"Najwa! Keluar kamu!" teriakan Bu Jannah dari luar kamar membuat Najwa menghela napas lelah.
"Ada apa, Bu?" tanya Najwa saat membuka pintu."Kamu masih tanya, ada apa? Jelas-jelas, meja makan kosong melompong begitu. Kenapa kamu nggak masak?" tanya Bu Jannah dengan mata melotot."Malas," jawab Najwa enteng.Bu Jannah bahkan terperangah karena jawaban Najwa. Pun, dengan Bian yang sedari tadi terus memegangi kursi roda sang Ibu."Enak banget ya, jadi kamu! Sudah kerjanya cuma makan duit anakku aja setiap bulannya, eh... sekarang malah nggak mau ngapai-ngapain. Dasar benalu!" maki Bu Jannah berapi-api."Terus, kenapa? Ibu keberatan?""Ya iyalah. Kalau kamu memang sudah tidak mau memasak, maka jatah bulanan buat kamu dari Bian, akan Ibu stop mulai sekarang," ancam Bu Jannah."Oke. Nggak masalah! Justru bagus kalau begitu. Aku jadi nggak perlu pusing lagi memutar otak setiap harinya demi mengatur uang yang nggak seberapa itu," sahut Najwa."Jangan terlalu sombong kamu, Najwa!" geram Bian yang merasa tersinggung dengan ucapan sang istri. "Bukan aku yang ngasih uang nggak seberapa buat kamu. Tapi, justru kamu yang nggak becus mengatur keuangan keluarga. Boros kamu jadi istri!""Jadi, aku mesti gimana, Mas? Harus nurut sama perintah kamu dan Ibu seperti biasanya?""Ya iyalah. Enak aja! Masa' seenaknya kamu cuma mau numpang gratis dirumah ini? Mikir dong, pakai otak kamu! Kamu pikir, kamu siapa disini?" sambar Bu Jannah dengan suara cemprengnya."Aku masih istrinya Mas Bian, Bu! Menantu Ibu juga. Wajar dong, kalau aku numpang gratis di rumah ini," jawab Najwa tak mau kalah.."Ya, nggak bisa gitu, dong! Pokoknya, Ibu nggak mau tahu! Cepat kamu masak makan malam sekarang juga! Ibu sudah kelaparan!" titah Bu Jannah ketus."Suruh menantu baru Ibu saja," saran Najwa."Salma tak bisa memasak, Najwa," celetuk Bian."Terus, bisanya apa? Godain suami orang?""Najwa!!!" geram Bian tak terima jika istri mudanya dijelek-jelekkan."Apa? Mau marah?" sahut Najwa tanpa rasa takut."Jangan menantang ku, Najwa! Atau, kamu akan benar-benar menyesal!" ancam Bian murka."Kalau aku tetap nekat, bagaimana?"Bian menghela napas kasar. "Oke, kalau itu maumu. Mulai besok, jatah uang belanja akan Mas berikan semuanya pada Salma. Kamu, nggak akan dapat apa-apa sebelum kamu minta maaf sama aku, Ibu dan Salma! Paham?"Bian menyeringai penuh kemenangan. Lihatlah! Kini, Najwa seketika mematung begitu mendengar ucapannya.Pasti, istri pertamanya itu sedang ketar-ketir dalam hati namun tetap berusaha untuk menutupinya pada permukaan luar."Oke. Nggak masalah! Tapi, mulai sekarang, aku juga nggak akan menunaikan kewajibanku lagi sama kamu. Suruh saja, istri mudamu itu, yang melayani kamu mulai sekarang!" tegas Najwa dengan napas naik turun.Tak masalah jika Bian tak lagi mau menafkahinya. Toh, selama ini Najwa tidak pernah kekurangan uang. Warisan sang kakek, cukup untuk menghidupi dirinya.Bahkan, tak jarang, Najwa menggunakan uang simpanannya untuk membantu perekonomian keluarga. Tentu