"Habisin buburnya, biar asimu lancar!" Kuulas senyum kepada Tiara. Hanya aku yang menjaga Tiara. Suamiku ijin keluar merokok. Ibu dan Hadi ikut juga. "Duh, udah kaya nyonya besar aja nih!" Lagi bibir Mbak Meri meluncurkan kalimat nylekit. "Kenapa, Mbak? Mau tak suapin juga, sini! Biar mulutmu itu nggak ngoceh terus!" ketusku pada Mbak Meri. "Heh, Rum! Nggak usah nyolot kamu! Mau sok hebat, hah?!" Mbak Meri mendelik. "Uwes, to, Mer! Ini rumah sakit. Jangan ribut!" Kang Handoyo mengingatkan. Laki-laki itu melepas jaketnya. "Arum tuh, nyolot!" Mbak Meri mendengus kesal. "Dasar kamseupay!" Mbak Meri duduk di karpet yang tergelar. Kang Handoyo berdiri menatap Tiara. "Duit dari mana untuk bayar rumah sakit ini?" Wajah Kang Handoyo kelihatan mengejek. "Wong kere sok sokan sesar! Nggak kuat bayar adol tempe, Mas. Hahaha!" kelakar sadis Mbak Meri. Uh, emang suami istri mulutnya kaya comberan kabeh, mangkel aku! "Mbak," lirih Tiara air matanya mulai luruh. Hatiku miris melihat Tiara m
"Oh, rupanya sekarang kena sawan budeg, ya?" Mataku mengerling malas. "Kubilang, mana uang semenku, Mbak?" Kuulangi pertanyaan ku. Hahaha. Rasain! Ku buka nota hutangmu disini. "Halah, uang sejuta duaratus aja heboh! Kalo aku ada uang, tak bayari mulutmu itu!" seru Mbak Meri. Dalam hati, aku tertawa ngakak. Berarti sekarang dia lagi bokek dong! "Oooo, berarti sekarang bokek, dong! Nyatanya kesini nglantung! Malah makanan yang ada di embat! Ih, miris! Ngakunya kaya, tapi ...." Kepalaku menggeleng kuserang mental mereka. "Arum! Jaga mulutmu!" Mbak Meri berdiri. Eeh, eh, kok gitu sih? Lho kok marah? Jangan gitu sayang! Awas Ojo nyanyi lho! "Mulutku tak jagain kok. Nih, dari tadi disini aja. Mingkem, nggak gayem!" Lagi kusindir Mbak Meri. Tiara meremas tanganku lagi. Aku spontan menoleh. "Kenapa?" Aku melongo. "Udah, Mbak jangan diladeni, mereka!" Tiara memohon. Pintu ruangan terbuka. Kulihat ibu mertua, suami dan adik iparku masuk. Hadi membawa sebuah plastik, apa isinya? "Eh,
Acara syukuran sepasaran bayi Tiara dan Hadi selesai, aku pamit pulang. "Rum, ini tolong bawakan kue untuk Tio. Ibu kok kelingan Tio," ucap ibu mertuaku saat aku berkemas untuk pulang. "Walah, Bu, Bu! Ngapain sih inget bocah itu? Orang tuanya aja nggak mudeng, kok!" seloroh Hadi, nada bicaranya kesal. Wajah ibu nampak guratan sedihnya. "Le, biar gimanapun juga, Tio cucu Ibu, Nak. Biarlah orangtuanya nggak mbeneh sama kita, tapi ... ibu yakin, hati Tio itu masih bisa dibimbing." Mata ibu mulai berkaca-kaca. Kuhela napas kasar. Hem, ibu benar! Tio hatinya masih bisa dibimbing, beda sekali dengan ibu bapaknya itu. "Ya, Rum, tolong ini kasihkan Tio." Ibu memohon. Tentu saja aku nggak kuasa menolaknya. "Ya, Bu! Nanti, ini ku kasihkan Tio." Aku tersenyum. Setelah semuanya siap, aku pamit pulang. "Nang, jaga istrimu baik-baik. Kalo ada apa-apa, kabari Mbak, ya! Jangan sungkan." Aku tersenyum sambil menggendong jagoan kecil ini, Raka namanya. "Raka, nggak boleh nakal, ya! Bude pulang
"Baiklah, dua Minggu tunggakan nggak beres, siap-siap angkat kaki dari rumah ini. Permisi!" Kulihat beberapa Bapak-bapak berjaket hitam keluar dari rumah Mbak Meri. Aku segera melesat lagi malas berurusan dengan kakak iparku itu. Tapi, kepalaku kok mesih tertuju sama apa yang kulihat tadi. Sampai rumah, aku segera masuk, bebersih badan, lalu makan. Kepalaku masih memikirkan Mbak Meri. Ngeri aja, kalau sampai rumahnya beneran disita, apa kata dunia? Orang yang terkenal juragan uang itu, bisa kere mendadak. ___________ Malah harinya .... "Dik, Mas Ari tadi nelpon. Katanya, dia mau pergi ke Jawa, ibu sama bapak juga. Nah, kita disuruh kesana, tunggu rumah." Mas Rahman membawa segelas kopi kedepan tivi. "Lho, kok nggak nelpon aku?" Aku heran. Kulanjutkan melipat baju ini. "Hapemu nggak bisa di bell, Dik." Mas Rahman duduk lalu meraih remot tivi. "Nonton pilem laga to, ojo sinetron wae," ucap Mas Rahman. "O, pantes. Kapan mereka berangkatnya?" "Dua hari lagi. Kata Mas Ari, aku sur
"Yo paling telat bayar angsurannya kali! Kalo nggak telat, nggak mungkin didatengin lah." "Kang Handoyo nggak ngomong ki, Dik. Biasanya 'kan dia rewel." Mas Rahman menghabiskan sotonya. "Moga aja enggak ngerusuhin kita lagi, Mas. Jujur, aku tuh bosen ... tiap mereka kena masalah, kita ikut repot. Kalo orangnya bisa diajak gantian si, iya, iya, aja. Nah ini ... nggak bisa diajak gantian, males lah!" Aku bangkit mencuci bekas makan kami. "Hem, yo gitulah mereka. Aku lama-lama juga males, Dik." Mas Rahman meneguk air minum. "Pokoknya, nanti kalo mereka kena masalah lagi, aku moh ikut-ikutan. Bidi imit! Dibantuin nggak tau trimakasih, kok." Ku letakkan piring di rak. "Yo jangan gitu geh. Pie-pie mereka masih saudara lho, Dik." Mas Rahman rasa iba nya kuat sekali. "Capek loh Mas!" Aku mrengut. Suamiku itu pasti nggak tegaan sama saudaranya, aku 'kan jadi gimanalah. "Terus, maunya Mas, gimana?" Kutelisik wajah suamiku ini. Mas Rahman menatapku dalam. "Ya kalo bisa, dibantulah saudar
"Tolonglah, Rum! Carikan aku uang duapuluh juta aja!" Lagi kang Handoyo memelas. Apa duapuluh juta?! Dikira duit tinggal gunting gituh? Uh, bener-bener nyebelin ni orang. "Cari kemana, Kang? Hari gini, mana ada pinjaman duit mudah?" ketusku kesal. Enak aja main minjem duit sebanyak itu. Salah sendiri investasi nggak pikir-pikir dulu. "Lah uang dari Hadi, apa belom balik, Rum? Kenapa nggak ditagih aja? Lumayan itu kalo keluar, bisa tak pinjem," ucap Kang Handoyo enteng. Nah, nah! Ni orang malah makin ngelunjak deh. Apa hak dia ngurus uangku yang digunakan Hadi? "Kang Handoyo ini aneh! Mikir geh Kang, mana ada Hadi uang sebanyak itu?" Aku mulai malas ngobrol sama kakak iparku ini. "Lho, ya kudu adalah! Aku juga mau pake uangnya, Rum! Kamu harus bisa neken Hadi biar lekas bayar utangnya itu." Kang Handoyo makin menjadi. "Nggak mungkinlah Kang, aku neken Hadi. Kasihan dia." Kupijat lembut keningku yang mendadak pening. "Lho, kamu itu harus tegas sama orang yang ngutang duit kamu,
"Kang Handoyo bilang gitu? Jangan percaya omongan dia, Nduk! Mbak nggak ada hutang seperakpun sama si Handoyo itu." Napasku memburu. Geram sekali aku sama Kang Handoyo. "Beneran, Mbak?" Tiara seperti terkejut. "Kata Kang Handoyo, sampean punya hutang sama dia duapuluh juta, Mbak." Aku semakin terkejut mendengar semua ini. "Ah, bohong! Itu semua bohong. Kang Handoyo itu ngarang cerita aja! Dia emang lagi butuh duit buat bayar angsuran Bank yang nunggak tiga bulan. Tadi pagi dia juga nelpon aku, mau pinjam uang, tapi ... aku bilang nggak ada. Dia juga bahas uang yang kamu pake. Tapi, itu 'kan hak ku. Kenapa dia ikut campur? Udahlah, jangan ditanggepin si Handoyo itu!" Aku berbicara setengah emosi. Bagaimana nggak emosi? Aku dibilang berhutang sama si Handoyo sebesar duapuluh juta, benar-benar sinting orang itu. "Terus, ini gimana, Mbak?" lirih Tiara. "Udah, biarin aja. Kalo dia ngomong macem-macem, nggak usah didenger!" Hatiku semakin dongkol sama Kang Handoyo. Ya Allah benar-bena
Aku masih terisak, saat Mas Rahman bertanya akan bantuan itu. "Ya, kita bantu Kang Handoyo, Dik." Mas Rahman mendekat. "Mas, masih kurang 'kah bantuan kita selama ini? Mas belum kapok juga? Setiap mereka susah, setengah Meti kita bantuin mereka, tapi ... ujung-ujungnya apa, bukan terimakasih yang didapat, malah hinaan yang kita dapat. Aku capek, Mas. Biarin mereka urus masalah mereka sendiri." Kurebahkan tubuh ini di kasir rasfur depan tipi. "Tapi, Dik, kasihan. Gimana nasib mereka kalo beneran diusir dari rumahnya? Mau tinggal dimana mereka?" Lagi Mas Rahman berusaha membujukku. Bodo amat merekalah. Tinggal aja sama orang-orang yang Deket sama mereka. Selama ini, mereka aja nggak pernah menganggap aku saudara mereka. "Itu biar jadi urusan mereka, Mas. Kita cukup melihat aja. Sudah terlalu banyak bantuan yang kita berikan pada mereka. Aku capek makan ati terus, Mas." Kihidupkan televisi. "Biar gantian keluarga Mbak Meri yang membantu mereka. Kita ini bukan budak, yang seenaknya d
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "