Aku ingat, saat itu memang sedikit membuka hati untuk Joan. Tapi setelah bertemu dengan Bu Anita, aku perlahan menarik diri. Sadar kalau wanita itu tidak menyukaiku. Meski belakangan, setelah tahu akulah pemilik butik itu, sikap Bu Anita pun berubah. Sayangnya, hatiku terlanjur biasa saja.Bagiku peran orang tua di dalam sebuah hubungan sangat penting. Mau apa jadinya jika orang tua, terutama Ibu tidak merestui. Apalagi kelihatan kalau Bu Anita mata duitan."Itu mungkin perasaanmu saja, Jo. Lagipula, aku cukup sadar diri bagaimana posisi dan statusku. Kamu masih muda dan mapan, pasti ada banyak gadis yang mau jadi istrimu.Obrolan terhenti ketika Tuti masuk membawa teh hangat dan beberapa cemilan."Aku maunya sama kamu, El," lanjut Jo setelah Tuti pergi.Aku memalingkan wajah ketika mendengar Joan begitu penuh pengharapan. Dulu aku biasa saja menanggapi perasaan Joan. Tapi sekarang kenapa ada perasa risih. Apa karena teringat sikap Bu Anita, atau cara pendekatan Joan yang terkesan me
Pov AlinKukira setelah dengan Mas Dodi aku akan benar-benar lepas dari masa lalu. Mas Riko sudah kutinggalkan bahkan sudah aku ceraikan agar usahaku mendekati Mas Dodi tidak mendapat halangan. Tidak apalah Mas Dodi tidak goodlooking, yang penting saldoku tidak boleh kering. Malam ini Mas Dodi mengajakku menghadiri sebuah acara pertunangan. Katanya ada kenalannya yang sudah lama menjombo bertunangan malam ini. Ah, kalau aku tahu ada kenalan Mas Dodi yang jomlo, mungkin aku akan memperhitungkannya. Untuk pergi ke acara seperti itu, aku meminta dibelikan sebuah gaun yang terkesan mewah. Sayang kalau wajahku yang glowing dan cantik ini tidak ditunjang dengan baju yang elegan. Karena mas Dodi sedang cinta-cintanya sama aku, baju seharga jutaan pun dia belikan. Belum lagi untuk menunjang penampilanku, harus ada tas dan sepatu yang tentu saja dengan warna senada."Apa ini tidak terlalu terbuka, Sayang?" tanyanya ketika aku sedang mencobanya dan meminta pendapat dirinya. Gaun dengan full p
Sebagai imbalan karena sudah membelikanku baju, tas dan sepatu mewah. Lepas dari acara Pak Nathan aku harus mau menyenangkan pria hitam manis ini. Kebetulan acara ini diadakan di sebuah hotel mewah. Jadi kami tidak perlu keluar dulu untuk bersenang-senang. Semua pria sama saja, tidak ada yang gratis. Apa pun yang mereka berikan, harus ada imbalannya. Padahal setahuku Mas Dodi masih terbilang pengantin baru. Tapi sepertinya memang benar, pesona seorang Alin mampu mengalahkan istri siapa pun. Jangan ngaku cantik kalau suaminya masih bisa tergoda olehku."Astaga, aku lupa." Mas Dodi bangkit lalu meraih ujung selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya."Kenapa, Sayang?" Aku melakukan hal yang sama dengan pria yang baru saja berbagi peluh denganku itu. Kuusap pundaknya yang tak tertutup apa pun."Mobilku terparkir di sebelah mobil Pak Nathan," ucapnya kemudian dengan nada khawatir."Lalu apa yang perlu dikhawatirkan, Mas?""Jika acara mereka selesai, lalu mereka pulang. Jelas akan ketahuan k
Hari ini aku terpaksa bolos kerja lagi dengan alasan ada keluargaku yang sedang sakit. Padahal semua keluargaku ada di kampung. Kalaupun mereka ada yang sakit, aku cukup mengirim uang, karena tidak cukup sehari untuk pulang ke kampung. Ajakan Mas Dodi tempo hari aku iya-kan. Berkencan dengan pria beristri itu harus pandai memanfaatkan situasi, saat Mas Dodi keluar kantor, aku harus bisa mengikutinya. Kalau tidak, maka waktu bersamanya jadi berkurang. Karena tetap saja, Mas Dodi harus menyisakan waktu untuk istrinya di rumah.Aku memilih menunggu di dalam mobil yang berada di parkiran. Sementara Mas Dodi menyelesaikan pekerjaannya dulu. Lumayan lama hingga aku ketiduran. Terbangun ketika mendapat sentuhan di bahu, rupanya Mas Dodi sudah selesai dengan pekerjaannya."Maaf ya, kalau lama nunggu," ujarnya sambil duduk di bangku kemudi."Sudah selesai, Mas?""Sudah. Bosan, ya nunggu di sini?""Lumayan.""Tadi juga aku minta kamu nunggu di cafe depan supaya kamu nggak bosan.""Enggak apa-a
Pov LisaSejak kedatangan Joan ke rumah pagi-pagi dalam keadaan berantakan, sudah lima hari ini aku tidak mendengar kabarnya. Di grup alumni pun dia tidak pernah muncul, padahal sebelumnya sehari sekali atau setiap grup rame Joan selalu berkomentar. Bahkan ia terbilang paling heboh dan aktif. Aku sendiri belum memberitahu perihal rencana pernikahanku dengan mas Nathan pada teman-teman sekolah. Sepertinya Joan benar-benar patah hati, aku juga merasa bersalah karena sempat memberikan kesempatan untuk lebih dekat pasca aku kembali ke sini. Saat itu aku juga bingung, tidak ada orang yang aku kenal di sini. Makanya saat bertemu Joan, aku seperti menemukan tempat curhat. Di samping Joan sendiri yang membuka diri dan kebetulan saat sekolah dulu kami cukup dekat. Joan terlanjur menaruh harapan padaku. Mungkin ia salah sangka, waktu awal-awal aku kembali, disangkanya aku siap membuka hati untuknya. Tapi aku memutuskan untuk menjaga jarak setelah melihat sikap Bu Anita padaku. Aku cukup tahu
Siang ini Meti meminta bertemu sambil makan siang. Sahabat SMA-ku itu penasaran sekali dengan sosok Mas Nathan, calon suamiku. Dia sendiri yang memilih tempatnya. "Tapi kamu yang bayar ya, Lis," pintanya sambil tertawa."Loh, kamu 'kan yang ngajak ketemuan, kamu juga yang memilih tempat. Kenapa mesti aku yang bayar?" Aku menggeleng perlahan kemudian memijat pelipis. Lucu sekali mendengar permintaan Meti."Kamu 'kan sudah jadi Boss dan sebentar lagi akan menjadi Ibu Big Boss. Jadi wajar kalau aku pengen nyicipin rezekimu.""Iya deh, tapi bukan karena aku dipanggil Ibu Bos, ya. Lantas aku mau bayarin makan siang kita.""Haha ... memangnya si beliau, yang harus selalu dipanggil ibu pejabat untuk menarik hatinya." Aku tertawa miring sebab tahu siapa yang dimaksud oleh Meti, yaitu Lena."Sudah ah, jangan ghibah, nanti keterusan."Sambil menunggu makanan datang, aku menceritakan sosok Mas Nathan juga bagaimana kami dulu bertemu. Meti antusias menyimak."Jadi kalian dijodohkan?""Bisa dibil
"Kamu di sini juga?" Aku pura-pura bertanya padahal tadi kutahu Joan juga keluar dari tempat ini. Sepertinya dia memergoki aku masuk dan menunggu hingga aku keluar."Aku nunggu kamu keluar dari tempat ini sejak satu jam yang lalu, El," ucapnya dengan tatapan sayu. Melihat Joan seperti itu, aku jadi gugup campur takut. Khawatir kalau pria ini nekad dan berbuat macam-macam. Benar dugaanku, kalau Joan melihatku masuk ke tempat ini lalu menungguku keluar. Mungkin ia tidak berani menemuiku di dalam karena tahu aku bersama Meti. Dalam hal ini Joan masih punya rasa malu."Ada apa? Soalnya aku sudah mau pulang, Jo." Aku berdoa dalam hati mudah-mudahan Joan tidak berulah."Aku ingin bicara denganmu sebentar saja. Apa bisa kita masuk lagi?" Joan melirik pintu masuk yang berada beberapa meter dari tempat kami berdiri."Di sini saja, Jo. Kalau mau ngomong, ngomong aja!""Atau kita ngobrol di dalam mobil aja?" usulnya lagi."Tidak usah, kalau kamu mau ngomong di sini aja. Aku buru-buru, soalnya ak
[Jangan lupa hari ini kita jadwal fitting baju, Dek.]Aku menghentikan jemari yang sedang mencoret di atas kertas ketika ponselku menyala. Sebuah pesan dari Mas Nathan masuk. Astaga, aku hampir lupa kalau hari ini harus pergi bersama Mas Nathan untuk fitting baju pengantin kami.[Aku ingat kok, Mas. Ini juga lagi nunggu, Mas Nathan mau jemput jam berapa?]Balasku dengan pura-pura tidak lupa, supaya tidak mendapat protes dari calon Suamiku itu.[Satu jam lagi Mas ke sana.]Balasnya singkat. Aku tahu pasti Mas Nathan tengah sibuk. Kalau dia tidak sibuk, pasti akan menelepon bukan mengirim pesan singkat.[Iya Mas, aku tunggu.]Setelah itu aku letakkan kembali ponsel di samping kananku. Lalu kulanjutkan mencoret di atas kertas. Aku sedang mengerjakan sebuah desain baju pesanan salah satu pelangganku. Kuusahakan sebelum Mas Nathan datang desainnya sudah jadi supaya aku bisa mengirimnya pada pelangganku dan meminta pendapat. Apakah dia suka atau tidak. Jika suka, maka aku akan langsung memb
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny