Keesokan harinya, Bian terbangun dengan perut yang terasa sangat lapar. Saat dia melihat jam, betapa terkejutnya lelaki itu saat tahu bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang.
"Astaga! Sudah jam segini?" pekik Bian kaget. "Pantas perutku terasa sangat lapar."Dia menoleh ke samping kirinya. Salma masih tertidur lelap dengan tanpa sehelai benang pun kecuali selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada."Salma kayaknya juga kecapean. Mending, aku makan duluan aja."Menyingkap selimut yang menutupi separuh tubuhnya, Bian turun dari tempat tidur lalu memakai celana pendek selutut dan kaos oblong yang dia ambil dari dalam kopernya.Setelah itu, dia keluar kamar dan berniat untuk mencari makanan di dapur. Akan tetapi, betapa kecewanya Bian saat tahu bahwa ternyata meja makan masih sama seperti kemarin. Kosong."Apa-apaan ini? Kenapa tidak ada makanan sedikitpun?" ucap Bian emosi."Najwa!!!" teriaknya lantang memanggil nama sang istri pertama."Wa! kamu dimana?"Masih tak ada sahutan, Bian pun lekas berjalan terburu-buru menuju ke kamar sang istri pertama."Najwa!" panggilnya sekali lagi sambil membuka pintu."Ada apa, Mas?" sahut Najwa yang baru saja selesai menunaikan shalat dhuhur."Kamu lagi sholat?" tanya Bian."Jelas. Kan, ini emang udah masuk waktu dhuhur, Mas!" jawab Najwa. Wanita itu melipat sajadahnya lalu membuka mukena yang tadi dia kenakan untuk beribadah. "Emangnya, kamu sama Salma nggak sholat?"Uhuk!Bian batuk karena tersedak ludahnya sendiri. Pertanyaan Najwa barusan benar-benar sangat menohok. Harus Bian akui, semenjak mengenal Salma, dirinya mulai sangat jauh dengan Tuhan."M-Mas... Mas...," Bian gelagapan menjawab."Enggak, ya?" potong Najwa sambil tersenyum kecil. "Kayaknya, kamu juga belum mandi, ya Mas?""Eh?" Bian lekas memindai penampilannya dari atas ke bawah."Rambut kamu masih kayak rambut singa, Mas! Belum lagi, masih ada kotoran dimata kamu," lanjut Najwa.Reflek, Bian membersihkan kotoran yang menempel pada matanya dan juga merapikan rambutnya yang memang sudah agak panjang. Entah kenapa, amarah yang sebelumnya ada seolah menguap begitu saja saat berhadapan dengan Najwa."Mas kenapa cariin aku sampai teriak-teriak kayak tadi?" tanya Najwa lagi. Perempuan itu sedang memoles bedak pada wajahnya dan juga memakaikan lipstik pada bibirnya.Kini, Bian sudah teringat kembali apa tujuannya menghampiri Najwa ke kamar. Namun, tetap saja amarah yang berusaha dia bangkitkan, seolah mati saat melihat betapa cantiknya Najwa kini.Pakaian rumahan yang terlihat modis, serta wajah yang dirias make-up tipis dan juga aroma tubuh yang tercium wangi benar-benar membuat Bian terhipnotis. Astaga! Najwa sungguh kembali seperti Najwa yang dulu pertama kali Bian kenal ketika masih gadis."Makanan kenapa belum ada diatas meja?" tanya Bian canggung. Dia terpesona oleh kecantikan istri pertamanya itu."Loh, Salma belum masak?" sahut Najwa dengan entengnya."Kok malah Salma, sih?""Lah, terus siapa? Bukannya, itu memang tugas dia, ya?""Kamu juga istriku, Najwa! Seharusnya, kamu tetap melakukan kewajiban kamu seperti biasanya sekalipun dalam keadaan marah.""Lantas, bagaimana dengan kamu, Mas?" timpal Najwa. "Hanya karena aku menolak keberadaan istri keduamu, kamu malah tidak mau memberiku nafkah lagi. Apakah itu pantas dilakukan oleh seorang suami?""Itu karena kamu memang keliru. Apa salahnya menerima Salma?"Najwa menghela napas kasar. Sampai kapanpun, Bian akan terus menyalahkan Najwa untuk segalanya."Sudah menjadi hakku untuk menolak dimadu, Mas!" geram Najwa."Juga hakku sebagai lelaki untuk menikah lagi tanpa perlu persetujuan kamu, Najwa!"Keduanya saling tatap dengan sengit. Baik Najwa maupun Bian, sama-sama keukeuh dengan keyakinan masing-masing."Silakan kamu menikah lagi, Mas! Tapi, apa kamu tidak bisa untuk membiarkan aku sendiri? Aku juga perlu menyelamatkan hatiku, Mas! Yang mau bahagia bukan cuma kamu tapi aku juga. Dan, dengan dipoligami, aku nggak akan pernah bisa mendapatkan bahagia itu.""Kamu akan bisa bahagia asal kamu ikhlas, Najwa!""Dan ikhlas nggak semudah itu untuk dilakukan, Mas!" lirih Najwa sambil tersenyum getir.Ikhlas. Kata itu memang mudah untuk diucapkan. Namun, untuk dilakukan? Rasanya begitu sangat berat. Terutama, untuk Najwa yang hatinya masih dipenuhi luka."Sayang... tolong jangan seperti ini! Jangan buat aku berada dalam posisi sulit," bujuk Bian yang mendekati Najwa lalu menggenggam erat tangan wanita itu.Najwa menatap nanar lelaki yang duduk di sampingnya itu. Ditariknya tangan yang digenggam Bian lalu membuang muka ke arah lain."Kenapa selalu aku yang harus dituntut mengerti, Mas?" lirih Najwa dengan suara serak."Tolong, jangan sedih seperti ini, Wa! Demi Allah, hati Mas benar-benar sakit, Sayang!""Kalau kamu nggak mau aku sedih, tolong bawa perempuan itu keluar dari sini!"Tampak, Bian menunduk lemah sambil menghela napas frustasi."Mustahil, Sayang! Salma itu sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Kalau dia disuruh pergi dari rumah ini, dia harus kemana?""Ya, kamu beliin dong rumah buat dia.""Mas dapat duit darimana, Sayang? Kan, uang gaji Mas selalu Mas setor semuanya ke kamu.""Yakin, Mas sudah setor semuanya ke aku?""Maksud kamu apa, Sayang?""Jangan bohong lagi!" ucap Najwa dengan nada datar. "Aku sudah tahu kalau kamu selalu memberi jatah pada perempuan itu setiap bulannya."Degh!Jantung Bian rasanya hampir copot. Darimana Najwa bisa mendapatkan informasi sedetail itu? Padahal, selama ini Bian sudah sangat rapi menutupinya. Bahkan, Bian sampai membuat slip gaji palsu demi mengelabui Najwa."Ka-kamu tahu darimana?" tanya Bian pias.Najwa tersenyum meremehkan."Nggak penting aku tahu darimana. Yang penting, sekarang aku sudah tahu kalau selama satu tahun terakhir kamu sudah membohongi aku. Kamu membiarkan aku kesusahan mengelola uang pas-pasan yang kamu berikan untuk bayar cicilan sepeda motor, pinjaman bank, dan juga biaya kontrol serta obat Ibu. Belum lagi, aku juga harus memberi jatah bulanan untuk adik kamu dan mengurus segala kebutuhan rumah tangga. Semua itu aku lakukan dengan memutar otak, Mas! Sementara, kamu dengan entengnya malah memberi jatah pada perempuan lain dengan jumlah yang menurut aku sangatlah besar.""Dua juta bukanlah jumlah yang besar, Najwa! Jangan asal tuduh, kamu!" sergah Bian penuh emosi.Seketika, Najwa tersenyum dengan sinis. Kaca-kaca tipis tampak menghiasi sepasang mata indahnya."Dua juta? Jadi, kamu memberi wanita itu jatah dua juta?" Najwa mengangguk-anggukkan kepalanya. " Bahkan, uang untuk belanja bahan makanan setelah uang yang kamu kasih ke aku selesai dipotong hutang, jauh lebih kecil daripada jatah perempuan itu, Mas! Terimakasih karena sudah jujur! Sungguh, hatiku semakin terluka.""Najwa!! Bian!!!" Teriakan melengking dari arah kamar Bu Jannah menjeda perdebatan antara Najwa dan Bian.Tampak, Bian menghela nafas panjang. Sementara, Najwa melengos sembari mempertahankan senyum sinis di wajahnya."Najwa!!! Kamu dimana, menantu m!skin!!??" Lagi, teriakan Bu Jannah terdengar nyaring."Kamu dengar Ibu panggil kamu, kan?" tanya Bian pada istri pertamanya."Dengar," jawab Najwa singkat."Terus, kenapa nggak disamperin?""Buat apa?" ujar Najwa balas bertanya. "Buat dihina-hina dan dimaki-maki sama Ibu kamu? Iya, Mas?""Kok kamu ngomongnya gitu, sih? Apa selama ini kamu nggak ikhlas merawat Ibu?""Tentang ikhlas ku, biarkan Allah yang menilai, Mas. DIA yang paling tahu, sesabar apa aku selama ini dalam menghadapi Ibu kamu yang bermulut pedas itu. Kamu... nggak berhak sama sekali menilai keikhlasan aku disaat kamu sendiri yang notabenenya adalah anak kandung Ibu, nggak pernah sedikitpun mau membantu aku dalam mengurus Ibu kandung kamu. Jangankan membersihkan kotoran Ibu,
"Kamu benar-benar tega, Wa!" ucap Bian yang merasa tak mengenali lagi istri pertamanya. "Ingat, jangan pernah menyesal jika suatu saat nanti, kamu kehabisan uang. Memangnya, bakal bertahan berapa lama sih, uang pemberian Kakekmu yang sudah mati itu?" lanjut Bian meremehkan.Mata Najwa menatap tajam lelaki itu. Kalimat terakhir Bian sedikit menggores hatinya. Haruskah Bian berkata sekasar itu mengenai Almarhum Kakek Najwa? Tak adakah kalimat yang lebih halus untuk menggambarkan kepergian sang Kakek selain kata 'mati'? Setidaknya, Bian bisa menjaga sedikit perasaan Najwa yang masih merasakan duka."Ya, terserah kamu saja, mau bilang apa, Mas!" jawab Najwa enggan berdebat.Bian kini dilanda kebingungan. Uangnya benar-benar sudah habis. Sementara, Najwa sama sekali tak mau membantu apa-apa. Akhirnya, Bian pun memutuskan untuk meminjam uang pada teman kantornya.Setidaknya, dengan uang hasil meminjam itu, Bian bisa menyambung hidup bersama Salma dan sang Ibu selama beberapa hari ke depan.
"Salma, ayo kita masuk kamar!" ajak Bian pada istri keduanya."Tapi, Mas..,""Ayo," paksa Bian sambil menarik pergelangan tangan Salma.Mau tak mau, wanita itu menurut. Sesampainya didalam kamar, dia pun duduk ditepi ranjang dengan tangan terlipat didepan dada."Maksud Mbak Najwa tadi apa, Mas? Apa benar, kalau rumah ini punya dia?"Ini yang Bian takutkan. Dia takut jika Salma curiga seperti sekarang."Tentu nggak benar dong, Sayang! Rumah ini, Mas yang beli. Dia bilang seperti itu, karena awalnya Mas ngomong ke dia kalau Mas beli rumah ini hanya untuk dia.""Cih!" Salma berdecih. "Mbak Najwa sok jadi penguasa banget, sih! Aku sebel banget sama dia, Mas!" adu perempuan itu dengan suara manjanya. "Mas juga... kenapa belum mintain kamar Mbak Najwa buat aku sampai sekarang? Bete tau, nungguinnya!" rengek Salma lagi."Sabar, cinta!" rayu Bian. "Kamu lihat sendiri gimana keras kepalanya Najwa, kan? Kalau Mas pakai kekerasan buat maksa dia terus dia lapor ke polisi, gimana?"Salma terlihat
Sesampainya di Mall, Salma langsung menuju ke sebuah toko tas branded. Dia tak sabar untuk menyaingi tas branded yang dulu dibeli Najwa. Dia ingin membeli tas yang jauh lebih mahal dibanding milik kakak madunya itu."Mas, aku mau tas yang ini," ucap Salma sambil mengangkat satu tas berwarna putih gading."I-Itu mahal sekali, Sayang! Ganti yang lebih murah, ya!" kata Bian yang terkejut saat mengetahui harga dari tas branded itu."Gaji kamu kan masih ada enam juta, Mas! Berkurang tiga juga lima ratus, kan masih ada dua juta setengah. Cukuplah, buat biaya makan kita sebulan. Paling... harga keperluan dapur sebulan, berapa sih?"Bian terlihat gamang. Dia mencoba memikirkan matang-matang keputusan apa yang harus dia ambil. Haruskah dia menuruti keinginan Salma membeli tas baru atau tidak?"Mas, aku mau ini. Please...," rengek Salma sambil memeluk lengan Bian."Tapi...,""Mas!" teriak Salma yang membuat atensi pengunjung lain jadi tertuju padanya. "Jangan pelit, dong! Katanya cinta! Aku ngg
Najwa tertawa tanpa suara saat melihat ekspresi wajah madunya. Nah, baru tahu rasa, kan? Niat jadi pelakor tapi otak Salma belum begitu cerdas. Bisa-bisanya, Salma malah mengincar Bian yang tanggungannya sangat banyak dibanding penghasilannya."Mana jatahku, Mas?" tagih Neti sekali lagi."Jatah buat kamu libur dulu ya, Net!" ucap Bian pada sang adik."Loh, mana bisa begitu. Mas Bian kan sudah janji bakal terus ngasih aku jatah bulanan.""Tapi, bulan ini Mas lagi banyak pengeluaran, Net! Tolong kamu mengerti!"Neti seketika menoleh ke arah Najwa. Tatapan matanya yang tajam seolah hendak menguliti kakak ipar pertamanya itu."Pasti uang Mas Bian dikuasai kamu semua kan, Mbak? Ayo, ngaku!" tuduh Neti kesal. "Kembalikan hakku, Mbak! Dasar perempuan serakah!"Najwa mengangkat kedua tangannya seraya menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah jenaka."Loh, kok malah jadi aku yang kena?" tanya Najwa pada semua orang. "Kakakmu bahkan sudah tak mau lagi menafkahi aku, Net! Jadi, gimana ceritanya
Ting tong!Suara bel berbunyi tak lama setelah Neti dan suaminya, Dika pulang. Najwa gegas berdiri. Berjalan sedikit tergesa untuk menemui tamu yang sudah dia tunggu-tunggu sedari tadi."Bapak!" sapa Najwa tersenyum.Diciumnya punggung tangan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dibanding Almarhum Ayah kandungnya itu. Namanya, Haris. Anak dari sepupu sang Kakek, yang dipercaya penuh untuk mengelola semua sawah dan perkebunan milik Kakek kandung Najwa."Apa kabar, Wa?" tanya Pak Haris tersenyum. Diusapnya kepala Najwa dengan kasih sayang sembari menatap perempuan itu dengan mata yang nampak memerah."Najwa... Alhamdulillah baik," jawab Najwa.Kepada lelaki berkumis tebal yang datang bersama Pak Haris, Najwa hanya tersenyum teduh lalu menangkupkan kedua tangan didepan dada untuk menyapa.Lelaki itu jelas bukan mahramnya. Sementara, Pak Haris tetap mahram Najwa karena lelaki itu adalah suami dari wanita yang telah menyusui Najwa selama dua tahun lamanya.Ibu kandung Najwa meninggal te
"Mas... banyak sekali," lirih Salma terpukau seraya memukul pundak Bian."Iya, Sayang! Mas juga nggak nyangka," balas Bian dengan mata berbinar."Nanti Mas rayu Mbak Najwa, ya! Minta dia bagi uangnya buat kita juga. Kan, dia masih istrinya Mas. Otomatis, uang dia ya uang kamu juga, Mas!"Bian mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari uang tiga puluh juta yang tergelatak diatas meja. Lembaran uang seratus ribuan itu terdiri dari tiga gepok yang masing-masing diikat dengan karet gelang."Kenapa harus repot-repot nganter laporan penjualan hasil gabah ke sini, Pak? Kan, Bapak atau Pak Kirno bisa telfon aku aja," ucap Najwa sambil mengembalikan buku berisi total jumlah karung dan timbangan gabah hasil panen sawahnya pada Pak Kirno."Bapak nggak terbiasa begitu, Wa! Kamu kan tahu sendiri, kalau tiap panen, Bapak selalu sama-sama Kakek kamu buat jual hasil panen kita biar semuanya transparan. Berhubung sekarang Kakek kamu sudah tidak ada, makanya Bapak ngajakin Pak Kirno ke sini supaya bis
"Mbak... selamat pagi!" sapa Salma terburu-buru ketika melihat kedatangan Najwa ke dapur."Tumben, ramah? Kena angin apa?" tanya Najwa yang sedang mengambil air minum dari dispenser.Salma tersenyum. Sebuah senyum yang Najwa tahu adalah senyum dibuat-buat. Madu beracun itu menghampiri Najwa yang seketika membuat Najwa langsung menghindar."Mbak kok gitu, sih? Aku kan cuma mau mencoba akur sama Mbak Najwa. Kenapa harus menghindar? Sebagai sesama istri dari Mas Bian, bukankah akan lebih baik jika kita bisa...,""Cukup!" pangkas Najwa cepat. "Sampai kapanpun, saya nggak akan pernah sudi untuk akur dengan wanita yang sudah merebut suami saya."Mata Salma mendelik. Andai bukan karena mengincar uang yang dimiliki Najwa, Salma juga tak sudi beramah-tamah dengan kakak madunya itu."Ada apa ini?" tanya Bian yang datang dengan sebuah kantong plastik berukuran sedang ditangannya."Nggak apa-apa, Mas! Kami cuma lagi ngobrol aja. Iya kan, Mbak?" sahut Salma sambil menyenggol lengan Najwa."Bagus k
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da