32Basman tertegun, ketika didatangi Anton, sesaat sebelum membuka pagar rumahnya. Walaupun tidak menyukai pria itu, karena telah menyakiti putrinya, tetapi Basman tetap membiarkan Anton menyalaminya dengan takzim. "Apa kabar, Pak?" tanya Anton setelah menegakkan badan. "Baik," jawab Basman. "Untuk apa kamu ke sini?" tanyanya. "Aku minta izin untuk menemui Ririn." "Dia tidak tinggal di sini. Sudah pindah." "Ke mana?" "Saya sudah berjanji tidak akan memberitahukannya padamu." Anton mengutak-atik layar ponsel dan memperlihatkan hasil tangkapan layar, dari video yang dikirimkan Keisha tadi siang. "Ririn di Jakarta, betul, kan, Pak?" desak Anton sembari memandangi wajah Basman, yang kentara sekali tengah terkejut. Pria tua tersebut tidak menjawab. Dia tetap diam dan balas memerhatikan mantan menantunya itu dengan saksama. "Sekali lagi saya katakan, tidak akan mengungkapkannya padamu!" tegas Basman. "Pak, tolonglah. Aku benar-benar ingin bertemu Ririn," bujuk Anton. "Untuk apa
33Suara Dylan menyambut kedatangan Sebastian awal malam itu. Pria berkaus cokelat muda tersebutmerunduk untuk mengangkat bayi berbaju merah dari ayunan. Dylan memegangi dagu Sebastian yang ditumbuhi janggut pendek. Dia mengamati pria bermata tajam yang sedang berbincang dengan sang mama. Tiba-tiba Dylan menepuk pipi Sebastian yang seketika kaget. Lelaki berambut tebal menunduk, lalu mengecup dahi Dylan. "Dylan mukulnya berasa," tutur Sebastian sembari memegangi tangan sang bayi. "Dia protes, Mas ngomong ke aku," balas Rinjani seraya tersenyum. "Bentar, Nak. Om mau ngerayu mamamu dulu," seloroh Sebastian. "Ngerayu apaan?" "Minggu depan, ada acara PC di Bandung. Gathering, gitu. Zafran minta kamu yang pegang acaranya." Rinjani membulatkan mata. "Aku? Kenapa nggak yang lain aja?" "Dia maunya kamu. Teman-teman lainnya juga ngedukung." "Ehm, Teh Mutiara belum ada ngomong tentang itu ke aku." "Tadi Mas Arkhan pulang duluan, ada meeting penting. Mungkin dia juga telat dapat info
34Hari berganti. Senin siang, Rinjani keluar dari bangunan kantor EO bersama Amy, Santos dan beberapa staf lainnya. Mereka menyusuri jalan sembari berlindung di balik payung, untuk menghindari sinar matahari yang menyengat. Langkah mereka terhenti di deretan toko sisi kanan bangunan kantor. Setelah berdiskusi, akhirnya mereka berpencar untuk memasuki kedai, sesuai dengan selera masing-masing. Rinjani, Amy, Santos, Fina dan Lilis, memilih bersantap di warung makan yang menyediakan soto mi. Mereka menempati kursi dekat meja panjang bagian tengah. "Perasaan, hari ini panas sekali," keluh Fina sembari mengusap dahinya dengan tisu. "Ho oh, sumpek," sahut Amy. "Sumuk," jelas Santos. "Apa artinya, Bang?" tanya Lilis. "Kayak nggak ada angin, gitu. Gerahnya nampol," terang Santos. "Abang, teh, aslinya orang mana?" "Sudah nggak jelas silsilahnya. Campuran, gitu," ungkap Santos. "Bapakku, orang tuanya dari Pemalang dan Jepara. Ibuku, Bogor dan Betawi," lanjutnya. "Bogornya di mana?"
