Kalau begitu, segala keterangan, sikap, serta jawaban-jawaban yang Sasmita dan Nurah katakan sudah diatur mereka sendiri. Seolah saling menyerang padahal saling melindungi. Sungguhkah ada kemungkinan dua orang ini untuk bersekongkol? Sejauh ini Malik belum menemukan alasan yang kuat untuk ide gila ini. Namun akan berbeda jika sebenarnya baik Sasmita maupun Nurah punya kegilaan yang tak tampak dari luar.Ada satu bagian paling penting untuk ditindak lanjuti. Ia harus mencari tahu siapa sebenarnya Saba dan mencari jejaknya.Malik mengirimkan pesan pada rekannya bernama Ben, rekannya di usaha jasa perdetektifan untuk mencari tahu tentang Saba.Keesokan hari menjelang siang masuk pesan dari Ben. Tanggal lahir, alamat, nomor rekening, sekolah dasar sampai lanjutan yang ditempuhnya Saba serta beberapa pekerjaan yang sempat dijalaninya. Satu informasi menarik adalah catatan bahwa pada akhir bulan Oktober, Saba sempat berurusan dengan kepala dusun yang juga melibatkan polisi desa di kabupat
“Kau menyimpannya? Siapa yang memberimu ini? Yah. Memang kami membelinya bersama-sama. Saat itu ayahmu membelinya untuk membersihkan sarang kumbang tanduk di satu pohon aren dekat kebun.” Nurah berusaha bicara setenang mungkin. Pastilah Faiz si orang pembukuan yang memberitahu Nizam akan pembelian berdasarkan nota ini. Racun ini dibeli bersama perkakas dan beberapa jenis pupuk yang dibelinya saat menemani Adil. Dan itu kira-kira tiga bulan yang lalu. Sebenarnya kebiasaan menyimpan nota penjualan dimulai dari Nurah sendiri. Agar bisa fleksibel dalam menghitung pengeluaran karena pembelian perkakas dan berbagai pupuk merupakan bagian kegiatan usaha. Hal ini sedikit menjadi bumerang bagi Nurah. “Hanya perlu sedikit untuk itu. Tapi kenapa yang tersisa sampai kurang setengah kilo? Ke mana sisanya? Ayah tak mungkin melakukan hal yang berakibat buruk pada Ibu walau dia membenci Saba!” Alis Nurah tertarik dengan tuduhan tak langsung Nizam ke arahnya. “Kau menuduhku yang meracuni kolam i
Nizam menatap lemari yang sebagian isinya di ambil seperlunya oleh Nurah. Pagi mengejutkan yang tak diduga penghuni rumah lainnya namun juga diam-diam melegakan bagi Adian. Mengendap-endap mencari tahu asal suara keponakannya yang meninggi samar-samar. Ia melihat Nurah yang pergi tanpa berkata apa pun. Sambil melongok ke lantai atas dan mendapati pintu kamar utama terbuka, Adian naik dan mendapati Nizam yang termangu di tempat tidur. Menyadari pamannya menuju ambang pintu, Nizam bergegas memasukkan bon yang digenggamnya ke saku celana.“Kenapa bundamu pergi dengan membawa tas besar dengan muka masam? Dia minggat?” Adian menatap keponakannya yang berwajah tegang.“Kami habis bertengkar. Tolong jangan tanya apa yang membuat kami bertengkar ya Om. Aku mau menenangkan diri dan istirahat ke rumah Ibu dulu,” balas Nizam tanpa menoleh sambil beranjak keluar meninggalkan Adian.“Yah, apapun yang terjadi antara kau dan bundamu tak usah terlalu dihiraukan,” ucap Adian sambil Nizam berlalu tur
Nizam mengelakkan bahu untuk menghalau tangan Sasmita. Sasmita mengulurkan tangan untuk menangkup wajah anaknya namun ditepis lagi. Hati Sasmita mencelus. Dengan napas tercekat Sasmita berusaha menata kalimatnya.“Aku tahu ini terdengar seperti yang kupikirkan hanya aku sendiri. Tapi, ibumu ini dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Mengerikan sekali jika aku menjadi tersangka karena sidik jari yang tertinggal dan aku sendiri tak mampu membayar pengacara. "Bagaimana caranya Nurah sudah didampingi kuasa hukum tanpa bayaran? Dia mendapatkannya karena ayahmu selalu di belakangnya. Bahkan setelah tiada ayahmu masih memberi perlindungan padanya.”“Sudah. Aku capek mendengarnya! Aku mohon jangan terlalu menyalahkan ayah!” Nizam hendak beranjak ke kamarnya sendiri namun terhenti seiring lanjutan kalimat Sasmita.“Kau selalu berada di sisi ayahmu dan tak pernah memihakku!”Nizam mengepalkan tangan untuk membendung gemuruh yang menderu dadanya. Ia sudah terlalu lama menahan amarah dan rasa k
Napas Nurah tercekat. “Tapi, menurutku Nizam hanya menggertakku. Dia tidak selugu itu sampai mengarahkan mendiang ayahnya sebagai perusak properti milik ibunya. Aku mengenalnya dengan baik. "Bagaimana dia sangat mengagumi dan bangga akan ayahnya. Anak itu sangat menghormatinya dan bukan tipe anak yang banyak tingkah.” “Sudah berapa lama sejak kalian bertengkar?”“Sudah hampir lewat setengah jam.”“Kalau begitu jangan membuang waktu. Lebih baik kita pergi ke kantor polisi sekarang untuk menambah keteranganmu. Semoga saja Inspektur Kurniawan sedang di kantor. Anggotanya juga tak apa. Kita akan bertemu di Polsek.” Buru-buru Nurah membalas. “Anu. Aku meninggalkan motor di rumah sana. Aku tidak mau ke sana dulu dan di sini tidak ada kendaraan. Bisakah aku menumpang satu motor denganmu?”“Oh. Baiklah. Aku akan menjemputmu. Bagikan saja lokasinya nanti. "Ngomong-ngomong. Selama beberapa hari sejak kesaksian pertama, apakah tidak ada yang mengawasi atau orang asing yang memperhatikan ruma
"Kau hanya perlu tetap mengatakan kau memang tahu masalah pembelian racun itu namun khawatir itu akan memberatkan Adil. "Katakan saat itu kau ketakutan dan juga terkejut bahwa racun ditemukan di gudang jadi kau memilih berkata tak tahu apa-apa. Instingmu waktu itu adalah otomatis menghubungkan kejadian gagal panennya Sasmita lantaran lebih separuh racun itu berkurang. "Dan yang kau ketahui bahwa almarhum Adil pernah memakai racunnya untuk membasmi hama kumbang. Tapi tak tahu jikalau racun itu disimpan di gudang. "Nota pembelian itu tak berdampak apa-apa meski kau ikut suamimu saat membelinya. Tak usah dulu menyinggung tuduhan Nizam padamu tentang keracunan ternak ikan ibunya,” jawab Malik panjang lebar sambil mengaitkan helm.Nurah mengangguk dan juga memasangkan helm miliknya sendiri. Ia menghela napas panjang sebelum naik ke boncengan. Santai saja dan konsisten mengatakan tak tahu apa pun, ucap Nurah dalam hati.***Malik dan Nurah mengisi buku tamu di resepsionis dan diminta men
Setelah berpamitan Malik berjalan di koridor sambil meyakinkan dirinya atas posisi petugas resepsionis ke arah luar. Nurah yang melihat Malik lewat mengikutinya keluar. Sesampai di parkiran Malik berkata, “ Ada petugas polisi yang mengawasi kita dari rumahmu.”“Apa? Dari mana kau tahu?”“Inspektur itu tadi tahu kalau kita datang berboncengan. Dari mana dia tahu hal itu padahal ruangannya tak ada jendela yang bisa melihat ke halaman depan dan petugas di resepsionis juga tidak mungkin bisa melihat keadaan di luar untuk memberitahunya? "Aku yakin anggota Inspektur Kurniawan yang mungkin berkeliaran di lingkungan kalian memberi tahunya.”Nurah menelan ludah. Jadi memang benar ia sedang diawasi dari rumah. Rasa waswas yang aneh dan tak nyaman mulai dirasakannya.“Hanya itu yang dikatakannya? Aku kira kalian cukup lama.”Malik yang sedang mengaitkan helm menjeda gerakannya. Ia berdeham seolah sehabis bicara dengan Inspektur Kurniawan dan obrolan singkat pada Nurah telah menghabiskan kelem
Malik melirik Nurah. “Begitulah. Seperti yang kubilang tadi, ada jejak seseorang yang ingin kupastikan saja.”Nurah ingin menahan diri untuk tak bertanya, namun keingintahuan mendorongnya membuka mulut. “Apakah jejak yang dimaksud berhubungan dengan kasus kita?” Nurah bertanya-tanya apakah penyebutan ‘kasus kita’ terdengar menggelikan atau tidak di kuping Malik.Malik sedikit lama untuk merespon. Mungkin seharusnya sejak tadi ia hanya perlu menjawab Nurah dengan jawaban pendek. “Yah, bisa jadi. Maaf, aku tak bisa mengatakan pastinya.”Nurah mengerti jika ada hal yang ingin diberitahu Malik pasti akan diberitahunya jug. “Berapa lama kau menjalani pekerjaan detektif?”“Sekitar lima tahun. Usaha jasa yang kubuka secara iseng.”“Kau tak pernah mencoba ujian masuk menjadi pegawai negeri?”“Dulu sekali aku pernah hampir mencoba ujian masuk BIN saat dua bulan aku mendirikan usaha. Sayang sekali ujiannya bertepatan dengan penguntitan yang krusial. "Kalau aku kehilangan momen, maka akan sul