"Najwa, kenalkan! Dia Salma. Adik madumu."
Bagai sebuah sembilu, kata-kata Bian sukses menusuk jantung Najwa. Belum kering luka hatinya setelah ditinggal pergi oleh sang Kakek untuk selamanya. Dan, kini pria kedua yang paling dia percaya justru memberi luka baru yang tak kalah sakit.Madu?Benarkah? Ini seperti mimpi disiang bolong. Berusaha untuk bangun, namun Najwa tak bisa. Berarti, semua memang nyata adanya."Ma-madu?"Najwa rasanya ingin tertawa. Ingin pula berteriak kasar mengumpat pria yang telah dia anggap sebagai pelindung selama ini.Namun, apa daya. Tenaganya benar-benar telah terkuras habis, setelah seminggu dia berada di desa untuk mengurus pemakaman dan pengajian untuk sang kakek tersayang yang baru saja berpulang kepada penciptanya.Selama seminggu itu, Bian sama sekali tak pernah hadir dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Tak ada panggilan telepon untuk sekadar bertanya kabar apalagi berusaha menguatkan Najwa yang baru kehilangan separuh jiwanya.Padahal, Bian tahu betul jika Kakek adalah satu-satunya keluarga Najwa yang tersisa. Dan, sekarang Najwa mengerti, kenapa Bian bisa berbuat setega itu. Rupanya, sudah ada wanita lain yang menjadi fokus utama Bian."Sejak kapan?" tanya Najwa dingin.Tak ada gunanya menangis. Itu hanya akan menunjukkan bahwa dia lemah dihadapan pengkhianat itu."Enam bulan yang lalu." Lugas, lelaki tak berperasaan itu menjawab.Jantung Najwa seolah di remas kuat. Sakit. Namun, sebisa mungkin dia bertahan dalam ketegaran."Kenapa baru bilang sekarang?" tanya Najwa dengan tangan yang terkepal erat. Netranya, menghunus tajam, ke arah lelaki yang selama ini telah begitu dia percaya dan dia jadikan raja.Bian malah tertunduk. "Aku... Aku...," Dia terbata. Tak tahu harus menjawab apa."Baru punya nyali karena Kakek sudah tiada?"Mas Bian tampak meneguk ludah. Perkataan Najwa memang ada benarnya.Dia baru berani memperkenalkan Salma pada Najwa karena sosok yang paling dia takuti saat Najwa terluka, kini sudah tidak ada."Maaf, Najwa," lirih Bian sangat pelan."Bukannya, dia ini istri teman kamu, Mas? Bagaimana bisa, tiba-tiba perempuan ini menjadi istri keduamu?" tanya Najwa lagi.Ya, dia ingat betul bahwa perempuan yang sekarang suaminya bawa adalah istri dari teman sekantor suaminya. Dia dan Salma pernah bertemu beberapa kali diacara kantornya Bian."Salma memang istrinya Ahmad. Tapi, satu tahun lalu, mereka bercerai. Dan, beberapa bulan kemudian, kami mulai dekat lalu memutuskan untuk menikah. Najwa... Mas harap, kamu bisa menerima kehadiran Salma di rumah ini."Mata Najwa seketika membulat. Waraskah, suaminya? Tega sekali pria itu dengan sengaja menempatkan sumber luka Najwa didekatnya."Apa aku tak salah dengar, Mas? Menerima kehadiran dia di rumah ini?" ulang Najwa dengan senyum sinis."Iya, Sayang. Mas tak punya pilihan lain. Saat ini, Salma tak punya siapa-siapa lagi. Dia takut tinggal sendiri. Makanya, Mas bawa saja dia kemari. Mas tahu, kamu pasti bisa menerima Salma dengan baik di rumah ini, kan?""Kenapa Mas terlalu percaya diri?""Karena dulu, kamu juga bisa menerima kehadiran keluarga Mas yang lain dirumah ini."Mendengar jawaban yang diutarakan Bian, Najwa kembali ingin sekali tertawa. Ya, dulu dia memang dengan senang hati menerima kehadiran Ibunda Bian di rumah ini.Tak lama kemudian, adik perempuan Bian juga ikut pindah setelah dicerai suaminya karena ketahuan selingkuh dengan berondong SMA. Namun, kedatangan Salma tentu berbeda. Najwa tak bodoh hingga tak tahu apa maksud Salma ingin ikut tinggal di rumah ini."Maaf, Mas! Aku menolak! Silakan kamu bawa gundikmu, keluar dari sini!" usir Najwa dengan tegas."Najwa...,""Mas... Aku nggak mau pergi. Tolong, bujuk istri tuamu untuk menerima aku disini." Salma mulai merengek. Bergelayut manja dilengan Bian yang membuat Najwa semakin naik pitam."Haruskah kamu memperlihatkan sikap manjamu di hadapan ku? Kenapa? Apa ingin sekali pamer, kalau kamu sudah berhasil merebut suamiku seuntuhnya?"Salma sontak tertunduk. Air matanya mengalir deras tanpa diminta. Ah, drama! Begitu, pikir Najwa."Maaf, Mbak! Maksudku tak seperti itu," ujar Salma membela diri."Lalu apa maksudmu? Belum cukup kau rebut suamiku, dan sekarang, kau juga ingin menguasai istanaku?""Tidak, Mbak! Sama sekali tidak. Mbak salah paham.""Jangan berprasangka buruk pada Salma, Najwa! Dia perempuan baik. Tak pantas, kamu hina dia sesarkas itu!" Bian turut membela istri sirinya. Hal yang membuat luka hati Najwa semakin menganga lebar."Kalau dia memang baik, kenapa tega jadi pelakor?""Dia bukan pelakor!" balas Bian. "Aku dan Salma... sebenarnya sudah saling mencintai sejak lama. Hanya saja, saat itu aku terpaksa meninggalkan dia demi menikahi kamu karena dipaksa Bapak."Ah, serangan untuk ke sekian kali, kembali Bian lancarkan. Saat ini, hati Najwa benar-benar sudah hancur tak berbentuk. Sakit. Sakit sekali.Najwa dan Bian memang menikah karena perjodohan. Bapak Bian, yang kala itu masih bekerja sebagai pemasok sayuran kepada beberapa pedagang di pasar, berkenalan dengan Kakek Najwa yang merupakan seorang petani cabai, wortel dan beberapa sayuran lainnya.Dari situ, Keduanya mulai akrab dan menjadi teman baik. Lalu, Bapak Bian tak sengaja melihat Najwa. Dari situ, ide perjodohan pun timbul dibenak Bapak Bian dan disetujui oleh Kakeknya Najwa.Jadilah, Bian dan Najwa akhirnya menikah walau tanpa cinta. Meski Bian begitu dingin pada awalnya, namun lama kelamaan, lelaki itu akhirnya bisa menerima Najwa. Kebaikan dan ketulusan yang Najwa perlihatkan, ternyata ampuh mengetuk pintu hati Bian.Namun, hari ini Najwa baru tahu jika namanya ternyata tak pernah terukir didalam hati sang suami.Dia diperbolehkan masuk ke relung hati Bian, namun tak diperbolehkan untuk menetap."Jadi, Mas tidak pernah mencintaiku?" lirih Najwa dengan mata berkaca-kaca."Ya. Mas tidak pernah mencintai kamu. Cinta Mas, hanya untuk Salma."Lihatlah! Wanita perebut itu mulai tersenyum lebar. Kemenangan, telah dia kantongi dengan telak. Lalu, bagaimana dengan Najwa? Ya, mungkin dia memang kalah. Tapi, menyerah? Tidak akan."Kalau begitu, ceraikan saja aku, Mas!" ucap Najwa datar.Mata Bian seketika membulat sempurna. Kalimat itu, tak pernah dia sangka akan keluar dari mulut Najwa yang selama dua tahun terakhir, terlihat begitu mencintainya."Ngomong apa kamu, Najwa? Apa kamu pikir, kata cerai itu, main-main?" sergah Bian tak terima."Aku tidak sedang bermain-main. Aku serius! Talak aku!" pinta Najwa penuh ketegasan.Bian nampak tersenyum meremehkan. Pria itu bahkan berkacak pinggang sambil memindai penampilan Najwa yang terlihat begitu kacau.Wajahnya sembap. Kantung matanya menghitam. Bibirnya bahkan nampak pucat dan kering. Mungkin, Najwa kelelahan mengurus semua hal yang berkaitan dengan pemakaman sang Kakek tanpa adanya Bian disisinya."Kamu sedang lelah. Lebih baik istirahat saja. Nanti, kita bicarakan lagi, kalau pikiranmu sudah mulai terbuka. Dan, aku akan tetap pada keputusanku. Salma, akan tinggal disini mulai detik ini. Dengan, atau tanpa persetujuan dari kamu."Bian merangkul sang istri kedua menuju ke kamar tamu. Najwa hanya bisa menatap nanar kedua manusia itu dengan tangan terkepal. Air mata yang sedari tadi dia tahan kini tumpah sudah.Rasanya Najwa sudah hampir menyerah dengan cobaan hidup yang mendera. Belum kering makam sang Kakek, namun cobaan baru kini sudah datang menerpa."Kakek... Najwa rindu. Sekarang, Najwa harus apa? Najwa sendirian."*"Bian, Najwa mana, Nak?" tanya Bu Jannah, Ibu kandung Bian.Sudah satu tahun, perempuan paruh baya itu mengalami kelumpuhan. Dan, sejak saat itu pula, Bu Jannah harus duduk di kursi roda."Di kamar, Bu. Mungkin, lagi istirahat," sahut Bian sambil meneruskan makan siangnya bersama Salma."Tolong panggilkan! Ibu mau buang air besar," titah Bu Jannah pada putranya."Baik, Bu!" angguk Bian patuh.Selama ini, yang merawat Bu Jannah sepenuhnya memang Najwa. Walau selalu tak mendapatkan sambutan hangat dari sang Ibu mertua, namun selama ini Najwa tetap merawatnya dengan telaten atas nama bakti."Najwa!! Buka pintu!!! Ibu mau BAB. Tolong, kamu bantu dulu!" teriak Bian didepan kamar Najwa yang terkunci rapat."Najwa! Najwa! Kamu dengar, tidak? Tolong bantu Ibu dulu! Perawat yang kemarin bantuin Ibu, sudah ku suruh pulang, soalnya!" teriak Bian lagi disertai dengan ketukan pintu.Didalam kamar, Najwa sengaja memasang earphone lalu menyetel musik kencang-kencang agar suara Bian tersamarkan. Untuk apa dia mengurus orangtua Bian? Toh, keberadaannya memang tak pernah dihargai, bukan?Sekarang, Najwa tak ingin ikut campur lagi. Biarkan, Bian dan istri barunya yang mengurus Ibu mereka."Kamu terlalu meremehkan seorang Najwa, Mas! Kamu tidak pernah tahu jika cucu seorang Syamsul Adji telah diajarkan kuat sedari kecil. Kita lihat, sampai dimana cinta yang kamu agung-agungkan itu akan bertahan." Najwa tersenyum miring. Bersiap merencanakan sebuah langkah besar untuk membuat Bian menyesal.Bian semakin kalut saat Najwa tak merespon panggilannya sama sekali. Belum lagi, suara sang Ibu yang berteriak tak sabaran juga semakin kencang terdengar. Terpaksa, Bian menemui Ibunya kembali."Najwa kayaknya tidur, Bu. Aku teriakin dari tadi, tapi nggak ada jawaban," ucap Bian sambil mendesah samar."Terus, ini gimana? Ibu udah kebelet, Bian!" Wajah Bu Jannah tampak sudah memerah karena menahan panggilan alam terlalu lama.Bian jadi panik. Dia tak pernah membersihkan kotoran sang Ibu selama ini. Semua hal menjijikkan itu sudah menjadi tugas Najwa sedari dulu.Dia dan adiknya? Tentu hanya pandai menyuruh ini-itu serta memprotes beberapa tindakan yang Najwa lakukan selama merawat Ibu mereka."Salma, kamu bisa bantu Ibu dulu?" tanya Bian pada istri keduanya.Mata Salma langsung membulat lebar. Dia yang masih anteng menikmati sop buntutnya bahkan nyaris tersedak."Ba-bantu? Bantu apa?" lirih Salma."Kelamaan. Nggak usah ditanyain. Sini, kamu cepat dorong kursi roda Ibu! Ibu udah nggak t
"Najwa! Keluar kamu!" teriakan Bu Jannah dari luar kamar membuat Najwa menghela napas lelah."Ada apa, Bu?" tanya Najwa saat membuka pintu."Kamu masih tanya, ada apa? Jelas-jelas, meja makan kosong melompong begitu. Kenapa kamu nggak masak?" tanya Bu Jannah dengan mata melotot."Malas," jawab Najwa enteng.Bu Jannah bahkan terperangah karena jawaban Najwa. Pun, dengan Bian yang sedari tadi terus memegangi kursi roda sang Ibu."Enak banget ya, jadi kamu! Sudah kerjanya cuma makan duit anakku aja setiap bulannya, eh... sekarang malah nggak mau ngapai-ngapain. Dasar benalu!" maki Bu Jannah berapi-api."Terus, kenapa? Ibu keberatan?""Ya iyalah. Kalau kamu memang sudah tidak mau memasak, maka jatah bulanan buat kamu dari Bian, akan Ibu stop mulai sekarang," ancam Bu Jannah."Oke. Nggak masalah! Justru bagus kalau begitu. Aku jadi nggak perlu pusing lagi memutar otak setiap harinya demi mengatur uang yang nggak seberapa itu," sahut Najwa."Jangan terlalu sombong kamu, Najwa!" geram Bian y
"Ka-kamu tahu darimana?" tanya Bian gugup."Nggak penting aku tahu dari mana. Yang jelas, sekarang aku sudah tahu kalau kamu telah berbuat curang selama satu tahun lebih bersama Salma dibelakang aku. Dan, semua itu sudah cukup menjadi alasan untuk aku berhenti peduli sama kamu dan keluarga kamu!""Seharusnya, kamu tidak perlu menyalahkan aku, Najwa! Aku selingkuh, itu juga karena kamu. Suami mana yang tahan melihat istrinya memakai daster lusuh setiap hari? Belum lagi, muka kamu selalu terlihat pucat karena malas dandan. Dan, apa kamu tahu, kalau badan kamu itu setiap harinya selalu bau? Kalau nggak bau bawang, pasti bau pesing. Wajar dong, kalau aku cari kepuasan ditempat lain." Bian berusaha membela diri.Seketika, Najwa kembali tersenyum sinis. "Badanku nggak akan bau bawang andai kamu mau menyewa ART di rumah ini, Mas! Dan, badanku juga nggak mungkin bau pesing, andai kamu mau menyewa perawat untuk mengurus Ibumu! Apa kamu pikir, mengurus Ibumu dan rumah ini, bisa memberiku waktu
Najwa merasa puas melihat beberapa kantong belanjaan yang berada ditangannya. Belum lagi, wajah yang terasa cerah dan segar setelah melakukan perawatan di sebuah salon terkenal.Senyum tersungging di bibir wanita itu. Merasa menemukan kembali kebahagiaan hidup, setelah seminggu berkubang duka karena kepergian sang Kakek."Mulai sekarang, aku akan menikmati hidupku, Mas! Nggak ada lagi, bantuan untuk keuanganmu mulai sekarang," ucap Najwa lirih.Najwa benar-benar bertekad untuk pensiun dari segala macam hal mengenai rumah tangganya. Mulai dari pekerjaan rumah, mengatur uang untuk kebutuhan rumah apalagi merawat Ibu mertua yang bermulut pedas.Biarkan, mulai sekarang semua itu menjadi tanggung jawab Bian dan istri mudanya. Najwa hanya akan duduk sebagai penonton dan melihat apakah kedua manusia itu mampu melakukan semua hal yang pernah dilakukan Najwa atau tidak.******"Telat lagi, Bro?" tegur Deden, rekan kerja Bian."Iya," jawab Bian sambil duduk di kursinya. "Sial banget gue. Masa'
Pulang dari kantor, Bian sudah berangan-angan akan makan malam dengan menu yang nikmat di rumah. Akan tetapi, rupanya ekspektasi ternyata jauh dari kenyataan.Boro-boro makan enak. Nasi di magic com saja tidak ada. Keadaan meja makan benar-benar kosong melompong. Hanya ada plastik makanan dengan sebuah logo restoran cepat saji yang teronggok diatas sana."Najwa, kamu nggak masak lagi, Sayang?" tanya Bian lembut saat Najwa tak sengaja lewat karena harus mengambil air minum di kulkas."Nggak," jawab Najwa singkat."Kenapa?""Aku belum sempat belanja bahan masakan."Najwa kembali menutup pintu kulkas begitu selesai mengambil sebotol air minum. Dia lalu berjalan hendak kembali ke kamarnya."Najwa, tunggu!" panggil Bian.Terpaksa, perempuan itu berhenti melangkah."Ada apa?""Penampilan kamu... kok beda?"Alis Najwa seketika berkerut. "Beda gimana maksudnya?"Bian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mendadak, dia seperti ABG labil yang baru pertama kali merasakan ketertarikan terhadap lawa
Bian menunggu Salma dengan gelisah. Begitu sang istri muda keluar dari kamar mandi, Bian langsung menyeretnya dan memaksa perempuan itu untuk duduk ditepi tempat tidur."Kamu apa-apaan sih, Mas?" protes Salma."Siapa dia?" tanya Bian sambil melemparkan ponsel Salma ke atas pangkuan wanita itu."Maksud kamu apa?""Yang kirim chat ke kamu pakai sayang-sayangan itu, siapa?" ujar Bian yang sengaja mengulang pertanyaan agar lebih jelas.Degh!Jantung Salma langsung berdetak cepat. Wajahnya terlihat pias dengan tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin."Yang mana, Mas?" tanya Salma berpura-pura tak mengerti."Buka ponsel kamu sekarang! Mas mau lihat chat yang tadi."Meneguk saliva yang terasa payah, Salma dengan sedikit gemetaran membuka sandi ponselnya. Setelah itu, dia membaca pesan dari sebuah nomor asing yang tak tersimpan dalam kontaknya. Selang beberapa detik, perempuan itu malah tertawa kecil."Kok kamu malah ketawa?" tanya Bian heran."Ya ampun, Mas! Ini tuh cuma pesan nyasar.
Keesokan harinya, Bian terbangun dengan perut yang terasa sangat lapar. Saat dia melihat jam, betapa terkejutnya lelaki itu saat tahu bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang."Astaga! Sudah jam segini?" pekik Bian kaget. "Pantas perutku terasa sangat lapar."Dia menoleh ke samping kirinya. Salma masih tertidur lelap dengan tanpa sehelai benang pun kecuali selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada."Salma kayaknya juga kecapean. Mending, aku makan duluan aja."Menyingkap selimut yang menutupi separuh tubuhnya, Bian turun dari tempat tidur lalu memakai celana pendek selutut dan kaos oblong yang dia ambil dari dalam kopernya.Setelah itu, dia keluar kamar dan berniat untuk mencari makanan di dapur. Akan tetapi, betapa kecewanya Bian saat tahu bahwa ternyata meja makan masih sama seperti kemarin. Kosong."Apa-apaan ini? Kenapa tidak ada makanan sedikitpun?" ucap Bian emosi."Najwa!!!" teriaknya lantang memanggil nama sang istri pertama."Wa! kamu dim
"Najwa!! Bian!!!" Teriakan melengking dari arah kamar Bu Jannah menjeda perdebatan antara Najwa dan Bian.Tampak, Bian menghela nafas panjang. Sementara, Najwa melengos sembari mempertahankan senyum sinis di wajahnya."Najwa!!! Kamu dimana, menantu m!skin!!??" Lagi, teriakan Bu Jannah terdengar nyaring."Kamu dengar Ibu panggil kamu, kan?" tanya Bian pada istri pertamanya."Dengar," jawab Najwa singkat."Terus, kenapa nggak disamperin?""Buat apa?" ujar Najwa balas bertanya. "Buat dihina-hina dan dimaki-maki sama Ibu kamu? Iya, Mas?""Kok kamu ngomongnya gitu, sih? Apa selama ini kamu nggak ikhlas merawat Ibu?""Tentang ikhlas ku, biarkan Allah yang menilai, Mas. DIA yang paling tahu, sesabar apa aku selama ini dalam menghadapi Ibu kamu yang bermulut pedas itu. Kamu... nggak berhak sama sekali menilai keikhlasan aku disaat kamu sendiri yang notabenenya adalah anak kandung Ibu, nggak pernah sedikitpun mau membantu aku dalam mengurus Ibu kandung kamu. Jangankan membersihkan kotoran Ibu,
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da