Pernikahan berjalan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh orang terdekat saja. Ibuku sangat terkejut dengan keputusanku yang mendadak ini. Beliau sempat menolak karena tak percaya aku mau jadi istri kedua laki-laki yang usianya lebih pantas jadi ayahku saja.
Akan tetapi semua penjelasanku tentang sakit kanker yang diderita ibu Sanjaya dan kuliah lanjutan yang ku cita-citakan itu mampu meluluhkan hati ibuku. Hanya Kartika saja dan pak Andy yang menghadiri pernikahanku itu pun aku meminta mereka untuk merahasiakannya sementara waktu paling tidak sampai aku kembali dari luar negeri kelak.
Aku dan ibu diboyong keluarga Sanjaya ke rumahnya yang besar. Semua asisten rumah tangga menaruh hormat yang sama seperti mereka menghormati ibu Sanjaya. Di malam pertama itu aku melihat kasih sayang antara suami istri yang baru saja mengambilku sebagai madunya.
Ibu Sanjaya kelelahan karena ikut mengurus proses pernikahan kami sehingga kesehatannya menurun. Dengan telaten pak Sanjaya mengurus istrinya dengan penuh kasih sayang. Aku membantu membersihkan tubuhnya dan menggantikan bajunya.
“Istirahatlah Mas, aku sudah mendingan. Malam ini kamu tidur dengan Airin yaa.” Ibu Sanjaya tersenyum manis kepada suaminya seakan tak ada beban baginya di poligami ini. Aku terharu dan seketika berlutut di depan ibu Sanjaya, menopang kepalaku di lututnya dan menangis tersedu.
“Eeeh… kamu kenapa Airin? Kenapa jadi nangis begini?” ibu Sanjaya terlihat sedikit cemas, tanpa riasan wajah ibu Sanjaya terlihat lebih tua dan lelah.
“Terima kasih atas kebaikan Ibu kepada saya, jika tidak terjadi pernikahan ini mungkin saya sudah mati.”
Aku kembali tergugu di atas pakaian tidur halus berwarna putih tulang yang dikenakan ibu Sanjaya.
“Lupakanlah perlahan kejadian buruk di masa lalumu Airin. Sekarang kamu adalah nonya muda tuan Sanjaya. Percayalah, bapak itu laki-laki yang baik, lembut, tak pernah dia menyakiti hatiku dan aku yakin bapak juga akan berlaku hal yang sama untukmu. Jadilah istri yang baik untuk bapak yaa Airin.”
Aku mengangguk, tangannya yang lemah memegang kedua bahuku dan memintaku berdiri.
“Bersikaplah lemah lembut kepada bapak, dengarkan keluh kesahnya jadilah sandaran bapak jika nanti aku sudah pergi lebih dahulu. Tetapi di luar sana jadilah wanita yang tangguh, perkasa dan disegani. Lakukan itu untukku yaa Airin?” masih dengan senyumnya yang teduh ibu Sanjaya menatapku dengan penuh harap. Air mataku sekali lagi jatuh, aku melihat nyata sosok malaikat dalam diri ibu Sanjaya.
Tatapanku berkeliling dalam kamar yang dipersiapkan untukku. Benar-benar kamar pengantin dengan dekorasi bunga yang cantik. Aku terduduk di lantai kamar menyaksikan ini semua, kembali merasakan sakit di balik dadaku. Walaupun kamar ini indah seperti dalam dongeng, bukan tapi ini bukan malam pertama yang kudambakan.
“Tenangkan dirimu Airin, Bapak paham dengan situasimu. Ayo, berdirilah.” Pak Sanjaya membimbingku untuk duduk di tempat tidur yang bertabur kelopak bunga.
“Bapak tidak akan melakukan hal itu meski Bapak sudah resmi jadi suami kamu. Bapak tidak akan menambah beban kamu, jadi lupakan hal itu. Bapak melakukan ini demi memenuhi permintaan ibu juga. Bapak ingin melihat ibu tenang menghadapi penyakitnya.” Pak Sanjaya mengelus kepalaku dengan penuh kasih. Sifat pengayomnya begitu terasa dan seketika membuat hatiku tenang.
“Maafkan sikap saya Pak, saya akan berusaha untuk mengendalikan diri saya.” Dengan sekuat tenaga aku menahan perasaan dan traumaku.
“Kau tahu Airin, baru kali ini Bapak tidur terpisah dengan ibu, meski kami bertengkar hebat kami tetap tidur seranjang tapi saling memunggungi he he he …,” pak Sanjaya tertawa kecil. Lalu beliau mengambil satu bantal.
“Kau tidurlah yang nyenyak, biar Bapak tidur di sofa saja.” Pak Sanjaya kemudian berbaring dan menutup matanya. Perlahan aku merebahkan tubuhku dan berharap esok adalah permulaan yang baik untuk hidup baruku.
Kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama, bahkan mba Tias asisten pribadi ibu Sanjaya juga turut hadir. Tampaknya ada hal yang penting sehingga pagi-pagi mba Tias datang ke rumah ini.
“Tias, tolong bantu Airin berpakaian yaa, pilihkan dia pakaian yang sesuai, aku ingin mengumumkannya menjadi Assistant General Manager siang ini.”
Aku nyaris tersedak makananku, itu adalah posisi yang jauh di atas sana dibanding posisiku sekarang sebagai bawahan Food And Beverage Manager.
“Maaf Bu, apa ini tidak terlalu cepat?” tanyaku hati-hati.
“Tidak Airin, kamu harus mulai belajar dari sekarang karena jika aku sudah tidak ada nanti maka kamu yang akan menjadi General Manager Sanjaya Hotel.”
“Tapi bukankah Bapak…,” aku menjeda kalimatku, aku melirik ke arah pak Sanjaya yang tengah santai membaca Koran.
“Bapak tetap akan membantumu Airin, tapi bisnis kontruksi Bapak sedang menyedot perhatian Bapak ke sana . kamu gak bakal sendiri, ada mba Tias dan Andy yang akan mendampingi kamu.”
Akhirnya aku menurut saja, perkuliahan pun masih ada beberapa bulan lagi untuk menunggu terbuka.
Aku mendorong kursi roda ibu Sanjaya menuju ruang rapat diikuti mba Tias dan pak Andy. Semua mata tertuju padaku yang menghilang selama dua pekan lalu muncul bersama ibu Sanjaya. Aku memilih blazer dan celana panjang berwarna hitam, entah mengapa sejak kejadian itu aku enggan menggunakan rok lagi. Aku lebih percaya diri dengan celana panjang pipa ini. Mba Tias bahkan memanggil juru rias ibu Sanjaya juga untuk merias diriku dan hasilnya banyak yang tidak percaya kalau yang sedang bersama ibu Sanjaya itu aku.
Dadaku bergemuruh melihat sosok laki-laki itu tengah duduk santai menunggu rapat internal dimulai, Ariel … Ariel Rivaldo. Hanya butuh waktu sebentar saja semua Manager mulai dari controller, Plant, executive house keeper, HRD, Recreation Director, Food and Beverage, Front Office hingga Security Director berkumpul. Ariel sebenarnya tidak punya jabatan di sini namun awal dari usaha perhotelan milik ibu Sanjaya melibatkan adik dari pak Sanjaya dan adik pak Sanjaya menyerahkan saham 25% kepada putra tunggal mereka Ariel. Konon kabarnya Ariel sendiri memiliki bisnis yang lain sejumlah restoran, casino dan tempat hiburan malam.
“Saya ingin mengumumkan kepada kalian, jika saya dalam waktu dekat saya akan mengundurkan diri sebagai General Manager. Sebagai gantinya saya akan menunjuk seseorang yang belum saya umumkan sekarang. Jika sebelumnya di hotel kita ini belum ada Assistant General Manager maka mulai hari ini posisi itu ada dan dipegang oleh Airin Zafira.”
