Segera ia mengeluarkan ponselnya mencari nomor Adinda, ditekannya dengan kuat nomor bertuliskan Adinda, namun sayang tak ada sahutan sama sekali. Sudah lebih dari sepuluh kali ia meneleponnya, tapi tetap tak ada jawaban.
Kemudian ia menelepon nomor yang pertama mengirim video itu ke ponsel Andi, namun lagi-lagi tak ada jawaban. Hal itu membuatnya semakin frustasi. "Masalah apalagi ini?" Herman memegang keningnya dan mengurutnya dengan kuat sampai menimbulkan bekas merah dikeningnya. Barusaja ia merasakan sedikit perasaan lega kini datang lagi masalah yang lebih parah. "Kenapa masalah datang bertubi-tubi, apa ini karmaku karena melanggar perjanjian suci dihadapan Tuhan? Herman memejamkan matanya sambil berpikir kuat. Ponselnya berdering. " Ya bagaimana Andi? sudah kau bereskan semuanya?"Dalam waktu 2jam kabar itu akan segera kita dapatkan pak"" Aku tak mau mendengar alasan apapun, segera selesaikan sceepatnya!!!Ditambah banyak kenangan yang masih membekas dalam dipikiran dan hatinya,terlebih didalam ponselnya, ia menyimpan banyak foto Herman bersamanya. Saat dia iseng membuka-buka galery di ponselnya, ia menemukan video terakhir yang ia rekam, ya..itu adalah adegan saat dia bercinta dengan Herman. Tanpa sepengetahuan Herman, dia selalu merekam diam-diam kegiatan intim mereka, bukan apa-apa, awalnya itu digunakan hanya untuk mengusir rindu saat Herman tak bersamanya. Namun berhubung Herman mencampakkannya begitu saja, ia mulai menyusun rencana busuknya. Dulu Adinda adalah karyawan dikantor Herman, maka dia tahu salah satu no ponsel karyawan disana, dan tentu no ponsel Andi. Ia sengaja mengirimkan video itu, untuk memberi pelajaran pada Herman. "Sepertinya aku harus sedikit bermain-main dengannya. Adinda tertawa terbahak- bahak setelah ia berhasil mengirim video itu. Dengan begitu Herman tak akan lagi menganggapnya remeh. Dia mampu melakukan hal yang tak pernah
Di dudukinya kursinya, ia memesan kopi hitam kesukaannya. Sambil menunggu perempuan itu, dia menyeruput kopi hitamnya, sedikit demi sedikit, sambil memukul-mukul pelan meja didepannya dengan telunjuknya. Menunggu adalah hal yang paling dia benci, namun karena perempuan itu, dia harus menunggu hampir setengah jam. Tak terasa dia sudah menghabiskan dua gelas kopi hitam didepannya. Waktu berlalu, hingga akhirnya matanya melihat sosok dari kejauhan perempuan dengan warna merah menyala. Dressnya yang seksi diatas lutut, sepatu high heelsnya senada dengan tasnya. Dari cara berjalannya Herman sangat kenal kalau itu adalah perempuan yang sedang ia tunggu. Herman mengepalkan tangannya erat, kalau saja disana tidak ada orang, mungkin dia sudah merusak wajah perempuan itu dengan tangannya. Perempuan itu semakin mendekat, dilenggak lenggokannya tubuhnya, seolah dia sedang menggodanya. Namun bukannya tertarik, Herman merasa sangat mual melihat perempuan didepannya.
Arrrggghhhh..... Perempuan licik kau!!"Herman berteriak sambil membuang semua benda yang ada dimejanya. Para tamu yang ada disana menyaksikan dengan saling berbisik membicarakan Herman. "Maaf tuan, anda sudah merusak beberapa gelas kami, anda harus menggantinya," tiba-tiba seorang pelayan mendekati Herman. Ia meminta pertanggung jawaban Herman karena sudah merusak gelas milik Restauran. Segera ia membuka dompetnya, diambilnya uang seratus ribuan sebanyak 5 lembar. "Ambillah ini, ini cukup untuk mengganti kerugianmu" Herman langsung bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Bahkan ia tak peduli jika sekarang semua mata sedang tertuju padanya. Segera ia menaiki mobilnya, dan menjalankannya dengan kekuatan penuh. "Kau kemarilah, ada yang perlu kita biacrakan!!" ucap Herman pada sekertarisnya, sesampainya ia diruangannya. "TOK TOK TOK, Permisi tuan, Andi masuk ke ruangan Herman dan duduk dikuris berhadapan. "Wa
Setelah setuju dengan isi dari perjanjian yang dibuat Andi, Herman bergegas pulang kerumahnya. Dia sangat merindukan istrinya yang baru ditinggalkannya setengah hari. Fikirannya sedikit merasa lega, karena ia sudah menyiapkan perjanjian yang tentunya hanya akan memberatkan Adinda. Ia berharap dengan perjanjian itu, Adinda merasa keberatan dan membatalkan keinginannya untuk menikah dengannya. Dia memasuki kamarnya, dilihatnya istrinya sudah terlelap. Dipandangnya dengan lekat wajah istrinya, dia semakin merasakan dalam pada perasaannya. Melihat wajah polos Amira yang sedang tertidur, membuat dia mengingat kembali semua kesalahannya, ditambah lagi saat ini dia akan menikah dengan Adinda, si gadis licik itu. Namun dalam hatinya ia berjanji, pernikahan ini tak lain hanyalah untuk melindungi Amira dari hal-hal buruk yang ditakutkan akan dilakukan Adinda pasa istrinya. "Maafkan aku sayang, aku berjanji, setelah dia bisa kutaklukan, aku akan segera menceraikannya
"Jangan pernah bilang seperti itu lagi!! sebut saja namaku !" Herman menegaskan tanpa melihat sedikitpun wajah Adinda. Raut muka Adinda seketika berubah masam mendengar kata-kata Herman. Sehingga ia menghentikan pembicaraannya. Selepas kepergian mereka berdua, para karyawan disana saling berbisik membicarakan atasannya. "Bukannya itu wanita yang ada divideo kemari itu ya, itu pasangan mesumnya bos kita..." mereka saling bergosip dengan suara pelan. Tak lama Andi datang, ia mendengar bisikan para karyawan. "Kalau kalian sudah bosan bekerja disini, teruslha bergosip!!" gertaknya, karyawan yang membicarakan Herman seketika berlarian berhamburan ke tempat masing-masing. "Permisi pak,"Andi masuk ke ruangan Herman dengan membawa amplop besar warna coklat. Tanpa aba-aba dari Herman dia langsung memberikannya oada Adinda ,ia tahu betul apa yang harus ia lakukan. Adinda menerima amplop itu dan membukanya, sedikit demi sedikit ia membac
Berbeda hal dengan yang Amira alami, Adinda justru tengah sibuk mengunjungi beberapa butik. Ia berniat akan mencari gaun yang pas untuk pernikahannya dengan Herman nanti. Dari satu butik ke butik lain ia datangi, tapi belum satupun ada yang cocok menurutnya. Tak seperti pasangan pengantin biasanya, seharusnya pasangan calon pengantin lah yang akan bersama-sama menyiapkan pakaian pengantin. Tapi tidak dengan Adinda. Ia tak perlu mengajak Herman untuk menemaninya memilih gaun yang akan ia kenakan, karena mustahil Herman akan mau menemaninya memilih baju. Baginya tak masalah tentang itu. Yang terpenting, sebentar lagi ia akan menjadi istri dari Herman. Ia sadar mungkin saat ini Herman masih membencinya ,namun keyakinan dalam hatinya sangatlah kuat, kalau suatu waktu nanti Herman akan benar-benar menjadi miliknya seutuhnya. Entah sudah berapa butik yang ia datangi. Namun dibutik kali ini, ia terpesona dengan gaun putih yang m
Benar saja, hanya dalam hitungan menit suara mobil terdengar didepan rumahnya. Dengan segera ia menyambut kedatangan mobil itu. Berjalan seperti seorang putri, ia menyeret kain panjang pada gaunnya dengan tangannya. "Hai, tolong bantulah aku, apa kau tak melihat aku kesusahan berjalan dengan gaun seperti ini!" perintah Adinda setengah berteriak kepada laki-laki yang menjemputnya. Segera laki-laki itu menghampiri dan membantu Adinda untuk berjalan. Diangkatnya ekor gaunnya itu. Sedangkan Adinda berjalan dengan sangat pelan. Perlu waktu beberapa menit agar ia sampai dimobil. Herman tergesa-gesa saat melihat waktu yang hampir jam 9. Ia tengah bersiap-siap. Entah mengapa dia harus beberapa kali ganti baju untuk hari ini. Biasanya baju seperti apapun yang Amira siapkan selalu pas dihatinya. Namun ini sudah yang kelima kalinya ia mengganti pakaiannya. Setelah dirasa cocok, akhirnya ia bergegas keluar kamar, dan turun menemui Amira. Amira yang me
Herman bergeming mendengar perkataan Adinda, tangannya mengepal kuat. Ia tak menyangka kalau Adinda berani berbicara seperti itu kepadanya. "Kau memang perempuan tak punya muka Adinda, kau benar-benar sudah gila!!" Suara Herman meninggi mendengar ajakan Adinda. Adinda tersenyum puas melihat ekspresi muka Herman. Ia berhasil membuat Herman emosi. "Kita lihat saja, apa yang akan ku lakukan pada istrimu tercinta, kalau kau berani menolakku!!" nada bicara Adinda menggambarkan kalau kali ini ia sedang tak main-main. Ia benar-benar kesal dengan penolakan Herman. "Ayolah beb...jangan pulang" rengek Adinda manja pada Herman. "Ok, ,kalau kau tak mau tidur disini malam ini, aku ikut denganmu tidur dirumahmu bagaimana?" kali ini penawaran Adinda lebih gila. Mana mungkin Herman akan mengajaknya pulang ke rumahnya? "Sudah cukup Adinda..!! kau benar benar licik, aku sangat menyesal bisa mengenal wanita sepertimu...!" Herman berteriak keras. Am
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang