Herman bergeming mendengar perkataan Adinda, tangannya mengepal kuat. Ia tak menyangka kalau Adinda berani berbicara seperti itu kepadanya.
"Kau memang perempuan tak punya muka Adinda, kau benar-benar sudah gila!!" Suara Herman meninggi mendengar ajakan Adinda. Adinda tersenyum puas melihat ekspresi muka Herman. Ia berhasil membuat Herman emosi."Kita lihat saja, apa yang akan ku lakukan pada istrimu tercinta, kalau kau berani menolakku!!" nada bicara Adinda menggambarkan kalau kali ini ia sedang tak main-main. Ia benar-benar kesal dengan penolakan Herman. "Ayolah beb...jangan pulang" rengek Adinda manja pada Herman. "Ok, ,kalau kau tak mau tidur disini malam ini, aku ikut denganmu tidur dirumahmu bagaimana?" kali ini penawaran Adinda lebih gila. Mana mungkin Herman akan mengajaknya pulang ke rumahnya? "Sudah cukup Adinda..!! kau benar benar licik, aku sangat menyesal bisa mengenal wanita sepertimu...!" Herman berteriak keras. AmTak terasa waktu sudah hampir maghrib, Amira tengah sibuk menyiapkan masakan untuk makan malam sepulang suaminya. Ia akan menyambut suaminya dengan masakan buatannya. Karena tadi pagi suaminya terlalu terburu-buru dan tak sempat memakan masakan buatannya. Setelah semua selesai, Ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia berdandan dengan sangat cantik. Dipoleskannya sedikit riasan diwajahnya. rambut yang terurai basah siap memperlihatkan pesonanya pada suaminya nanti. Sambil menunggu suaminya, ia tidurkan tubuhnya diatas kasur, memainkan ponsel miliknya kebawah dan keatas. Waktu terus berlalu, semenit, dua menit, tiga menit Herman tak kunjung datang. Sampai sudah satu jam Herman tak juga pulang. Rasa bosan mulai menelusup dalam hatinya. Ditekannya nomor suaminya, tak lama suara Herman terdengar dibalik telepon. "Kenapa sayang? apa yang kau inginkan...?" tanya Herman lembut. "Hmmm,, kau pulang jam berapa ma
Dengan susah payah, Andi berhasil memapah bosnya hingga masuk kedalam mobilnya. Dengan segera ia menjalankan mobilnya dengan kekuatan penuh. Ia injak pedal gas dimobilnya itu. Ia khawatir kalau obatnya sudah semakin bereaksi, maka sikap bosnya akan semakin kacau. Adinda yang berlari mengejar mereka akhirnya menyerah, karena Andi dengan cepat membawa Herman berlalu. "Kurang ajar kau Andi...!!, lihat saja apa yang akan kulakukan padamu..!" Adinda terus berteriak mengumpat Andi. *** Amira terbangun dari tidurnya, ia melirik jam disampingnya, kemudian menghela nafas panjang, karena Herman belum juga datang. "Ia benar-benar sibuk, sampai lupa pulang" gumamnya dalam hati. Baru saja ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi, suara deru mobil terdengar dihalaman rumahnya. Seketika terlintas senyum di bibirnya. "Akhirnya suamiku pulang juga" ia tersenyum sumringah, karena suami yang ia tunggu-tunggu akhirnya pulang juga.
Kamu milikku malam ini sayang......" ucap Herman lirih sambil terbata menahan nafsu. "Aku sudah lama menginginkan ini sayangku, kau sangat lincah sayang..." Herman terus meracau dalam kenikmatannya. Tak terasa sudah hampir satu jam mereka melakukan pergulatan itu. Sampai akhirnya Herman tumbang setelah melakukan pelepasannya. Ia menjatuhkan tubuhnya disamping tubuh istrinya. Sebagai penutup kegiatan intimnya, ia memeluk hangat tubuh istrinya ,kemudian mengecupnya dalam. "Terimakasih sayang.." ucapnya lirih. Kemudian ia tertidur sambil mendekap istrinya. Amira terasa berbunga-bunga. Mungkin inilah percintaan yang paling panas yang pernah mereka lakukan. Entah mengapa malam ini Amira begitu menikmatinya, sampai ia pun ikut terlelap bersama suaminya. *** Suara sahutan adzan shubuh membangunkan mereka, Amira merasakan seluruh tubuhnya remuk tak bersisa, Dengan susah payah ia bangunkan tubuhnya yang sekarang bertambah berat karena kandungannya
Adinda terdiam didepan cerminnya. Penolakan Herman kemarin membuatnya terpukul. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang istri tak di pedulikan Herman.Sudah banyak cara ia lakukan, namun belum membuahkan hasil. " Jika cara seperti itu tak membuat Herman luluh juga, maka akan kulakukan cara halus untuk mendekatimu mas.." Adinda berbicara sendiri dalam hatinya. Ia sudah hampir putus asa, tapi bukan Adinda namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Ia putar otaknya dengan keras. Sesekali ia kernyitkan dahinya, sebagai tanda kalau ia sedang fokus mencari cara baru. "Apa aku harus mendekatinya sampai kerumahnya?" lagi-lagi ia berfikir tentang sesuatu. Dia berdiri dari duduknya, kemudian mondar-mandir sambil dipegangnya dagunya. "Adinda...Adinda, ayo berfikirlaaahh....." dia mengetuk ngetikkan telunjuknya dikeningnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Hmmmm..baiklaah, aku akan mendekatimu dengan caraku" gumamnya dalam ha
"Ooh my GOD...big boss kita so sweet banget ya..." ujar salah satu karyawan berbisik ditelinga karyawan lainnya. Herman yang mendengar perkataan itu langsung melirik dan mengeratkan genggamannya.Selamat siang pak, bu" seorang recepsionis menyambut mereka ramah. Dibalas anggukan dan senyuman Amira. Berbeda dengan Herman suaminya yang hanya melenggang datar. "Oya pak...maaf, didalam ada seseorang yang sudah menunggu bapak" ucap salah satu resepsionisnya."siapa?" tanya Herman sedikit bingung. Seingatnya ia tak ada janji dengan siapapun pagi ini."Bu Adinda " jawabnya lagi. "DEGGG "Seketika jantungnya berdegup kencang tak beraturan saat mendengarnya. Herman langsung melirik ke arah Amira. Beruntung saat ini Amira tengah berbincang dengan karyawan lain, jadi tak mendengar percakapan Herman dan resepsionis itu berbicara. "Bagaiamana bisa dia senekad ini?" tanya Herman kesal dengan dirinya sendiri. Kemudian dengan cepat Herman mengeluarkan ponselnya. "Dimana kau ?Ak
Amira terus menerka nerka dalam hatinya, ia masih belum ingat siapa wanita didepannya ini. Dalam hati kecilnya ia merasa pernah melihat wanita itu, namun ia lupa dimana. Pasalnya Amira hanya pernah melihat foto Adinda sekali saja, dan itupun dari hasil foto Martha waktu di klinik dulu. Berbeda dengan Adinda yang sangat faham dengan wajah Amira,, baginya wajah itu sudah tak asing lagi, karena dulu sewaktu masih sering bersama Herman, Adinda selalu melihat-lihat galery Herman yang penuh dengan foto Amira. "Sedang apa kau disini?" tanya Adinda basa basi.Amira hanya terdiam, lalu menunjukkan hasil belanjaannya tadi. "Aku selesai membeli perlengkapan calon bayiku" ucapnya hangat. Adinda tersenyum tipis, namun dalam hatinya ia sangat ingin marah. "Harusnya aku yang mengandung anak Herman, dan bukan kamu !!" umpatnya dalam hati sambil memandangi oerut buncit Amira. "Sebentar, kenapa anda tak menjawab pertanyaanku, sebenarnya a
"Hmmm....sayang, mulai deeeh" jawab Amira sambil cemberut. Herman yang melihat tingkah istrinya mencubit bibir istrinya yang sedang cemberut. "Kamu tambah imut kalau merajuk seperti ini sayang" goda Herman lagi. "Aku serius mas, aku sama sekali tak ingat kalau aku punya teman dia" jawab Amira lagi."Sudahlah sayang....jangan dianggap pusing" timpal Herman sambil mengelus mesra rambut istrinya itu. "Bukan begitu sayang, hanya saja aku merasa heran saja" jawab Amira pelan. Tak lama hidangan pesanan mereka pun datang. Perut Amira yang sudah minta jatah daritadi langsung bersuara begitu melihat hidangan itu tersaji dengan nikmat. Ia langsung melahap makanan didepannya dengan rakus. Herman menatap wajah istrinya yang polos. Tersirat rasa bersalah dalam hatinya, kenapa ia bisa tega membohongi istrinya untuk yang kesekian kalinya. Ia menatap dalam Amira yang sedang fokus dengan makanannya, dan tak tahu kalau Herman tengah
Herman tengah bersiap-siap untuk pulang. Sebelum ia menjalankan mobinya, dia menguhubungi Amira terlebih dulu. Ia takut kalau ada makanan yang diinginkan istrinya yang tengah hamil tua itu. "Sayaaang....kau sedang apa"? pesan dikirim untuk Amira. Namun tak ada jawaban dari Amira. Sampai akhirnya Herman menghubungi Amira lewat telepon.Amira tetap tak mengangkat telpon dari Herman. Dia tak mengetahui kalau Herman tengah menghubunginya. "Mungkin dia kelelahan setelah jalan-jalan tadi," gumam Herman dalam hatinya. Herman segera bergegas pulang, tak lupa saat perjalanan pulangnya, ia membeli makanan favorit Amira. Martabak manis rasa susu kacang. Ia tak ingin pulang dengan tangan kosong. Sementara Amira sesekali menatap jam di dindingnya, waktu sudah pukul 18.00 namun tak ada tanda-tanda kalau Adinda akan pulang. Dia bingung mencari cara agar Adinda mau segera pulang. "Ania maaf, ini sudah malam...apa orangtuamu tak menungg