Seketika ruangan terdengar bisik-bisik yang riuh. Segala macam keterkejutan dan dugaan merebak dalam ruangan yang dihadiri para Manager dan Director. Aku bergeming dan memasang wajah datar terlebih saat mata Ariel terbelalak melihat ke arahku tak percaya.
“Posisi Ibu Airin sudah disahkan dalam berkas hukum mengenai jabatan di hotel kita. Jadi mulai hari ini dia akan bertanggung jawab menggantikan saya sementara. Kalian bisa bekerja sama dengan Airin dalam segala keputusan hotel dan Airin yang akan bertanggung jawab langsung kepada saya.”
Ibu Sanjaya terbatuk kecil, aku ingin membantunya namun beliau menolak dan memberi kode pada mba Tias untuk memberinya segelas air. Ibu sanjaya mempersilahkan aku berdiri untuk menyampaikan sesuatu. Aku mengepalkan tangan meredam gugup yang membuatku sedikit gemetar.
“Selamat Siang semuanya, perkenalkan saya Airin Zafira. Mohon bantuan dan kerjasamanya untuk hotel kita ini. Terima kasih,” aku kembali duduk dengan tenang. Ibu Sanjaya memberiku senyumannya.
Para Manager dan Director mulai meninggalkkan ruang rapat dan hanya menyisakan aku, ibu Sanjaya, mba Tias dan … Ariel.
“Bibi Andriana, apa gak salah Bibi mengangkat perempuan ini menjadi asisten general menejer?” Ariel mendekat dan duduk tak jauh dari kursi roda bu Sanjaya. Ibu Sanjaya memberi kode agar mba Tias meninggalkan kami.
“Tidak, keputusanku tidak salah. Toh kamu juga tidak terlibat langsung dalam operasional hotel.”
“Tapi aku pemegang saham juga di hotel ini Bi, andai posisi itu tadinya ada maka aku yang berhak bukan perempuan yang tidak jelas latar belakangnya.” Ariel menatapku sinis. Wajahku memanas, dia mulai menghinaku lagi.
“Ariel, kamu tidak berkompeten sama sekali dalam bisnis hotel ini, kembali saja kamu ke Macau untuk rumah judimu itu! Itu lebih cocok untukmu.”
“Bi, casino dan hiburan malam jauh menguntungkan dibanding hotel Bibi saat ini.”
“Ariel, Bibi masih menyimpan bukti atas kejahatanmu kepada Airin,pergilah sejauh mungkin dari tempat ini. Jika kau masih mencoba mengganggu Airin atau salah seorang pegawai hotelku maka aku tidak akan segan-segan memenjarakanmu! Ibu Sanjaya mulai tersulut emosi.
Ariel tertawa seakan baru saja mendengar hal yang lucu.
“Kejahatan apa Bi jika kami melakukannya dengan suka sama suka, iya kan Sayang?” Ariel ingin menyentuh pipiku tapi aku menepisnya dengan kasar. Rasanya aku ingin menusuknya tepat di jantung sekarang ini.
“Jangan memaksaku untuk menyeretmu ke penjara Ariel, mulai dari sekarang jaga sikap dan perbuatanmu, kau tahu jika aku bisa berbuat apa saja.” Ancam ibu Sanjaya dengan geram.
Wajah Ariel memerah dan berbalik mendekatiku,
“Ooh… apa kau sedang merencanakan sesuatu perempuan jala*g? kau sanggup mempengaruhi Bibi Andriana untuk posisimu ini hah?!”
“Jaga sikapmu Ariel, kau sudah sangat kurang ajar!” hardik seorang pria. Kami spontan melihat ke arah pintu. Pria yang biasa kusebut pak Andy terlihat marah dan siap bertarung dengan Ariel
Ariel tidak melanjutkan lagi intimidasinya dia pun meninggalkan kami namun sebelum berlalu dia mengatakan sesuatu kepada pak Andy.
“Kau hanya anak har*m papa jangan sok dan belagu jadi pahlawan di sini! Tapi terima kasih yaa sudah mengirimkan Airin ke kamarku malam itu rupanya dia masih perawan.” Ariel melemparkan seringainya kepadaku dan pak Andy.
Aku tersentak kaget mengetahui jika Ariel dan pak Andy bersaudara dan kalimat Ariel tentang aku. Akan tetapi yang membuatku lebih terkejut lagi tiba-tiba ibu Sanjaya terkulai lemas tak sadarkan diri.
'Tidak … Bu, jangan pergi sekarang, aku masih membutuhkan Ibu, ku mohon bertahanlah sedikit lagi Bu.’ Berkali-kali kalimat itu ku ucapkan di dalam hati. Mataku tak lepas memandangi ruang ICU tempat ibu Sanjaya dirawat. Mba Tias masih menemaniku juga sesosok laki-laki yang memberiku banyak tanda tanya.“Rin, aku mau ke toilet dulu yaa, gak apa kan kamu di sini dengan Andy?” tanya mba Tias sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku hanya mengangguk, pak Sanjaya pasti sudah dalam perjalanan ketika kami mengabari istrinya tak sadarkan diri.Pak Andy mendekat lalu duduk di sampingku, terdengar helaan nafasnya yang berat.“Rin, aku minta maaf, aku tidak pernah berniat mencelakaimu seperti yang dikatakan Ariel.”“Maaf Pak, saya tidak ingin membahas itu lagi.” Ujarku dingin. Sebenarnya aku sudah cukup lama mengenal pak Andy, dia dulu seniorku di kampus sejak dia menaruh perhatian padaku aku menjaga jarak sejauh mung
Aroma Rumah Sakit samar tercium, mataku membuka perlahan dan mencoba menyadari di mana aku sekarang. Sesosok laki-laki sedang berdiri di sampingku menatapku cemas.“Bapak?” Aku meyakinkan pengelihatanku jika laki-laki yang sedang berada di dekatku adalah pak Sanjaya.“Kata dokter kamu kelelahan dan asam lambung kamu meningkat.” Pak Sanjaya mengambil tanganku dan mengelusnya dengan lembut.“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras Airin. Jadi biar kamu istirahat dulu yaa.”Aku menghela napas, dalam minggu ini akan ada beberapa event penting yang akan digelar di hotel dan aku terkapar di sini. Kepalaku masih pusing dan rasanya isi perutku ingin keluar.“Kamu masih pusing Airin?” pak Sanjaya menantapku dengan cemas. Aku hanya mengangguk karena merasa lemas sekujur tubuh.“Bapak juga tadi minta agar kamu dites darah, Bapak khawatir jangan sampai ada gejala penyakit. Lebih cepat kita tahu kan le
Sejak resminya statusku diumumkan rasanya semakin gencar gosip yang beredar di antara karyawan hotel. Nyaris semua divisi bercerita tentangku, aneka rupa tanggapan mereka. Ada yang menganggapku pelakor yang mengincar harta keluarga Sanjaya ada pula yang menganggap aku sedang beruntung saja.“Jangan terlalu dipikirkan Rin, semua omongan mereka akan berhenti dengan sendirinya jika mereka sudah melihat kerja kerasmu.” Hibur Kartika yang melihatku muram setelah jamuan makan malam tempo hari.“Aku hanya sedang memikirkan Ibu Sanjaya, keadaan beliau semakin melemah. Aku belum siap rasanya untuk kehilangan beliau.” Kilahku.“Oh ya Tika, aku bisa minta tolong gak ? minta sama siapa gitu belikan aku asinan Bogor. Tolong yaa? “ aku memasang wajah memelas pada asisten pribadiku ini.“Iya bumil, siap laksanakan perintah!” seru Kartika dengan wajah ceria sambil menaikkan
Kandunganku kini sudah masuk lima bulan, aku sudahmulai terlihat lebih gemuk. Denyut halus mulai terasa dari dalam sana. Bapak dan ibu Sanjaya mencurahkansegenap perhatian dan kasih sayang pada makhluk kecil yang ku kandung ini. Hingga suatu malam …Tok … tol … tok … pintu kamarku diketuk menjelang tengah malam.“Rin, ini Bapak, tolong buka pintunyasebentar.”Aku bergegas bangun dan membuka pintu, tampak pak Sanjaya tengah bersiap-siap untuk pergi.“Lho, Bapak mau kemana-mana malam-malam begini?” dahiku berkerut keheranan.“Ikut Bapak ke Rumah Sakit yaa, ibu mau ketemu kamu sekarang. Bapak tunggu kamu ganti pakaian. Pakai baju yang tebal udara lebih dingin malam ini.” pak Sanjaya berbalik dan duduk menunggu di ruang tengah. Aku menutup kembali pintu kamar dan mengikuti sarannya. Mendadak firasatku buruk tentang panggilan tengah malam ini.Selasar
Lagi-lagi aku terbangun di sebuah kamar Rumah Sakit. Infus sudah menancap di punggung lengan kiriku dan rasa lemas itu masih terasa. Ku coba memutar ulang ingatan terakhirku dan yang ku ingat jeritan mba Tias yang melihat darah mengalir di betisku.“Kamu sudah sadar Rin?” suara lembut pak Sanjaya tertangkap oleh telingaku. Aku menoleh ke sumber suara yang dekat denganku.“Ibu saya mana Pak?” aku mencari-cari sosok ibu. Aku ingin bersama ibuku di sini.“Ibu pulang baru saja pulang nanti siang balik ke sini lagi. Kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh stress. Beberapa hari ke depan kamu harus bed rest dulu. Ikuti saran dokter yaa Rin?”Aku hanya mengangguk, mungkin memang aku butuh istirahat sejenak. Setelah kehilangan sosok ibu Sanjaya aku seperti kehilangan separuh penopang kekuatanku. Lalu ku teringat pada janjiku untuk membawa Sanjaya Hotel menjadi lebih sukses di tanganku. Aku mendesah pelan dan mecoba mem
“Nyonya tidak apa-apa?” tanya pak Andy yang masih memelukku erat memunggungi pecahan lampu Kristal yang sempat membuat beberapa goresan di pipi dan tengkuknya. Aku mengangguk cepat dan mengelus perutku yang kembali mengeras karena terkejut. Kartika segera menghampiriku, lengannya juga ikut berdarah karena serpihan tajam kaca yang menyasar kemana-mana.“Ibu baik-baik saja?” Kartika memeriksa ku dengan cemas, pak Andy sudah melepaskanku dan meraba pipi serta tengkuknya yang terasa perih. Dia bergegas berbalik dan memeriksa apa ada yang terluka. Tampak beberapa orang staf bagian marketing mengalami luka yang sama dengan serpihan kaca yang berhamburan.“Periksa keadaan kalian dan jika ada luka yang butuh perawatan segera ke klinik. Cari sekarang teknisi yang memasang lampu ini segera!” wajah pak Andy merah padam dengan kejadian ini, terlebih karena aku yang nyaris celaka.“Kartika ba
Dengan mengendap-endap aku berjalan agar pak Andy tak melihatku ada di sekitar ruangan ini. Berbagai macam pikiran mengisi kepalaku, apa kejadian lampu Kristal itu hanya kesalahan manusia atau ada yang sedang merencanakan Sesuatu di hotel ini. Jika benar tujuannya untuk mengacau di hotel ini, aku akan menghadapinya tanpa rasa takut sedikitpun.Sambil berjalan ke ruanganku aku membuka satu demi satu file itu sekilas dan mengingat-ingat nama beberapa teknisi yang ada di dalam file di tanganku ini. Aku terlalu fokus sehingga kurang memperhatikan jalanku di depan dan menabrak seseorang.“Airin, kamu dari mana?” suara pak Sanjaya yang sudah berdiri tegak sambil memegangiku membuatku gelagapan. Bukan hanya karena aku nyaris jatuh tapi kejadian lampu Kristal itu apakah …?“Ayo kita ke ruanganmu sekarang Bapak ingin bicara sekarang.” Pak Sanjaya menepuk punggung tangan kananku dan tak melepaskannya
Aku buru-buru kabur dari taman itu, kecurigaanku tertuju pada Sandra. Rasa penasaran ini semakin besar karena ketiga orang itu, Sandra, pria bertopi dan … pak Andy. Aku mencoba mengingat pesan pak Sanjaya agar aku tidak terlibat lebih jauh lagi. Di saat ini mungkin hanya Kartika yang mampu menolongku untuk menyelidiki mereka.“Apa di toilet antri Rin?” pak Sanjaya mengelap mulutnya yang baru saja menghabiskan makanannya.“I-iya Pak di sana antri.” Aku melirik pada pak Sanjaya yang terlihat tenang. Apa kali ini aku ketahuan lagi yaa ? aku meneguk sisa air minumku tadi dan berusaha tenang.“Divisi Security akan mengirimkan saya rekaman di ballroom nanti, jika ada hal yang penting saya akan kasih tahu kamu Airin. Sekarang saya harus kembali ke kantor, jaga diri baik-baik yaa.” Pak Sanjaya berdiri dan mengecup kepalaku.“Kau tidak usah menganta
Aku berjalan beriringan bersama Sandrina, jemari kami saling tertaut dengan erat dan sesekali saling melemparkan tawa kecil ketika Sandrina berceletuk lelucon yang lucu. Jemariku semakin erat bertaut ketika kami sudah ada di ambang pintu kamar perawatan mas Andy. Sejenak kami saling memandang, aku tersenyum padanya dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.“Ayo kita jenguk ayahmu, semoga setelah ada dirimu di sini, Ayah akan sadar dan terbangun untuk kita.”Sandrina mengangguk mendengar ucapanku, lalu aku mendorong pintunya.Di sisi tempat tidur tampak ibuku yang tengah membaca buku, wajahnya mendongak dan berubah menjadi semringah setelah melihat kedatangan kami.“San Sayang …!” serunya dengan suara tertahan, ditutupnya segera buku itu dan bergegas menghampiri cucunya.“Kalian tidak mengabari ibu jika kalian akan datang, kalian tahu jika dokter tidak membolehkan ibu menggunakan ponsel pintar, mereka hanya membolehkan ibu memakai ponsel biasa yang katanya radiasinya lebih aman. Ibu s
Darwis melirikku sesaat dari kaca spion depan, tersirat kecemasan dalam tatapannya kepadaku dan Budi. Lalu aku menoleh pada Budi yang sedang memejamkan matanya, aku merasakan jika anak muda ini tengah meredam semua gejolak dalam hatinya. Perlahan aku meraih tangannya dan melihat buku-buku jemarinya yang memerah dan masih terdapat bercak darah.“Budi, Ariel … dia melompat dari atas balkon, dia mengakhiri nyawanya.” Aku menunggu respon Budi sesaat.“Dia sudah membayar nyawa mamaku dengan lunas ….” gumam Budi yang terdengar pelan di telingaku. Terlihat duka di wajahnya meskipun dari awal berkali-kali dia mengharapkan bisa melenyapkan Ariel dengan tangannya sendiri.“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku lagi untuk memastikan, aku tak pernah melihat ekspresi Budi yang sekacau itu.“Aku baik-baik saja, Nyonya. Kurasa kita harus mengkhawatirkan Nona Sandrina.”Aku menghela napas, masih terngiang di telingaku saat Ariel meneriakkan ibu macam apa aku ini, yaah aku mungkin ibu terburuk di dunia. Ak
“Dari awal aku memang telah meragukanmu! Dan memang kau ingin mengacaukan semuanya di saat seperti ini, begitu besarnya dendammu padaku, Airin, hingga kau menghalangiku bersama gadis yang aku cintai!” Cengkraman tangan Ariel semakin kuat dan membuatku semakin tidak bisa bernapas. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku punya, jemariku berusaha menjangkau vas bunga di dekatku dan…Praaak…!Bunyi hantaman vas bunga di kepala Ariel terdengar seiring dengan erangan rasa sakit di kepalanya.“Hanya binatang yang sanggup mengawini keturunannya sendiri dan aku tidak akan membiarkan dirimu menikahi putri kandungmu, Ariel!” bentakku yang hampir menjerit. Aku bergegas mengambil berkas hasil tes DNA Sandrina dan Budi dan melemparkan ke arah wajahnya.“Vasektomi yang kau lakukan itu gagal, kau bukan hanya telah menghamili aku tapi juga seorang perempuan bernama Marcella!”Ariel memegangi kepalanya yang mengucurkan darah, wajah Ariel semakin pucat ketika aku menyebut nama Marcella. Jemarinya gemetar me
Aku meminta Darwis untuk menjemputku di salon, penampilanku hari ini tampil dengan sempurna untuk menghadiri pesta paling kunantikan selama ini. Kejatuhan Ariel! Betapa aku menunggu wajah pucat laki-laki itu ketika dia mengetahui jika bukan hanya Sandrina yang diingkarinya tetapi juga ada seorang anak laki-laki yang sedang menabur dendam padanya.“Anda sudah siap, Nyonya?” tanya Darwis memastikan kondisiku. Jemariku gemetar dan jelas terlihat oleh Darwis. Sesaat dia meraih jemariku dan menggenggamnya erat, mata elangnya menatap ke arahku. Baru kali ini Darwis melakukan kontak fisik denganku yang membuatku sedikit terkejut.“Tarik napas Anda dan bersikaplah lebih rileks, Anda akan baik-baik saja dan aman bersama kami, Nyonya.” Laki-laki itu berusaha menenangkanku dan seakan sedang mentransfer tenaganya aku merasakan kecemasanku berkurang. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kemudian Darwis mempersilakan aku untuk naik dengan mobil mempelai perempuan menuju hotel di mana Arie
Aku kembali memastikan jika semua sudah siap, bukan… bukan pesta pernikahan ini, tetapi sesuatu yang lebih “meriah” dari pesta yang luar biasa ini. Malam kemarin aku sudah bertemu dengan Budi dan menanyakan kebenarannya secara langsung. Pemuda yang terlihat kuat, garang dan dingin itu menangis bersimpuh mengingat penderitaan ibunya yang diusir dari rumah orang tuanya karena hamil di luar nikah. Masih sedikit beruntung karena ibunya ditampung oleh pemilik panti sehingga perempuan itu bisa melahirkan dan sempat merawat Budi kecil hingga beberapa tahun.“Waktu itu umurku tujuh tahun, penyakit mama semakin parah, sehingga mama memutuskan untuk membawaku kepada laki-laki itu, menerimaku sebagai putranya. Tapi dia menyangkalnya dan mengatakan jika ibuku adalah seorang jal*ng.” Budi menghela napas, matanya mulai basah, kenangan itu begitu buruk dalam hatinya.“Setelah dia menghina mamaku habis-habisan dengan pongahnya dia mendorong kami ke tepi jalan. Ketika itu malam hujan deras dan mama se
Persiapan pernikahan Sandrina sudah nyaris rampung, aku datang untuk melihatnya meski hanya dari atas balkon hotel ini. Para kru WO hotel bekerja dengan keras dan penuh semangat untuk mewujudkan pernikahan “impian” ini. Walaupun, aku tahu akan berakhir seperti apa nanti pesta yang disebut-sebut sebagai wedding of the year. Aku juga tahu saat ini Rico dan pak Rudy sedang berusaha keras meredam para wartawan yang sudah mencium berita besar ini.Aku sendiri pun merinding jika membayangkan rencana yang akan kulakukan nanti. Semua perhatian sedang tertuju pada pernikahan akbar ini dan aku ibu dari calon mempelai wanita yang akan merusaknya.“Maaf, Bu, ada telepon dari pak Rico, Ibu diminta ke kantor pusat sekarang karena ada meeting penting.” Suara dari Vera sekretaris Sandrina memecah lamunanku.“Ouh … baiklah, tolong siapkan mobilnya,” pintaku pada gadis muda itu. Aku kembali menyapu seluruh ruangan melihat dekorasi yang indah dengan dominasi warna putih dan putih tulang. Indah … indah
“Ibu tolong tunggu Airin di sana yaa, beberapa hari lagi Airin akan menyusul. Pastikan saja para perawat di sana dan para dokter memberikan pelayanan yang terbaik untuk mas Andy.” Aku membantu ibu berkemas untuk keberangkatannya menuju Singapore. Aku tidak membiarkannya untuk bertemu dengan Sandrina agar anak itu tidak bercerita apapun pada neneknya.“Tapi kok mendadak begini sih, Rin? Ibu jadi gak leluasa siap-siapnya.” Ibu mengansurkanku sehelai sweater yang biasa dipakai beliau ketika di London dulu.“Maaf, Bu. Sebenarnya Airin sudah dikasih tahu supaya salah satu dari anggota keluarga kita harus berada di sana tetapi Airin yang salah kasih jadwal ke bawahan Airin jadi ada beberapa jadwal Airin yang bentrok. Dalam waktu dekat Aldrin juga akan liburan dan dia juga mau menjenguk ayahnya.” Aku melirik sekilas ibu yang tampaknya mencoba menerima penjelasanku.Dalam waktu satu jam semua siap, aku dan Budi yang mengantarkan ibu langsung ke bandara. Di sana ibu akan dijemput bawahanku da
Darwis datang menghadap kepadaku dengan surat hasil tes DNA itu dan benar, Sandrina memang putri dari Ariel. Aku tersenyum puas melihat ini tetapi aku tidak akan menggunakannya langsung. Aku punya rencana untuk sebuah pesta perayaan. Sebuah pesta yang begitu ditunggu oleh Ariel.“Darwis, kita akan jalankan rencana B, biarkan semua berjalan seperti yang dikehendakinya, tetapi di malam sebelumnya, amankan Sandrina.”“Apa Anda yakin dengan ini? Apa Nona Sandrina akan baik-baik saja?”“Dia butuh suatu pelajaran penting, setelah kamu mendapatkannya bawa dia ke tempat ayahnya di Singapore dan aku akan menyusul.” Aku menjelaskan secara detail rencanaku kepada Darwis meskipun laki-laki itu beberapa kali terlihat mengernyitkan dahinya.“Nyonya, rencana Anda terdengar menyeramkan, terlebih Anda sedang mempertaruhkan putri Anda sendiri.” Darwis terdengar ragu, iya pastinya, siapapun yang mendengar ini pasti akan mengatakan aku gila. Aku seorang ibu yang nekat akan menikahkan putrinya dengan ayah
Aku harus memastikan jika penjagaan Sandrina di rumah benar-benar diperketat sehingga aku kembali sebelum jam makan malam dan berpikir kembali tentang tes DNA itu. Bagaimanapun caranya Ariel dan Sandrina harus menjalani tes itu agar Ariel bisa percaya jika San adalah putrinya.Kutelusuri satu demi satu laman internet penjelasan tentang vasektomi yang gagal. Kemungkinan gagalnya kontrasepsi itu sebesar tiga puluh persen di awal-awal bulan pemakainya. Mendadak aku merasa sangat sial dengan kemungkinan tiga puluh persen itu. Hanya sekali saja Ariel menyentuhku aku langsung mengandung Sandrina. Mungkin memang keputusan yang tepat untuk menikah dengan mendiang pak Sanjaya ketika itu sehingga Sandrina mendapat kehidupan yang sangat layak.“Mom! Apa-apaan di luar sana itu? Kenapa San gak bisa keluar? Sandrina ada janji dengan teman San malam ini, San harus pergi.” Sandrina berdiri tak jauh dariku dengan wajah cemberut.“Mom hanya melakukan yang terbaik buatmu, San. Untuk sementara waktu kamu