Ting tong!Suara bel berbunyi tak lama setelah Neti dan suaminya, Dika pulang. Najwa gegas berdiri. Berjalan sedikit tergesa untuk menemui tamu yang sudah dia tunggu-tunggu sedari tadi."Bapak!" sapa Najwa tersenyum.Diciumnya punggung tangan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dibanding Almarhum Ayah kandungnya itu. Namanya, Haris. Anak dari sepupu sang Kakek, yang dipercaya penuh untuk mengelola semua sawah dan perkebunan milik Kakek kandung Najwa."Apa kabar, Wa?" tanya Pak Haris tersenyum. Diusapnya kepala Najwa dengan kasih sayang sembari menatap perempuan itu dengan mata yang nampak memerah."Najwa... Alhamdulillah baik," jawab Najwa.Kepada lelaki berkumis tebal yang datang bersama Pak Haris, Najwa hanya tersenyum teduh lalu menangkupkan kedua tangan didepan dada untuk menyapa.Lelaki itu jelas bukan mahramnya. Sementara, Pak Haris tetap mahram Najwa karena lelaki itu adalah suami dari wanita yang telah menyusui Najwa selama dua tahun lamanya.Ibu kandung Najwa meninggal te
"Mas... banyak sekali," lirih Salma terpukau seraya memukul pundak Bian."Iya, Sayang! Mas juga nggak nyangka," balas Bian dengan mata berbinar."Nanti Mas rayu Mbak Najwa, ya! Minta dia bagi uangnya buat kita juga. Kan, dia masih istrinya Mas. Otomatis, uang dia ya uang kamu juga, Mas!"Bian mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari uang tiga puluh juta yang tergelatak diatas meja. Lembaran uang seratus ribuan itu terdiri dari tiga gepok yang masing-masing diikat dengan karet gelang."Kenapa harus repot-repot nganter laporan penjualan hasil gabah ke sini, Pak? Kan, Bapak atau Pak Kirno bisa telfon aku aja," ucap Najwa sambil mengembalikan buku berisi total jumlah karung dan timbangan gabah hasil panen sawahnya pada Pak Kirno."Bapak nggak terbiasa begitu, Wa! Kamu kan tahu sendiri, kalau tiap panen, Bapak selalu sama-sama Kakek kamu buat jual hasil panen kita biar semuanya transparan. Berhubung sekarang Kakek kamu sudah tidak ada, makanya Bapak ngajakin Pak Kirno ke sini supaya bis
"Mbak... selamat pagi!" sapa Salma terburu-buru ketika melihat kedatangan Najwa ke dapur."Tumben, ramah? Kena angin apa?" tanya Najwa yang sedang mengambil air minum dari dispenser.Salma tersenyum. Sebuah senyum yang Najwa tahu adalah senyum dibuat-buat. Madu beracun itu menghampiri Najwa yang seketika membuat Najwa langsung menghindar."Mbak kok gitu, sih? Aku kan cuma mau mencoba akur sama Mbak Najwa. Kenapa harus menghindar? Sebagai sesama istri dari Mas Bian, bukankah akan lebih baik jika kita bisa...,""Cukup!" pangkas Najwa cepat. "Sampai kapanpun, saya nggak akan pernah sudi untuk akur dengan wanita yang sudah merebut suami saya."Mata Salma mendelik. Andai bukan karena mengincar uang yang dimiliki Najwa, Salma juga tak sudi beramah-tamah dengan kakak madunya itu."Ada apa ini?" tanya Bian yang datang dengan sebuah kantong plastik berukuran sedang ditangannya."Nggak apa-apa, Mas! Kami cuma lagi ngobrol aja. Iya kan, Mbak?" sahut Salma sambil menyenggol lengan Najwa."Bagus k
Bian terpaku. Lebih tepatnya bengong setelah mendengar permintaan tak masuk akal dari Najwa."Bagaimana, Mas? Apa kamu bersedia?"Lelaki itu meneguk salivanya susah payah."Uangnya belum ada, Sayang!" lirih Bian dengan tampang memelas. "Kamu kan tahu sendiri, kalau gajiku hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita. Boro-boro menabung. Untuk biaya makan saja, ternyata masih kurang.""Heh, kamu baru sadar, Mas?" ejek Najwa.Bian tak membalas. Ada sedikit rasa malu yang bercokol didasar hatinya. Selama ini, dia begitu menyombongkan besaran gaji yang dia peroleh dari perusahaan. Akan tetapi, setelah tahu kebenarannya, kini dia merasa sangat malu karena sudah sesumbar dihadapan Najwa di masa lalu."Maafkan Mas yang dulu tidak pernah percaya sama kamu, Wa."Najwa membuang muka. Permintaan maaf Bian dirasa sudah percuma. Hatinya... kini terlanjur sudah beku."Jadi, solusinya bagaimana?" tanya Najwa kemudian."Solusi untuk apa?""Ya, untuk kebersihan rumah ini-lah!" jawab Najwa
Geligi Najwa mulai saling beradu. Kenapa semua kumpulan manusia-manusia ini seolah telah kehilangan urat malu mereka?"Wa... kok malah melamun? Jadi, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kan, sama idenya Ibu?"Bian menyentuh pelan telapak tangan Najwa. Dia ikut membujuk Najwa supaya wanita itu bisa menurut seperti biasa pada dirinya dan juga sang Ibu."Tenang saja! Mas akan mengelola uang kamu dengan sebaik-baiknya, Sayang. Nggak akan Mas gunakan selain untuk keperluan rumah, biaya berobat Ibu dan juga uang belanja dan jajan buat kamu dan juga Salma.""Dasar manusia-manusia tak tahu malu!" desis Najwa sembari menyentak tangannya kasar dari genggaman Bian."Najwa...," lirih Bian tak percaya."Bicara apa kamu?" tanya Bu Jannah dengan mata melotot."Aku bilang... kalian manusia yang tidak tahu malu!" ucap Najwa mengulang perkataannya."Kamu... Kamu...," Bu Jannah kehabisan kata-kata. Hanya telunjuknya yang mengacung gemetar ke arah Najwa."Enak sekali kalian mau mengatur uangku. Memangnya, kal
"Wa, Mas boleh tidur sama kamu nggak, malam ini?" tanya Bian.Ya, malam ini dia akan melancarkan aksinya. Dia harus menemukan sertifikat tanah warisan Najwa dan juga mencuri uang yang berada didalam rekening wanita yang masih sah menjadi istrinya itu."Maaf, Mas. Nggak bisa," tolak Najwa dingin.Ia berpegangan pada gagang pintu kamar yang sengaja hanya ia buka setengah."Kenapa? Kamu masih istriku, Wa. Dosa, kalau kamu menolak keinginan suami," tukas Bian yang kembali membawa agama demi melancarkan niat jahatnya."Orang yang berzina pun juga berdosa, Mas! Apalagi, disaat mereka masih memiliki pasangan sah masing-masing," balas Najwa tak mau kalah."Wa... hanya sekedar tidur saja. Mas cuma rindu sama kamu dan juga suasana kamar kita. Mas janji nggak akan meminta hak Mas kalau kamu memang belum siap.""Tetap nggak bisa, Mas. Maaf! Jangankan untuk disentuh kamu lagi, sekadar berdekatan saja... rasanya aku belum sanggup. Tubuh kamu dipenuhi sama wanginya Salma. Dan itu, membuat aku merasa
Tok! Tok! Tok!Bian mengetuk pintu kamar Najwa. Tak berselang lama, Najwa pun membuka pintu dengan kepala yang menyembul dari balik pintu yang hanya terbuka sedikit."Nih, HP kamu!" ucap Bian lesu seraya menyerahkan ponsel milik Najwa.Najwa menerimanya kemudian tersenyum. "Terimakasih, Mas!""Emmm," sahut Bian tak bersemangat. "Mas beneran nggak boleh tidur di sini?" tanyanya dengan tampang memelas."Maaf, aku masih butuh waktu.""Tapi, Wa...,"Brak!Sebelum kata-kata Bian selesai, Najwa sudah lebih dulu menutup kembali pintu kamarnya. Bian yang masih berdiri diluar tampak terlihat kesal lalu meninju udara yang kosong."Mas? Gimana?"Saat Bian memasuki kamar, dengan cepat Salma langsung bangkit dan menghampiri sang suami."Gagal," jawab Bian seraya terduduk lesu di ujung ranjang."Gagal gimana, maksudnya?""Ya, gagal. Sertifikat tanah Kakek Najwa nggak ada di kamar. Saldo rekening punya dia juga kosong. Isinya cuma lima belas ribu. Apa yang mau diambil?" sungut Bian emosi sambil meng
"Entahlah!" jawab Najwa seraya mengendikkan bahunya."Kalaupun ditipu, kan yang rugi cuma aku, Mas! Bukan kamu atau keluarga kamu," lanjut Najwa dengan senyuman sebelum berlari kecil keluar dari halaman rumah.Bian semakin gelisah. Bagaimana jika Najwa memang benar-benar ditipu? Bagaimana jika uang sang istri dibawa kabur oleh Pak Kirno? Lalu, kelanjutan rencana Bian akan seperti apa kedepannya?"Gawat!!! Udah makin telat ini!" keluh Bian panik saat melihat jam di pergelangan tangannya.Segera lelaki itu mengeluarkan motor Supra getar peninggalan sang Ayah yang selama ini diam menghuni garasi. Kondisinya memang agak berdebu namun mesinnya ternyata masih bagus. Dengan kendaraan roda dua itu, Bian segera menuju ke kantor sebelum hal yang dia takutkan akan benar-benar terjadi. Dipecat.****"Salma!!! Makanan Ibu mana? Salma!! Ibu lapar!" teriak Bu Jannah seperti biasa.Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Akan tetapi, is
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da