaju meninggalkan kantor polisi, Shanti sudah menagih penjelasan. Baginya Dara bukan sebodoh itu untuk mengkonsumsi barang haram tersebut."Dara itu pemakai, Mi. Malah kuat dugaan kalau dia juga pengedarnya.""Ah, nggak yakin mami kalau dia pemakai. Bisa saja hasilnya itu ditukar
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.