saja, semua itu tanpa sepengetahuan suami dan ibu mertuanya."Dan, satu lagi! Aku ingin kamu secepatnya menjatuhkan talak padaku, Mas!"lanjut Najwa."Itu tidak akan pernah terjadi!" geleng Bian tegas.Brak!Najwa menutup kembali pintu dengan keras hingga dua manusia yang masih berdiri didepan pintu kamar nampak terperanjat kaget."Sinting, si Najwa itu, Bian! Bisa-bisanya, dia banting pintu sekeras itu. Apa dia sengaja mau bikin Ibu serangan jantung?"*****Setelah menunggu selama setengah jam, akhirnya makanan yang dipesan Salma datang juga. Namun, bukannya senang, Bu Jannah justru tampak begitu murka."Kamu gimana sih, Salma? Masa' pesan makanan, kayak gini semua? Kamu mau bunuh Ibu pelan-pelan, ya?""Ya, mana Salma tahu kalau Ibu nggak bisa makan makanan yang bersantan kayak gini. Maaf, Bu!" ucap Salma tertunduk."Ugh! Istri-istri kamu pada nggak becus semua, Bian! Kesal, Ibu! Jadi, buat apa kamu nambah istri kalau ujung-ujungnya nggak ada yang bisa diandalkan, hah?" sungut Bu Jannah. "Sekarang, antar Ibu ke kamar! Ibu mau tidur aja!" lanjutnya tetap marah-marah.******Keesokan harinya, Najwa sengaja tak membangunkan Bian seperti biasa walau matahari sudah semakin meninggi. Biarkan saja, lelaki itu kelabakan karena sudah dipastikan dia akan telat ke kantor."Astaga! Jam berapa ini?" Bian tersentak kaget saat bangun dari tidurnya. Segera disambarnya ponsel yang ada dibawah bantal lalu melihat jam digital yang ada disana."Gawat! Aku terlambat!" ringis Bian panik. Segera, pria itu berlari menuju ke kamarnya dan Najwa. Dia tak peduli lagi, walau harus tak mandi pagi ini sebelum ke kantor."Kamu kenapa nggak bangunin aku, Najwa?" tanya Bian pada istri pertamanya."Lah, kamu kan tidur sama istri barumu, Mas! Aku mana boleh gangguin pengantin baru lagi kelonan? Nanti, yang ada, aku malah dituduh iri lagi, sama istri kamu itu."Bian menghela napas panjang. "Seenggaknya, kamu telfon Mas dong, Najwa! Masa' gitu aja, mesti dikasih tahu, sih?""Ogah, ah!"Bian mencoba untuk tetap bersabar. Sikap Najwa benar-benar merupakan ujian yang harus Bian lewati."Tolong siapkan pakaian kerjaku! Aku mau gosok gigi dulu!" titah Bian tanpa menunggu persetujuan dari Najwa.Dia pikir, Najwa akan tetap patuh seperti biasa. Sayangnya, Bian sangat keliru.Bukannya melaksanakan tugas dari sang suami, Najwa malah melenggang santai keluar kamar untuk membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri.Setelah jadi, teh tersebut Najwa bawa ke ruang tengah sebagai teman nonton TV."Najwa!! Najwa!!"Teriakan Bian membuat Najwa harus bersabar kuat-kuat. Entah kenapa, Bian sejak kemarin, suka sekali berteriak."Apa, Mas?" tanya Najwa yang mau tak mau tetap menghampiri sang suami di kamar mereka."Mana baju kerjaku?" tanya Bian."Tuh, di lemari," tunjuk Najwa ke arah lemari pakaian mereka."Kok belum kamu siapin?" tanya Bian geram. "Bukannya, tadi aku sudah bilang, supaya kamu menyiapkannya?""Ngapain? Kamu kan sudah nggak mau menafkahi aku lagi. Jadi, kenapa juga aku harus tetap melayani kamu seperti biasa? Si Salma mana?"Mendengar nama istri keduanya di sebut, Bian malah mendengkus sebal."Dia masih tidur. Mas udah coba bangunin dari tadi, tapi nggak mau bangun-bangun.""Oh. Ya sudah, kalau gitu, Mas ambil sendiri aja pakaian Mas di lemari. Aku mau lanjut nonton TV!" jawab Najwa tak peduli.Melihat sikap cuek Najwa, Bian memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Dia akan semakin terlambat jika mengulur waktu terlalu lama."Sarapanku mana, Najwa?" tanya Bian saat melihat meja makan rupanya masih kosong melompong."Tanyain sama Salma. Jangan tanya aku," jawab Najwa tanpa menoleh."Kan, Salma masih tidur. Kamu gimana, sih? Seharusnya, kamu ngerti kalau Salma itu masih kelelahan. Lagipula, dia juga pasti belum hafal seluk beluk di rumah ini. Jadi, kamu sebagai kakaknya, harusnya mengerti dan mau mengerjakan semuanya sendiri terlebih dulu.""Dih, sejak kapan aku punya adik macam ulat bulu begitu? Aku anak tunggal, Mas!" sinis Najwa."Najwa!! Anterin Ibu pipis!"Itu suara teriakan Bu Jannah. Namun, Najwa tetap bergeming ditempatnya.Fokus pada kartun yang sedang dia tonton walaupun suara Ibu mertua, nyaris memecahkan gendang telinga Najwa saking ributnya."Najwa!! Cepetan!!""Kamu nggak dengar, Ibu panggil kamu?" tanya Bian yang jengah mendengar Ibunya terus berteriak."Dengar," jawab Najwa."Kenapa nggak disamperin? Kamu mau lihat Ibu pipis di tempat tidurnya?""Suruh menantu kesayangan Ibu yang urusin dia. Aku sudah pensiun, Mas!" jawab Najwa tersenyum lebar."Apa maksud kamu?"Najwa tak menggubris. Dia berdiri lalu mendekat ke arah sang suami."Bagaimana rasanya berselingkuh dengan istri orang, Mas? Apa menyenangkan?""Kamu ngomong apa, sih, Najwa?""Nggak usah pura-pura lagi, Mas! Aku tahu kalau kamu sudah berselingkuh dengan Salma semenjak dia masih menjadi istri orang."Bian membeku seketika. Matanya membulat sempurna. Tak menyangka, rahasia besarnya bersama Salma bisa diendus secepat ini oleh Najwa.""Ka-kamu tahu darimana?" tanya Bian gugup."Nggak penting aku tahu dari mana. Yang jelas, sekarang aku sudah tahu kalau kamu telah berbuat curang selama satu tahun lebih bersama Salma dibelakang aku. Dan, semua itu sudah cukup menjadi alasan untuk aku berhenti peduli sama kamu dan keluarga kamu!""Seharusnya, kamu tidak perlu menyalahkan aku, Najwa! Aku selingkuh, itu juga karena kamu. Suami mana yang tahan melihat istrinya memakai daster lusuh setiap hari? Belum lagi, muka kamu selalu terlihat pucat karena malas dandan. Dan, apa kamu tahu, kalau badan kamu itu setiap harinya selalu bau? Kalau nggak bau bawang, pasti bau pesing. Wajar dong, kalau aku cari kepuasan ditempat lain." Bian berusaha membela diri.Seketika, Najwa kembali tersenyum sinis. "Badanku nggak akan bau bawang andai kamu mau menyewa ART di rumah ini, Mas! Dan, badanku juga nggak mungkin bau pesing, andai kamu mau menyewa perawat untuk mengurus Ibumu! Apa kamu pikir, mengurus Ibumu dan rumah ini, bisa memberiku waktu
Najwa merasa puas melihat beberapa kantong belanjaan yang berada ditangannya. Belum lagi, wajah yang terasa cerah dan segar setelah melakukan perawatan di sebuah salon terkenal.Senyum tersungging di bibir wanita itu. Merasa menemukan kembali kebahagiaan hidup, setelah seminggu berkubang duka karena kepergian sang Kakek."Mulai sekarang, aku akan menikmati hidupku, Mas! Nggak ada lagi, bantuan untuk keuanganmu mulai sekarang," ucap Najwa lirih.Najwa benar-benar bertekad untuk pensiun dari segala macam hal mengenai rumah tangganya. Mulai dari pekerjaan rumah, mengatur uang untuk kebutuhan rumah apalagi merawat Ibu mertua yang bermulut pedas.Biarkan, mulai sekarang semua itu menjadi tanggung jawab Bian dan istri mudanya. Najwa hanya akan duduk sebagai penonton dan melihat apakah kedua manusia itu mampu melakukan semua hal yang pernah dilakukan Najwa atau tidak.******"Telat lagi, Bro?" tegur Deden, rekan kerja Bian."Iya," jawab Bian sambil duduk di kursinya. "Sial banget gue. Masa'
Pulang dari kantor, Bian sudah berangan-angan akan makan malam dengan menu yang nikmat di rumah. Akan tetapi, rupanya ekspektasi ternyata jauh dari kenyataan.Boro-boro makan enak. Nasi di magic com saja tidak ada. Keadaan meja makan benar-benar kosong melompong. Hanya ada plastik makanan dengan sebuah logo restoran cepat saji yang teronggok diatas sana."Najwa, kamu nggak masak lagi, Sayang?" tanya Bian lembut saat Najwa tak sengaja lewat karena harus mengambil air minum di kulkas."Nggak," jawab Najwa singkat."Kenapa?""Aku belum sempat belanja bahan masakan."Najwa kembali menutup pintu kulkas begitu selesai mengambil sebotol air minum. Dia lalu berjalan hendak kembali ke kamarnya."Najwa, tunggu!" panggil Bian.Terpaksa, perempuan itu berhenti melangkah."Ada apa?""Penampilan kamu... kok beda?"Alis Najwa seketika berkerut. "Beda gimana maksudnya?"Bian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mendadak, dia seperti ABG labil yang baru pertama kali merasakan ketertarikan terhadap lawa
Bian menunggu Salma dengan gelisah. Begitu sang istri muda keluar dari kamar mandi, Bian langsung menyeretnya dan memaksa perempuan itu untuk duduk ditepi tempat tidur."Kamu apa-apaan sih, Mas?" protes Salma."Siapa dia?" tanya Bian sambil melemparkan ponsel Salma ke atas pangkuan wanita itu."Maksud kamu apa?""Yang kirim chat ke kamu pakai sayang-sayangan itu, siapa?" ujar Bian yang sengaja mengulang pertanyaan agar lebih jelas.Degh!Jantung Salma langsung berdetak cepat. Wajahnya terlihat pias dengan tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin."Yang mana, Mas?" tanya Salma berpura-pura tak mengerti."Buka ponsel kamu sekarang! Mas mau lihat chat yang tadi."Meneguk saliva yang terasa payah, Salma dengan sedikit gemetaran membuka sandi ponselnya. Setelah itu, dia membaca pesan dari sebuah nomor asing yang tak tersimpan dalam kontaknya. Selang beberapa detik, perempuan itu malah tertawa kecil."Kok kamu malah ketawa?" tanya Bian heran."Ya ampun, Mas! Ini tuh cuma pesan nyasar.
Keesokan harinya, Bian terbangun dengan perut yang terasa sangat lapar. Saat dia melihat jam, betapa terkejutnya lelaki itu saat tahu bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang."Astaga! Sudah jam segini?" pekik Bian kaget. "Pantas perutku terasa sangat lapar."Dia menoleh ke samping kirinya. Salma masih tertidur lelap dengan tanpa sehelai benang pun kecuali selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada."Salma kayaknya juga kecapean. Mending, aku makan duluan aja."Menyingkap selimut yang menutupi separuh tubuhnya, Bian turun dari tempat tidur lalu memakai celana pendek selutut dan kaos oblong yang dia ambil dari dalam kopernya.Setelah itu, dia keluar kamar dan berniat untuk mencari makanan di dapur. Akan tetapi, betapa kecewanya Bian saat tahu bahwa ternyata meja makan masih sama seperti kemarin. Kosong."Apa-apaan ini? Kenapa tidak ada makanan sedikitpun?" ucap Bian emosi."Najwa!!!" teriaknya lantang memanggil nama sang istri pertama."Wa! kamu dim
"Najwa!! Bian!!!" Teriakan melengking dari arah kamar Bu Jannah menjeda perdebatan antara Najwa dan Bian.Tampak, Bian menghela nafas panjang. Sementara, Najwa melengos sembari mempertahankan senyum sinis di wajahnya."Najwa!!! Kamu dimana, menantu m!skin!!??" Lagi, teriakan Bu Jannah terdengar nyaring."Kamu dengar Ibu panggil kamu, kan?" tanya Bian pada istri pertamanya."Dengar," jawab Najwa singkat."Terus, kenapa nggak disamperin?""Buat apa?" ujar Najwa balas bertanya. "Buat dihina-hina dan dimaki-maki sama Ibu kamu? Iya, Mas?""Kok kamu ngomongnya gitu, sih? Apa selama ini kamu nggak ikhlas merawat Ibu?""Tentang ikhlas ku, biarkan Allah yang menilai, Mas. DIA yang paling tahu, sesabar apa aku selama ini dalam menghadapi Ibu kamu yang bermulut pedas itu. Kamu... nggak berhak sama sekali menilai keikhlasan aku disaat kamu sendiri yang notabenenya adalah anak kandung Ibu, nggak pernah sedikitpun mau membantu aku dalam mengurus Ibu kandung kamu. Jangankan membersihkan kotoran Ibu,
"Kamu benar-benar tega, Wa!" ucap Bian yang merasa tak mengenali lagi istri pertamanya. "Ingat, jangan pernah menyesal jika suatu saat nanti, kamu kehabisan uang. Memangnya, bakal bertahan berapa lama sih, uang pemberian Kakekmu yang sudah mati itu?" lanjut Bian meremehkan.Mata Najwa menatap tajam lelaki itu. Kalimat terakhir Bian sedikit menggores hatinya. Haruskah Bian berkata sekasar itu mengenai Almarhum Kakek Najwa? Tak adakah kalimat yang lebih halus untuk menggambarkan kepergian sang Kakek selain kata 'mati'? Setidaknya, Bian bisa menjaga sedikit perasaan Najwa yang masih merasakan duka."Ya, terserah kamu saja, mau bilang apa, Mas!" jawab Najwa enggan berdebat.Bian kini dilanda kebingungan. Uangnya benar-benar sudah habis. Sementara, Najwa sama sekali tak mau membantu apa-apa. Akhirnya, Bian pun memutuskan untuk meminjam uang pada teman kantornya.Setidaknya, dengan uang hasil meminjam itu, Bian bisa menyambung hidup bersama Salma dan sang Ibu selama beberapa hari ke depan.
"Salma, ayo kita masuk kamar!" ajak Bian pada istri keduanya."Tapi, Mas..,""Ayo," paksa Bian sambil menarik pergelangan tangan Salma.Mau tak mau, wanita itu menurut. Sesampainya didalam kamar, dia pun duduk ditepi ranjang dengan tangan terlipat didepan dada."Maksud Mbak Najwa tadi apa, Mas? Apa benar, kalau rumah ini punya dia?"Ini yang Bian takutkan. Dia takut jika Salma curiga seperti sekarang."Tentu nggak benar dong, Sayang! Rumah ini, Mas yang beli. Dia bilang seperti itu, karena awalnya Mas ngomong ke dia kalau Mas beli rumah ini hanya untuk dia.""Cih!" Salma berdecih. "Mbak Najwa sok jadi penguasa banget, sih! Aku sebel banget sama dia, Mas!" adu perempuan itu dengan suara manjanya. "Mas juga... kenapa belum mintain kamar Mbak Najwa buat aku sampai sekarang? Bete tau, nungguinnya!" rengek Salma lagi."Sabar, cinta!" rayu Bian. "Kamu lihat sendiri gimana keras kepalanya Najwa, kan? Kalau Mas pakai kekerasan buat maksa dia terus dia lapor ke polisi, gimana?"Salma terlihat
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da