"Apa yang dilakukan pengecut sepertimu tidak lain hanya bisa mengancam orang lain dengan senjata," ujarku sinis."Jangan menguji kesabaranku Sakinah," desisnya geram."Kenapa tidak, bukankah kau punya kekuasaan dan mampu kau salah gunakan untuk melakukan apapun?""Aku benar-benar akan menghabisimu nanti!" Ia menodongkan senjatanya."Lakukan saja sekarang berapa harus ditunda?""Jadi kau sungguh menantangku?""Aku tidak pernah main-main." Kuneranikan diri menatap wajahnya yang bengis dan licik."Aku bisa melakukan apa saja untuk membuatmu menyerah!" teriakkmya mendekatkan wajah hingga mata kami saling beradu dari jarak dekat."Di mana anakku?!""Aku tidak pernah melibatkannya!""Jangan bohong! lepaskan dia sebelumkau akan menyesal!" teriakku marah, dan tak sanggup membendung emosi lagi. "Wanita bodoh ini ... mencoba mengancamku, akui saja situasi sudah tidak mendukungmu!" "Jangan meremehkanku, Didit," balasku kesal."Katakan saja yang kau inginkan adalah harta, sehingga kau rela m
Ini adalah hari ketiga, berjuang untuk melepaskan diri dan anakku dari Didit dan pendukungnya. Dengan diantar mobil Van, aku berusaha menyusuri tempat yang mungkin dijadikan Didit sebagai tempat menyandera anakkku.Sebenarnya para pengawal memintaku untuk tidak perlu ikut karena aku bisa saja ditangkap kembali dan dijadikan alat untuk melemahkan semua orang, tapi aku tidak mau menyerah begitu saja, Aku ingin turun tangan sendiri untuk menyaksikan Bagaimana keadaan anakku dan melepaskan dari dari belenggu.Kau titipkan Siskaa di rumah nenek mereka dan meninggalkan dua orang pengawal untuk mengawasi tempat itu, rasanya tak aman membawanya serta denganku.Mobil meluncur dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan kota yang berkelipan oleh lampu lampu gedung."Antar saya ke penjara tempat Mas Yadi ditahan." Aku memerintahkan mereka untuk membelokkan mobil."Tapi nyonya ... saya rasa bukan saat yang tepat untuk mendatangi Pak Yadi.""Bagaimana jika kita menunda dan ternyata dia sudah meningg
Tok....Tok Pintu kuketuk keras dan ketika beberapa detik berikutnya gerbang terbuka, kulihat wajah seorang wanita menggunakan daster panjang dan jilbab, ia sedikit kaget melihatku yang masih menggunakan baju rumah sakit dan berjalan dipapah pengawal berpakaian hitam dan menutup wajahnya dengan masker dan kacamata, wanita itu terlihat heran."Cari siapa?""Kolonel william.""Tapi ini sudah malam, kolonel William sedang tidur.""Katakan bahwa Sakinah ingin menemuinya," perintahku "Apakah beliau sudah mengenal Nyonya?""Sudah, dia tahu persis siapa saya. Katakan bahwa ini menyangkut tentang Heri jika kolonel William tidak segera menemuiku maka dia akan menyesalinya.""Baik Nyonya, akan saya panggilkan pak William."Wanita itu bergegas masuk ke dalam dan memanggil pria yang aku maksud. Hingga Tak lama kemudian pria itu datang dan melihatku dari kejauhan dia sudah memasang wajah tidak senang."Ada apa mencariku?""Mohon izin langsung saja, saya tahu Suami saya dan anak Anda telah ber
"Aku sudah menyuruh Heri kembali, sekarang silakan kamu pergi dari sini," usirnya setelah mematikan ponselnya."Maaf Pak Kolonel, saya rasa belum usai," ujarku yang makin membuat pria tua itu kesal."Apa lagi?""Suruh dia memberi tahu di mana lokasi yang biasa mereka datangi untuk bertemu dan menghabiskan waktu, maksudku, antara Didit dan Heri," pintaku."Aku tidak mau melakukannya, kau sudah keterlaluan sejauh ini melecehkanku, jadi kau tak akan kuturuti lagi," ungkapnya menolak."Baiklah, mohon izin jika begitu, terserah Bapak saja, karena setelah ini saya akan berangkat dan memberi tahu kepada Kapolda bahwa seseorang yang bukan anggota polri sudah menyusup dan menyiksa tahanan tanpa sepengetahuan pihal berwenang, apa yang akan terjadi selanjutkan akan menegangkan hubungan dua belah pihak, terlebih jika masalah ini terekspos ke luar baik dari pihak TNI maupun polisi akan saling menyalahkan dan menuduh bahwa atasan mereka tidak becus mengurus anggotanya, saya rasa orang yang kemudia
Rupanya bar di bawah hanya penyamaran belaka, karena di lantai dua dan tiga isinya penuh dengan preman yang sedang bersantai, sebagian tidur dan sebagian lagi bersiap menunggu perintah.Melihatku datang, tentu semua mata tertuju padaku, tatapan mereka tajam seolah hendak menelanjangi tubuh ini habis, namun aku tetap berusaha tenang, menarik napas dan mengatur keberanian diri."Permisi, saya ingin bertemu Bos Bendi," ujarku."Tidak bisa! Beliau tidur!' jawab seorang pria bertubuh besar dan sangar."Saya ada bisnis yang kau dibicarakan dengan beliau, jika anda menolak, bisa jadi bosnanda akan marah kehilangan peluang."Pria sangar itu terlihat berpikir sesaat sampai kemudian ia memperbolehkan aku masuk."Silakan masuk, tapi awas jika Nyonya macam-macam, jangan harap bisa keluar dengan selamat.""Tenang saja, saya kooperatif kok," balasku sambil tersenyum tipis."Baik."Dia mengantarku pada sebuah pintu besar berlapis warna emas, ketika pintu terbuka, terlihatlah sebuah kamar tidur mewah
Ditemani empat pria bertubuh tinggi besar, memakai masker dan jaket kulit, aku diantar ke sebuah villa di bukit pinggir kota. Bukit tersebut strategis karena lokasinya privat dan dibawahnya ada teluk yang airnya jernih dan dijadikan dermaga pribadi pemilik villa.Sesampainya di sana, kami parkirkan mobil dan memindai keadaan sekitar yang cukup sepi."Gerbangnya di kunci," ungkap salah seorang anak buah Bendi."Lalu apa yang kita lakukan?""Coba periksa bagian belakang, mungkin ada celah yang bisa dijadikan pintu masuk," perintah Bos preman itu."Siap Bos." Anak buahnya bergerak cepat."Anda tunggu di mobil dan jangan kemana-mana, biarkan saya memeriksanya," ujar Bendi."Gak bisa Bendi, saya mau memeriksa sendiri," ujarku hendak membuka pintu mobil."Tunggu saja di sini atau kamu kutinggalkan!" Teriaknya sambil membanting pintu mobil dengan keras, membuatku tersentak kaget. Sepertinya kepala preman ini temperamennya sangat buruk dan pemarah, ia tegas dan harus diikuti siapa saja."Kam
"Bagaimana bisa tenang kalau di depan kita akan menghadapi razia?""Kau diam atau aku akan melemparmu ke dalam danau?" bisiknya sambil membalikkan wajah dan mendelik ke arahku, kebetulan di sebelah kiri, kami sedang melewati danau payau yang berair biru, nampak indah dikelilingi oleh rimbun pohon bakau."Hmm, baiklah," ujarku merendahkan suara.Dia hentikan mobil dan memerintahkan agar aku dan imel pindah ke bagasi.Ya ampun, mengapa sesulit ini perjuangan kami?"Pindah bagasi sana!""Itu kan panas dan pengap, bisa jadi kami akan mati, belum lagi aku mudah mabuk darat," ungkapku menolak."Lebih baik mati di bagasi daripada mati dibunuh mereka kan?""Bendi! Kau tidak punya pilihan bagus?!""Ada, bunuh diri ke danau!""Jangan bercanda Bendi, astaghfirullah ....""Turunlah sekarang atau aku akan menyeret rambutmu dan memasukkan kalian dengan paksa ke bagasi, lagipula bertahan sebentar tak apa kan?""Ayo, Ma." Imel mengajakku dengan wajah seriusnya, " aku gak mau ditemukan dan ditahan
Baru saja sampai di rumah ketika gerombolan polisi datang dan mengetuk pintu rumah yang nota bene seharusnya tak perlu dicurigai karena itu adalah rumah si Bibi. Aku tahu itu adalah anak buah Didit yang datang untuk menahan kami dengan alasan bahwa aku sudah menjadi menipu dan mencuri meski tidak jelas bukti dan tempatnya."Sembunyi aja, Nyonya biar aku yang menghadapi mereka," ungkap si Bibi sambil menghadangku."Tidak apa-apa Bi, aku akan menghadapi mereka. Tapi tolong sembunyikan anak-anakku dari para penjahat itu.""Akan saya sembunyikan di mana mereka nyonya?""Sembunyikan di loteng atau di mana saja," ujarku sambil menyuruhnya secepat mungkin.Si Bibi dengan sigap mengambil kursi lalu menyuruh anak-anak untuk naik ke loteng dan menutup kembali tempat itu dengan rapat.Aku tertatih-tatih menuju pintu depan dan membuka pintu dengan perlahan, ah, Tuhan, perjalanan ini masih panjang meski aku sudah berhasil membebaskan kedua anakku."Anda harus ikut kami Nyonya karena anda sudah j
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya