Kayla masih asik bermain hingga tak sadar aku masuk kamarnya. Dua menit kemudian aku sudah kembali berada di bawah lalu menuju dapur untuk membuatkan minuman pesanan Mas Riko."Ibu mau ngapain, biar saya saja yang bekerja." Sampai di dapur, wanita yang tadi membukakan pintu menyambutku dengan pertanyaan."Nggak apa-apa, Bi. Saya sudah biasa mengerjakan semuanya, kok. Dulu waktu saya tinggal di sini, semua pekerjaan di rumah ini saya kerjakan sendiri tanpa bantuan pembantu. Beruntung sekarang Alin, semuanya tinggal nyuruh saja." Aku tersenyum miris."Berarti Ibu wanita hebat, bisa mengerjakan semuanya sendirian.""Oh ya, Bibi siapa namanya?""Saya Yati, Bu.""Kenapa Bi Yati punya pikiran seperti itu?""Seorang istri yang mau mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri dengan sabar, menurut saya itu istri yang hebat. Zaman sekarang ini sudah langka istri seperti itu, apalagi kalau tahu penghasilan suaminya besar, otomatis istri akan lebih manja.""Bibi tidak sedang membicarakan majikan Bi Ya
Sampai di lantai atas aku segera menunaikan salat asar yang sudah terlewat. Setelah itu aku mengajak Kayla untuk membersihkan diri. Saat berpakaian, anak itu pun masih menanyakan tentang rencana kami menginap di rumah ini. Seakan dia tidak percaya kalau aku akan mengajaknya bermalam."Tapi beneran, Ma, Tante Alin tidak akan apa-apa kalau aku menginap di sini?""Ini 'kan rumahnya Papa, jadi Tante Alin tidak bisa melarang kita.""Hore ... aku mau tidur bertiga sama Mama juga Papa. Sudah lama 'kan kita tidak bobo bareng-bareng." Kayla melompat kegirangan. Mendengar permintaan Kayla sontak aku menahan nafas. Bagaimana kami akan tidur bertiga dalam kondisi seperti ini. Lagi pula, jangankan tidur bertiga, sebenarnya untuk tinggal satu rumah pun aku sudah tidak mau lagi. Tapi lantaran aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua, akhirnya aku terpaksa menginap di sini. Tidak pernah kepikiran untuk tidur bersama Mas Riko."Papa 'kan kakinya sedang sakit, jadi tidak bisa tidur bertiga. N
"Oh ya, Lis, kayaknya wedang jahenya sudah agak dingin. Tolong ambilin!" Mas Riko beralih padaku."Ah iya, Mas. Sebentar aku ambilkan." Aku pun terhenyak lalu bergerak mengambil cangkir yang memang sudah tidak terlalu mengepul, lalu menyerahkannya pada Mas Riko. Sebisa mungkin aku menghindari untuk tidak bersentuhan tangan, tapi sepertinya Mas Riko sengaja mengambil cangkir sambil menggenggam tanganku sekilas."Apa mengambil cangkir juga harus menyuruh Mbak Lisa? Dari tadi aku di sini, Mas. Kenapa Mas Riko tidak menyuruhku?!" Dan ternyata aksi Mas Riko barusan tertangkap oleh mata Alin. Perempuan itu sontak memberikan reaksi. Sementara aku hanya bisa menahan senyum. Terima saja, sekarang kamu merasakan apa yang dulu kurasakan. Cemburu!"Yang bikin minuman juga aku, jadi kalau yang mengambilkan tangan lain itu bisa beda rasanya." Dalam hati aku tertawa sambil mengucapkan itu. Memangnya itu berpengaruh? Setahuku tidak. Itu hanya berlaku bagi minuman yang kubuat untuk Mas Riko saja, tepa
Asik mengobrol dengan Ibu, kami dikejutkan oleh suara gaduh di dapur. Itu sepertinya suara Alin yang berteriak."Ada apa?" tanya ibu sambil menatapku "Itu seperti suara Alin. Tadi sebelum aku ke sini, Alin ke dapur untuk membuat pisang goreng untuk Mas Riko. Awalnya aku yang akan membuatkan, tapi Alin bilang biar dia saja yang mengerjakannya. Jadi aku pikir nggak apa-apa, toh Alin itu istrinya Mas Riko. Dia harus melayani suaminya dalam kondisi apa pun. Dulu juga aku melakukan hal yang sama.""Kalau begitu, ayo kita lihat." Sepertinya Ibu khawatir, walau bagaimana Alin menantunya juga.Sesampainya di dapur aku dan Ibu mematung menyaksikan Alin yang meringis di atas kursi rodanya. Sementara Bi Yati bergerak panik."Ada apa, Bi?""Ini Bu Alin ketumpahan minyak panas. Padahal tadi saya sudah bilang biar saya yang melakukannya, tapi Bu Alin bersikeras. Katanya dia harus membuatkan pisang goreng dengan tangannya sendiri.""Kalian kenapa hanya menonton! Cepat panggil dokter! Aduh .... saki
"Kamu bilang puas? Sepertinya nggak juga. Kalau mau itung-itungan, apa yang kamu terima ini mungkin tidak sebanding dengan sakit hatiku. Tapi aku yakin, sepertinya Allah mau mengambil wajahmu yang cantik itu. Kita lihat saja, setelah wajah cantikmu itu penuh luka, apa Mas Riko mau bertahan? Atau mungkin justru dia berpaling pada wanita yang lebih cantik lagi?""Jadi Mbak Lisa menyumpahi aku?""Aku bukan menyumpahi, cuma belajar dari pengalaman saja. Karena menurut Mas Riko aku tidak cantik, padahal hanya perlu sekali poles pun aku sudah bisa berubah, Mas Riko punya alasannya untuk berpaling padamu. Sekarang justru wajahmu penuh luka dan tidak akan cantik sekali poles. Apa Mas Riko akan kuat untuk tidak berpaling?"Setelah itu Alin tak bawa suara lagi. Aku yakin, hati wanita itu sekarang berubah menjadi resah lantaran apa yang kuucapkan memang benar. Tiba di rumah sakit, Alin segera ditangani oleh tim medis, sementara aku memeriksa ponsel yang sudah dari tadi berbunyi. Rupanya Mas Rik
Aku melangkah perlahan mendekati ranjang Alin. Seketika raut wajahnya berubah menjadi resah, dalam kondisi seperti ini ia tidak bisa berbuat apa-apa jika aku menyakitinya."Jika aku mau, sekarang aku bisa saja membuangmu ke sungai. Supaya kamu tidak datang lagi mengganggu rumah tanggaku." Setelah itu aku berbalik sambil mengeluarkan ponsel lalu pura-pura menghubungi seseorang. Sesaat kemudian aku juga pura-pura berbicara dengan Mas Riko."Ya halo, Mas. Aku mau pulang, Mas mau dibawain makanan apa?"" .... ""Oh ya, kalau begitu aku segera pulang. Memang beda ya, Mas kalau makanan yang dibeli sama yang dibuat oleh orang yang disayang."Setelah berkata seperti itu, aku pura-pura mendengarkan jawaban di seberang telepon."Tentu saja, kalau Mas Riko mau disuapin, kenapa nggak? Lagian sudah lama kita nggak suap-suapan.""Iya Mas, aku segera meluncur. Mas tunggu, ya.""Love you too."Setelah berkata seperti itu, aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, kita lihat saja apa yang akan terja
Malam ini akhirnya aku jadi menginap di rumah Mas Riko. Sayangnya Alin berada di rumah sakit, jadi aku tidak bisa banyak berakting untuk memanas-manasi dia. Tapi akting pura-pura menelepon tadi itu sudah cukup membuatku puas. Pasalnya aku berhasil membuat wanita itu kegerahan. Mas Riko seperti menggunakan kesempatan untuk terus mencari perhatianku. Aku pun beralasan menemani Kayla, jadi Ibu lah yang banyak mengurus Mas Riko. Rencananya malam ini aku kembali ke rumah sakit untuk membawakan baju ganti untuk mereka, tapi Ibu bilang ini sudah malam, besok saja. Akhirnya aku menurut, toh tadi sebelum pulang aku sudah memberikan sejumlah uang pada Bi Yati agar wanita itu bisa membeli makanan. Selepas melaksanakan salat isya, Ibu mendatangi kamar Kayla, tempat aku akan tidur malam ini. Katanya Mas Riko memintaku untuk turun menemuinya."Mas Riko kenapa lagi, Bu?""Tidak tahu, Ibu cuma diminta untuk memanggilmu.""Ya Bu, nanti Lisa ke sana setelah membereskan peralatan salat.""Ibu tunggu
"Ibu bukannya mendukung perceraian kalian. Tapi Lisa juga berhak bahagia. Selama dia menjadi istrimu, Lisa tidak pernah bahagia. Ibu tahu itu, hanya saja Lisa pandai menyembunyikan kesedihannya. Tak pernah sekalipun dia mengadu pada Ibu."Mendengar serangan dari ibu yang bertubi-tubi, Mas Riko seperti tidak bersemangat lagi makan."Sudahlah Bu, Aku sudah memaafkan Mas Riko dan melupakan semuanya." Aku menyentuh tangan Ibu, berharap wanita itu berhenti menghujat anaknya.Bersamaan dengan itu, ponsel Mas Riko berbunyi. Sepertinya ada yang melakukan panggilan video, lantaran terlihat dari cara Mas Riko memegang benda itu."Mas sedang apa?" Itu suara Alin, rupanya wanita itu was-was jika suaminya sedang berbuat yang tidak-tidak denganku."Aku sedang makan bersama Kayla, Ibu dan Lisa.""Kalian makan satu meja, Mas?""Memangnya kenapa kalau makan satu meja?" Mas Riko meninggikan suaranya. Luar biasa, ya, Mas. Punya istri seperti Alin, apa-apa dikomentari, apa-apa dilarang. Padahal waktu ber
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny