"Mbak Arum, kita metiki bahan urap aja, yuk!" Mbak Lilis mengajakku menghindar dari Bude Sri. Sabar, hati ini kudu sabar. Aku nggak mau ribut disini. Beruntung tadi aku udah sarapan bareng ibu dirumah, jadi disini aku nggak kelaparan. Aku clingukan mencari sosok Mak Odah, kok dia nggak ada disini? "Rum, cari siapa?" Mbak Lilis menegurku kami berdua membersihkan sayuran bahan urap. "Mak Odah, kok nggak ada?" bisikku pada Mbak Lilis. "Nggak disuruh kesini. Sama Bude Sri nggak boleh." balas Mbak Lilis. Ya ampun, segitunya Bude Sri dendam sama Mak Odah. Padahal rumahnya dekat lho. "Rum! Nih, goreng kerupuknya!" Mbak Meri menyentakku kasar. Aku berjingkat kaget. Ya Allah, ini minta tolong apa ngajak ribut? "Aku nggak budeg, Mbak. Nggak usah ngegas ngapa?" Protesku pada Mbak Meri. "Kenapa? Nggak suka? Mau protes?" Mbak Meri bersedekap dada. Wanita tak berhijab ini sok kuasa. "Denger ya, Rum. Kamu itu nggak pantes diperlakukan lembut. Rakyat jelata kaya kamu, pantesnya di hina, sada
Aku pulang dengan hati kesal. Niat membantu kerumah ipar eh, malah dapatnya hinaan begitu. Sabar pasti ada batasnya lah. Dihina terus mending pergi. "Rum! Darimana? Nih gatot buat kamu." Mak Odah menghampiriku di teras membawa sepiring camilan khas pedesaan. Gatot, terbuat dari singkong yang dijemur lalu direndam terus dikukus lengkap dengan kelapa parut. "Wah, makasih, Mak!" Aku sumringah. Sesaat rasa kesal hilang. Langsung kucomot Gatot buatan Mak Odah, enak. Kenyal gurih. "Kamu darimana?" Mak Odah bertanya lagi. Pintu rumah kubuka. Lalu kuajak masuk Mak Odah. "Dari rumah Mbak Meri. Tadi dia kesini, minta dibantuin masak." Aku menyalakan tivi. Mak Odah duduk lesehan dilantai. "Lho, ada acara apa? Masak ngundang kamu segala." Mak Odah menatap layar televisi. "Mau among-among Tio, Mak. Tapi aku milih pulang ajalah. Capek ati dihina terus. Bude Sri, Mbak Lika, Mbak Meri, semuanya kompak ngehina aku." Kulahap lagi Gatot ini. "Wes angel Rum. Orang model mereka mah udahlah nggak us
"Enak aja minta ganti rugi, emang anakku salah apa! Jangan sembarang ngomong!" Bude Sri berkacak pinggang. "Eh, Mak Odah, Arum itu hidupnya emang selalu si*l! Jadi, nggak usah bawa-bawa anaknya bude Sri dong!" Mbak Lika ikutan komen. Kepalaku pusing melihat kelakuan mereka. Pokoknya, Mas Gito harus tanggung jawab atas semua ini. "Eh, Demit! Nggak usah merepet kamu kalo nggak tau!" sentak Mak Odah." "Mak Odah, nggak usah nge gas! Darah tinggi mati kapok!" Mbak Meri mencibir Mak Odah. Ketiga perempuan itu tertawa terbahak diatas musibah yang menimpaku. "Udah miskin, rakyat jelata, rumahnya ambruk pula. Duh ngenes amat nasib madesu ini!" Cerocos Mbak Meri. "Iya, ya! Ngenes banget!" imbuh Mbak Lika. Mas Gito kulihat berjalan menghampiri ibunya. "Mak, aku minjem emasmu untuk ganti rugi semua ini." Wajah Mas Gito lesu. Bude Sri spontan diam, ia terkejut dengan ucapan anak laki-lakinya. "Apa katamu? Ganti rugi? Ganti rugi apa?" Bude Sri sok nggak ngerti dengan semua ini. Aku memand
Sore menjelang, para warga bergotong royong menutup bagian rumahku yang rusak. Sebuah pintu darurat dipasang tepat dekat kamarku. Barang-barang yang masih bisa diselamatkan, diletakkan di ruang tivi. Aku turut serta membantu membenahi semuanya. Mak Odah membuatkan makanan camilan untuk para warga yang membantu merapikan kekacauan ini. "Rum, kalo Rahman nggak pulang sekarang, nginep aja dirumah Emak, ya!" Mak Odah mendekatiku. "Disini aja, Mak. Kamar ku masih bisa dipake, kok. Aku dirumah aja." "Rum, nginep dirumah Kakang aja. Kamar nganggur satu." Kang Handoyo menawariku. "Makasih, Kang. Aku dirumah aja." Aku bersikukuh bermalam dirumah ini. Biarlah rumahku tinggal separuh. Aku tetap nyaman disini. ____________ Malam harinya .... "Mas Rahman, kita semua sudah berkumpul disini, mari kita rembug kan kejadian tadi siang." Pak RT membuka pembicaraan. "Pokoknya anak saya nggak salah, Pak RT. Namanya juga kecelakaan, nggak ada acara ganti rugi, titik!" Belum-belum Bude Sri sudah n
"Jaga mulutmu, Mak! Jangan asal mangap! Seenak udelmu dewe bilang rumah Arum reyot. Anak kita salah, jangan dibela! Gito tetap harus tanggung jawab," bentak Pak Tulus kepada istrinya. Pak Tulus pria paruh baya berpostur tinggi ini sepertinya menahan malu. Bagaimana tidak, kelakuan istrinya itu diluar batas. "Baiklah, saya tunggu uang dua puluh juta dari kalian besok jam sepuluh siang dirumahnya Rahman." Mas Bambang menarik benang merah. Santai, padat, dan jelas. "Hah! Dua puluh juta?!" Bude Sri syok mendengar tuntutan Mas Bambang. Wanita tambun itu seketika mendelik. "Kalian mau memeras kami? Dasar licik!" Bude Sri kian berapi-api. Kulihat Mas Bambang dengan gaya karismatik nya santai. Sementara Mas Rahman lebih banyak menyimak musyawarah rusuh ini. "Oh, ya udah, saya naikkan empat puluh juta! Anda pikir buat rumah papan dan asbes itu uangnya sedikit? Kayu sekarang mahal. Papan juga mahal. Biaya untuk mendirikan dapur itu bisa habis banyak, apalagi semuanya beli, ditambah biaya
Hari dan jam yang disepakati akhirnya tiba juga. Mas Gito bertandang kerumahku didampingi Pak Tulus. "Ini, uang ganti rugi yang kalian minta." Mas Gito menyerahkan uang kepada suamiku. "Saya harap masalah ini selesai sampai disini," imbuhnya. "Iya, Mas. Kalo sampean bisa tanggung jawab begini, masalah beres!" Sahut Mas Ari. "Ya sudah, saya permisi dulu, mau lanjutin nebang kayu lagi. Sekali lagi saya minta maaf atas kejadian ini, ya!" Mas Gito wajahnya memelas. Kasihan sebenarnya sama Mas Gito dan Pak Tulus. Tapi, harus gimana lagi, aku dan suami juga nggak mau rugi. "Sama-sama, ya, Mas. Aku sekeluarga minta maaf juga," ucap Mas Rahman. Lalu Pak Tulus sama Mas Gito pamit pulang. "Dik, ini simpen aja uangnya." Mas Rahman menyerahkan uang kepadaku. "Em, Mas tak buat beli piring sama gelas, ya! Sama perabotan lainnya, la pie Kabeh rusak," keluhku pada Mas Rahman. Mas Rahman menyodorkan uang itu kepadaku. "Yo belilah sana, apa yang perlu dibeli. Aku nggak ngerti kebutuhan dapur."
"Heh, mending Arum kalo belanja nggak pernah ngutang, nggak kaya kamu!" Lagi Mbak Siti menyudutkan Mbak Lika. Mbak Lika menghentakkan kakinya. "Ih, biasa aja sih, nggak usah nge gas! Males belanja disini! Mending ketempat laen!" Mbak Lika marah lalu nyelonong pergi. "Hei! Bayar dulu utangmu!" teriak Mbak Siti. Namun, Mbak Lika tak bergeming. "Utang udah hampir dua puasa, masih belum dicicil!" keluh Mbak Siti. Sesi belanja hari ini selesai. Akupun segera pulang. ________ Setelah berunding, akhirnya diputuskan untuk membangun rumah. Semua bahan material hingga tukang diurus oleh kakak-kakak ku. Memasuki bulan Besar atau bulan Haji, bahan material mulai berdatangan. Ada saja komentar nyinyir yang aku dapat. Malam itu .... "Heh, Man! Maumu apa? Kamu mau bangun rumah ini duit dari mana? Awas aja kalo hasil ngutang! Aku nggak mau nolongin kamu." Kang Handoyo datang marah-marah. Mas Rahman selow menanggapi Kang Handoyo yang kebakaran jenggot. "Tenang, Kang aku nggak akan repotin samp
"Iya, Bu." Aku menjawab sambil melanjutkan langkah ini bersama Bu Aisyah. "Apa sih masalah kakak iparmu itu? Kenapa kok benci banget sama kamu?" Wajah Bu Aisyah prihatin. "Entahlah, Bu. Aku juga nggak ngerti." Aku menunduk. Sesak juga dada ini mengingat kata-kata Mbak Meri tadi. Bu Aisyah mengusap lembut bahuku. "Sabar, Rum! Ibu yakin suatu saat, pasti kakak iparmu akan membutuhkan bantuanmu. Pesan ibu, bantulah dia selagi kamu bisa. Perbuatan jahat, jangan dibalas jahat, ibu yakin hatimu baik, Rum!" Kalimat Bu Aisyah sangat menyentuh relung hati ini. Insyaallah jika aku bisa, akan kubantu siapa saja yang membutuhkan. Aku berjalan pulang bersama bukan Aisyah hingga akhirnya kami berpisah. Sampai rumah, Mak Odah memberiku ketupat dan sayur santan nangka muda. "Nih, buat sarapan," ucap Mak Odah tersenyum. "Rahman belom pulang?" tanya Mak Odah. Ku terima sayur dan ketupat pemberian Mak Odah. "Mas Rahman masih di masjid, Mak. Masih nukerin uang kotak amal." Mak Odah mengangguk lal
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "