Pembangunan rumahku mulai dikerjakan. Sesuai janji kakak-kakak ku, rumah ini dikerjakan secara borongan. Alhamdulillah dalam kurun waktu 20 hari, rumahku siap huni. Rumah dengan tiga kamar tidur plus kamar mandi didalam, satu ruang keluarga, satu ruang tamu, satu mushola kecil, ditambah dapur sehat, selesai sudah digarap. Rasa syukur kami panjatkan tiada henti atas semua kebahagian yang tercipta ini. "Alhamdulillah, Mas, rumah kita udah jadi." Aku menitikan air mata usai selamatan rumah baruku. "Iya, Alhamdulillah, Dik. Kerja para tukang ini cepet banget, ya! Bisa diandalkan. Sekarang rumah kita nggak kaya kandang lagi, Dik. Alhamdulillah!" Setitik air jatuh dipipi suamiku. Kami berdua berpelukan haru melepaskan rasa suka cita dihati ini. Andai Yazid masih ada, pasti dia juga senang. Semoga Yazid disana punya rumah yang lebih baik dari rumah Mama ya, Nang! __________ Hari ini, ada acara selamatan dirumah Bude Sri. Anaknya yang katanya bos tambak udang pulang setelah panen raya.
Aku tersenyum kecut mendengar Mbak Maryam penasaran. Sementara itu, Mbak Meri mendelik kearahku. Kenapa Mbak? Takut kubongkar kalau kamu belum balikin semen? "Rum! Siapa orangnya? Kita penasaran nih!" Mbak Lilis ikutan kepo. "Udah, deh, nggak usah disebutin, ya! Nanti kalian nggak percaya, malah nuduh aku fitnah lagi. Biarin aja deh! Moga orang itu sadar, terus cepat balikin hak yang harusnya di kembalikan. Masa nggak malu! Ngakunya kaya raya, eh, semen duapuluh sak aja diutang!" Kulirik sekilas Mbak Meri. Wajahnya berubah. Kenapa dia? Malu kah? Ih, bidi imit lah. Pokoknya mulai sekarang, aku nggak akan tinggal diam bila dihina, ataupun direndahkan. Kupastikan siapapun itu bungkam. "Mak, yuk pulang! Masak-masak nya 'kan udah beres. Kita gantian masak dirumah, ya! Ini kita bagi dua, emak tiga bungkus, aku tiga bungkus. Ini gratis, Mak. Buat Emak!" Segaja aku berperilaku begini biar mereka semua tau. "Huh! Dasar sombong! Madesu aja sombong!" Mbak Meri mencibirku. Aku menoleh karen
"Nyari uang sekarang gampang! Tinggal jaminkan aja sertifikat tanah ke Bank, beres! Tiap bulan ngangsur!" Pongah Mbak Meri. "Pasti berhasil dong! Santo 'kan udah pengalaman usaha tambak udang!" Mbak Meri jumawa. "Usaha modal utang Bank aja bangga!" cibir Mbak Dini. Aku tertawa kecil mendengar kalimat Mbak Dini. Untung saja Mbak Meri nggak denger, kalo denger bisa perang. "Aku 'kan orang kaya! Nggak kaya si madesu itu tu!" Aku tahu, Mbak Meri sedang berusaha menjatuhkan ku. Ah cuekin ajalah, biar dia puas berkoar dulu. Mbak Dini menyenggol lenganku, ia memberi isyarat. "Mulai tuh mulut rombeng!" ucap Mbak Dini. "Iya dong! Arum mana mampu ikutan investasi kaya Mbak Meri! Mau gadein apa dia, gadein tempe juga nggak ada yang mau, kali! Hahaha!" Mbak Lika sadis mencibirku. Dadaku naik turun. Aku kudu sabar. Aku punya jurus andalan untuk membungkam mereka. "Eh, Mbak Lika! Situ udah oke tah? Asal kalian tau ya! Investasi modal hutang itu, nggak keren! Orang kaya sebenarnya itu, adalah
Aku segera menuju rumah kakak iparku bersama Tio. Pikiranku nggak enak, meskipun Mbak Meri jahat, tetap saja aku khawatir. Kalo dia kenapa-kenapa, sudah pasti aku kebagian repot, ya to? "Yo, gimana kakimu, kok nggak pake tongkat lagi? Tanganmu udah sembuh?" Aku penasaran melihat Tio sudah tak lagi memakai alat bantu. "Kata ibu mulai sekarang harus belajar nggak pake tongkat. Tangan kanan juga harus mulai digerakkan. Ibu bilang biar aku nggak cacat beneran. Bulik, emang kalo patah tulang itu cacat, ya?" Tio berjalan agak pincang. Ya ampun! Masih aja Mbak Meri menyebut anaknya cacat. Padahal Tio kondisi tubuhnya normal. Jika dirawat dengan baik, patah tulang juga bisa sembuh. "Walah, jangan dengerin omongan ibumu! Kaki sama tanganmu utuh 'kan? Orang cacat itu, kalo buntung, Nang. Kamu 'kan enggak." Kucoba membangun semangat untuk Tio. Tanpa terasa kami sudah sampai rumah Tio. Kulihat sesosok tubuh ramping nan langsing tergolek di teras. Itu Mbak Meri? "Itu ibu masih pingsan, Bulik
Malam harinya .... "Mas, hasil timbangan getah karet besok, buat beli kulkas, ya! Kalo punya kulkas 'kan enak, bisa nyetok bahan masakan," ucapku sambil santap malam. Mas Rahman asyik menyantap hidangan malam ini melirikku. Peci dan sarung masih ia kenakan. "Kulkas aja, Dik? Mau sekalian beli mesin cuci enggak?" Mas Rahman malah menawari yang lain. Aku hampir saja keselek. "Mesin cuci besok lagi lah, Mas! Kulkas aja dulu!" Kuraih gelas berisi air minum dan kuteguk sedikit. "Mas tuh punya rencana, mau ke pasar induk, pengen beli kulkas, mesin cuci, sama alat-alat elektronik untuk dandan, Dik," terang Mas Rahman. "Aku juga pingin beli salon biar bisa karoke, sama beli resiper baru biar kamu bisa nonton tipinya puas!" imbuhnya lagi. "Ooooo!" Mulutku membola. "Emang ndue duit, Mas?" selidikku. Mas Rahman tersenyum. "Yo ada, to! Kae wedusnya yang bandot tadi udah dibayari Pak Jarwo dua setengah juta. Terus duit nimbang karet 'kan udah ngumpul juga. Sekali-kali ke pasar induk shoping
"Apa maumu sebenarnya?" Kutantang sekalian Mbak Meri. "Mauku? Melihatmu menderita itu lebih asyik!" Ceplos Mbak Meri tanpa beban. Kudekati kakak iparku ini, kutatap matanya dalam-dalam. "Hatimu benar-benar udah mati! Bisa-bisanya kau senang melihat saudara menderita," ucapku penuh penekanan. "Cuih! Aku nggak punya sodara model kamu! Kamu itu nggak selevel sama aku. Sekali rakyat jelata, tetap rakyat jelata! Meskipun rumahmu sudah berubah, dimataku kau tetap saja KAM-SE-U-PAY! Kampungan, norak! Awas aja kalo ketauan semua ini hasil pesugihan, kupastikan kamu terusir dari kampung ini!" Gertak Mbak Meri. Aku tertawa lebar. Mana ada semua ini hasil pesugihan. O, o, o! Jadi, mereka semua menganggap ini semua pesugihan. Dasar Meri Markonah! Kau salah besar! "Terserah! Yang jelas semua ini uang halal! Hati-hati, Mbak, fitnah bisa berujung bui, tau!" ketusku padanya. Biarin aja Mbak Meri menilai semuanya negatif. Biasalah ... orang sirik mah sukanya mencela dan mencari kesalahan orang la
"Habisin buburnya, biar asimu lancar!" Kuulas senyum kepada Tiara. Hanya aku yang menjaga Tiara. Suamiku ijin keluar merokok. Ibu dan Hadi ikut juga. "Duh, udah kaya nyonya besar aja nih!" Lagi bibir Mbak Meri meluncurkan kalimat nylekit. "Kenapa, Mbak? Mau tak suapin juga, sini! Biar mulutmu itu nggak ngoceh terus!" ketusku pada Mbak Meri. "Heh, Rum! Nggak usah nyolot kamu! Mau sok hebat, hah?!" Mbak Meri mendelik. "Uwes, to, Mer! Ini rumah sakit. Jangan ribut!" Kang Handoyo mengingatkan. Laki-laki itu melepas jaketnya. "Arum tuh, nyolot!" Mbak Meri mendengus kesal. "Dasar kamseupay!" Mbak Meri duduk di karpet yang tergelar. Kang Handoyo berdiri menatap Tiara. "Duit dari mana untuk bayar rumah sakit ini?" Wajah Kang Handoyo kelihatan mengejek. "Wong kere sok sokan sesar! Nggak kuat bayar adol tempe, Mas. Hahaha!" kelakar sadis Mbak Meri. Uh, emang suami istri mulutnya kaya comberan kabeh, mangkel aku! "Mbak," lirih Tiara air matanya mulai luruh. Hatiku miris melihat Tiara m
"Oh, rupanya sekarang kena sawan budeg, ya?" Mataku mengerling malas. "Kubilang, mana uang semenku, Mbak?" Kuulangi pertanyaan ku. Hahaha. Rasain! Ku buka nota hutangmu disini. "Halah, uang sejuta duaratus aja heboh! Kalo aku ada uang, tak bayari mulutmu itu!" seru Mbak Meri. Dalam hati, aku tertawa ngakak. Berarti sekarang dia lagi bokek dong! "Oooo, berarti sekarang bokek, dong! Nyatanya kesini nglantung! Malah makanan yang ada di embat! Ih, miris! Ngakunya kaya, tapi ...." Kepalaku menggeleng kuserang mental mereka. "Arum! Jaga mulutmu!" Mbak Meri berdiri. Eeh, eh, kok gitu sih? Lho kok marah? Jangan gitu sayang! Awas Ojo nyanyi lho! "Mulutku tak jagain kok. Nih, dari tadi disini aja. Mingkem, nggak gayem!" Lagi kusindir Mbak Meri. Tiara meremas tanganku lagi. Aku spontan menoleh. "Kenapa?" Aku melongo. "Udah, Mbak jangan diladeni, mereka!" Tiara memohon. Pintu ruangan terbuka. Kulihat ibu mertua, suami dan adik iparku masuk. Hadi membawa sebuah plastik, apa isinya? "Eh,
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "