Untuk akad dan resepsi sendiri, Mas Nathan sudah memakai jasa seorang perancang busana ternama. Sebenarnya aku ingin membuat baju pengantinku sendiri ,tapi karena waktunya sudah mepet dan aku harus mengurusi banyak hal. Jadi Mas Natan memintaku untuk menggunakan jasa desainer. Katanya lagi takut gagal karena aku masih pemula, jujur sekali dia mengucapkan kekhawatirannya. Acara malam ini berakhir, semua tamu undangan sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu. Aku dan Mas Nathan pun sedang bersiap untuk segera kembali, begitupun anak-anak butik. Semenjak Mbak Tika sudah turun sejak beberapa menit yang lalu."Dua minggu itu lama, ya," bisik Mas Nathan ketika kami berada di lift yang akan membawa ke lantai dasar."Kalau ditunggu, jangankan dua minggu, satu hari aja pasti lama.""Apa itu artinya aku nggak boleh terlalu menunggu hari itu. Aku nggak bisa Dek." Mas Nathan dengan suara manja membuatku tersipu. Pria tampan berbadan tegap di sampingku ini ternyata bisa merajuk juga. Kucubit
Acara tunangan semalam begitu membekas di hatiku. Jujur saja, meskipun Mas Nathan bukan orang yang pertama, tapi baru kali ini aku merasakan kebahagiaan. Dulu Mas Riko melamarku dengan cara yang sangat sederhana. Meski belakangan aku menyadari, dia bukan pria sederhana, tapi pria yang pelit dan perhitungan. "Nanti siang kita pergi untuk mencari souvenir, Dek." Aku baru saja sampai di butik ketika Mas Nathan menghubungi."Jam berapa, Mas?""Maunya sih sekarang, aku pergi dari pagi-pagi supaya punya waktu banyak untuk jalan sama kamu. Tapi sayangnya, aku ada meeting selama dua jam. Jadi mungkin baru bisa ke sana agak siangan, nanti Mas hubungin lagi."Tiba-tiba pipiku bersemu. Ungkapan rindu dari Mas Nathan yang secara tidak langsung dia sampaikan, membuat hatiku berbunga. Ah, ya, Tuhan, kenapa aku seperti anak ABG saja."Iya Mas, aku tunggu, ya. Hati-hati di jalan dan semangat kerjanya." Jujur saja sebenarnya aku geli mengatakan itu, tapi mau bagaimana lagi, perasaan ini memang butuh
"Tidak usah diliatin sampai segitunya. Insya Allah sebentar lagi bukan hanya puas melihat, kamu juga bisa memakanku kalau mau. Asal jangan ditelan saja," godanya sembari tak lepas memandangku dan senyum itu sungguh membuatku sangat malu."Mas Nathan ngomong apa? Jangan ngawur, ah. Lagian siapa juga yang doyan manusia?""Siapa tahu, saking gemesnya, Dek Lisa menggigit dan memakanku.""Kalau Mas Nathan dimakan, nanti menghilang, terus aku sama siapa?""Syukurlah kalau Dek Lisa takut kehilangan," jawabnya sambil membukakan pintu untukku.Rupanya itu jebakan. "Aku nggak bilang gitu, loh." Aku menyangkal sambil memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. Menunggu pria rupawan itu berjalan memutar, seulas senyum mengembang di bibirku. Apa iya, aku takut kehilangan dirinya? Pria yang baru pertama kali memperlakukanku layaknya seorang wanita. Aku merasa dicintai, disayangi, dibutuhkan juga merasa istimewa ketika bersamanya. "Kenapa senyum-senyum sendiri, 'kan jadi mubazir. Manisnya terbuan
Namun ketika aku keluar, mataku menyipit melihat mobil yang terparkir di samping mobil Mas Nathan. Lagi-lagi mobil itu. Aku yakin kali ini pun Pak Dodi sedang bersama Alin. Wanita itu jika sudah mendapatkan mangsa, pasti akan terus dipepet. Itu juga yang dulu terjadi pada Mas Riko."Kenapa, Dek?" tanya Mas Nathan ketika aku berdiri mematung di samping mobilnya."Eum ... ini ... Mas." Aku menunjuk mobil Pak Dodi."Memangnya kenapa?""Bukankah ini mobil Pak Dodi?" Rupanya Mas Nathan belum menyadarinya."Iyakah?" Pria itu kemudian berjalan mendekat lalu melihat mobil secara keseluruhan dari depan."Benar 'kan?""Sepertinya iya. Kok kamu jadi merhatiin Pak Dodi?" Pria itu kemudian terkekeh."Aku bukan merhatiin Pak Dodi-nya, Mas. Tapi wanita yang bersama Pak Dodi.""Ya biarkan saja, toh itu kelakuan mereka. Yang penting tidak mengganggu kita.""Aku tidak bisa membiarkannya. Dulu Alin bisa seenaknya bersikap seperti itu padaku. Kali ini aku ingin memberi pelajaran pada wanita itu.""Kamu
"Benar 'kan, Mas. Tuh, Pak Dodi bersama wanita itu," ucapku pada Mas Nathan sambil tidak melepaskan pandangan pada Alin yang bergelayut di tangan Pak Dodi. Keduanya pun bergerak kian mendekat.Mas Nathan menoleh ketika beberapa langkah lagi mereka sampai di dekat kami. Kemudian kekasihku itu berdiri tepat ketika mereka berada di samping meja."Selamat siang, Pak Dodi. Wah, kebetulan sekali kita bertemu lagi, ya."Keduanya terlihat kaget, mungkin tidak menyangka akan bertemu lagi dengan kami di tempat ini. Terutama Pak Dodi, jelas saja karena pria itu ketahuan selingkuh. Lain lagi Alin yang memang sudah bermuka tebal, dia seolah-olah bangga bisa jalan dengan suami orang."Ah iya, Pak Nathan. Rupanya Anda juga sedang makan di sini," jawab Pak Dodi gugup."Kebetulan kami ada keperluan di sekitar daerah sini, jadi memilih makan di tempat ini saja. Pak Dodi sendiri, apa sedang ada keperluan atau sengaja? Soalnya ini 'kan jauh dari kantor Pak Dodi."Pak Dodi salah tingkah ditanya seperti it
Mata dan senyum kami beradu. Meskipun tidak lama setelahnya, aku mengalihkan pandangan. Malu. Mas Nathan selalu membuatku tersipu. Sikapnya yang lembut membuat aku seperti anak ABG lagi. "Setelah ini kita ke mana?" tanyanya sambil melanjutkan makan."Pulang saja, memangnya mau ke mana lagi?""Barangkali Dek Lisa masih mau jalan, hehe .... ""Nanti saja kalau kita sudah halal, mau jalan ke manapun, mau berapa lama pun, tidak akan ada batasan.""Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita percepat saja pernikahan?" Mas Nathan kembali terkekeh."Jangan ngaco, Mas. Dua minggu saja membuat kita kewalahan mempersiapkan segalanya yang terkesan mendadak. Apalagi harus dipercepat lagi." Aku berdecak kesal.Mas Nathan masih tertawa kecil sambil geleng-geleng. "Aku juga tidak bisa lama-lama meninggalkan Kayla. Meskipun dia aman bersama Tuti, tetap saja aku khawatir.""Kalau begitu kita pulang sekarang.""Memangnya mas Nathan sudah selesai makannya?" Aku melongok ke arah piringnya.Kulihat dia t
Aku ingat, saat itu memang sedikit membuka hati untuk Joan. Tapi setelah bertemu dengan Bu Anita, aku perlahan menarik diri. Sadar kalau wanita itu tidak menyukaiku. Meski belakangan, setelah tahu akulah pemilik butik itu, sikap Bu Anita pun berubah. Sayangnya, hatiku terlanjur biasa saja.Bagiku peran orang tua di dalam sebuah hubungan sangat penting. Mau apa jadinya jika orang tua, terutama Ibu tidak merestui. Apalagi kelihatan kalau Bu Anita mata duitan."Itu mungkin perasaanmu saja, Jo. Lagipula, aku cukup sadar diri bagaimana posisi dan statusku. Kamu masih muda dan mapan, pasti ada banyak gadis yang mau jadi istrimu.Obrolan terhenti ketika Tuti masuk membawa teh hangat dan beberapa cemilan."Aku maunya sama kamu, El," lanjut Jo setelah Tuti pergi.Aku memalingkan wajah ketika mendengar Joan begitu penuh pengharapan. Dulu aku biasa saja menanggapi perasaan Joan. Tapi sekarang kenapa ada perasa risih. Apa karena teringat sikap Bu Anita, atau cara pendekatan Joan yang terkesan me
Pov AlinKukira setelah dengan Mas Dodi aku akan benar-benar lepas dari masa lalu. Mas Riko sudah kutinggalkan bahkan sudah aku ceraikan agar usahaku mendekati Mas Dodi tidak mendapat halangan. Tidak apalah Mas Dodi tidak goodlooking, yang penting saldoku tidak boleh kering. Malam ini Mas Dodi mengajakku menghadiri sebuah acara pertunangan. Katanya ada kenalannya yang sudah lama menjombo bertunangan malam ini. Ah, kalau aku tahu ada kenalan Mas Dodi yang jomlo, mungkin aku akan memperhitungkannya. Untuk pergi ke acara seperti itu, aku meminta dibelikan sebuah gaun yang terkesan mewah. Sayang kalau wajahku yang glowing dan cantik ini tidak ditunjang dengan baju yang elegan. Karena mas Dodi sedang cinta-cintanya sama aku, baju seharga jutaan pun dia belikan. Belum lagi untuk menunjang penampilanku, harus ada tas dan sepatu yang tentu saja dengan warna senada."Apa ini tidak terlalu terbuka, Sayang?" tanyanya ketika aku sedang mencobanya dan meminta pendapat dirinya. Gaun dengan full p
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny