Malam menjelang, bulan sudah ada di peraduan. Sella mengantarkan makanan langsung ke rumah. Tiara tak tahu karena sedang tiduran di kamar. Alhamdulillah, tak ada yang mengganggu aku makan.
Akan tetapi, baru juga aku menyendok kuah empek-empek dari mangkok sebanyak tiga kali, sudah ada yang memanggil namaku dari luar. Kuintip, ternyata Adit. Wah, makanan harus cepat disembunyikan. Bukannya apa, dia itu tipe geragas.
Aku dilanda kebingungan. Harus menyembunyikan makanan di mana? Kalau di bawah tudung saji, bayangannya kelihatan. Tak enak kalau tak menawarkan. Simpan di kulkas juga bahaya. Kalau sempat si Adit mengambil minum, langsung ketahuan. Aduh, bagaimana ini?
Aha, aku sembunyikan di kamar saja. Adit tak mungkin masuk dan Tiara juga sedang tidur. Fyuuuh ... selamat.
Kubersihkan bibir dan sekitarnya, takut jikalau ada bekas kuah yang menempel di kumis. Bisa berabe nanti.
"Apa, Dit?" Hanya kepalaku yang nonggol keluar dari pintu yang sedikit terbuka.
Adit terkejut sebentar, lalu beristighfar. Apa-apaan dia. Emangnya aku setan.
"Bang Angga sama Bang Andi nunggu di warkop Bang Yosi."
"Duluan aja kalau gitu, nanti aku nyusul."
"Sama-sama ajalah, Bang," ajaknya.
Kurang asam. Aku menyuruh dia duluan supaya bisa lanjut makan empek-empek. Kan baru kuahnya yang sempat kuicip tadi. Terpaksa ikut, lagi pula aku jadi bisa hemat bensin.
"Iyalah. Tunggu sebentar. Abang mau ambil pesanan dia berdua."
************
Setibanya, plastik hitam kuberikan pada Andi dan Angga yang duduk bersila di saung. Aku dan Adit juga ikutan duduk.
"Berapa, nih?" Angga langsung membuka karet getah yang mengikat mie tiaw reunian miliknya.
"Tiga puluh enam ribu." Padahal aslinya hanya tiga puluh. Kunaikkan harganya. Bisnis is bisnis.
"Nih!" Angga mengunjukkan beberapa lembar uang.
Setelah kuhitung, rupanya kurang. "Ini 35. Kurang seribu."
"Astaga drakula! Seribu pun kau hitung?! Kau pesan minum, nanti aku bayarkan." Bungkusan satunya diserahkan Angga kepada Adit yang duduk di sampingnya. Baik pula si Angga.
"Nah, itu baru kawan." Karena dibayarkan, kupilih yang paling mahal. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan diri sendiri, jus durian Afghanistan bertopping kacang panjang pun jadi pilihanku.
Andi lewat di depanku dengan membawa sepiring penuh nasi panas. Aku menggodanya, mana tahu ditawarin ikut makan. Aku lapar.
"Nyaman nampaknya, tuh."
"Mau?" tanya Andi.
"Mau, lah!" ucapku girang.
"Boleh, tapi aku gratis."
"Mattamu!"
"Ya, udah." Andi menyuap nasi yang sudah bercampur ayam sambil memonyong-monyongkan mulut. Mengejekku.
"Bayar cepetan. Lama-lama ntar lupa. Kutagih di akhirat, baru kau tau."
"Sabarlah. Tangan aku basah, susah mau merogoh kocek." Si Andi beralasan.
Jakun ini naik-turun melihat tiga orang sahabatku itu makan. Sebenarnya perutku sudah berbunyi. Namun, apa daya, makanan tertinggal di rumah.
Selang lima menit, jus pesananku datang. Lumayan, buat basahin mulut dan perut serta menunda lapar.
Setelah hampir sejam tersiksa karena menanti, akhirnya mereka kelar makan. Aku segera menagih pembayaran kepada Andi.
"Ya Allah, orang ini. Aku baru juga cuci tangan. Tunggu sebentar, lah."
"Cepat ... aku mau balik rumah," desakku.
"Kau mau berkelon terus, Pit." Angga bersuara sembari mencongkel giginya dengan patahan sapu lidi.
"Ntah." Andi mengelap tangannya dengan baju pelayan. "Jadi-jadi, lah, ehem-ehem, tuh. Kasi istri kau rehat."
"Otak kalian dimakan kuman!" sergahku.
"Jadi, berapa utangku?"
"Tiga puluh." Padahal cuma dua puluh. Sisa sepuluh ribu anggap saja upahku menunggu.
"Dua lima, lah. Pas." Andi menyerahkan uang yang memang pas. Tak ada lebihnya. Dasar Andi pelit.
"Dit, antar Abang balik," pintaku.
"Jalan kaki aja ... dekat," tolaknya karena sibuk memainkan ponsel. Palingan, nge-push rank.
"Dekat nenek kau Sailormoon! Bagus kau antar aku kalau tak mau kutempeleng." Darahku mulai naik. Maklum, orang lapar sulit bersabar.
"Ya Allah ... garang Abang sekarang, ya."
Adit mau tak mau mengantar. Sampai di depan rumah, aku turun dengan melompat salto. Lalu, buru-buru masuk. Sudah tak tahan rasanya ingin merasakan kenikmatan empek-empek dan bitter molen keju.
Kubuka pintu kamar, Tiara masih berbaring. Namun, saat kutoleh ke atas meja rias, tak ada mangkok makanan di sana. Ke mana hilangnya? Diambil jin atau bagaimana?
"Waaa ...." Aku berteriak seperti kerasukan setan. Walau, sepertinya setan pun enggan merasukiku.
"Ada apa, sih, Bang?" tanya Tiara sambil mengucek mata.
"Di sini tadi ada mangkok." Meja rias kutunjuk.
"Oh, empek-empek," ucapnya datar.
"Iya. Mana?"
"Udah Adek abisin. Makasih, ya, Bang udah beliin. Enak, terasa tenggirinya." Tiara memberi kode lewat jempol.
"Hah?" Kucakar wajah sendiri.
"Yang satunya lagi juga makjleb. Kejunya lumer," sambungnya.
"Huaaa ...." Aku keluar kamar sambil berjingkrak bak ayam yang kena kejutkan dari belakang. Dasar istri tak pengertian. Masa makanan suami dihabiskan. Mana naga di perutku sudah berdemo sedari tadi.
Di teras, aku mengaduh sembari memegangi perut yang melilit. Entah datang dari mana, di depan rumah terlihat tukang bakso sedang mendorong gerobak. Kupanggil si tukang bakso. Dia berhenti, kemudian kuhampiri.
"Kenapa, Mas?" tanyanya kalem.
"Beli bakso."
"Berapa?"
"Hmmm ... lima belas ribu." Mahalan sedikit biar banyak. Laparku sudah tahap kebuluran soalnya.
"Pakai bakso urat atau telur?" katanya sambil melihat ke arahku
"Telur."
"Telur ayam atau telur bebek?"
"Ayam."
"Ayam kota atau ayam kampung?"
"Kau mau jualan atau mau interogasi aku! Mana ada beda antara ayam kota sama ayam kampung!" Naik tensi darah aku dibuatnya. Dia sebenarnya tukang bakso atau wartawan, sih. Sok nanya-nanya.
"Ada dong, Mas. Yang ayam kampung agak sopanan sedikit. Masih suka negur kalau lewat."
"Bodo amat! Yang penting bakso aku cepat kau buatkan."
"Jadi, ayam kota atau ayam kampung?"
"Kampung."
"Habis, Mas."
"Yang kota."
"Habis juga."
"Ya udah, ganti ke bakso urat aja."
"Sama, Mas. Habis."
"Lalu, kenapa kau berhenti?!" Bakso urat tak ada, malah urat leher aku yang keluar.
"Kan, tadi Masnya yang manggil."
"Aaarrghh ...!" teriakku pada malam, memprotes nasib badan.
"Baaang!" Terdengar suara wanita berteriak.
"Itu ada yang nyariin, Bang. Cewek cantik. Rambutnya panjang berikat."
Rambut? Segera kualihkan pandangan ke arah rumah. Ya Rabbi. Tiara keluar tak pakai kerudung. Kan dilihat sama si tukang bakso jahanam.
"Itu siapa, Bang? Cantiknya luar biasa. Badannya aduhai." Si tukang bakso geleng-geleng kepala. Entah apa yang ada di pikirannya, yang pasti itu kurang ajar. Aku bergegas lari menuju Tiara.
"Keluar kenapa nggak pakai kerudung?"
"Kan udah malam. Nggak ada orang juga, Bang."
"Nggak ada orang dari mana? Itu si ...." Kalimatku terputus setelah tak tampak batang hidung si tukang bakso. Kemana dia? Kok, bisa gerobaknya lenyap secepat itu? Apakah sekarang ini gerobak bakso pakai NOS, kayak dalam film balap 'Past And Furniture'.
"Siapa? Dari tadi Adek lihat Abang ngomong sendiri di situ. Makanya Adek panggil. Takut Abang kesambet."
"Apaan? Sendiri?" Otakku mumet seketika.
Tiara menjawab lewat anggukan.
Ada apa ini? Masak tadi aku ketemu setan. Kalau iya, memang tak ada hati itu setan. Orang lapar malah diceng-cengin.
"Deeek," rengekku sembari memanyunkan bibir.
"Apa Abang Sayang?" Tiara menyentuh pipiku. Bikin tenang.
"Laapaaar ...." huruf A di bagian akhir panjangnya tiga harakat.
"Belum makan? Mau Adek masakin mie?"
"Ada?" Aku semringah.
"Tadi Adek sempat beli pas nyari sabun di warung Mbok Ijum."
"Pakai telur, ya."
"Iya," ujarnya lembut.
"Eh, tapi Adek beli sabun buat apa?"
Tiara tersenyum. "Buat mandi berrrsih." Tiara menekan huruf R.
"Berrrsih itu artinya ...." Kunaik-turunkan alis.
Wajah Tiara merona.
"Yes! Berarti bisa?"
Tiara mengangguk dengan wajah yang merona.
Cihuuuyy! Bakalan betul-betul kenyang aku malam ini. Surga dunia, i'm coming.
------
'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku."Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda."Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya.""Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya."Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi."Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?"Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan."Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak.""Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini."Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak."Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko."Ah, Abang suka gitu," gerutunya.Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink."Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku."Mesin cuci ada?" tanya Tiara."Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok.""Beneran?""Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te
Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan."Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku.Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh."Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku.Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam."Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"
Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli.Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami.Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh ....Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What?"Biar Rere yang bayar."Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua
Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita denganbodyaduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?!Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis
Keterlaluan Tiara, meriang seharian aku dibuatnya. Duit hilang bikin makan pun tak kenyang. Maksudnya, tak kenyang kalo cuma sepiring.Untuk mengobati rasa kecewa, esoknya aku memilih untuk menenangkan diri di warkop Kak Limah. Terlihat Angga, Adit, dan Andi duduk menatap ponsel. Sepertinya mereka sibuk push rank. Sedangkan Yosi sedang duduk di ayunan. Kuhampiri, lalu menyapanya dan bertanya mengapa dia tak masuk kerja."Hari ini off," jawab lelaki yang tingginya sama dengan pohon pisang di kebunku itu. Tapi, sebentar aja aku di sini. Nungguin istri dan adik aku belanja."Dulu, adik Yosi yang bernama Citra pernah mau kujadikan cem-ceman, tapi Yosi tak setuju."Tiara gimana?" lanjutnya."Itulah, kesal aku dibuatnya, masak duitku ....""Bukan itu!" potong Yosi. "Maksud aku, udah ada tanda-tanda berisi belu
Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela
"Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik
Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."
"Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha
Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak
Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela
Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati?Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan."Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.
Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja.Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku."Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku.Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana."Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur.Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?""Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara)."Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering
Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong."Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi."Apaan?" Aku melepaskan kacamata."Pem-