"Apa yang kalian lakukan di sini?!" kataku sembari menahan diri.
"Kau sudah mengambil semua yang aku miliki, mobil, uang, dan harga diriku, jadi apa yang tersisa sekarang," ujarnya dengan nada yang dibuat setegas mungkin."Heh, Kenapa kau mengeluhkan itu kepadaku? Apa sekarang itu adalah masalahku?" Aku mendecih sambil melipat tangan di dada."Rumah ini juga adalah rumahku. Jadi aku pun bebas untuk datang, pergi, dan membawa siapa saja," ujarnya penuh percaya diri membuatku ingin meraih pistol dan meledakkan kepalanya."Oh ya? Aku tidak tahu apa saat ini kau sedang mabuk atau kehilangan akal, tapi aku minta kau segera pergi dari sini, Mas.""Kamu tidak bisa mengusirku," ujarnya sambil setengah mendorong tubuh ini agar menyingkir dari pintu masuk."Kenapa tidak? Aku istri pertama yang sah, secara hukum dan surat-menyurat hanya aku yang berhak atas aset dan uangmu," balasku tak kalah percaya diri dan bertahan di depan pintu utama, sembari mengeraskan badan menahan mereka."Maka aku akan menghapusnya!" Ia memasang wajah seangker mungkin."Semudah itukah? Kalo begitu ayo, panggil ajudanmu dan suruh dia menembak kepalaku dan tuntas sudah semuanya, gundikmu bisa melenggang santai dan jadi Nyonya.""Jaga bicaramu!""Siapa wanita ini ... siapa wanita yang kau nikahi ini?""Aku ingat dengan sangat baik, Sakinah," jawabnya sambil menatapku tajam."Dengan Letkol Suryadi, Aku tidak ingin mengalihkan fokus anakku yang sedang belajar untuk ujian sekolah, dengan drama perselingkuhanmu, baiknya bawa wanita ini pergi dari tempat ini!" desisku sembari memasang wajah murka."Aku pun sudah begitu sabar, kau injak harga diriku didepan semua orang siang tadi,jangan sampai aku bersikap kasar di hadapanmu dan istriku!""Wah, dia istrimu? dan aku pembantumu?!""Menyingkir sebelum aku menjadikanmu benar-benar seorang pembantu!" Mas yadi mendorongku hingga terjerembab dan jatuh ke lantai, itupun dengan cara paling kasar seolah aku adalah pelaku kriminal atau musuh negara.Aku menatapnya dengan membeliak sembari tidak percaya dengan apa yang dia lakukan barusan, wanita licik yang di belakang suamiku terlihat tersenyum lalu kemudian menundukkan wajah untuk menutupi sikap jahatnya."Berani sekali kau, Mas, tidak ingatkah kau dengan semua yang sudah kulakukan, biadab kamu Mas!"Aku segera berdiri dan membuka laci meja yang tepat berada di depan sofa ruang tamu, kau meraih sepucuk pistol dessert eagle, dan menarik pemicunya."Kau ingin mati?""Jangan mengancamku!" Ia maju dan bersiap ingin merebut senjata itu."Aku tidak menggertak, jika aku harus kehilangan dirimu maka aku tidak mau setengah-setengah, kamu tahu sendiri bahwa aku juga wanita yang memiliki kekerasan hati dan prinsip yang sama denganmu," geramku."Jangan main-main, Sakinah!" Ia terlihat takut."Apa wajahku terlihat sedang bermain-main?! Katakan seberapa geram diri ini sehingga nampak seperti sedang memainkan lelucon," ujarku dengan teriakan membahana dan kondisi wajah yang sudah berantakan oleh keringat dan rambut yang menempel.Aku tak peduli, akan kubunuh dia jika nekat memasuki rumah ini!Untung saja posisi kamar anak anak berada di lantai dua belakang sehingga mereka tidak mendengar apapun."Turunkan pistol itu, sakinah!""Tidak, hingga kau menjauhkan pelacur itu dari rumahku, ini adalah rumahku, rumah yang kubangun dengan keringat dan air mata, aku tak akan membiarka siapapun menguasainya.""Kartika sudah jadi istriku jadi aku harus memperlakukannya sama," balasnya.Entah mengapa aku muak, sehingga tak tahan diri ini untuk meludah ke arahnya,"Cih, iblis jahannam, Aku tidak pernah menyangka bahwa mendukung suami sama seperti menyelamatkan anjing liar yang terjepit.""Kau menyamakanku dengan