POV MenikKuperhatikan satu persatu karyawan ku yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka.Sungguh, berat rasanya harus meninggalkan semua ini, semua yang ku bangun benar-benar dari 0.Namun bagaimana pun aku harus kembali, bagaimana pun aku harus mengambil apa yang seharusnya milikku.Aku bukan menyerah selama ini, membiarkan mereka menari diatas luka ku.Membiarkan manusia-manusia tak tahu diri itu menikmati apa yang seharusnya menjadi milikku.Aku hanya sedangan berusaha berdiri dan bangkit, sehingga ketika aku kembali, aku bisa berdiri tegak dengan kakiku sendiri.Setelah berunding dengan mas Rudi dan jeng Susi, aku memutuskan untuk tidak menutup usaha ini.Selain karena usaha ini menghidupi banyak kepala, aku juga harus tetap memiliki penghasilan, jika aku kembali nanti, aku harus menjadi seorang Menik yang baru.Aku tak ingin lagi bergantung apapun dengan mas Tukiman, bagaimanapun waktu sudah begitu lama berlalu. Siapa yang tahu dalamnya isi hati? Bisa saja dia kini telah beruba
Setelah kejadian yang menimpa dirinya, Sumini benar-benar terguncang.Dia enggan meninggalkan kamarnya, bahkan hanya untuk sekedar mandi dan mengisi perutnya.Dia sering marah-marah tak jelas, sering berteriak dan menangis sendiri.Sehingga ketika Tukiman ingin mendekat, lebih ke rasa takut dan jijik dari pada rasa iba.Ketika ada kerabat atau tetangga yang ingin menjenguk, sebisa mungkin Astutik akan mengajak mereka berbincang diruang tamu. Dari pada harus melihat langsung kondisi Sumini, lalu terdengar gunjingan yang menyakiti hati terlontar dari mulut mereka."Kasihan ya, lihat dia sudah seperti orang tidak waras, jangan-jangan ini karma dari apa yang sudah diperbuat dulu kepada Menik""Iya yu, mukanya nyeremin dengan luka itu, apalagi borok ditubuhnya, ih bau lagi ya""Kasihan Tukiman dan Astutik yang harus repot mengurusnya, padahal kan dia selalu jahat ya yu"Selalu terdengar bisik-bisik seperti itu setiap kali mereka selesai melihat kondisi Sumini dikamar. Astutik memang tak p
Senja mulai turun, ketika Sumini menunggu Tukiman pulang dengan kerudung yang menutupi sebelah pipi kirinya. Sumini mencoba untuk menerima takdirnya. Sumini mencoba untuk ihklas meski tak mudah. Entah kenapa, hari ini perasaannya begitu gelisah. Atau hanya tentang rasa rindu, karena sudah begitu lama Tukiman selalu menghindarinya? Baru saja hubungan mereka harmonis, Tukiman berubah menjadi manis kepadanya, namun kejadian itu harus terjadi dan merusak wajahnya, sehingga kini hubungannya dengan Tukiman kembali renggang. Sumini sering kali bertanya, kenapa tuhan begitu tidak adil? Kenapa tuhan seolah-olah mempermainkan hidupnya? Sumini sudah menyiapkan makan malam untuk Tukiman, dia sudah mematut diri, menggunakan bedak yang tebal untuk menutupi bekas luka yang mengerikan dipipinya, walau dia tahu, hasilnya percuma. Lukanya masih terlihat nyata, lukanya terlihat mengerikan. Astutik sedang membantu Wijaya mengobati luka dikakinya. Anak itu, kalau tidak main perempuan, pasti berkelahi
Aroma masakan ini sudah begitu lama tidak tercium didapur ini, ada rasa rindu juga haru yang menyesap didada setiap anggota keluarga, kecuali sepotong hati yang telah tertutup oleh benci dan juga luka.Semua wajah menyiratkan kebahagiaan, kecuali satu wajah yang sejak datangnya Menik kembali kerumah ini selalu dilanda kegelisahan.Tukiman segera bersiap dengan kepala yang dipenuhi dengan berbagai angan-angan.Masih kuat diingatan Tukiman, dulu setiap pagi, ketika dia sudah selesai bersiap untuk berangkat bekerja. Tukiman akan segera bergegas menuju dapur untuk memperhatikan istri tercintanya menyiapkan sarapan untuk mereka, lalu sesekali dia akan menggoda dengan merayu istrinya.Tertawa dan bercanda membicarakan hal-hal ringan sambil menunggu masakan itu selesai disiapkan.Tak jarang dulu Tukiman menggoda Menik yang tengah sibuk dengan masakanya dengan memeluk dan mencium tubuh yang selalu harum setiap waktu itu dengan gemas. Lalu Menik akan terlihat marah, namun dengan pipi memera
Sumini berjalan begitu saja melewati Menik yang sedang bersantai menikmati secangkir teh dengan sepiring roti bakar selai strawberry, yang harumnya menggoda Sumini untuk mencicipi, namun dia tekan demi menutupi gengsi.Sumini benci mengakui, dengan pakaian berpotongan sederhana itu Menik masih terlihat sangat cantik, meski tanpa polesan makeup."Mau kemana?""Bukan urusanmu, terserah aku mau kemana pun sesuka hatiku""Ya jelas menjadi urusan ku dong, ini rumah ku, dan aku berhak tau siapapun yang keluar masuk rumahku. Kalau kamu tidak suka dengan peraturan yang ku buat, silahkan angkat kaki sekatang juga!""Jadi kamu mau mengusirku? Apa kamu lupa kalau aku juga istri dari Tukiman?""Kamu memang istrinya, aku tidak akan pernah lupa itu, tapi kamu juga harus ingat, bahwa aku yang memiliki rumah ini seutuhnya! Dan kamu itu hanya tamu, aku bisa kapan saja mengusirmu dari sini!"Sumini sangat kesal, bagaimana mungkin Menik yang dulu begitu polos sehingga bisa dengan mudah dia tipu dan perd
Sumini tersenyum puas ketika menguping pembicaraan antara Menik dan Tukiman. Reaksi Tukiman lebih dari yang dia bayangkan.10tahun bersama Tukiman, membuat dia hafal betul seperti apa sifat suaminya itu."Ngapain senyum-senyum disitu?"Baru saja Sumini akan beranjak dari tempatnya bersembunyi, namun sudah ketahuan Menik duluan."Kenapa sih usil banget ngurusin urusanku?""Yang usil situ, ngurusin urusan orang! Barusan nguping kan?""Oh, siapa juga yang nguping"Jawab Sumini sambil ngeloyor pergi."Heh mau kemana?""Tidur!" Jawab Sumini dengan ketus."Enak sekali ya hidupmu, udah numpang ngak tahu diri, bersihkan meja makan! Kalau sudah selesai, bersihkan rumah ini beserta halamanya!""Apa?""Telinga kamu sudah ngak berfungsi?""Kamu nggak bisa nyuruh aku seenaknya seperti itu, lagian aku juga anggota keluarga ini!""Sama seperti kamu yang nyuruh anak ku seenaknya selama 10tahun ini, padahal dia calon pewaris rumah ini!""Ohhh rupanya anak itu ngadu""Apa salahnya ngadu sama ibu sen
Rudi membereskan barang-barangnya dibantu oleh Wijaya. Sudah tuga hari dia menginap didesa tempat asal Menik. Tempatnya yang begitu asri dan udaranya yang masih bersih, membuat dia betah berada didesa ini berlama-lama. Atau alasan yang sebenarnya karena dia berat meninggalkan Menik sendiri, walaupun dia tahu Menik sudah berada ditemoat yang aman, namun entah mengapa hatinya masih seja merasa kawatir. Sebenarnya Rudi merasa tak pantas untuk menginap terlalu lama disini, karena tujuan kesini adalah untuk mengantar Menik kembali bersama keluarganya.Bukankah dia sudah berjanji akan melakukan apapun demi melihat Menik kembali bahagia, apapun akan dia lakukan untuk membantu Menik merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Apapun akan dia lakukan untuk Menik, wanita yang begitu setia, meskipun sudah disakiti berkali-kali. Wanita yang tidak pernah mau membuka hati untuknya, selama statusnya masih istri orang."Sudah selesai om?"Wijaya, menyadarkannya dari lamunan tentang keind
(disarankan membaca part ini sambil mendengarka lagunya tata Janeta "sang penggoda)"Dek!""Iya mas?" Tukiman menghampiri Menik yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk dihalaman belakang, didepan sebuah kolam ikan yang beberapa hari yang lalu dibuat sesuai permintaan Menik.Istrinya itu sudah banyak berubah kini, terlihat begitu cantik dan matang. Lelaki mana yang tak tergoda melihat istrinya kini yang nyaris sempurna sebagai wanita dewasa."Maafkan aku ya dek""Untuk apa mas?" Menik menghentikan kegiatannya dan memperhatikan Tukiman. Ada apa dengan suaminya itu? Beberapa hari setelah kepulangan ya, dia selalu Jo sinis. Kenapa tiba-tiba dia berubah jadi sok manis?"Maaf jika sikapku kurang baik belakangan ini, sungguh semua itu karena besarnya rasa takut akan kembali kehilanganmu. Terus terang aku cemburu dengan Rudi. Aku takut dia akan merebut mu dariku, aku sadar diri jika dia jauh lebih baik dariku dari segi apapun.""Jika aku mau mas, mungkin sudah dari dulu aku menghianati
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di