"Oh, iya!" Seruku kaget. Pasti Pak Imam sudah lapor ini. "Ini, tolong dibalurkan dulu dibagian yang cidera, biar bengkaknya agak kempes." Ia mengulurkan sebuah batok kelapa berisi air berwarna hijau. Aromanya semriwing, segar. "Oh, iya. Terimakasih! Tapi, gimana ini? Tangan sama kaki Tio di tali begini." Tentusaja aku bingung. "Ini dilepaskan dulu saja, nanti dipasang lagi. Yang penting ramuan ini dibalurkan dulu secara merata, jangan lupa baca bismillah, ya Bu!" Wanita cantik itu ramah sekali memberiku instruksi. Aku mengangguk. Mas Rahman pun mulai melepas tali yang ada ditangan Tio. Seketika Tio meringis kesakitan. Harusnya aku nggak disini, harusnya Mbak Meri yang disini. Ini anak mereka. Tapi, saat seperti ini, malah aku yang kena imbasnya. "Ramuan ini manjur banget, lho, Mbak. Anget kalo dibalurin di bagian yang sakit. Sampean beruntung, datang langsung dikasih. Mas itu, dari tadi, baru dikasih bareng sama anak sampean." Seorang ibu lain berkomentar. Wah, mungkin karena Pa
Kulihat buliran bening jatuh dari sudut mata Tio. Keponakanku ini masih tertunduk. "Aku nggak mau pulang kerumah, Bulik. Ibu pasti marah-marah lagi. Aku sehat aja dimarah, apa lagi sekarang aku nggak bisa ngapa-ngapain. Ibu bilang, aku 'kan nggak berguna. Aku jadi anaknya Bulik Arum aja. Ibuku jahat," isak Tio. Hatiku sakit mendengar ucapan Tio, seakan ikut merasakan derita yang menimpanya. "Tio, nggak boleh gitu. Apapun kesalahan ibumu, maafkanlah. Mungkin ibumu lagi kesal aja. Harap maklum!" Kunasehati Tio. Aku bisa saja menghasut Tio untuk membenci ibunya. Tapi, sudahlah. Itu perbuatan tercela. Aku harus bisa membuat Tio mau pulang kerumahnya, kalau sampai Tio pulang kerumahku, alamat perang dunia kesepuluh, tau sendiri Mbak Meri sikapnya begitu. "Bu, anaknya dibawa masuk sekarang, mau diurut." Seorang wanita muda yang memberiku ramuan tadi, menyuruh membawa masuk Tio. "Lho, kok adik ini duluan? Cucu saya nunggu sudah dari tadi, lho!" Seorang bapak protes. "Maaf, Pak. Yang d
"Iya, Bu. Pokoke daging aqiqah harus habis. Kata Pak Hasan, begitu." Aku kembali tersenyum. Sekitar pukul sebelas siang keluarga ku datang, aku kedepan menyambut mereka, semuanya datang kesini. Kami berpelukan haru. "Rum, Mas mu, mau pada pulang nanti sore. Cuma ibu aja yang ditinggal. Besok biar Rahman yang nganterin ibu." Aku mengangguk. Aku paham, Mas ku pada punya tanggungan ternak dirumah. Mereka kesini saja aku sudah senang. Sore harinya ... "Heh! Heh! Apa-apaan kamu! Apa itu yang diplastik?" Terdengar keributan di belakang. Aku sedang berganti baju. "Ya ampun! Daging sebanyak ini mau kamu umpetin, Sri!" Suara Mak Odah meninggi. "Walah, Mak! Itulo daging masih banyak. Masa ngambil segini, nggak boleh!" Kudengar Bude Sri menjawab. "Heh Sri. Tadi 'kan udah dikasih. Itu juga banyak. Kira-kira dong kalo ngambil daging. Ini seplastik daging mateng, ada sekilo lebih loh. Daging itu khusus untuk nanti malam, sama untuk keluarganya Arum. Heran deh, lancang banget kamu masuk ruan
Usai kejadian masak-masak itu, bude Sri semakin benci terhadapku, setiap bertemu, dia enggan menyapa. Biarlah, aku nggak papa, masih banyak orang yang ramah kepadaku. "Rum, besok ibu mau pulang. Ibu naik trepel aja, ya." Ibu melipat baju yang telah kering. "Lho, kok pake trepel, Bu? Biar dianterin Mas Rahman aja lah!" Aku juga melipat baju ini. "Kasihan Rahman, Rum. Dia capek. Kerja dikebun, ngarit untuk pakan wedus, udah ibu naik trepel aja." Ibu menatapku serius. Aku yakin, pasti Mas Rahman juga nggak akan ngijinin ibu pulang naik trepel. "Diantar Mas Rahman aja, ya, Bu. Aku lebih percaya ibu dianterin Mas Rahman. Kalo naik trepel biasanya lama, Bu. Ngetem dulu cari penumpang. Kalo pake motor 'kan lebih cepet. Berangkat pagi, jam sembilan udah nyampe rumah Ibu." Kubujuk Ibuku ini. "Ya wes, Ibu manut aja." Ibu mengusap tanganku. "Rum, kamu disini, yang baik sama tetangga, kamu jauh dari bapak sama ibu, Nduk. Orang seperti Bu Sri, jangan diambil pusing. Dimana pun ada orang mode
"Mbak Arum, kita metiki bahan urap aja, yuk!" Mbak Lilis mengajakku menghindar dari Bude Sri. Sabar, hati ini kudu sabar. Aku nggak mau ribut disini. Beruntung tadi aku udah sarapan bareng ibu dirumah, jadi disini aku nggak kelaparan. Aku clingukan mencari sosok Mak Odah, kok dia nggak ada disini? "Rum, cari siapa?" Mbak Lilis menegurku kami berdua membersihkan sayuran bahan urap. "Mak Odah, kok nggak ada?" bisikku pada Mbak Lilis. "Nggak disuruh kesini. Sama Bude Sri nggak boleh." balas Mbak Lilis. Ya ampun, segitunya Bude Sri dendam sama Mak Odah. Padahal rumahnya dekat lho. "Rum! Nih, goreng kerupuknya!" Mbak Meri menyentakku kasar. Aku berjingkat kaget. Ya Allah, ini minta tolong apa ngajak ribut? "Aku nggak budeg, Mbak. Nggak usah ngegas ngapa?" Protesku pada Mbak Meri. "Kenapa? Nggak suka? Mau protes?" Mbak Meri bersedekap dada. Wanita tak berhijab ini sok kuasa. "Denger ya, Rum. Kamu itu nggak pantes diperlakukan lembut. Rakyat jelata kaya kamu, pantesnya di hina, sada
Aku pulang dengan hati kesal. Niat membantu kerumah ipar eh, malah dapatnya hinaan begitu. Sabar pasti ada batasnya lah. Dihina terus mending pergi. "Rum! Darimana? Nih gatot buat kamu." Mak Odah menghampiriku di teras membawa sepiring camilan khas pedesaan. Gatot, terbuat dari singkong yang dijemur lalu direndam terus dikukus lengkap dengan kelapa parut. "Wah, makasih, Mak!" Aku sumringah. Sesaat rasa kesal hilang. Langsung kucomot Gatot buatan Mak Odah, enak. Kenyal gurih. "Kamu darimana?" Mak Odah bertanya lagi. Pintu rumah kubuka. Lalu kuajak masuk Mak Odah. "Dari rumah Mbak Meri. Tadi dia kesini, minta dibantuin masak." Aku menyalakan tivi. Mak Odah duduk lesehan dilantai. "Lho, ada acara apa? Masak ngundang kamu segala." Mak Odah menatap layar televisi. "Mau among-among Tio, Mak. Tapi aku milih pulang ajalah. Capek ati dihina terus. Bude Sri, Mbak Lika, Mbak Meri, semuanya kompak ngehina aku." Kulahap lagi Gatot ini. "Wes angel Rum. Orang model mereka mah udahlah nggak us
"Enak aja minta ganti rugi, emang anakku salah apa! Jangan sembarang ngomong!" Bude Sri berkacak pinggang. "Eh, Mak Odah, Arum itu hidupnya emang selalu si*l! Jadi, nggak usah bawa-bawa anaknya bude Sri dong!" Mbak Lika ikutan komen. Kepalaku pusing melihat kelakuan mereka. Pokoknya, Mas Gito harus tanggung jawab atas semua ini. "Eh, Demit! Nggak usah merepet kamu kalo nggak tau!" sentak Mak Odah." "Mak Odah, nggak usah nge gas! Darah tinggi mati kapok!" Mbak Meri mencibir Mak Odah. Ketiga perempuan itu tertawa terbahak diatas musibah yang menimpaku. "Udah miskin, rakyat jelata, rumahnya ambruk pula. Duh ngenes amat nasib madesu ini!" Cerocos Mbak Meri. "Iya, ya! Ngenes banget!" imbuh Mbak Lika. Mas Gito kulihat berjalan menghampiri ibunya. "Mak, aku minjem emasmu untuk ganti rugi semua ini." Wajah Mas Gito lesu. Bude Sri spontan diam, ia terkejut dengan ucapan anak laki-lakinya. "Apa katamu? Ganti rugi? Ganti rugi apa?" Bude Sri sok nggak ngerti dengan semua ini. Aku memand
Sore menjelang, para warga bergotong royong menutup bagian rumahku yang rusak. Sebuah pintu darurat dipasang tepat dekat kamarku. Barang-barang yang masih bisa diselamatkan, diletakkan di ruang tivi. Aku turut serta membantu membenahi semuanya. Mak Odah membuatkan makanan camilan untuk para warga yang membantu merapikan kekacauan ini. "Rum, kalo Rahman nggak pulang sekarang, nginep aja dirumah Emak, ya!" Mak Odah mendekatiku. "Disini aja, Mak. Kamar ku masih bisa dipake, kok. Aku dirumah aja." "Rum, nginep dirumah Kakang aja. Kamar nganggur satu." Kang Handoyo menawariku. "Makasih, Kang. Aku dirumah aja." Aku bersikukuh bermalam dirumah ini. Biarlah rumahku tinggal separuh. Aku tetap nyaman disini. ____________ Malam harinya .... "Mas Rahman, kita semua sudah berkumpul disini, mari kita rembug kan kejadian tadi siang." Pak RT membuka pembicaraan. "Pokoknya anak saya nggak salah, Pak RT. Namanya juga kecelakaan, nggak ada acara ganti rugi, titik!" Belum-belum Bude Sri sudah n
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "