Lelaki Itu, Alvaro -----"Bagaimana habitatnya? Kamu sudah berkeliling ke sekitar, kan?" Grace memyambutku dengan senyum dan langsung menghujani dengan pertanyaan."Iya, aku suka. Tempatnya sangat nyaman, ada laut, angin, pasir pantai ...." "Dan juga cowok keren dan cakep," potong Grace cepat.Kalimat Grace disambut senyuman beberapa karyawan yang kebetulan ada di persahabatan, dan tentu saja aku juga.Grace, selain piawai berbisnis, dia juga pandai membuat temannya tersenyum."Kapan aku bisa mulai bekerja?" tanyaku pada Grace."Kapan kamu siap? Atau kamu ingin berjalan-jalan dulu di kota ini? Kebetulan aku sedang tidak ada urusan, dan aku bisa membawamu berkeliling besok." Grace menawarkan diri."Tidak, terima kasih. Walau sebenarnya aku juga kepengin di sekitar kota ini. Tapi ... sebaiknya besok aku mulai bekerja, agar cepat mendapatkan gaji. Kamu tahu, kan, statusku? Aku janda dan butuh uang untuk bertahan hidup," kataku serius."Iya deh, iya. Oh, hampir aku lupa. Untuk menu har
Lelaki Yang Terluka ----Pekerjaan baru, teman baru, juga lingkungan baru. Walau kota ini tidak sebesar kotaku, namun cukup ramai. Mungkin karena terletak di dekat pantai, sehingga menjadi destinasi wisata. Banyak wisatawan datang ke sini, terlebih ketika hari libur. Pagi itu, aku berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Rumah di mana aku tinggal, tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sepuluh menit berjalan kaki.Kususuri trotoar, jalan masih sedikit lengang. Terdengar di belakang, suara klakson mobil beberapa kali. Padahal aku sudah berjalan di trotoar, kenapa harus membunyikan klakson? "Marina, ayo masuk!" Teriak seseorang dari dalam mobil, dia menurunkan kaca mobil hingga aku bisa melihat wajahnya."Alavaro?" kataku, dia tersenyum."Ayo masuk, buruan!" perintahnya lagi."Saya jalan saja, lagi pula, sudah dekat kok," tolakku halus sambil menunjuk ke depan, di mana kafe tempatku bekerja sudah terlihat."Buruan." Alvaro kembali berkata, memintaku untuk masuk ke dala
Ancaman Dari Risa ----Minggu pagi, aku berangkat lebih awal menuju tempat kerja. Jika hari biasa, kafe akan buka pukul 9.30. Maka di hari minggu, pukul 8.30 sudah buka, karena di hari libur, biasnaya akan banyak pengunjung untuk menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga di tepi pantai sambil menikmati semilir angin laut.Ketika sampai, pintu sudah terbuka separo. Dan di tempat parkir, kulihat mobil Alvaro terparkir rapi. Itu artinya, Al yang berada di kafe dan dia datang lebih awal dariku.Bergegas aku masuk ke dalam, terlihat ada bekas minuman di salah satu meja, juga sisa makanan. Apakah dia makan di sini? Namun jika diperhatikan, bekas makanan dan minuman itu dimakan oleh lebih dari satu orang. Terdapat dua gelas di sana."Marina, kamu sudah datang," kata Alvaro begitu aku masuk ke dapur. Dia sudah memakai celemek dan terlihat sibuk mencincang sesuatu. Wajahnya berkilat oleh keringat."Biar aku rapikan semuanya nanti," kataku saat melihatnya berusaha menyisihkan barang-barang
Bertemu Risa---“Kita sering kali dipertemukan dengan orang yang baik, dan menganggap hal itu biasa. Namun ketika kita kembali dipertemukan dengan orang yang tidak diinginkan, terkadang kita mulai menyalahkan takdir”****Karena kemarin aku bekerja menggantikan Hamdan, hari ini aku mendapatkan privilege dari Al, untuk datang agak siang. Dan aku menggunakan waktuku untuk berbelanja di minimarket yang tidak jauh dari rumah.Kebetulan, persediaan makanan di rumah tingga sedikit. Lagipula, pinggangku sudah tidak terasaa nyeri lagi, karena sudah beristirahat semalam.Begegas aku keluar rumah, karena mini market yang kutuju tidak terlalu jauh, kuputuskan untuk berjalan kaki. Sekaligus menggunakan kesempatan itu untuk menyapa tetangga sekitar yang beberapa di antaranya sudah aku kenal. Kumasukkan belanjaan yang kubutuhkan ke dalam keranjang, setelah merasa cukup, kubawa ke kasir. Kebetulan ada beberapa orang di depan. Juga seorang wanita muda yang saat ini sedang dilayani kasir.Sekilas, t
Berbenahlah (1)-----"Dia, istri mantan suamiku." Aku mengulang kalimatku. Lelaki yang duduk di sebelahku menegakkan punggung, menoleh dan memandangku dengan tatapan yang-entah.Mungkin apa yang baru saja aku katakan tadi, membuatnya terkejut. Karena selama ini, dia hanya tahu kalau suamiku sudah meninggal, tanpa mengetahui sebab musabab di balik kematian bang Asrul waktu itu. Dan aku sebenarnya juga tidak ada niat untuk menceritakan kisah rumah tangga pada orang yang belum lama aku kenal."Marina ...." Al menggantung kalimatnya, tangannya terangkat di udara. Lalu perlahan, dia menurunkannya kembali. Sepertinya dia memang tidak pernah menduga dengan apa yang akan didengarnya saat itu, dan itu adalah gerakan spontan karena rasa terkejut."Aku berpisah dengan suamiku sebelum beliau meninggal," kataku kemudian. Mencoba menjelaskan sedikit pada Al, tentang kehidupan rumah tanggaku waktu itu."Setelah kami bercerai, suamiku menikahinya." Aku melanjutkan."Marina, kamu pasti melaluinya d
Berbenah lah (2)-----Setelah berbisik di telingaku, Risa tersenyum tipis, namun di mataku, senyumannya itu seolah sedang mengejekku."Apa yang akan dia perbuat padaku?" Pikirku sesaat setelah mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Risa."Tidak perlu mengancamku, Risa. Aku yakin kamu akan melakukan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah kamu lakukan padaku dulu, bukan begitu?" kataku setenang mungkin. Namun demikian, aku bisa melihat kegusaran dari sorot mata Risa."Jangan sok tahu, Mbak," kata Risa dengan mata melotot. Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Lalu menarik napas dan berniat meninggalkannya."Risa, berbenahlah. Kamu harusnya bisa belajar dari apa yang telah terjadi padamu. Ingatlah, kamu sudah menjadi seorang ibu sekarang. Bukan begitu, Mayla?" kataku sambil memegang pipi gembul bocah perempuan yang ada di hadapanku."Namanya benar, Mayla, kan?" tanyaku sambil menatap Risa.Risa meraih tangan Mayla, lalu mendengkus sambil berlalu dari hadap
Gangguan Pertama----Mobil Al melaju pelan, menyusuri jalanan yang sedikit lengang. Sementara langit berubah warna, semburat jingga di ufuk barat membuat suasana hatiku berubah sendu. Aku melempar pandagan ke luar jendela, menatap pohon akasia yang berjajar di pinggir jalan, dan seolah ikut berlari mengejar laju mobil.Dulu, dulu sekali, aku sering menghabiskan suasana senja dengan bang Asrul. Dia akan akan dengan senang hati membawaku ke tepi pantai untuk menikmati indahnya kemilau jingga yang memantul di atas permukaan laut. “Saat kita menikmati Sunset di sini, akan selalu ada yang menikmati sun rise di belahan bumi yang lain.” Adalah kalimat yang selalu diucapkan bang Asrul setiap kali aku menatap keindahan sunset."Pasti banyak sekali kenangan yang mungkin sampai saat ini belum bisa kamu lupakan. Tapi ... bukan berarti kamu akan membiarkan dirimu terkungkung dalam kenangan itu. Terlebih, jika itu membuatmu tersiksa."Aku sedikit tergagap, ketika Alvaro berkata, memecah kehening
Risa Pulang Pagi----Aku membelalakkan mata, sambil menatap wajah polos Mayla yang basah oleh air mata. Entah sudah berapa lama bocah perempuan ini menangis sendirian di rumah.Kutarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan padanya. Mayla membiarkanku mengusap wajahnya untuk menghapus air mata, lalu membawanya ke dalam pelukanku.Kudekap tubuhnya dalam pelukan, tubuhnya masih bergoncang karena isak tangis.Tega sekali Risa meninggalkan anaknya sendirian dalam rumah, apakah dia tidak merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mayla?"Tidak apa-apa, Mayla. Ada Tante di sini," kataku sambil mengusap punggungnya lembut. Lalu membawanya masuk.Kutuntun Mayla menuju sofa, dan duduk bersamanya di sana. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu rumah Risa. Tidak banyak barang, hanya satu set sofa dan bufet kecil di sudut ruangan. Dan aku masih tidak habis pikir, kemana dia pergi malam-malam begini? Apakah dia juga sering melakukan hal ini sebelumnya?"Tante, Mayla lapar." Mayla berka
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se