anjing?!"Matanya melotot geram."Bahkan lebih menjijikkan, coba saja kau maju, akan kutembak kepalamu! dan aku tidak takut penjara karena anak anak memegang uang dan gajimu akan selalu mengalir, aku tak peduli!""Kau licik!" desisnya."Mana lebih baik darimu pria menjijikan tega menghianatiku sedang aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu! Apa hebatnya pelacur itu?!""Hentikan!""Bela dia sampai titik darah penghabisan seperti kau membela negara ini, tapi statusnya tidak akan pernah berubah, pelac*r tetap pelac*r!""Kau keterlaluan sekali menghinakannya ....""Kenapa? Kau mau memuliakannya? apa setelah ketiadaanku kau akan menjadikan dia sebagai ibu Persit yang akan dielu-elukan istri tentara?""Jaga mulutmu!""Si jalang ini tahu betul cara menaklukkan laki-laki, kenapa harus suamiku, hah?!" teriakku pada istrinya.wanita itu memasang gesture ketakutan dan gemetar di depan Mas Yadi, aku tertawa getir melihat bagaimana dia memainkan peluang untuk memenangkan pertarungan ini, aku akan dijadikan sumber masalah dan dia korbannya."Mas ... Aku takut ...." bisiknya pada suamiku sembari memeluk Mas Yadi dari belakang."Tenang Kartika," kata Mas Yadi menepuk bahunya pelan dengan penuh perhatian.Dia kemudian beralih ke arahku sambil berkata,"Kembalikan kartu debitku dan aku akan pergi dari rumah ini.""Kenapa? Kau menyadari bahwa tanpa diriku kau adalah pria kere' yang tidak punya apa-apa? Apa setelah aku menelanjangi harga dirimu di depan umum, kamu sama sekali tidak tahu cara menghasilkan uang?!" teriakku sambil tetap mengarahkan moncong senjata."Tutup mulutmu wanita kasar! Aku heran aku telah mencintaimu selama ini?!" ujarnya sembari menghinaku, membuat hati ini hancur remuk redam, luka yang telah ada semakin bernanah dan sulit disembuhkan oleh sikap dan kata-katanya."Kau baru menyadari bahwa aku tidak kompeten sebagai istri? kenapa baru sekarang? kenapa setelah 17 tahun?! katakan?!"Dia membungkam sedang wanita di belakangnya pura-pura gentar."Pergi ke rumah ajudanmu dan pinjam uang darinya, mengontrak ata hidup menggelandang itu bukan urusanku, yang jelas besok pagi sekali aku akan berangkat ke kodam untuk melaporkanmu.""Kau ingin menghancurkan reputasiku?""Mungkin aku tidak punya senjata lain untuk bertahan hidup, jadi tunggu saja apa yang akan terjadi padamu, Mas.""Awas saja kamu!" geramnya."Pergi dari sini sebelum aku benar-benar menghancurkan hidupmu!" Teriakku menggelegar dan akhirnya mereka mengalah dan pergi dari rumah ini.Aku terjatuh dan tersungkur ke lantai sedang pistol itu terlepas dari tanganku, tubuhku bergetar hebat setengah oleh emosi dan setengah oleh rasa takut,andai saja aku menarik pelatuk senjata itu, tentu saat ini aku adalah pembunuh, andai semuanya tidak seperti ini, oh!"Tidaaaaaaaaak!" Aku meraung dan marah, melampiaskan semua sakit yang terpendam di dada."Allah, kuatkan aku, aku tidak tahaaan!"Tidak ada seorangpun yang mau merangkul atau mendengar kesedihanku, selain asisten rumah tangga yang hanya berdiri dan menatapku penuh dengan rasa iba.Ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, aku telah menyiapkan apa yang harus kubawa ke markas suamiku. Aku tidak akan menunda melaporkan perbuatan jahatnya.Aku tak mau mempertanyakan apa hal yang kulakukan benar atau salah, aku tak punya cadangan kesabaran lagi untuk menghadapinya.Tidakkah sekalipun terbesit dalam hatinya rasa iba atau simpati padaku yang sudah mengorbankan banyak hal, pernah makan hanya dengan taburan garam demi mendukung kariernya. Pernah terlunta-lunta tanpa kabar darinya ketika ia ditugaskan ke daerah konflik, aku tetap setia sembari menjaga kehormatan dan anak yang ia titipkan ke rahimku.Sayang, air mata dan kemarahanku tak lantas membuat hatinya tersentuh, malah makin membeku. Pesona Kartika yang memukaunya sudah membius dan merusak akal Mas Yadi.Ah, nama yang selalu kusebut sebagai mantra pengobat rindu kini bagai duri yang menyakitkan, harga kesetiaaanku tercoreng oleh pengkhianatannya. Meski bagi orang lain ini bukan masalah besar, melainkan wajar, nam
