(disarankan buat dengerin lagunya seventeen yang "kemaren" disaat baca bab ini)Menik kawatir melihat kondisi Tukiman."Wijaya, cepat ambilkan air untuk bapakmu!""Sumini!" Teriak Menik memanggil Sumini yang tadi memilih keluar dami memberi ruang untuk keluarga itu. Dia sadar, dia bukan pemilik hati Tukiman. Bahwa selama ini kebersamaan mereka,Tukiman hanyalah menaruh iba kepadanya.Sumini berlari memasuki kamar yang sedari dulu selalu dia impikan untuk dia miliki, namun tak pernah dia dapatkan itu. Firasatnya mengatakan hal yang buruk menimpa lelaki yang selalu dia cintai sepenuh hati."Siapa yang memiliki mobil disini? Ayo cepetan ajak Wijaya untuk meminjamnya, kita bawa bapaknya anak-anak segera kerumah sakit!"Perintah Menik dengan air mata yang berderai. Menik sudah menyiapkan hati sejak menerima telepon Sumini tentang hal ini, namun entah kenapa , melihat langsung keadaan lelaki yang pernah berjanji sehidup semati dengannya tersebut tetap saja hatinya tak sanggup."Atau tunggu
Kemarin engkau masih ada disiniBersamaku menikmati rasa iniBerharap semua tak kan pernah berubahBersamamuBersamamuKemarin dunia terasa sangat indahDan denganmu merasakan ini semuaMelewati Hitam-Putih hidup iniBersamamuBersamamuKini, sendiri disiniMencarimu, tak tahu dimanaSemoga tenang kau disanaSelamanyaaaaAku selalu mengingatmu.Doakanmu setiap malamkuSemoga tenang kau disana....****Astutik baru datang diantar oleh Rudi. Dia langsung berlari menghampiri jenazah bapaknya yang sudah terbujur kaku diruang tamu.Sengaja, memang mereka menunggu kedatangan Astutik agar bisa melihat bapaknya untuk terakhir kalinya.Gemetar kaki Astutik melihat semua ini, tak percaya, seakan semua hanya sebuah mimpi.Kenapa Tuhan tak mengijinkan dirinya untuk memenuhi janji bahwa dia akan membanggakan bapaknya dengan gelar dokter yang akan dia sandang nanti? Kenapa bapaknya pergi begitu cepat tanpa sebuah kata perpisahan untuk dirinya?Rasanya masih kemaren dirinya, kakaknya,
Tiga hari setelah kepergian Tukiman, tetangga masih banyak yang datang membantu menyiapkan sajian untuk tahlil, dan juga menghibur keluarga itu agar tidak sempat merasakan kesepian dan terlalu larut dalam duka.Kerabatpun masih banyak yang datang sulit berganti, sehingga rumah itu tidak pernah terlihat sepi. Nyi Saminah juga masih berada dirumah itu, menghibur Astutik yang masih sering menangis, dan sering mengajak Menik bercerita. Nyi Saminah kawatir, Kerena semenjak kematian Tukiman, Menik menjadi semakin pendiam.Pernah suatu kali Menik bercerita kepadanya tentang penyesalan Menik yang tak pernah berusaha memperbaiki hubungan mereka. Dia terlalu larut dalam kekecewaan, dia terlalu memikirkan diri sendiri tanpa mau tau apa yang dirasakan Tukiman. Dia merasa menjadi sombong ketika sudah bisa memiliki segalanya, seakan sudah tak lagi membutuhkan Tukiman sebagai lelaki. Dia sungguh sangat menyesal, hingga sang waktu terus berlari hingga hanya menyisakan kenangan."Aku belum lihat kamu
Menik menerima surat itu dengan tangan gemetar. Menerimanya membuat hati Menik kembali mendung. Dia pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu begitu mengucapkan terimakasih kepada sang notaris.Dia berjalan dengan tergesa menuju kamarnya, bahkan tak menghiraukan ketika berpapasan dengan Rudi.Dia ingin segera membuka surat tersebut Karena dalam goresan tinta dan untaian kalimat didalamnya, seakan mampu sedikit mengobati kerinduan dan penyesalan Menik untuk kepergian Tukiman.Tak pernah Menik sangka, ternyata mengantarkan kepergian Tukiman untuk selamanya begitu menyesakkan didada.Padahal dulu dia selalu bepikir bahwa tanpa Tukiman semua akan baik-baik saja. Nyatanya dia salah, dia begitu kehilangan lelaki itu kini.Begitu sampai dikamar dan menutup pintunya dengan rapat, dia buka surat itu dengan perlahan, seakan jika surat itu robek dan merusak isi didalamnya, mampu pula merobek hatinya.Surat dari Tukiman untuk Menik:Teruntuk Menik, istriku tercinta.Maaf jika selama ini ha
dengerin deh lagunya "kekasih bayangan"sambil baca part ini.POV Rudi.Menik berjalan tergesa begitu saja melewati ku. Ada apa dengannya? Apa yang telah mengganggu pikirannya? Mungkinkah pembacaan wasiat mendiang suaminya tak sejalan sesuai yang dia harapkan?Aku begitu kawatir hingga tanpa sadar aku sudah berjalan hampir saja melewati pintu itu, dan masuk kedalam kamarnya. Sungguh tak pantas, seorang pria dewasa masuk kedalam kamar seorang wanita yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya.Namun logikaku dikalahkan oleh naluriku ketika melihat Menik yang begitu terlihat terguncang sambil memegang selembar kertas yang kuyakini sebuah surat ditangannya."Apakah semua baik-baik saja?" Aku menghampirinya dengan menyingkirkan norma dan adab yang seharusnya ku jaga.Tanpa ku duga, Menik justru memelukku.Seakan menumpahkan segala beban dihatinya, dia menangis dalam dekapku."Kenapa, kenapa harus aku? Kenapa Tuhan tak pernah membiarkan hidupku baik-baik saja?"Aku mulai beranikan diri m
"ya ampun, lihat orang yang kalian banggakan! Baru 7 hari ditinggal mati suaminya sudah berani memasukkan lelaki lain kedalam kamarnya!"Menik tersentak mendengan suara Sumini yang berteriak kencang didepan pintu kamarnya. Seolah dia tamu yang berbuat rusuk dirumah Sumini.Kali ini kesabaran Menik sudah habis. Dia berjalan tergesa menuju ke arah Sumini dengan muka merah padam.Begitu sampai didepan Sumini, ditamparnya wajah wanita itu bolak balik, seakan melampiaskan amarah yang dipendamnya selama ini.Sumini yang tak siap akan hal itu, tak sempat mengelak dan hanya terbengong menahan perih dikedua pipinya."Coba ulangi ucapanmu barusan!"Sumini yang masih terkejut dengan apa yang dilakukan Menik tak bisa menjawab apapun yang diucapkan Menik."Kenapa diam? Hah? Selama ini kurang baik apa aku sama kamu? Lama-lama dibiarkan ngelunjak kamu, kamu ini nggak punya siapa-siapa, ngak punya apa-apa! Seharusnya kamu itu mengemis belas kasihan kepada kami, bukan malah ngelunjak menginjak kepala
Sumini menutup pintu begitu pak kusno berpamitan untuk kembali.Sebenarnya ingin rasanya Sumini menahan lelaki itu untuk tetap disini, nyalinya menciut ketika membayangkan tinggal sendiri dirumah yang sudah lama tak berpenghuni ini. Namun menahan pak kusno untuk menemaninya bukan juga ide yang bagus, mau sampai kapan dia minta untuk ditemani? Terlebih tadi ketika akan berangkat Nyi Saminah yang sekarang berubah seperti Mak lampir baginya itu sudah berpesan untuk pak kusno langsung kembali begitu mengantarkan Sumini sampai depan rumah ini, mungkin karena kasihan sehingga lelaki itu rela membantu Sumini berbenah rumah yang akan Sumini tinggali.Sumini menutup pintu dan jendela dengan rapat. Agar udara dan air hujan tak dapat masuk kedalam rumah tua ini.Namun baru saja Sumini ingin melangkah dari tempatnya berdiri, dia sudah dikejutkan dengan seekor tikus besar yang melintas dikakinya. Sumini jejeritan didalam rumah itu, ngeri rasanya bagaimana jika nanti dia tidur lalu ada seekor ti
Menik memejamkan mata menikmati udara pagi yang begitu menenangkan hatinya. Setelah 40 hari kepergian Tukiman, akhirnya dia harus kembali. Kembali menjalani hidup yang seharusnya. Kembali ke kota dan meneruskan bisnis yang sudah dia bangun selama ini. Menghirup udara pagi ini entah kenapa begitu melegakan hatinya. Entah kenapa, mungkin dia tak layak disebut istri yang baik atau setia, namun yang pasti, ada sebuah kelegaan di dalam hatinya kini. Entah kelegaan ini untuk apa, untuk jiwa yang bebas karena kini dia tak lagi terikat, atau jiwa yang bebas tanpa ada luka yang dia tahan. "Bu""Wijaya, jadi bagaimana keputusanmu nak? " Menik berjalan lalu duduk di teras rumahnya sambil menerima secangkir teh hangat dari Wijaya. Diseruput nya teh itu, ada senyum tipis yang terbit dibibir itu. Rasanya ada sebuah rasa tenang yang sudah begitu lama hilang dari rumah ini. Rumah yang dulu selalu menenangkan, nyaman, dan selalu membuat kerasan siapapun penghuninya. Namun semua itu hilang semenjak