Kemarin engkau masih ada disiniBersamaku menikmati rasa iniBerharap semua tak kan pernah berubahBersamamuBersamamuKemarin dunia terasa sangat indahDan denganmu merasakan ini semuaMelewati Hitam-Putih hidup iniBersamamuBersamamuKini, sendiri disiniMencarimu, tak tahu dimanaSemoga tenang kau disanaSelamanyaaaaAku selalu mengingatmu.Doakanmu setiap malamkuSemoga tenang kau disana....****Astutik baru datang diantar oleh Rudi. Dia langsung berlari menghampiri jenazah bapaknya yang sudah terbujur kaku diruang tamu.Sengaja, memang mereka menunggu kedatangan Astutik agar bisa melihat bapaknya untuk terakhir kalinya.Gemetar kaki Astutik melihat semua ini, tak percaya, seakan semua hanya sebuah mimpi.Kenapa Tuhan tak mengijinkan dirinya untuk memenuhi janji bahwa dia akan membanggakan bapaknya dengan gelar dokter yang akan dia sandang nanti? Kenapa bapaknya pergi begitu cepat tanpa sebuah kata perpisahan untuk dirinya?Rasanya masih kemaren dirinya, kakaknya,
Tiga hari setelah kepergian Tukiman, tetangga masih banyak yang datang membantu menyiapkan sajian untuk tahlil, dan juga menghibur keluarga itu agar tidak sempat merasakan kesepian dan terlalu larut dalam duka.Kerabatpun masih banyak yang datang sulit berganti, sehingga rumah itu tidak pernah terlihat sepi. Nyi Saminah juga masih berada dirumah itu, menghibur Astutik yang masih sering menangis, dan sering mengajak Menik bercerita. Nyi Saminah kawatir, Kerena semenjak kematian Tukiman, Menik menjadi semakin pendiam.Pernah suatu kali Menik bercerita kepadanya tentang penyesalan Menik yang tak pernah berusaha memperbaiki hubungan mereka. Dia terlalu larut dalam kekecewaan, dia terlalu memikirkan diri sendiri tanpa mau tau apa yang dirasakan Tukiman. Dia merasa menjadi sombong ketika sudah bisa memiliki segalanya, seakan sudah tak lagi membutuhkan Tukiman sebagai lelaki. Dia sungguh sangat menyesal, hingga sang waktu terus berlari hingga hanya menyisakan kenangan."Aku belum lihat kamu
Menik menerima surat itu dengan tangan gemetar. Menerimanya membuat hati Menik kembali mendung. Dia pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu begitu mengucapkan terimakasih kepada sang notaris.Dia berjalan dengan tergesa menuju kamarnya, bahkan tak menghiraukan ketika berpapasan dengan Rudi.Dia ingin segera membuka surat tersebut Karena dalam goresan tinta dan untaian kalimat didalamnya, seakan mampu sedikit mengobati kerinduan dan penyesalan Menik untuk kepergian Tukiman.Tak pernah Menik sangka, ternyata mengantarkan kepergian Tukiman untuk selamanya begitu menyesakkan didada.Padahal dulu dia selalu bepikir bahwa tanpa Tukiman semua akan baik-baik saja. Nyatanya dia salah, dia begitu kehilangan lelaki itu kini.Begitu sampai dikamar dan menutup pintunya dengan rapat, dia buka surat itu dengan perlahan, seakan jika surat itu robek dan merusak isi didalamnya, mampu pula merobek hatinya.Surat dari Tukiman untuk Menik:Teruntuk Menik, istriku tercinta.Maaf jika selama ini ha
dengerin deh lagunya "kekasih bayangan"sambil baca part ini.POV Rudi.Menik berjalan tergesa begitu saja melewati ku. Ada apa dengannya? Apa yang telah mengganggu pikirannya? Mungkinkah pembacaan wasiat mendiang suaminya tak sejalan sesuai yang dia harapkan?Aku begitu kawatir hingga tanpa sadar aku sudah berjalan hampir saja melewati pintu itu, dan masuk kedalam kamarnya. Sungguh tak pantas, seorang pria dewasa masuk kedalam kamar seorang wanita yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya.Namun logikaku dikalahkan oleh naluriku ketika melihat Menik yang begitu terlihat terguncang sambil memegang selembar kertas yang kuyakini sebuah surat ditangannya."Apakah semua baik-baik saja?" Aku menghampirinya dengan menyingkirkan norma dan adab yang seharusnya ku jaga.Tanpa ku duga, Menik justru memelukku.Seakan menumpahkan segala beban dihatinya, dia menangis dalam dekapku."Kenapa, kenapa harus aku? Kenapa Tuhan tak pernah membiarkan hidupku baik-baik saja?"Aku mulai beranikan diri m
"ya ampun, lihat orang yang kalian banggakan! Baru 7 hari ditinggal mati suaminya sudah berani memasukkan lelaki lain kedalam kamarnya!"Menik tersentak mendengan suara Sumini yang berteriak kencang didepan pintu kamarnya. Seolah dia tamu yang berbuat rusuk dirumah Sumini.Kali ini kesabaran Menik sudah habis. Dia berjalan tergesa menuju ke arah Sumini dengan muka merah padam.Begitu sampai didepan Sumini, ditamparnya wajah wanita itu bolak balik, seakan melampiaskan amarah yang dipendamnya selama ini.Sumini yang tak siap akan hal itu, tak sempat mengelak dan hanya terbengong menahan perih dikedua pipinya."Coba ulangi ucapanmu barusan!"Sumini yang masih terkejut dengan apa yang dilakukan Menik tak bisa menjawab apapun yang diucapkan Menik."Kenapa diam? Hah? Selama ini kurang baik apa aku sama kamu? Lama-lama dibiarkan ngelunjak kamu, kamu ini nggak punya siapa-siapa, ngak punya apa-apa! Seharusnya kamu itu mengemis belas kasihan kepada kami, bukan malah ngelunjak menginjak kepala
Sumini menutup pintu begitu pak kusno berpamitan untuk kembali.Sebenarnya ingin rasanya Sumini menahan lelaki itu untuk tetap disini, nyalinya menciut ketika membayangkan tinggal sendiri dirumah yang sudah lama tak berpenghuni ini. Namun menahan pak kusno untuk menemaninya bukan juga ide yang bagus, mau sampai kapan dia minta untuk ditemani? Terlebih tadi ketika akan berangkat Nyi Saminah yang sekarang berubah seperti Mak lampir baginya itu sudah berpesan untuk pak kusno langsung kembali begitu mengantarkan Sumini sampai depan rumah ini, mungkin karena kasihan sehingga lelaki itu rela membantu Sumini berbenah rumah yang akan Sumini tinggali.Sumini menutup pintu dan jendela dengan rapat. Agar udara dan air hujan tak dapat masuk kedalam rumah tua ini.Namun baru saja Sumini ingin melangkah dari tempatnya berdiri, dia sudah dikejutkan dengan seekor tikus besar yang melintas dikakinya. Sumini jejeritan didalam rumah itu, ngeri rasanya bagaimana jika nanti dia tidur lalu ada seekor ti
Menik memejamkan mata menikmati udara pagi yang begitu menenangkan hatinya. Setelah 40 hari kepergian Tukiman, akhirnya dia harus kembali. Kembali menjalani hidup yang seharusnya. Kembali ke kota dan meneruskan bisnis yang sudah dia bangun selama ini. Menghirup udara pagi ini entah kenapa begitu melegakan hatinya. Entah kenapa, mungkin dia tak layak disebut istri yang baik atau setia, namun yang pasti, ada sebuah kelegaan di dalam hatinya kini. Entah kelegaan ini untuk apa, untuk jiwa yang bebas karena kini dia tak lagi terikat, atau jiwa yang bebas tanpa ada luka yang dia tahan. "Bu""Wijaya, jadi bagaimana keputusanmu nak? " Menik berjalan lalu duduk di teras rumahnya sambil menerima secangkir teh hangat dari Wijaya. Diseruput nya teh itu, ada senyum tipis yang terbit dibibir itu. Rasanya ada sebuah rasa tenang yang sudah begitu lama hilang dari rumah ini. Rumah yang dulu selalu menenangkan, nyaman, dan selalu membuat kerasan siapapun penghuninya. Namun semua itu hilang semenjak
Semua simpanan perhiasanku sudah habis ku jual untuk memenimuhi kebutuhan hidupku selama aku dibuang bak sampah disini. Tempat ini mungkin sudah tak layak disebut rumah, dinding yang sudah berlumut, lantai yang masih tanah, atap sudah banyak yang bocor. Tapi sayangnya aku sudah tak punya pilihan, mau pergi kemana aku bila tak disini? Aku benar-benar sama sekali tak memiliki keluarga. Bahkan keluarga dari pihak emakku pun aku tak tahu, emak tak pernah mengenalkanku kepada mereka. Tetanggaku sebelah rumah, masih ada hubungan keluarga dengan menik, dia juga menenpati rumah-rumah kecil yang dulu diperuntukkan untuk para pembantu dikediaman ki harjo. Namun bedanya, rumah darsih sudah dirubah sedemikian rupa, dirombak total sehingga terlihat lebih besar dan rumahku hanya seperti kandang ayam yang nempel di rumahnya. "Sih, kamu sudah lama menikah kok anakmu masih kecil? Itu anak mu sendiri apa anak pungut? ""Haduh kok jahat ya mulutnya, lagian apa urusanya sama sampean, mending aku yu
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di