❤️❤️.,.Menjelang magrib, mobil Ajudan Mas Yadi memasuki gerbang besar perkebunan kami, hamparan sawah dan kebun teh di atas bukit menyambut kedatanganku.Sebenarnya itu pemandangan yang menyejukkan tapi bagiku bagai diletakkan bara api yang menyala.Tak lama mobil berhenti di depan teras dan kulihat mereka sedang bercengkerama sambil menikmati teh dan tertawa ceria."Si jalang itu bahkan tidak ragu, menikmati hak orang lain. Alangkah senangnya dia tertawa dan bergelayut di pelukan suami orang!"Pintu mobil kubanting kencang dan melihatku datang dengan pandangan mata yang penuh dengan sorot kemarahan, Mas Yadi langsung berdiri."Ada apa, kamu ke sini?" ujarnya setengah membentak.Aku tertawa sinis mendengarnya.Jangan lupa! aku membawa pistol yang kuselipkan di belakang rokku. Begini-begini aku pernah mengikuti pelatihan bertahan bagi Ibu-ibu istri TNI.Sedikit dia menyentil harga diriku, maka aku akan menembak simpanan binalnya itu."Kau lupa ini perkebunan siapa?""Tentu kebunku!"
Pagi-pagi sekali suara mesin mobil Mas Yadi menderu dan berhenti di depan rumah, aku yang masih mengenakan mukena setelah salat Subuh dan membaca Alquran, mengintipnya dari jendela dan melihatnya terburu-buru masuk ke dalam rumah.Baru saja hendak keluar ke ruang tamu tiba-tiba suamiku membuka pintu kamar dan kami hampir bertabrakan di ambangnya.Dia menyingkirkan bahuku dan melewatiku tanpa kata sedikit pun, dan akupun enggan banyak bicara selain menunggu apa yang ingin dia ungkapkan.Dia membuka laci meja mengambil beberapa kertas miliknya, lalu membuka pintu lemari dan terlihat mencari sesuatu,aku berdiri saja sambil menyimak apa yang hendak dia lakukan."Seragamku mana? Kenapa tidak disiapkan?" Dia memasang nada suara seolah-olah tidak terjadi sesuatu."Mana aku tahu kalau Mas akan pulang ke rumah dan meminta disiapkan seragam, bukankah sekarang segalanya sudah berbeda?""Apa maksudmu?" Dia mendongak dengan tatapan berkilat."Ya mungkin saja ... Istri baru Mas akan mengambil alih
*Seiring kepergian Novita, kubalikkan badan menuju ke kamar namun ketika aku menghadap cermin di depan bufet lebam di sudut bibirku sangat nyata terlihat bekasnya. Meski ditutupin dengan bedak, atau dengan berbagai alasan, tetap luka itu terlihat sebagai bekas tamparan. Memalukan sekali!Untungnya, setelah kepergiannya malam kemarin, pria licik itu meminta Kopral Hendra untuk menungguiku siuman dan mengantarku pulang.Yang membuat sedih adalah mengapa Mas Yadi tidak Iba sedikitpun melihatku tersungkur dan berdarah, sebaliknya ia melenggang santai meninggalkanku bersama simpanannya.Pantaskah seorang istri yang sudah mendampingi dari susah dan tertatih-tatih hingga bisa sukses seperti sekarang, ditinggal begitu saja, terkapar pingsan bersama seorang ajudan?**Pukul dua siang,"Bu, apakah Ibu ada rencana minggu ini?"tanya Mbak Novita setelah memberi hormat, sekembalinya ia dari Kodim.Sebenarnya aku harus memanggilnya adik, tapi karena tidak enak dan menghargainya aku menyebut
Mendapatimu sudah masuk secara diam-diam ke dalam kamar, wanita itu terperanjat bukan main dan dan langsung mundur sambil menutup kedua tangan ke mulutnya."Ah, Mbak, a-anu ....""Jalang licik, apa kamu merasa sudah menjadi menjadi anggota Persit hanya dengan mencoba baju itu, atau ... kau tak sabar ingin segera menjadi nyonya?"Kuhidupkan ponsel, tatih rekaman video dan kuletakkan di atas bufet kamar."Kenapa kau menghentikan aksimu berlenggak lenggok di depan kaca, ayo lanjutkan," ujarku sambil menghampirinya sedang dia mundur teratur dengan sedikit gemetar."A-aku hanya penasaran ingin mencoba Mbak,"ujarnya pelan hampir tidak terdengar, "a-aku akan melepasnya." Ia berusaha membuka kancing baju itu."Tidak usah! kau memang pelacur jalang yang sangat ambisius, sudah merebut suamiku kini kau ingin merebut pakaian dan rumahku," geramku sementara video terus berjalan merekam kami." Sungguh Mbak, a-aku hanya ...." Belum selesai dia melanjutkan kata-katanya aku sudah menyerang rambut
Pagi sekali aku mendapat kabar bahwa Ibu atasan sangat kesal, dan dia memanggilku,"Kenapa? apakah karena aku tidak berkunsultasi dengannya dan langsung ke Pangdam sehingga dia dan suaminya kesal? Aku yakin Bapak Pangdam telah menegur mereka, dan mereka kesal karena di pertanyakan tanggung jawabnya pada bawahan?" batinku berfikir Dia menelepon membuatku cukup gugup untuk menggeser tombol hijau dan menjawab. Beliau tumben tidak seramah biasanya, intonasinya terdengar dingin dan seram."Halo, assalamualaikum, Ibu," sapaku perlahan."Walaikum salam.""Apa kabar Ibu?""Saya baik, saya ingin tanya sesuatu sama Adik, tapi saya akan menunggu adik datang ke rumah saja," ujarnya."Ya, Bu, izin untuk bisa menemui Ibu besok ya," pintaku."Saya saya tunggu pukul sembilan pagi."*Baru saja kututup ponsel tiba tiba mobil Pajero milik Mas Yadi berhenti di depan rumah. Mesin dimatikan dan pria yang kini kubenci itu masuk ke dalam rumah."Senang kan? aku harus disudutkan karena video yang kamu k
Meluncur diantar ajudan Mas Yadi kembali dari rumah Ibu Danrem, kabarnya Mad Yadi sedang interogasi jadi kurasa hari ini dia tidak akan pulang.Mobil berjalan di lajur kiri dengan mulus, sedang aku menyandar di jok belakang sambil menerawang, hingga mobil kami berhenti di perempatan karena lampu merah.Suasana kota di siang hari sangat ramai, bunyi klakson kendaraan yang menumpuk di belakangku menyentakkan lamunan, hingga kusadari di sebelah kiri ada butik khusus yang menjual baju pegantin dengan display gaun gaun cantik yang indah dipandang."Kelak jika Imel atau Siska menikah, aku akan mengajak mereka kemari untuk mengepas baju pengantin," gumamku dalam hati sambil tersenyum kecil.Namun baru saja bergumam demikian, tiba tiba aku melihat si jalang, ya Kartika!Dia mengenakan blazer warna ungu dan rok yang membuatnya terlihat bagai Nyonya, sebuah topi bundar dengan pita menghias di kepala dan sepatu heels yang kutaksir dari brand ternama ia kenakan melengkapi penampilannya."Astaghfi
"Turunkan aku di tepi jalan saja, Mas," pinta Kartika kepada Mas Yadi."Aku nggak mau turunkan kamu di sembarangan tempat, setelah Hendra mengantarkan kami, kamu bisa diantar pulang," kata Mas Yadi sambil menggenggam tangannya.Kira-kira jika wanita lain ada di posisiku, menatap suami mereka duduk dekat dan berpegangan tangan, apa yang akan terjadi."Enak aja, nggak bisa Mas, si Om harus menjemput anak-anak ke sekolahnya," balasku menyela percakapan Mas Yadi."Kamu terus menerus menyela, Sakinah," ucap Mas Yadi sewot."Apa kalian saja yang boleh bicara dan aku tidak boleh?!" balasku sengit membuat ajudan kami hanya menggelengkan kepala saja."Bukan begitu Sakinah, kamu sudah tahu aku tidak mungkin membawa Kartika ke markas.""Kenapa? Mas takut? Mas khawatir akan ditampar oleh Komandan, sebegitu pengecutkah?" Aku sinis dan tertawa."Entah kenapa mulutmu begitu kasar, Sakinah." ia menunjukkan wajah tak suka."Ya ampun, kamu mengomentari kata-kataku sementara aksimu yang memalukan itu,
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya