"Buuuu.... Ibuuuu....""Astutik! Kenapa pulang-pulang teriak-teriak? Kayak nggak punya aturan saja! Ini rumah, bukan hutan!""Iya Bu maaf, lihat ini buuu, Tutik lulus bu!" "Alhamdulilah, anak ibu. Selamat ya nakk" ujar Menik yang terharu melihat nilai Astutik yang hampir mencapai nilai sempurna. Dipeluknya anak gadis tersebut. "Setelah ini apa rencanamu sayank?"Tanya Menik dengan penuh kasih sayang sambil membelai rambut anaknya."Aku ingin menjadi seorang dokter yang hebat Bu""Mulia sekali nak cita-cita mu, ibu akan dukung apapun itu selagi positif.""Tapi Buu, bagaimana dengan bapak?" Mengingat bapaknya, Astutik menjadi murung seketika, bagaimana pun bapaknya selama ini sangat menentang keinginan ibunya untuk membawa Astutik kekota untuk melanjutkan pendidikannya."Tenang saja nduk, itu urusan ibu. Yang terpenting sekarang, siapkan dirimu baik-baik. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, karena masuk sekolah dokter itu tidak mudah!""Apakah bapak mengijinkan Bu?""Harus! Anak ibu h
Astutik begitu terkagum melihat keramaian kota yang tak pernah dia temui didesanya. Selama ini Astutik tidak pernah keluar jauh dari desanya.Sama seperti ibunya, Astutik adalah seorang gadis yang pendiam dan pemalu.Astutik begitu menikmati perjalanan ini, seakan dia lupa dengan beban yang dia tinggalkan dirumah karena ketidak setujuan bapaknya."Bu, apakah ini masih jauh?""Apakah kamu sudah lelah sayang?"Dielusnya rambut anaknya dengan lembut, rambut yang hitam legam itu terurai, menambah pesona anaknya yang kini telah beranjak remaja."Tidak bu, justru Tutik sangat menikmati perjalanan ini, ternyata kota seperti ini ya Bu. Banyak kendaraan, banyak orang berjualan, banyak rumah-rumah yang menjulang tinggi. Pantas saja dulu ibu kerasan disini"Astutik berucap dengan sangat ringan, sehingga tanpa dia sadari menggores hati sang ibu."Ibu tidak pernah menikmati keberadaan ibu disini nduk, disini adalah tempat ibu berjuang dengan keras, bermandikan peluh dan air mata. Disini tempat
Tukiman menatap kamar yang biasa digunakan istri dan anak perempuannya dengan nanar. Serasa ada yang tercabut dari dadanya, rasanya begitu sakit.Tukiman menyadari kesalahannya, dia terlalu egois. Sungguh dia tak bermaksud menyakiti hati dua orang yang paling berharga dalam hidupnya tersebut. Tukiman hanya tak ingin berpisah dari mereka, terlebih dikota dimana saat ini mereka berada, ada seseorang yang sangat dia cemburui.Sungguh semua ini dia lakukan karena besarnya rasa cinta kepada keduanya.Dia menyesal telah bersikap kasar kepada Menik, sehingga melukai hatinya.Sungguh melihat Menik terluka karena sikap dan ucapnya, Tukiman pun juga merasakan sakit yang sama. Itu semua dia lakukan untuk menutupi ketidak percayaan dirinya menghadapi Menik yang kini semakin bersinar terang dan bisa berdiri tegap, seakan tak lagi membutuhkannya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki terasa tercabik habis.Kini setelah keduanya pergi, rasa takut akan kehilangan itu semakin menjelma menjadi nyata.
Hari masih begitu pagi ketika Tukiman membangunkan Wijaya. Hatinya semakin gusar memikirkan penyesalannya. Dia tidak ingin terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki semua ini."Wijaya, bangun Nak!""Bapak, ada apa sih pak? Masih pagi ini!"Wijaya kembali menarik selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Udara didesa memang masih dingin dan segar, apalagi dipai hari seperti ini."Bangun, ayo segera siap-siap!"Wijaya melirik bapaknya, bingung dengan apa yang dimaksud bersiap."Bersiap untuk apa pak? Memangnya kita mau kemana?""Kita susul ibu dan adikmu! Makanya kamu segera bangun, bawa keperluanku seperlunya saja!"Wijaya langsung bangun seketika mendengar bapaknya yang ingin menyusul ibu dan adiknya kekota."Sudahlah pak, Jaya mohon, jangan halangi Astutik untuk meraih cita-cita nya, jangan halangi juga kebahagiaan ibu. Kasian pak ibu, bahkan jaya sering elihat ibu yang diam-diam menangis."Bukan nak, bapak justru mau minta maaf kepada mereka, bapak akan merestui adikmu. Bapak akan
BRAAAKKKKKKMenik kaget melihat kejadian dibelakangnya, Tukiman yang tengah mengaduh memegang kakinya, akibat terserempet sebuah motor ketika akan menyebrang untuk menyebrangnya. Untung saja luka yang diderita Tukiman tidak separah yang dia takutkan, namun mengendara motor tersebut harus jatuh, dan menyebabkan motornya rusak dibeberapa bagian."Kalau mau nyebrang dipakek dong matanya, mau cari mati Lo?"Tukiman kaget, kenapa dia yang diserempet justru dia yang dimarah-marahi?Kenapa orang kota tidak punya sopan santun seperti ini?"Iya mas sabar, rumah saya disebrang sana, kita minum dulu mas, nanti saya akan ganti semua kerusakan motor masnya!" Ujar Menik yang berusaha Menengahi mereka.Melihat Tukiman yang berjalan terpincang, tumbuh rasa iba dihati Menik, bagaimana pun dia masih menyandang sebagai seorang istri dari Tukiman.Astutik begitu kawatir ketika bapaknya jalan dengan terpincang, dan lutut yang berdarah. Sedangkan Wijaya segera menolong Tukiman, tanpa banyak bertanya sete
Dirabanya kening Sumini yang terasa begitu panas ditangan Tukiman. Diperhatikannya wajah wanita yang kini telah beranjak tua tersebut. Memang dia tak secantik Menik istrinya, namun entah kenapa ada perasaan tak tega membayangkanya hidup sendiri. Ada perasaan iba membayangkan buruknya nasib yang selama ini dia jalani. Bukan dia tak ingat tentang apa yang wanita didepannya itu lakukan pada kehidupannya dan Menik di masa lalu. Kejahatan itu memang tak bisa dimaafkan. Namun semua itu dia anggap sebagai takdir yang telah digariskan oleh tuhan. Teringat pula olehnya pesan sang paman agar memulangkan Sumini begitu Menik kembali. Perasaan bersalah itu semakin besar membayangi. Dia semakin bingung harus apa yang dia lakukan.Kembali dipegang tangan lemah itu."Dek, kamu kenapa? Badanmu mu panas sekali? Apa perlu kita ke dokter?""Kang? Kamu sudah datang"Sumini berucap dengan lemah dengan membuka sedikit matanya."Tidak perlu, aku baik-baik saja."Lalu seakan melupakan rasa lelah yang dia rasa
"Hallo Menik, pulanglah kang Tukiman sakit, dia terus memanggil nama kalian"Menik hanya bisa terdiam, tak tahu harus merespon apa, dia baru saja merasakan kebahagiaan bersama anak-anaknya. Namun harus menerima kabar seperti ini, haruskah dia pulang dan kembali terkungkung dalam luka masa lalu?""Baik" lalu telepon ditutup. Dia berjalan dengan gontai kearah meja makan."Siapa yang menelepon barusan Bu?" Astutik penasaran dengan ibunya yang terlihat kurang senang dengan apa yang didengarnya dari sipenelephon barusan."Sumini" mendengar nama itu disebut, semua ikut terdiam, ada perasaan tidak enak ketika mendengarnya."Ada apa dia menghubungi kita?"Tanya Wijaya terang-terangan dengan nada tidak suka. Wijaya tidak pernah suka dan simpati kepada ibu tirinya tersebut, sekalipun wanita itu selalu berusaha berbuat baik kepadanya, berbeda dengan sikap Sumini kepada Astutik selama ini."Tutik" Menik beralih kepada Astutik, namun terdiam cukup lama sebelum melanjutkan ucapanya."Bapakmu sakit
(disarankan buat dengerin lagunya seventeen yang "kemaren" disaat baca bab ini)Menik kawatir melihat kondisi Tukiman."Wijaya, cepat ambilkan air untuk bapakmu!""Sumini!" Teriak Menik memanggil Sumini yang tadi memilih keluar dami memberi ruang untuk keluarga itu. Dia sadar, dia bukan pemilik hati Tukiman. Bahwa selama ini kebersamaan mereka,Tukiman hanyalah menaruh iba kepadanya.Sumini berlari memasuki kamar yang sedari dulu selalu dia impikan untuk dia miliki, namun tak pernah dia dapatkan itu. Firasatnya mengatakan hal yang buruk menimpa lelaki yang selalu dia cintai sepenuh hati."Siapa yang memiliki mobil disini? Ayo cepetan ajak Wijaya untuk meminjamnya, kita bawa bapaknya anak-anak segera kerumah sakit!"Perintah Menik dengan air mata yang berderai. Menik sudah menyiapkan hati sejak menerima telepon Sumini tentang hal ini, namun entah kenapa , melihat langsung keadaan lelaki yang pernah berjanji sehidup semati dengannya tersebut tetap saja hatinya tak sanggup."Atau tunggu
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di