Bab 178"Insyaallah aku benar-benar serius untuk meminang dirimu, Ti. Aku harap kita bisa terikat tali Susi pernikahan untuk selamanya. Bersama dengan Putri ... kita akan bahagia."Wajah Siti kini tampak merah. Tak bisa dipungkiri dia merasa sangat bahagia.Tapi sekali lagi dia harus memastikan tentang keseriusan sang majikan."Apa Bapak sudah memikirkan tentang konsekuensinya jika menikah dengan seseorang seperti saya?"Handi menghela napas perlahan. "Masalah yang berhubungan tentang pendapat orang lain, aku nggak peduli, Ti. Satu hal yang pasti, kita berdua yang akan menjalani pernikahan dan pastinya akan ada banyak pendapat dari orang-orang sekitar. Tapi hal yang harus kita lakukan ialah menutup mata serta telinga agar bisa bahagia. Asalkan yang kita lakukan tidak salah, tak penting rasanya untuk peduli dengan komentar orang-orang.""Bapak siap menerima saya dan Putri?""Siap, Siti. Insyaallah kita bisa memulainya dari awal. Kehadiran Putri justru merupakan anugerah di pernikahan ki
Bab 179Siti kini tengah merasa bahagia karena hidupnya semakin dilimpahi dengan banyak hal baik. Awalnya dia memang merasa bimbang ketika baru bercerai dengan Adi. Tapi sekarang wanita itu merasa semakin yakin kalau kebahagiaan terletak dari kebebasan serta kewarasan.Namun di sisi lain, Adi tengah merasa uring-uringan karena dia kini terus saja ditaruh oleh pihak depkolektor.Adi belum membayar tunggakan cicilan kedua. Sekarang pria itu tengah merasa bingung karena pihak perusahaan pun masih belum memberikan jawaban atas pengajuan dananya.Besok, Adi juga harus membayar gaji para tukang bangunan. Tapi uang yang dimilikinya tak cukup sama sekali. Adi harus rela menghemat dan memilih untuk tidak membayar tunggakan pinjamannya. Adi mengusap wajahnya dengan kasar. Dia pikir masalah ini akan segera selesai. Tapi nyatanya dia justru terlilit hutang yang cukup banyak. Bahkan bunganya juga melebihi batas yang diperkirakan karena dia telah membayar selama satu minggu."Sialan! Seharusnya ak
Bab 180Siti menatap putrinya yang masih tertidur. wanita itu perlahan mengulurkan tangannya dan mengelus pelan puncak kepala Putri."Put, udah pagi … ayo bangun!"Gadis kecil itu perlahan membuka mata dan mengusapnya perlahan karena kantuk masih menyerang. Diliriknya ke arah jendela yang kini tampak disinari oleh mentari pagi."Ayo cuci muka dulu, ya? Kalau udah nanti keluar, Ibu keluar dulu mau siap-siap masak sarapan."Putri hanya mengangguk pelan. Gadis kecil itu menguap dan bangkit dari kasur. Namun Putri memilih duduk sejenak sebelum pergi ke kamar mandi.Siti merasakan pagi hari ini begitu bersemangat dan wanita itu bergegas untuk membuat sarapan. Diliriknya dua rekan kerjanya yang juga baru saja keluar dari kamar."Sum, hari ini masak sarapan apa?""Nasi goreng aja, Mbak. Nasi sisa kemarin malam masih lumayan banyak."Siti mengangguk pelan. Mereka bertiga bergegas membagi tugas. Siti bertugas untuk memasak kali ini. Sumi menyapu halaman dan Bi Yati mengelap lantai yang basah k
Bab 181"Kapan Om dan Ibu menikah?"Sebelum Handi dan Siti menjawab, ada dua orang yang kini tampak terperangah kaget. Baik Sumi dan Bi Yati, keduanya tampak bingung, sekaligus senang."Ya Allah ... Apa kita nggak salah denger, Sum?"Sumi menggelengkan kepalanya dengan cepat. Wanita muda itu kini tergopoh-gopoh mendekat."Mbak Siti beneran mau nikah sama Pak Handi?"Siti tersentak kaget. Wanita itu memilih melirik ke arah Handi. Pria itu tampak tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya."Bi, Sum ... Kami berdua ingin bicara. Bisa duduk dulu?""Iya, Pak!" ujar Sumi dan Bi Yati serentak.Siti segera mematikan kompor dan beralih ke arah meja makan. Jujur saja saat ini dia merasa gugup. Walau sebenarnya, Sumi dan Bi Yati pasti telah menduga sejak awal.Mereka berlima kini berada di ruang makan. Siti duduk tepat di samping Putri. Sedangkan Bi Yati dan Sumi, duduk di seberang sana. "Ada berita baik yang patut disampaikan ke kalian berdua. Sebenarnya saya dan Siti memutuskan untuk menikah
Bab 182Handi mengangguk pelan. "Benar, Ti. Mas yakin kalau kamu juga belum mau menikah secara mendadak karena masih ada banyak hal yang perlu disiapkan. Setidaknya Mas ingin melaksanakan acara pertunangan dulu dan mengumumkan hubungan kita pada orang sekitar. Itupun kalau kamu mau," ujarnya lagi.Siti diam sejenak. Dia merasa cukup bimbang. Disisi lain, wajar saja jika pria itu ingin melangsungkan acara pertunangan lebih dulu. Tapi Siti merasakan firasat buruk. Dia takut kalau nama baik calon suaminya itu akan tercoreng. Apalagi saat pertunangan nanti pasti akan ada banyak rekan kerja yang datang. Pastinya mereka semua akan bertanya-tanya soal status Siti.Tapi Siti juga tak ingin egois. Lagipula dia juga harus bersiap untuk menemui kenyataan. Jika Adi tahu soal dirinya yang menikah dengan Handi, itu adalah konsekuensi yang harus diterima.Siti mengangkat wajahnya kembali dan tersenyum tipis. "Kalau Mas memang berniat seperti itu, aku juga nggak akan menolak. Tapi apa sudah dipikirkan
Bab 183Adi menutupi sebagian kepalanya dengan topi dan juga masker. Pria itu segera pergi keluar dari rumahnya. Besok, Adi harus membayar gaji para tukang. Tapi sayangnya sampai sekarang pun dia masih belum mendapatkan kejelasan dari perusahaan.Adi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali dia tampak awas karena takut bertemu dengan depkolektor.Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring, Adi melirik sekilas ke arah benda pipih yang terletak tepat di saku bajunya. Perlahan pria itu menepikan mobilnya dan mengecek ponsel. Adi tampak mengerutkan kening karena sang ibu tiba-tiba menelepon. "Ck! Ngapain Ibu nelpon segala, sih?"Meski Adi merasa enggan, tapi dia juga tak ingin membiarkan teleponnya itu terus berdering. Adi tahu dengan jelas tabiat ibunya. Retno tak akan berhenti sebelum berhasil mendapat keinginannya."Halo, Bu? Ada apa?"Retno mengepalkan tangan dengan erat. "Kenapa baru diangkat, sih? Kamu sibuk banget, Di?!"Hanya dalam waktu sekejap mata, wanita paruh baya i
Bab 184"Keuangan Adi lagi seret, Bu. Kalau Ibu nggak mau mengerti juga, Adi juga bisa bersikap tega!"Setelah Adi selesai berucap, pria itu segera memutuskan sambungan teleponnya. Adi tahu dengan jelas kalau ibunya pasti akan terus memintanya untuk mengirim uang. Sekarang kepalanya semakin berdenyut nyeri. Sebisa mungkin dia harus mendapatkan uang. Entah bagaimanapun caranya.Tak ingin membuang waktu, Adi kembali menyalakan mobilnya. Pria itu segera mengemudikannya menjauh dari area kontrakannya. Saat ini pikirannya hanya satu, Adi ingin menghilangkan jejak sebelum dia berhasil mendapatkan uang.Adi mengemudikan mobilnya hingga cukup dekat ke area pembangunan cabang perusahaan baru. Pria itu melambatkan laju mobilnya sejenak sambil mengamati keadaan. Para tukang bangunan terlihat cukup sikap untuk bekerja. Tapi matanya kini tampak memicing ketika melihat sosok mandor yang justru tengah bersantai di tenda.Adi mengepalkan tangannya dengan erat. "Jadi kayak gini kerjaan dia ketika aku
Bab 185"Ti, gimana kalau kita tunangannya minggu depan?"Siti yang tengah melihat anaknya bermain di taman itu tampak menoleh ketika mendengar penuturan Handi."Secepat itu, Mas?""Iya, Ti. Mas rasanya nggak mau menunda lagi. Tapi Mas juga butuh pendapat kamu," ujar Handi.Siti tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Memang lebih cepat itu baik, kok."Dibandingkan terus menunda, Siti telah bersiap untuk menghadapi kenyataan. Bagaimanapun juga ini adalah hidupnya dan dia berhak merasakan bahagia.Tak peduli bagaimana pendapat orang-orang nantinya, Siti hanya berharap mendapatkan kabar terbaik."Kalau begitu kita siapkan segalanya, ya? Nanti kita mampir ke butik dulu untuk pesan gaun."Siti mengerutkan keningnya karena wanita itu tak mengharapkan sebuah pesta yang begitu meriah. Bahkan rasanya dia juga tak pantas mengenakan gaun mewah."Apa harus semewah itu, Mas? Lagipula nggak ada artinya karena aku hanya seorang janda. Pakai gaun mahal hanya akan merugikanmu."Handi menghela napas pel