35"Apa kabar, Rin?" tanya Anton. Dia sangat ingin memeluk Rinjani, tetapi ditahannya. "Kabarku?" Rinjani balik bertanya. "Menurut Mas, gimana?" desaknya sembari berusaha menenangkan degup jantungnya yang menggila. Anton tertegun. Pada awalnya dia mengira Rinjani akan bersikap ketus. Namun, ternyata tidak. Perempuan tersebut tampak tenang dan meladeninya dengan santai. "Kamu terlihat sehat," papar Anton. "Ya. Teramat sangat sehat. Karena aku hidup bahagia," jawab Rinjani. Anton memaksakan senyuman. Dia tahu bila Rinjani tengah menyindir. Namun, Anton akan mengabaikan hal itu dan tetap fokus pada tujuannya. "Syukurlah. Aku senang kalau kamu sehat," cetus Anton. "Ehm, ini rumahmu?" tanyanya sambil memerhatikan sekeliling. "Bukan, ini rumah bosku," terang Rinjani."Bu Mutiara?" "Ya." "Ini perumahan yang bagus." "Bagaimana Mas bisa menemukanku?" "Aku ...." "Mas membuntutiku dari kantor, kan?" "Rin, aku bisa jelasin." "Bisa nggak? Jangan ganggu aku!" Anton tertegun sesaat. "
36Malam itu, kediaman Sebastian tampak ramai. Rekan-rekannya di PC dan PCD, datang bersama ajudan masing-masing. Mereka juga membawa banyak buah tangan, hingga meja depan dan tengah jadi penuh hidangan. Ida dan Wati mengemasi kamar tamu di samping kiri rumah. Mereka juga merapikan beberapa setelan pakaian Dylan dan perlengkapan bayi yang baru dibeli. Selain itu, kursi getar yang memang belum dibuka dari bungkusnya, juga dipindahkan ke kamar itu.Setiap Rinjani bekerja, maka Dylan akan tinggal di rumah Sebastian bersama Latifah. Hal itu diusulkan Wirya, supaya menghindari bayi tersebut didatangi Anton secara tiba-tiba. "Kamu harus nyiapin mobil buat Rinjani, Tian," tutur Wirya. "Aku pernah nawarin, tapi dia nolak," balas Sebastian. "Enggak perlu ditawarkan, langsung belikan," timpal Hendri. "Betul. Kalau barangnya sudah ada, dia nggak bisa nolak," sela Zein. "Kayak Mas Ben dulu. Falea sudah bilang, maunya mobil biasa. Ehh, datangnya yang harga 500 jutaan. Akhirnya dipakai juga s
37Mardani mengetuk pintu ruang kerja bosnya, sebelum membuka gagangnya dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Anton memerhatikan sang asisten yang tengah menghampirinya bersama seorang pria berbadan tegap. Anton berdiri dan mengarahkan tangan kanan ke sofa, untuk mempersilakan kedua orang tersebut duduk di sana. Mardani menerangkan jika pria berkemeja hijau tua itu adalah detektif swasta, yang disarankan temannya. Kemudian Mardani berdiri dan jalan keluar ruangan sambil menutup pintunya dengan pelan. "Deswin Lavanaa. Nama yang unik," cakap Anton. "Yang belakang, itu gabungan nama kedua orang tua saya, Pak," terang Deswin. "Semua saudara saya nama belakangnya sama," lanjutnya. "Itu ide bagus. Orang akan mengira jika itu adalah nama keluarga." "Betul." "Oke, sekarang terangkan tentang dirimu." "Saya, anak pertama dari empat bersaudara. Tiga laki-laki dan yang bungsu, perempuan. Saya di sini ngekos bareng teman," cetus Deswin. "Setelah menyelesaikan kuliah, saya melamar kerj
38Wirya mendengarkan penjelasan Deswin yang berada di kursi seberang. Sang direktur utama PBK merasa senang, karena salah satu orang kepercayaannya telah berhasil mengelabui Anton. Setelahnya, mereka berdiskusi untuk menentukan tahap selanjutnya. Zulfi turut menyumbangkan ide cerita karangan, tentang Sebastian dan Rinjani, yang akan dilaporkan Deswin pada Anton. Tidak berselang lama, Alvaro memasuki ruang kerja Wirya, bersama Yanuar. Keduanya duduk di dua kursi kosong dan turut mendengarkan percakapan ketiga pria tersebut. "Gimana ceritanya Deswin bisa nyamar sebagai detektif swasta?" tanya Alvaro, sesaat setelah Wirya dan kedua rekannya usai berbincang. "Mardani, asistennya Anton, nanya-nanya tentang itu ke Chris. Mungkin Mardani sudah bingung mau nyari detektif ke mana," ujar Wirya. "Kebetulan, dia ketemu Chris di tempat rapat dan Mardani langsung nanya itu," lanjutnya. "Chris nelepon aku dua malam yang lalu. Aku mikir siapa yang bisa nyelip, lalu ingat Deswin yang baru beres
39Pagi harinya, semua anggota rombongan berkumpul di taman terbesar di area hotel BSHB. Rinjani, Fikri dan Khairani menaiki panggung untuk memulai acara gathering PC dan PCD. Kendatipun tidak semuanya hadir, tetapi yang ada jumlahnya sudah ratusan. Sebab anggota PC yang datang mencapai 80 orang. Sedangkan tim PCD diwakili 30 orang dari empat grup yang telah terbentuk. Jumlah tersebut ditambahkan dengan pasangan masing-masing beserta anak dan para asisten. Hingga totalnya menjadi lebih dari 200 orang. Termasuk tim PBK muda dan anggota PG yang menjadi panitia. Fikri memulai acara dengan salam yang disahut hadirin dengan ucapan serupa. Kemudian Zafran, direktur PC, dan Andri, direktur PCD, menaiki panggung untuk menyampaikan pidato singkat. Setelahnya, Haikal memimpin doa yang diikuti khalayak dengan khusyuk. Hati Sebastian tergetar saat mendengar lantunan doa dari Haikal yang suaranya cukup merdu. Sebastian memandangi pria berbadan tinggi besar yang berdiri di tepi kanan panggung.
73Minggu pagi menjelang dengan kecepatan maksimal. Keluarga Daharyadika datang dari Bogor. Mereka hendak mengantarkan Sebastian dan Rinjani ke bandara, nanti jam 2 siang. Tidak berselang lama, Ardiatma datang bersama istri dan kedua anaknya. Mereka bergabung dengan keluarga Basman, dan berbincang dengan akrab.Kala Dylan mendatangi kumpulan itu dengan dituntun Latifah, Ardiatma menggendong lelaki kecil dan mendekapnya erat. "Akhir tahun nanti, Papa mau jenguk kalian di sana," tutur Ardiatma sembari memamgku cucunya. "Kami pulang, Pa. Mau menghadiri acara pernikahan Tia dan Said," jelas Sebastian. "Kapan nikahannya?" "Tanggalnya belum pasti, sih. Tapi, akhir bulan Desember." "Setelahnya berarti." Ardiatma memandangi besannya di kursi seberang. "Kita berangkat sama-sama, Bas," ajaknya. "Boleh. Saya memang berencana ke sana. Ingin tahu, musim dingin itu seperti apa," terang Basman. "Siapa saja yang ikut, Pak? Nanti aku minta pengawalan dari Wirya," cakap Sebastian. "Bapak sama
72Hari terakhir di Jakarta, digunakan Sebastian untuk mendatangi keluarga Baltissen di kediamannya. Gustavo dan Ira menyambut kedatangan Sebastian dan Rinjani serta Dylan, dengan sangat hangat. Begitu pula dengan Edmundo, Ayah Gustavo, serta Miranda, Adik bungsu Alvaro dan Hugo. Mereka berbincang sembari sekali-sekali tertawa. Suasana bertambah ramai, kala Alvaro datang bersama Arjuna, dan kedua ajudan muda. Sang komisaris 4 PBK itu menelepon rekan-rekannya, lalu mereka berjanji temu di rumah Sultan, karena Sebastian juga hendak ke sana untuk berpamitan. Puluhan menit kemudian, tiga mobil mewah keluar dari kediaman Gustavo. Para sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, menuju kawasan Kalibata. "Pada heboh mau nyusul, Var," cakap Sebastian sambil membaca pesan-pesan di grup 777. Dia menumpang di mobil itu, sedangkan Rinjani dan Dylan ikut di mobil Gustavo. "Siapa aja? Aku mau ngabarin May, supaya nyiapin suguhan," balas Alvaro sembari terus mengemudi. "Orang-orang PBK,
71Jumat siang menjelang sore, ruang rapat terbesar di gedung kantor PG, dipenuhi ratusan orang. Para bos PG, PC dan PCD, datang bersama istri serta asisten masing-masing. Mereka duduk rapi di tempat yang telah disediakan, sambil menunggu komisaris utama tiba. Tidak berselang lama Tio memasuki ruangan bersama keempat direktur, para manajer, dan dua komisaris besar, yakni Sultan dan Gustavo. Ajudan Tio mempersilakan orang-orang tersebut menempati deretan kursi terdepan. Sementara Tio meneruskan langkah menuju podium. Acara dimulai Tio dengan sapaan salam, yang dijawab hadirin dengan hal serupa. Selama beberapa menit berikutnya, Tio menuturkan tentang berbagai proyek yang digagas PG, dan diserahkan pengelolaannya pada anggota PC serta PCD. Setelahnya, Tio memanggil belasan pria yang akan berangkat menuju Kanada, pada dua hari mendatang. Sebastian yang menjadi ketua proyek, diminta Tio untuk memberikan kalimat perpisahan. Pria bermata tajam itu memandangi orang-orang di barisan terd
70Jalinan waktu terus berjalan. Detik-detik keberangkatan ke Kanada, kian dekat. Sebastian dan Rinjani mengebut semua pekerjaan mereka, agar selesai tepat di hari terakhir bulan Agustus. Selama 10 hari berikutnya, pasangan tersebut mengunjungi orang tua dan para kerabat mereka, secara bergantian. Selain itu, mereka juga lebih sering menghabiskan waktu bersama para sahabat. Beberapa hari sebelum berangkat, Mirna dan suaminya mendatangi Rinjani di kediamannya. Mirna menerangkan kondisi kesehatan Anton yang kian memburuk. Rinjani terkejut kala Mirna kembali menyampaikan permintaan Anton, untuk bertemu dengan Rinjani dan Dylan. Perempuan bermata besar itu meminta waktu untuk berpikir, dan hendak berdiskusi dengan suaminya terlebih dahulu. Sebastian tiba di rumah, beberapa saat sebelum azan magrib berkumandang. Rinjani bersikap biasa saja. Dia menunggu Sebastian sudah hilang lelahnya, baru Rinjani akan menceritakan peristiwa tadi siang. Malam kian larut. Suasana kediaman Sebastian te
69 *Grup 777*Zulfi : Kalian sudah otw, Gaes? Alvaro : Aku sudah nyampe depan blok rumah Pak Erick.Yanuar : Aku numpang di mobil Bang bule. Benigno : Kirain aku, doang, yang belum nyampe. Tahunya, banyak. Heru : Kejebak macet ini. Ada tabrakan tunggal di depan. Hadrian : Mobilku kejepit di tengah-tengah. Aku mau pindah ke mobil Mas Ivan aja. Ivan : Aku tunggu depan kantor X, @Ian. Baskara : Untung aku sudah jalan duluan bareng Tio. David : Aku terpaksa mutar lewat jalur alternatif. Trevor : Saya juga mau mutar. Bakal lama ini macetnya. Zainal : Aku titip anak-anak. Pada rewel mereka. Ada yang bisa ditumpangi? Damsaz : Mobilku kosong, @Bang Zainal. Zainal : Posisi, @Damsaz? Damsaz : Baru keluar gerbang utama. Zainal : Oke, tunggu di situ. Triska sama kiddos naik ojek ke sana. Brayden : Aku susul pakai motor aja, @Zainal. Zainal : Boleh, @Mas Brayden. Triska sudah nyeberang. Ngadem di depan mini market. Brayden : Oke, tunggu 5 menit. Aku ngebut.Lainufar : Ada lagi yan
68Beberapa hari terlewati. Sore itu, Keisha mendatangi kediaman Sebastian bersama dengan Willy. Perempuan berbaju oren itu, terkejut melihat Aline juga tengah berada di sana. Rinjani menyambut kedua tamunya dengan ramah. Dia mempersilakan Keisha dan Willy duduk di kursi seberang meja. Sementara Rinjani menempati sofa panjang. Tidak berselang lama, Sebastian muncul bersama Urfan. Rinjani menyalami suaminya dengan takzim, sedangkan Dylan berteriak memanggil sang papa yang langsung mendatanginya. Sebastian menggendong lelaki kecil berbaju merah, kemudian dia duduk di sebelah kanan Rinjani. Keisha mengamati Dylan dengan saksama. Dia kaget saat bayi berusia 7 bulan lebih itu mengulurkan tangan kiri, seolah-olah hendak menggapainya. Keisha maju untuk memegangi Dylan. Perempuan tersebut segera mengambil alih sang bayi dari gendongan papanya. "Dylan tertarik dengan bros di bajumu," tutur Rinjani. Keisha menunduk. "Mau, Dylan?" tanyanya yang dibalas ocehan sang bayi. "Jangan, Kei. Semu
67Jalinan waktu terus bergulir. Minggu berganti dengan kecepatan maksimal. Sabtu sore, Keisha kembali menghubungi orang yang diyakini sebagai anggota komplotan pencuri. Keisha telah dibelikan ponsel baru oleh Sebastian. Selain itu, pria bermata tajam tersebut juga sudah memberikan uang senilai 100 juta, untuk biaya hidup Keisha selama beberapa bulan ke depan. Sebastian sengaja tidak memberikan banyak uang, karena dia tahu jika Keisha pemboros. Sebastian juga sudah menegaskan, bila hanya itu yang bisa diberikannya pada Keisha, dan tidak akan ditambah lagi. Detik terjalin menjadi menit. Tepat pukul 7, pintu kamar hotel tempat Keisha menginap sejak tadi sore, diketuk dari luar. Perempuan yang menggunakan wig, bergegas membuka pintu. Dia tidak langsung mempersilakan tamunya masuk, melainkan mengamati pria berkemeja marun pas badan, yang tengah menjinjing tas travel hitam. "Siapa namamu?" tanya Keisha, dengan berlakon sebagai orang luar negeri. "Sammy," jawab pria bercelana jin keta
66Rinjani membulatkan mata, sesaat setelah Sebastian menuturkan tentang peristiwa buruk yang menimpa Keisha kemarin malam. Rinjani sempat terperangah, sebelum mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sebastian memijat pangkal hidung. Dia tidak bisa lepas tangan, karena merasa jika dirinya harus bertanggung jawab atas kehidupan Keisha. Selama perempuan tersebut belum menikah kembali. Rinjani mengamati suaminya yang terlihat gundah. Meskipun sedikit cemburu, karena Sebastian masih memikirkan nasib Keisha, tetapi Rinjani segera mengenyahkan kecemburuan itu dari hatinya. Rinjani memahami tanggung jawab Sebastian pada mantan istrinya. Perempuan berambut panjang tersebut menguatkan hati, untuk terus mendukung niat baik Sebastian pada Keisha. Perempuan berbaju sage, menggeser badannya mendekati Sebastian. Rinjani mengangkat tangan kanan dan memijat kepala suaminya dengan pelan. "Mas, kalau aku boleh saran. Lebih baik, kasih separuh uang penjualan rumah di Lebak Bulus, buat Keisha," tutur Rinj
65"Ehh, mau ke mana?" tanya Sebastian, kala istrinya hendak beranjak. "Ke sebelah," jawab Rinjani. "Di sini aja. Temani aku." Sebastian mendatangi perempuan bergaun abu-abu dan memeluk pinggang Rinjani. "Sebentar, doang, Mas. Cuma mau mastiin mereka nyaman." "Enggak percaya. Ujung-ujungnya kamu pasti ngobrol sama Teh Lidya dan ketiga sahabatmu." Rinjani menyunggingkan senyuman. "Ketahuan, deh." "Untuk saat ini, cukup hanya kita aja. Yang lain bisa mengurus diri masing-masing." Rinjani mengangkat alisnya. "Enggak bisa begitu. Mereka tamu, dan kita harus berlaku sebagai tuan rumah yang baik." "Telepon Wati dan kasih instruksi buat ngapain." "Dia pasti capek, Mas. Dari kemaren sibuk sama Ida dan panitia lainnya." Sebastian mendengkus. "Ya, udah, tapi jangan lama-lama ke sananya." "Oke." "Balik ke sini, bawakan aku salad buah." Rinjani mengangguk mengiakan. Kemudian dia mengecup kedia pipi suaminya, lalu melepaskan diri. Rinjani melenggang keluar kamar, sembari menutup pintu