Tok! Tok! Tok!Bian mengetuk pintu kamar Najwa. Tak berselang lama, Najwa pun membuka pintu dengan kepala yang menyembul dari balik pintu yang hanya terbuka sedikit."Nih, HP kamu!" ucap Bian lesu seraya menyerahkan ponsel milik Najwa.Najwa menerimanya kemudian tersenyum. "Terimakasih, Mas!""Emmm," sahut Bian tak bersemangat. "Mas beneran nggak boleh tidur di sini?" tanyanya dengan tampang memelas."Maaf, aku masih butuh waktu.""Tapi, Wa...,"Brak!Sebelum kata-kata Bian selesai, Najwa sudah lebih dulu menutup kembali pintu kamarnya. Bian yang masih berdiri diluar tampak terlihat kesal lalu meninju udara yang kosong."Mas? Gimana?"Saat Bian memasuki kamar, dengan cepat Salma langsung bangkit dan menghampiri sang suami."Gagal," jawab Bian seraya terduduk lesu di ujung ranjang."Gagal gimana, maksudnya?""Ya, gagal. Sertifikat tanah Kakek Najwa nggak ada di kamar. Saldo rekening punya dia juga kosong. Isinya cuma lima belas ribu. Apa yang mau diambil?" sungut Bian emosi sambil meng
"Entahlah!" jawab Najwa seraya mengendikkan bahunya."Kalaupun ditipu, kan yang rugi cuma aku, Mas! Bukan kamu atau keluarga kamu," lanjut Najwa dengan senyuman sebelum berlari kecil keluar dari halaman rumah.Bian semakin gelisah. Bagaimana jika Najwa memang benar-benar ditipu? Bagaimana jika uang sang istri dibawa kabur oleh Pak Kirno? Lalu, kelanjutan rencana Bian akan seperti apa kedepannya?"Gawat!!! Udah makin telat ini!" keluh Bian panik saat melihat jam di pergelangan tangannya.Segera lelaki itu mengeluarkan motor Supra getar peninggalan sang Ayah yang selama ini diam menghuni garasi. Kondisinya memang agak berdebu namun mesinnya ternyata masih bagus. Dengan kendaraan roda dua itu, Bian segera menuju ke kantor sebelum hal yang dia takutkan akan benar-benar terjadi. Dipecat.****"Salma!!! Makanan Ibu mana? Salma!! Ibu lapar!" teriak Bu Jannah seperti biasa.Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Akan tetapi, is
Najwa begitu senang menikmati wajah terkejut Salma. Biarkan, madunya itu semakin tertekan. Salma harus tahu, bahwa menjadi yang kedua, adalah kesalahan terbesar yang pernah dia lakukan seumur hidup."Mbak, tunggu! Mbak mau kemana?" tanya Salma."Ke kamar. Aku mau mandi," jawab Najwa.Salma tersenyum sambil mendekati Najwa. Wajahnya tampak memelas, seolah menginginkan sesuatu."Aku boleh pinjem uang Mbak Najwa, nggak?""Buat apa?" tanya Najwa datar."Aku lapar, Mbak. Belum makan."Sebelah alis Najwa tampak terangkat."Kok bisa? Memangnya, Mas Bian nggak ninggalin uang buat kamu?"Tertunduk, wanita yang memutuskan menjadi yang kedua dalam rumah tangga Najwa itu menggeleng pelan. "Nggak, Mbak," jawabnya lesu.Mata Salma sudah memerah. Ia hampir menangis karena terpaksa merendahkan harga diri dihadapan wanita yang selama ini telah ia remehkan hanya demi sesuap nasi. Demi bertahan hidup, apapun rela Salma lakukan termasuk memohon seperti ini pada rivalnya."Tolong, Mbak! Aku lapar. Setidak
Bian panik mendengar suara tangis Ibunya. Lelaki itu tak bisa tenang ditempat duduknya saat ini."Kenapa, Bu? Bilang sama Bian, ada apa?"Tangis itu masih terdengar kencang diseberang sana.[Huhuhu... istrimu, Nak! Tega sekali dia memberi makan Ibu dengan batu. Sakit hati Ibu diperlakukan begini. Memangnya, Ibu ini apa?]"Apa?" Bian menggeram marah.[Pulang, Nak! Ibumu kelaparan di rumah putranya sendiri. Huhuhu...]Bian kalap. Begitu panggilan terputus, ponsel itu lekas dia masukkan ke saku celana kemudian menyambar tas kerja yang ia letakkan diatas meja."Eh, mau kemana?" tanya Deden sambil menahan bahu Bian yang hendak berdiri."Mau pulang. Gue mau bikin perhitungan sama istri gue. Berani-beraninya, dia ngasih nyokap gue batu buat dimakan. Padahal, nyokap gue udah kelaparan banget.""Hah?" Deden terperangah. "Bini Lo yang mana, nih?"Bian tampak berpikir sejenak. "Najwa," tebaknya yakin.
Najwa tersenyum menyambut tamunya. Ya, hari ini dia ada janji dengan mantan suami Salma, yaitu Ahmad. Dan, disinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di tengah keramaian sebuah kafe yang cukup terkenal, tak jauh dari daerah tempat tinggal Najwa."Terimakasih untuk informasi yang selama ini sudah Mas Ahmad berikan. Berkat semua itu, saya berhasil menyadari bahwa selama ini saya sudah berkorban sia-sia untuk orang yang salah."Ahmad tersenyum. Sama seperti Najwa, dia pun dikhianati oleh pasangannya."Saya juga nggak mungkin bilang, seandainya bukan Mbak Najwa duluan yang menghubungi saya," timpal Ahmad. "Jadi... apa kabar mereka?"Najwa tersenyum sungging. "Sepertinya agak buruk.""Maksudnya?""Finansial mereka sedang berantakan. Mas Bian bahkan sudah tak punya uang lagi untuk memberi makan istri dan Ibunya sampai bulan depan.""Kenapa bisa begitu?" tanya Ahmad dengan alis berkerut. "Bukannya ... Bian itu kaya? Kata Salma, Bian bahkan sudah punya rumah dan mobil sendiri. Berbeda jauh
"Ayo, kenapa diam saja? Balas kata-kataku, Najwa! Bukankah kamu sangat pandai berdebat akhir-akhir ini?" desak Bian sambil mendorong bahu Najwa hingga wanita itu melangkah mundur.Najwa masih belum mau membuka suara. Hanya sepasang matanya yang dihiasi kaca-kaca tipis itu yang menatap Bian tak kalah nyalangnya."Kalau punya mulut itu, dipake, Najwa! Ayo, jawab pertanyaan ku! Kenapa kamu memberi Ibuku batu untuk dimakan? Kenapa?" teriak Bian dengan keras tepat didepan wajah Najwa."Apa kamu sengaja ingin menghinaku? Iya?" lanjut Bian emosi.Karena Najwa masih terus membisu, telapak tangan Bian pun reflek terangkat. Niatnya, ingin menampar mulut Najwa."Cukup! Berhenti!" lirih Najwa dengan suara penuh penekanan.Tangan Bian terhenti di udara. Lelaki itu menelan ludah, saat menatap mata Najwa yang begitu tajam menantang matanya."Aku peringatkan padamu, Mas! Jika kamu berani menyakiti fisikku sekali lagi, maka aku nggak akan segan-segan untuk melaporkan kamu ke polisi!""Argghhh!!!" Bian
"Silakan duduk, Mas!" ucap Najwa mempersilakan.Bian masih berdiri kaku. Aura Najwa malam ini, berhasil mendominasi keadaan dan membuat Bian menjadi takut."Kenapa masih berdiri di situ? Mas mau kita bicara sambil berdiri?"Reflek, Bian menggeleng. Lekas, lelaki itu mendudukkan bokongnya di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Najwa."Wa, Mas minta maaf soal yang tadi," ucap Bian penuh penyesalan."Ya, nggak apa-apa. Toh, aku juga udah biasa kamu maki-maki, kan? Lupa, bagaimana dulu kamu selalu memarahi aku hanya karena aduan nggak benar dari Ibu kamu? Bahkan, ketika kamu tahu bahwa apa yang Ibu kamu katakan adalah sebuah kebohongan, kamu tetap saja memarahi aku tanpa sedikitpun rasa kasihan.""Untuk yang dulu-dulu, Mas juga minta maaf, Wa!" Bian menundukkan kepala. Menyesal.Waktu terasa lambat berjalan. Pergerakan jarum jam, detik demi detik, terdengar begitu jelas di rungu Bian."Mas... aku mau kamu pindah dari sini."Degh!Tubuh Bian bagai tersambar petir mendengar perminta
Bian kembali ke kamarnya dengan langkah lunglai. Mendadak, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia seolah kehabisan tenaga.Bayangan masa depan suram, terus berkelebat di dalam benaknya. Niat beristri dua agar semakin bahagia, namun kenyataannya malah berakhir nelangsa.Padahal, selama ini Bian sudah membayangkan betapa indahnya beristri dua. Ada Najwa yang bisa mengurus Ibu, rumah serta memasak makanan yang enak setiap hari, serta ada Salma yang pandai memuaskan dirinya diatas ranjang serta lihai menggodanya setiap waktu.Sungguh! Betapa nikmatnya hidup Bian andai semua itu dapat terwujud dengan baik."Mas, kamu darimana, sih? Aku cariin loh, daritadi," tanya Salma yang baru saja memasuki kamar.Wanita itu sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia baru selesai mandi karena Bian terus memprotes bau badannya yang sangat menyengat."Habis ngobrol sama Najwa," jawab Bian."Kok mukanya lesu, gitu? Mbak Najwa menolak mengurus Ibu lagi, ya?""Lebih parah dari itu, Salma!""Maksudnya?" tan
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da