'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku.
"Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda.
"Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya."
"Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya.
"Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi.
"Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?"
Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.
Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat belum berbuah, Pak Wira akan membelinya dengan hitungan perpohon. Walau, tetap saja bayarnya menunggu saat akan panen. Nah, sekarang, lah, waktunya pembayaran itu. Lalu, berapa banyak buah yang jadi miliknya juga tergantung rejeki Pak Wira sendiri.
Aku menjawabnya dengan bergumam malas. Pasti ada yang mau dipintanya lagi ini. Bukannya gimana-gimana, tapi istriku ini memang menpunyai akal bulus dan kebiasaan boros.
"Kalau gitu, nanti duitnya dibelikan mesin cuci, ya."
Kan, betul. Pasti ada maunya dia kalau sudah baik denganku. Ish, bikin geram. Benar-benar tipe istri yang selalu menghabiskan duit suami.
"Hmmm." Masih kujawab dia dengan malas. Tak melihatkah dia jikalau mukaku sudah berubah kusut bak baju yang belum disetrika.
"Terus, beli kasur baru ...." Jarinya sedang menghitung, sementara pandangan matanya ke atas. Sedang menghayal rupanya dia.
"Untuk apa?" Kupotong kalimatnya.
"Kan yang lama udah bunyi, nyit ... nyit ... nyit ...."
"Nyit ... nyit ... nyit ... apaan? Macam bunyi tikus kejepit." Mana tak mau naik darahku. Saban hari, di pikirannya hanya duit, duit, dan duit.
"Bunyi kasur kita, lah, Bang. Pokoknya, harus beli kalau masih mau seperti semalam." Tiara menyilangkan tangan ke dada. Bibirnya manyun.
"Usah ngancam gitu, lah, Dek," pujukku. "Kasur kita kan masih bisa mengenjut, berarti masih bagus."
"Bagus dari Hongkong!" marahnya. "Ini aja, pinggang Adek mau patah rasanya."
"Iiisssh." Aku berdesis kesal.
Susah kalau ngomong sama Tiara. Tiap dikasi tahu, balik-balik dia yang mengomel. Aku sebagai suami yang baik serta rajin, hanya bisa diam dan mengalah.
"Gelang juga," sambungnya.
"Gelang apa lagi? Ya Allah ...." Kuurut dada sendiri melihat tingkahnya yang semakin terpengaruh emak-emak di sekitar sini.
"Setahun sudah kita nikah, Bang. Belum sekali pun Abang belikan Adek perhiasan. Masak pergi kondangan Adek cuma pakai karet gelang." Wajah Tiara tampak begitu sedih.
"Cukuplah itu, Dek. Kita hidup tak usah menampak. Biar orang kira kita ini susah, padahal ...." Kalimat sengaja kugantung biar dia menimpali.
"Padahal kaya, Bang?"
"Padahal, emang susah."
Muka Tiara semakin cemberut, tapi tetap cantik. Beda sama aku, yang walau dibedakin macam mana pun, jatuh-jatuhnya malah mirip siluman tokek.
Sebuah mobil sedan bergambar Tom and Jerry melintas di depan rumah. Tak lama, suara mesinnya mati. Itu artinya mobil tersebut berhenti tak jauh dari rumahku. Siapa dia, ya?
Aku dan Tiara pergi melihat ke depan. Mobil tadi parkir di halaman rumah sebelah yang belum ada penghuninya. Sepertinya penghuni baru di komplek sini.
Seorang lelaki berbadan gagah keluar dari mobil. Dengan berjas hitam, dan bercelana pendek, serta sepatu panthopel yang lain warna, dia melangkah yakin.
Namun, bukannya masuk ke rumah sendiri, lelaki tak jelas asal usulnya itu malah mendekat, setelah tak sengaja mata kami saling bertemu pandang.
Sesudah menyapaku secara kasar, lelaki bertampang mirip Lee Min Hoo itu menunjuk Tiara. "Pak Tua ... anak gadisnya itu sudah menikah belum?"
"Apaan?"
"Itu, anaknya udah nikah belum? Kalau belum, mau saya jadikan istri." Dia lalu membenarkan kerah kemeja, berlagak sombong.
Kupandangi Lelaki yang tak punya adab itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Sudah memanggil aku dengan sebutan Pak Tua, eh, istriku pun mau diembatnya. Sungguh terlalu.
"Ini istriku ... oi, Tutup Odol!" murkaku.
"What? Apa nggak salah?" Kepalanya mundur sedikit. "Bapak main pelet, ya?"
Ini sudah kelewatan. Benar-benar kelewatan. Dari dulu, aku paling benci kalau ada yang bilang aku main pelet hanya karena beristrikan Tiara yang cantiknya melebihi bidadari. Memang, sewaktu zaman masih jahil, hal-hal semacam itu ada yang kupelajari. Namanya juga hidup. Apalagi di kalimantan. Tapi, tak pernah terpakai dan sudah lama kubuang.
"Jangan sampai mulut kau kujahit, Marwoto!" Aku memasang wajah sangar.
"Nama saya Lee Mee Chin."
"Terserah kau! Mau micin, mau garam, mau keminting, mau ketumbar, atau mau semua bumbu dapur disatukan sekalipun, aku tak peduli ... yang penting, jangan berani-berani kau ganggu istriku!" Telunjukku mengarah ke wajahnya.
"Mbak yang manisnya bikin diabetes, kalau sudah nggak tahan nikah sama Pak Tua ini, bilang aja sama saya, ya. Kita bakalan langsung ke penghulu." Lee Mee Chin bicara kepada Tiara.
Benar-benar ini tetangga. Tadi datang tak pakai salam, lalu omongan aku tak didengarnya, sekarang malah didoakannya aku dan Tiara pisah. Dasar semprul.
Tiara diam saja. Matanya tak berkedip memandang ketampanan Lee Mee Chin.
Astaga pisang banana, Tiara! Hatiku menjerit. Bagaimana tidak, aku yang jadi suaminya saja tak pernah dipandangnya seperti itu. Ini benar-benar keterlaluan! Kesabaranku habis.
"Oi, Arca Korea! Lebih baik kau pergi, sebelum aku berubah jadi ranger merah!" bentakku keras.
Lee Mee Chin menyunggingkan senyum untuk Tiara, kemudian berlalu menuju rumah sebelah.
"Dek," panggilku pada Tiara yang masih mematung. Tiada sahutan. Kupanggil dia sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
"Eh, apa, Bang?" Tiara tersentak dari lamunan.
"Adek melamun? Terpesona pada lelaki tadi? Astaghfirullah!" Aku mengucap.
"Ng-nggak kok, Bang," sanggahnya.
"Apa yang Adek khayalkan?"
"Em ... em ... em ...."
"Ya Allah, Ya Rabbi! Apa dosa hamba?" Kujambak rambutku sendiri. Kalau menjambak rambut istri tetangga, bisa marah suaminya.
"Bang, nggak ada, Bang." Tiara menyentuh tanganku, tetapi langsung kutepis.
Lebih baik kubawa diri ini pergi menuju kebun. Pak Wira pasti sudah menunggu di sana.
Selama perjalanan, aku banyak diam. Entah kenapa hatiku terasa begitu sakit, bahkan kadang seperti ada bulir air di ujung mataku.
Tiara, mengapa kau setega itu padaku yang sudah mencintaimu sepenuh hati.
************
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan."Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak.""Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini."Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak."Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko."Ah, Abang suka gitu," gerutunya.Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink."Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku."Mesin cuci ada?" tanya Tiara."Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok.""Beneran?""Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te
Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan."Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku.Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh."Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku.Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam."Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"
Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli.Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami.Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh ....Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What?"Biar Rere yang bayar."Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua
Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita denganbodyaduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?!Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis
Keterlaluan Tiara, meriang seharian aku dibuatnya. Duit hilang bikin makan pun tak kenyang. Maksudnya, tak kenyang kalo cuma sepiring.Untuk mengobati rasa kecewa, esoknya aku memilih untuk menenangkan diri di warkop Kak Limah. Terlihat Angga, Adit, dan Andi duduk menatap ponsel. Sepertinya mereka sibuk push rank. Sedangkan Yosi sedang duduk di ayunan. Kuhampiri, lalu menyapanya dan bertanya mengapa dia tak masuk kerja."Hari ini off," jawab lelaki yang tingginya sama dengan pohon pisang di kebunku itu. Tapi, sebentar aja aku di sini. Nungguin istri dan adik aku belanja."Dulu, adik Yosi yang bernama Citra pernah mau kujadikan cem-ceman, tapi Yosi tak setuju."Tiara gimana?" lanjutnya."Itulah, kesal aku dibuatnya, masak duitku ....""Bukan itu!" potong Yosi. "Maksud aku, udah ada tanda-tanda berisi belu
Malam datang bersamaan dengan gelap yang menghapus terang. Ia kelam tanpa kawan karena bulan pula disembunyikan awan, sedangkan bintang beramai-ramai pergi arisan.Aku duduk melamun, menyesalkan uangku yang kemarin waktu telah terbang melayang. Meskipun sebenarnya uang fee hasil jadi makelar tanah telah masuk, tapi jumlah yang hilang terlalu besar. Harusnya lebih banyak lagi uangku jika tak diambil Tiara."Abang nggak makan?" tanya Tiara."Malas," jawabku asal-asalan."Sekalian diet aja, Bang. Kempesin, tuh, perut yang udah ngebelendung kayak balon .""Hmmm.""Adek tidur duluan ya.""Hmmm.""Kalo lapar, makanan di bawah tudung saji. Adek ada masak ayam goreng strawberry, sambal hati yang tersakiti, telur puyuh asam manis kehidupa
Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela
"Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik
Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."
"Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha
Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak
Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela
Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati?Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan."Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.
Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja.Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku."Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku.Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana."Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur.Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?""Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara)."Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering
Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong."Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi."Apaan?" Aku melepaskan kacamata."Pem-