Pov RikoAlin meringis kesakitan. Mungkin benar yang dikatakan Reka, kalau istriku itu menghentakkan kaki terlalu keras. Rupanya Alin tidak sadar kalau ada beberapa luka di bagian tubuhnya. Aku minta tolong pada Ibu yang hanya duduk melongo, tapi belum juga Ibu bangkit, Reka sudah mendekati Alin."Makanya, Kak, kalau sakit itu harus banyak istighfar jangan marah-marah. Sudah untung masih di beri selamat, bukannya bersyukur malah banyak mengeluh." Reka malah berceramah."Aduh! Kamu gimana, sih, Ka? Bukannya cepet nolongin malah ceramah." Akhirnya aku menegur adik satu-satunya itu."Lagian, istri Mas Riko ini kelewat manja, dia sendiri yang bikin sakit, dia sendiri yang minta tolong." "Kamu mau nolongin nggak, sih?" Aku meninggikan nada bicara supaya menjadi perhatian untuk Reka. Kasihan juga melihat Alin meringis kesakitan.Akhirnya dengan muka cemberut Reka mendekat ke arah ranjang Alin. Tangannya terulur tapi tidak juga menyentuh kaki istriku itu."Yang mana, sih, yang sakit?""Itu
Pov Riko"Mas, aku ingin mencari orang lain saja untuk mengurus kita. Adikmu ini tidak bisa diandalkan." Alin menoleh padaku."Kamu saja yang cari orang, lalu bayar sendiri!" Lama-lama aku pun ikut kesal. Alin selalu mencari solusi dengan sesuatu yang ada hubungannya dengan uang."Mas, kok, kamu gitu sih?""Dengar Alin, mobilku hancur dan aku harus punya mobil lagi, jadi kita harus berhemat. Ini semua gara-gara kamu juga.""Jadi Mas Riko menyalahkan aku? Yang nyetir 'kan Mas Riko.""Tapi yang ngomel-ngomel itu kamu!""Kalian kenapa sih, saling menyalahkan terus. Menurutku, dua-duanya juga salah. Mas Riko salah karena sudah mengkhianati Mbak Lisa. Dan Mbak Alin juga salah karena sudah merebut suami orang. Seharusnya kalian merasa." Reka menimpali."Anak kecil tahu apa, kamu jangan sok-sokan menceramahi kami." Aku beralih menatap Reka."Ingat Mas, Karma itu ada. Seharusnya Mas Riko itu bertobat. Mobil itu 'kan dibeli dari hasil berhemat sampai pelit sama istri sendiri. Udah gitu istriny
Pov Lisa"Ibu mau pulang, Lis." Suara Ibu terdengar di ujung telepon. Siang menjelang sore ini aku masih berada di butik ketika Ibunya Mas Riko menelepon."Ibu di mana?""Di rumah Riko. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit, tapi Ibu tidak betah. Rumah ini terasa beda tanpa kehadiran kamu, Lis." Aku memijit pelipis ketika Ibu berkata seperti itu. Jelas berbeda lantaran nyonya rumahnya juga berbeda."Memangnya Mas Riko dan Alin sudah sehat, Bu?""Belum.""Kok Ibu mau pulang?""Nanti Ibu ceritakan, pokoknya sekarang Ibu mau pulang.""Terus, Ibu mau pulang kapan?""Sekarang! Kamu jemput dan antar Ibu ke rumah, ya?""Ma-maksud Ibu, aku ke rumah Mas Riko?" "Iya, Ibu tidak tahu cara memesan taksi dan setelah Ibu pikir, lebih baik Ibu minta jemput kamu saja."Aku berpikir sejenak, kukira Ibu hanya curhat saja mau pulang dari rumah Mas Riko, karena tidak betah. Tapi ternyata beliau minta dijemput. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi tidak tega kalau ibu harus pulang sendirian naik kendara
Pov LisaLangkahnya terhenti ketika seseorang membukakan pintu. Kayla langsung menoleh ke arahku, karena mendapati orang asing berdiri di sana. Aku pun memicingkan mata lantaran tidak kenal siapa wanita itu."Cari siapa, ya, Bu?" Wanita paruh baya itu keluar sambil menutup pintu. Melihat dari tampilan dan cara berpakaiannya, sepertinya dia seorang asisten rumah tangga. Jadi, sekarang mereka menggunakan jasa asisten rumah tangga. Hebat sekali Alin, baru saja masuk rumah ini sudah dijadikan ratu. Sementara dulu, lima tahun aku berada di sini hanya menjadi babu. Tapi tunggu, aku yakin semua ini tidak akan berlangsung lama. "Maaf, saya mau cari .... ""Pak Riko?""Iya, aku mau ketemu Papa!" Belum juga aku menjawab, wanita itu sudah menebak. Dan setelah itu, Kayla yang memperjelas. Membuat wanita itu sontak menoleh ke arah Kayla."Jadi ... Ibu ini .... ""Saya Lisa.""Iya, Ibu Lisa. Saya pernah mendengar Bapak dan Ibu menyebut nama Bu Lisa."Hem, Jadi mereka membicarakanku di belakang. K
Pov LisaMenginjakkan kaki di lantai dua membuatku sedikit memelankan langkah. Selama lima tahun aku berada di rumah ini tentu banyak kenangan yang tercipta. Salah satunya di koridor lantai dua ini. Pagi-pagi biasanya aku sibuk hilir mudik menyiapkan pakaian Mas Riko di kamar kami lalu memeriksa Kayla di kamarnya, khawatirkan kalau dia bangun tidak ada aku maka anak itu akan rewel.Semua pekerjaan di rumah ini aku yang mengerjakan, pagi hari biasanya aku membuat sarapan di bawah. Lalu bolak-balik ke atas. Setelah Mas Riko pergi ke kantor, aku mulai membereskan rumah ini sendirian disambi dengan menjaga Kayla.Tapi rasanya seperti yang berbeda, aku mengedarkan pandangan. Rupanya beberapa hiasan dinding dan perabotan sudah berganti posisi. Entah Alin atau Mas Riko yang melakukannya, yang jelas ada yang berusaha merubah suasana di rumah ini hingga terasa asing bagiku.Kamar Kayla yang terletak bersebelahan dengan kamar yang dulu kami gunakan memang tidak banyak berubah, masih terdapat be
Pov Lisa"Baju kamu juga masih ada beberapa di ... kamar ... kita." Mas Riko seperti ragu mengucapkan kamar kita."Mas, bukankah itu kamar kita?!Pakaian Mbak Lisa juga sudah tidak ada di sana. Semuanya sudah aku singkirkan!""Tidak apa-apa, kebetulan di mobil ada beberapa baju, soalnya aku suka tiba-tiba ingin mandi di butik sebelum pulang, jadi aku selalu sedia pakaian ganti. Ini juga aku bermaksud untuk mengambilnya."Setelah itu aku bergerak ke luar rumah untuk mengambil pakaian gantiku di dalam mobil. Memang aku selalu menyediakan barang-barang pribadi di mobil.Ibu mengikutiku keluar rumah sampai di dekat mobil Ibu mencolek pundakku."Apa kamu yakin mau nginep di sini, Lis?""Kenapa nggak, Bu? Aku 'kan belum resmi bercerai dari Mas Riko, lagian kasihan Kayla, sepertinya dia kangen dengan suasana rumah ini.""Tapi tidak apa-apa kamu serumah dengan .... ""Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah bisa menerima kalau Mas Riko lebih memilih Alin dan kehadiran wanita itu di rumah ini juga bukan
Aku dan Bu Arum sontak menengok ke arah sumber suara, di sana sudah ada Alin di atas kursi rodanya."Kalau mau menggosip itu jangan di pekarangan rumah orang." Begitu kami menoleh Alin langsung menyindir."Eh, Mbak Alin, kami tidak bergosip kok, cuma tanya kabar Mbak Lisa aja. Soalnya saya sudah lama tidak ketemu sama Mbak Lisa. Dulu itu kita tetangga dekat ya, Mbak Lisa. Dan sekarang saya sampai pangling, Mbak Lisa terlihat lebih cantik, lebih awet muda dan datang-datang sudah bawa mobil aja." Bu Arum mengakhiri ucapannya dengan tawa renyah.Maksud Bu Arum mungkin ingin mempertegas bahwa dirinya tidak sedang membicarakan Alin, tapi yang keluar justru ucapan yang membuat Alin semakin merasa kegerahan. Itu yang kutangkap dari wajah wanita di teras rumah itu."Meskipun lebih cantik, sayangnya suaminya sudah tidak berselera lagi sama dia." Ternyata Alin terpancing emosi juga, hingga dia mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas."Eh, Mbak Alin jangan ngomong seperti itu. Siapa tahu di lu
Kayla masih asik bermain hingga tak sadar aku masuk kamarnya. Dua menit kemudian aku sudah kembali berada di bawah lalu menuju dapur untuk membuatkan minuman pesanan Mas Riko."Ibu mau ngapain, biar saya saja yang bekerja." Sampai di dapur, wanita yang tadi membukakan pintu menyambutku dengan pertanyaan."Nggak apa-apa, Bi. Saya sudah biasa mengerjakan semuanya, kok. Dulu waktu saya tinggal di sini, semua pekerjaan di rumah ini saya kerjakan sendiri tanpa bantuan pembantu. Beruntung sekarang Alin, semuanya tinggal nyuruh saja." Aku tersenyum miris."Berarti Ibu wanita hebat, bisa mengerjakan semuanya sendirian.""Oh ya, Bibi siapa namanya?""Saya Yati, Bu.""Kenapa Bi Yati punya pikiran seperti itu?""Seorang istri yang mau mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri dengan sabar, menurut saya itu istri yang hebat. Zaman sekarang ini sudah langka istri seperti itu, apalagi kalau tahu penghasilan suaminya besar, otomatis istri akan lebih manja.""Bibi tidak sedang membicarakan majikan Bi Ya
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny