Ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, aku telah menyiapkan apa yang harus kubawa ke markas suamiku. Aku tidak akan menunda melaporkan perbuatan jahatnya.
Aku tak mau mempertanyakan apa hal yang kulakukan benar atau salah, aku tak punya cadangan kesabaran lagi untuk menghadapinya.Tidakkah sekalipun terbesit dalam hatinya rasa iba atau simpati padaku yang sudah mengorbankan banyak hal, pernah makan hanya dengan taburan garam demi mendukung kariernya. Pernah terlunta-lunta tanpa kabar darinya ketika ia ditugaskan ke daerah konflik, aku tetap setia sembari menjaga kehormatan dan anak yang ia titipkan ke rahimku.Sayang, air mata dan kemarahanku tak lantas membuat hatinya tersentuh, malah makin membeku. Pesona Kartika yang memukaunya sudah membius dan merusak akal Mas Yadi.Ah, nama yang selalu kusebut sebagai mantra pengobat rindu kini bagai duri yang menyakitkan, harga kesetiaaanku tercoreng oleh pengkhianatannya. Meski bagi orang lain ini bukan masalah besar, melainkan wajar, namun bagiku luka yang dia torehkan sangat memporak-porandakan."Mas Yadi, apa yang sedang kau lakukan sekarang ...." Batin melankolisku meronta.Kubuka lemari dan kuraih pakaian dinas harian miliknya yang suda diseterika rapi, kuusap perlahan dan air mataku jatuh begitu saja di permukaannya."Ya Allah, inikah harga yang harus kubayar setelah membersamainya dengan penuh ketulusan?"Dia harus pergi bekerja, sementara pakaiannya ada padaku, akankah dia sendiri yang datang mengambilnya?Kadang dari lubuk hati yang terdalam aku berharap ini hanya mimpi buruk yang mengejutkan, aku berharap ia kembali pagi ini dan mengatakan itu hanya jebakan saja, hanya main-main atau bercanda, tapi mustahil!Dia melangsungkan akad dan wanita yang enggan kusebut namanya itu, secara agama adalah istrinya.*Pukul 07:00 seorang anggota Persit yang selalu kuajak untuk menemaniku ke berbagai acara datang, wanita berpakaian rapi itu adalah Mbak Novita, dia yang memiliki senyum manis itu menemuiku di meja makan. sebelum bicara, ia memberiku salam dan menanyakan agenda apa yang akan kulakukan hari ini."Antarkan saya ke Kodam," pintaku."Untuk apa Bu?" Ia mengernyit heran, setahunya, selain tidak ada acara resmi, aku tak punya hal yang sama sekali berkaitan dengan urusanku di sana." Saya ada urusan," jawabku pada wanita bertinggi semampai itu."Baik, Bu. Saya akan menunggu di depan," ujarnya sambil mengundurkan diri.Seusai sarapan aku segera bersiap dan meluncur bersamanya ke markas komando daerah militer yang jaraknya lumayan jauh dari kabupaten tempat tinggalku.Setelah menempuh dua jam setengah perjalanan, akhirnya mobil kami sampai di depan markas megah dengan dominasi warna hijau itu, ada plakat dan Baliho TNI di bagian depan dan si sebelah kiri ada replika meriam dan tank tempur. Mobil kami terhenti di pos penjagaan untuk pemeriksaan, dua orang polisi militer dan dua orang petugas berpakaian dinas menghampiri mobil kami."Permisi, ada yang bisa kami bantu?""Saya ingin menemui Panglima Kodam," jawabku.Sesaat Petugas berpangkat kopral itu mengernyit, mungkin heran, mengapa wanita ingin menemui Mayor Jenderal mereka."Anda sudah hubungi ajudan beliau?""Belum," jawabku."Baik, mungkin akan sulit tapi silakan, Bu," jawabnya dan setelah memeriksa keamanan mobil kami mereka membiarkan kami masuk.Di kantor depan ada dua orang petugas piket yang tengah berjaga dan aku langsung menemui mereka. Kami mendekat dan memberi salam hormat."Selamat pagi, saya datang dari kota Utara, ingin bertemu dengan Pangdam," ujarku."Boleh tahu tujuan, Anda?"Sesaat aku sempat ragu, untuk mengatakan yang sebenarnya.Sempat timbul ketakutan dalam hati apa yang kulakukan sekarang, sudah benar atau salah? Mestikah aku langsung kemari tanpa berkonsultasi dengan istri atasanku, istri Danrem? Apakah mereka mampu mengakomodir apa yang akan menjadi keluhanku?Sesaat tenggorokanku kering dan beberapa detik aku tercekat hingga petugas itu kembali menanyai tujuanku."Ibu, ada perlu apa?""Ingin melapor.""Melaporkan apa, Bu? Anda jauh-jauh dari kabupaten ke ibukota provinsi, ada apa, apalah urusannya sangat mendesak?" tanyanya heran.Sesaat kuangkat wajahku, dan tatapan mata kami beradu, kuambil napas dalam lalu mengucapkan kata itu."Suami saya diam-diam menikah lagi," jawabku.Dia terlihat berfikir sesaat lalu menjawab, "Sepertinya hari ini, Panglima Kodam ada kunjungan resmi dan rapat, jadwal beliau penuh.""Tolong saya, Pak, saya sudah jauh-jauh kemari, saya mencari keadilan. Tolong periksa apakah beliau berkenan menemui saya atau tidak," pintaku dengan penuh harap.Raut wajah petugas itu terlihat tak tersentuh, ia membisu sambil menatap rekan kerjanya."Suami saya Letnan Kolonel Suryadi, Komandan distrik militer Utara, selagi saya tidak merencanakan kejahatan, saya rasa Bapak punya alasan melarang saya masuk." Dengan mengumpulkan keberanian aku mengatakan kalimat itu."Boleh saja, tapi Ibu tidak bisa memaksa untuk bertemu beliau," jawabnya."Mengapa?""Seperti yang saya katakan, beliau sibuk!"Selagi berdebat seperti itu, tiba-tiba Mayjen Haryoto lewat dan kami sempat saling bertemu pandang, beliau menatapku dengan tajam membuat nyaliku ciut, namun kemudian mendekat."Ada apa?" tanyanya dengan suara yang tegas."Pak, izinkan saya ingin bicara dengan Anda beberapa saat saja, Pak, saya tidak akan menyita waktu," ujarku dengan penuh harap.Aku dalam kondisi seperti itu gelagapan dan tak tahu harus bersikap formal seperti apa lagi, ditambah perasaan kalut dan sedih bercampur campur jadi satu, menbuatku salah kendali."Baik, silakan ikut saya ke ruangan."Sosok tegas bertubuh tinggi besar dan raut sangat serius sebenarnya membuatku gentar, namun apa lagi yang harus kulakukan.**Setelah memperkenalkan diri, kuceritakan semuanya dengan perlahan dan hati hati, berusaha tak menyinggungnya atau pihak lain, setelah itu aku menutup dengan harapan semoga beliau berkenan mengasihani diri ini.Tak mengapa bersikap seperti pengemis yang memelas, jika ini menyangkut kelangsungan dan keselamatan harta dan anak-anakku maka aku akan melakukan apapun."Suami Ibu, setelah saya periksa data anggota saya, dia adalah pria yang memiliki jasa dan dedikasinya tinggi bagi tugasnya, dia juga tak pernah punya track record jelek atau dihukum, saya sedikit tidak percaya jika dia berbuat demikian.""Saya punya photo pernikahan mereka, Pak," ujarku sambil menyodorkan ponsel."Menurut Anda mengapa dia berbuat begitu? Anda ada salah padanya?" Kali ini nada bicaranya membuatku nyaris membungkam."Ti-tidak ada, Pak, tidak pernah merasa saya menyakitinya. Malah saya mendukung semua tugasnya, saya bertanggung jawab sebagai istri dan sebagai Ibu Persit KCK dengan baik.""Saya dengar kontribusi seorang Anda bagi kemajuan desa tertinggal dan usaha kecil di sana dari istri saya, namun tak begitu detail," jawabnya."Ya, saya hanya membina dan memberi bimbingan, saja, Pak. Dari itu mohon bantu saya, Pak. Saya ingin keadilan untuk saya dan anak-anak, Pak," ujarku degan tatapan penuh harap, entah boleh atau tak boleh berkata demikian aku sudah pasrah."Saya akan memanggilnya dan menyuruh petugas di bawah saya untuk menyelidiki masalah ini," pungkasnya sambil mengangguk tegas."Terima kasih, Pak. Jika begitu, saya mohon diri, saya pamit, Pak.""Ya, silakan."**Mobil kembali ke rumah dan baru saja memasuki pekarangan ternyata mobil ajudan Mas Yadi ada di depan pintu."Mana Bapak?" cecarku setelah buru-buru turun dari mobil.Ajudan berpangkat Tamtama itu memberiku hormat lalu berkata,"Bapak menyuruh saya mengambil pakaiannya," jawabnya."Dimana dia sekarang?""Di Vila peternakan, Bu."Berani sekali dia membawa gundiknya ke lokasi peternakan yang kurintis dari nol untuk membantu masyarakat sekitar dengan cara membuka lapangan kerja."Ngapaian di sana, kenapa tidak dia sendiri datang menemuiku di rumah?" tanyaku pada Kopral Hendra."Tidur di sana, Bu.""Katakan, apa yang sudah dia lakukan!" kataku sambil mencengkeram bahunya."Maaf Bu, itu bukan hak saya untuk banyak bicara."Nampaknya ajudan Mas Yadi sudah dibreefing sebelum menemuiku."Suamiku tidak punya uang, pun kartunya sudah kublokir, mobilnya juga ada padaku, katakan, bagaimana ia menyambung hidup di peternakan?""Saya tidak tahu," tegasnya tanpa ekspresi.Maka aku pun tak mau kalah menekannya."Saya ingin tanya, saya ini siapa?""Istri Dandim Saya," jawabnya."Berarti saya punya hak untuk bertanya! Katakan dari mana dia memiliki uang untuk hidup dan membeli makanan?"Sebenarnya istri Dandim tidak berhak menekan anggota tapi apa daya, ini sudah cara terakhir untuk membuatnya bicara."Dia menjual seekor sapi milik Ibu," jawabnya.Seketika jantungku berhenti berdetak, berani sekali dia menjual sapi perahan yang sudah kupelihara sebagai penghasil susu, kurang ajar!Aku sampai terduduk lemas mendengar penuturan ajudannya itu."Berapa dia menjualnya?""Delapan juta, Bu, selain itu saya tidak tahu." Tentara itu terlihat sedikit tidak enak padaku."Pasti kamu telah membantunya juga," desisku."Maaf, saya hanya melaksanakan perintah, Bu, maafkan saya," ujarnya tetap dengan posisi tegak lurus dan pandangan ke depan.Dia pasti membelikan wanita itu makanan dan pakaian hangat untuk menikmati cuaca dingin di pegunungan. Tempat itu adalah tempat yang sempurna untuk menghabiskan bulan madu.Hamparan bukit yang hijau, kandang yang di tata rapi, perapian yang hangat, aku membangunnya sembari membangun impian kami, di hari tua nanti, teganya dia mengajak wanita itu untuk menikmati. Pengemis jalang itu tahu sekali cara paling bagus dan tempat strategis menghabiskan waktu, tidak tahu malu.Aku yakin dia tertawa di ranjang yang kudekor sendiri, aku yakin."Arrgghh ...." Kulempar asbak yang ada di atas meja ruang tamu dengan marah."Antarkan saya ke sana," pintaku pada ajudan Mas Yadi."Tapi Anda baru kembali Bu," sanggah Mbak Novita."Aku tidak peduli, aku akan mengusir mereka," desisku geram."Bagaimana kalo Bapak melakukan kekerasan, Bu?""Aku sudah melaporkan perselingkuhannya ke atasannya, apakah saat ini dia benar-benar ingin dipecat?!""Tapi saya ... saya gak bisa ...." Pria itu terlihat ragu.Aku hendak melayangkan tamparan dengan keras, tapi kutahan. Wajah petugas tidak menunjukkan reaksi apapun selain menunduk. Tidak ingin membuang waktu lebih lama terpaksa kugunakan cara keras, karena sepertinya sikap otoriter Mas Yadi juga menular padaku sehingga ketika dihadapkan dengan masalah seserius ini, membuatku kehilangan kesabaran."Antar saya, atau akan saya buat kamu dipecat juga karena mendukung perbuatan bejatnya!"Pria itu seketika pucat dan sepertinya pria yang kerap dipanggil anak anak sebagai om itu lantas mengantarku.❤️❤️.,.Menjelang magrib, mobil Ajudan Mas Yadi memasuki gerbang besar perkebunan kami, hamparan sawah dan kebun teh di atas bukit menyambut kedatanganku.Sebenarnya itu pemandangan yang menyejukkan tapi bagiku bagai diletakkan bara api yang menyala.Tak lama mobil berhenti di depan teras dan kulihat mereka sedang bercengkerama sambil menikmati teh dan tertawa ceria."Si jalang itu bahkan tidak ragu, menikmati hak orang lain. Alangkah senangnya dia tertawa dan bergelayut di pelukan suami orang!"Pintu mobil kubanting kencang dan melihatku datang dengan pandangan mata yang penuh dengan sorot kemarahan, Mas Yadi langsung berdiri."Ada apa, kamu ke sini?" ujarnya setengah membentak.Aku tertawa sinis mendengarnya.Jangan lupa! aku membawa pistol yang kuselipkan di belakang rokku. Begini-begini aku pernah mengikuti pelatihan bertahan bagi Ibu-ibu istri TNI.Sedikit dia menyentil harga diriku, maka aku akan menembak simpanan binalnya itu."Kau lupa ini perkebunan siapa?""Tentu kebunku!"
Pagi-pagi sekali suara mesin mobil Mas Yadi menderu dan berhenti di depan rumah, aku yang masih mengenakan mukena setelah salat Subuh dan membaca Alquran, mengintipnya dari jendela dan melihatnya terburu-buru masuk ke dalam rumah.Baru saja hendak keluar ke ruang tamu tiba-tiba suamiku membuka pintu kamar dan kami hampir bertabrakan di ambangnya.Dia menyingkirkan bahuku dan melewatiku tanpa kata sedikit pun, dan akupun enggan banyak bicara selain menunggu apa yang ingin dia ungkapkan.Dia membuka laci meja mengambil beberapa kertas miliknya, lalu membuka pintu lemari dan terlihat mencari sesuatu,aku berdiri saja sambil menyimak apa yang hendak dia lakukan."Seragamku mana? Kenapa tidak disiapkan?" Dia memasang nada suara seolah-olah tidak terjadi sesuatu."Mana aku tahu kalau Mas akan pulang ke rumah dan meminta disiapkan seragam, bukankah sekarang segalanya sudah berbeda?""Apa maksudmu?" Dia mendongak dengan tatapan berkilat."Ya mungkin saja ... Istri baru Mas akan mengambil alih
*Seiring kepergian Novita, kubalikkan badan menuju ke kamar namun ketika aku menghadap cermin di depan bufet lebam di sudut bibirku sangat nyata terlihat bekasnya. Meski ditutupin dengan bedak, atau dengan berbagai alasan, tetap luka itu terlihat sebagai bekas tamparan. Memalukan sekali!Untungnya, setelah kepergiannya malam kemarin, pria licik itu meminta Kopral Hendra untuk menungguiku siuman dan mengantarku pulang.Yang membuat sedih adalah mengapa Mas Yadi tidak Iba sedikitpun melihatku tersungkur dan berdarah, sebaliknya ia melenggang santai meninggalkanku bersama simpanannya.Pantaskah seorang istri yang sudah mendampingi dari susah dan tertatih-tatih hingga bisa sukses seperti sekarang, ditinggal begitu saja, terkapar pingsan bersama seorang ajudan?**Pukul dua siang,"Bu, apakah Ibu ada rencana minggu ini?"tanya Mbak Novita setelah memberi hormat, sekembalinya ia dari Kodim.Sebenarnya aku harus memanggilnya adik, tapi karena tidak enak dan menghargainya aku menyebut
Mendapatimu sudah masuk secara diam-diam ke dalam kamar, wanita itu terperanjat bukan main dan dan langsung mundur sambil menutup kedua tangan ke mulutnya."Ah, Mbak, a-anu ....""Jalang licik, apa kamu merasa sudah menjadi menjadi anggota Persit hanya dengan mencoba baju itu, atau ... kau tak sabar ingin segera menjadi nyonya?"Kuhidupkan ponsel, tatih rekaman video dan kuletakkan di atas bufet kamar."Kenapa kau menghentikan aksimu berlenggak lenggok di depan kaca, ayo lanjutkan," ujarku sambil menghampirinya sedang dia mundur teratur dengan sedikit gemetar."A-aku hanya penasaran ingin mencoba Mbak,"ujarnya pelan hampir tidak terdengar, "a-aku akan melepasnya." Ia berusaha membuka kancing baju itu."Tidak usah! kau memang pelacur jalang yang sangat ambisius, sudah merebut suamiku kini kau ingin merebut pakaian dan rumahku," geramku sementara video terus berjalan merekam kami." Sungguh Mbak, a-aku hanya ...." Belum selesai dia melanjutkan kata-katanya aku sudah menyerang rambut
Pagi sekali aku mendapat kabar bahwa Ibu atasan sangat kesal, dan dia memanggilku,"Kenapa? apakah karena aku tidak berkunsultasi dengannya dan langsung ke Pangdam sehingga dia dan suaminya kesal? Aku yakin Bapak Pangdam telah menegur mereka, dan mereka kesal karena di pertanyakan tanggung jawabnya pada bawahan?" batinku berfikir Dia menelepon membuatku cukup gugup untuk menggeser tombol hijau dan menjawab. Beliau tumben tidak seramah biasanya, intonasinya terdengar dingin dan seram."Halo, assalamualaikum, Ibu," sapaku perlahan."Walaikum salam.""Apa kabar Ibu?""Saya baik, saya ingin tanya sesuatu sama Adik, tapi saya akan menunggu adik datang ke rumah saja," ujarnya."Ya, Bu, izin untuk bisa menemui Ibu besok ya," pintaku."Saya saya tunggu pukul sembilan pagi."*Baru saja kututup ponsel tiba tiba mobil Pajero milik Mas Yadi berhenti di depan rumah. Mesin dimatikan dan pria yang kini kubenci itu masuk ke dalam rumah."Senang kan? aku harus disudutkan karena video yang kamu k
Meluncur diantar ajudan Mas Yadi kembali dari rumah Ibu Danrem, kabarnya Mad Yadi sedang interogasi jadi kurasa hari ini dia tidak akan pulang.Mobil berjalan di lajur kiri dengan mulus, sedang aku menyandar di jok belakang sambil menerawang, hingga mobil kami berhenti di perempatan karena lampu merah.Suasana kota di siang hari sangat ramai, bunyi klakson kendaraan yang menumpuk di belakangku menyentakkan lamunan, hingga kusadari di sebelah kiri ada butik khusus yang menjual baju pegantin dengan display gaun gaun cantik yang indah dipandang."Kelak jika Imel atau Siska menikah, aku akan mengajak mereka kemari untuk mengepas baju pengantin," gumamku dalam hati sambil tersenyum kecil.Namun baru saja bergumam demikian, tiba tiba aku melihat si jalang, ya Kartika!Dia mengenakan blazer warna ungu dan rok yang membuatnya terlihat bagai Nyonya, sebuah topi bundar dengan pita menghias di kepala dan sepatu heels yang kutaksir dari brand ternama ia kenakan melengkapi penampilannya."Astaghfi
"Turunkan aku di tepi jalan saja, Mas," pinta Kartika kepada Mas Yadi."Aku nggak mau turunkan kamu di sembarangan tempat, setelah Hendra mengantarkan kami, kamu bisa diantar pulang," kata Mas Yadi sambil menggenggam tangannya.Kira-kira jika wanita lain ada di posisiku, menatap suami mereka duduk dekat dan berpegangan tangan, apa yang akan terjadi."Enak aja, nggak bisa Mas, si Om harus menjemput anak-anak ke sekolahnya," balasku menyela percakapan Mas Yadi."Kamu terus menerus menyela, Sakinah," ucap Mas Yadi sewot."Apa kalian saja yang boleh bicara dan aku tidak boleh?!" balasku sengit membuat ajudan kami hanya menggelengkan kepala saja."Bukan begitu Sakinah, kamu sudah tahu aku tidak mungkin membawa Kartika ke markas.""Kenapa? Mas takut? Mas khawatir akan ditampar oleh Komandan, sebegitu pengecutkah?" Aku sinis dan tertawa."Entah kenapa mulutmu begitu kasar, Sakinah." ia menunjukkan wajah tak suka."Ya ampun, kamu mengomentari kata-kataku sementara aksimu yang memalukan itu,
*Aku kembali ke rumah, ketika hari sudah mulai petang, anak-anak yang sedang duduk di ruang tv menikmati tayangan dari layar datar tersebut terlihat membalikkan badan ketika aku menutup pintu rumah."Mama, mama baru pulang ya?" tanya Siska padaku sambil berdiri dan menyambutku."Iya, sayang Mama buru pulang, capek banget," ujarku sambil menjatuhkan diri di sofa dekat mereka."Memangnya akhir-akhir ini Mama ngurusin apa sih? Mama kelihatan kurus dan mata Mama berkantung hitam, adakah hal yang serius yang sedang Mama pikirkan?" tanya si Kakak menimpali ucapan adiknya."Iya, ada hal serius, dan ini beneran serius.""Apaan, Ma?" Si Adik lebih penasaran sekarang."Mama ingin bicara, tapi mama mohon kalian untuk mengendalikan diri agar hal ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin," pintaku berhati-hati."Apa Ma? Ayo dong, kita bakal mati penasaran kalo gini," kata Siska tak sabar."Sebenarnya Papa diam-diam menikah lagi," kataku lirih."Apa?!" Kedua anakku terbelalak dan menyebut itu ham
Ketika mereka membalikkan badan, Kartika dan pria itu terkejut, bukan main kaget, sampai salha tingkah, sedang aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan, menyembunyikan rasa terpana yang tidak terkira. Aku tak tahu apa harus marah atau menangis dengan pemandangan miris di depan sana, bersamaan dengan rasa iba pada Mas Yadi."Astaghfirullah, apa-apaan kamu Kartika?!' Mas yadi menggeram, mengepalkan tangan dan mendekat, ia maju dan bersiap memukul pria yang jadi pasangan selingkuh Kartika."Beraninya kau menggoda istriku," ujar Mas Yadi sambil melayangkan pukulan."Kau juga sedang bersama istriku, kau telah mempengaruhinya!" Balas pria yang jijik kusebut suami itu."Keterlaluan kau Didit, apa hubunganmu dengan istriku?""Tidakkah harusnya aku yang bertanya apa hubungan yang kau bangun dengan kantan istrimu?!" Mas Yadi membalikkan badan dan terkejut melihatku di belakangnya."Sakinah .....""Apa kau mau mengelak sekarang?" Pria jahat itu terkekeh sinis."Kartika teganya kamu, buru b
"Jadi kau izinkan aku pergi?""Begini saja, pergilah kau sendiri menemui istrimu aku akan memindahkan anak-anak bersama si Bibi ke perkebunan, anak buah Bendi akan mengawal mereka dan memastikan mereka selamat. Kurasa itu adalah jalan terbaik daripada harus mengikuti kau kesana kemari sementara mereka juga harus menjalani aktivitas belajar dan ujian mereka.""Kurasa masuk akal juga apa yang kau katakan, aku akan pergi kalau begitu," ujar pria itu sambil mengambil tasnya.Sebelum sempat keluar dari kamar, ia mendekat dan tanpa aba-aba dia mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningku."Terima kasih masih menyimpan pakaianku," bisiknya lembut.Detik berikutnya, pria itu meninggalkanku begitu saja di dalam kamar ini, kamar yang dulu begitu penuh cinta dan aroma kerinduan. Aku jatuh terduduk di atas ranjang, meremas sprei yang dulu pernah menjadi saksi, betapa kami saling mencintai."Pada akhirnya sebagai suami, dia harus tetap bertanggung jawab kepada wanita yang sudah dia terima nika
Sesampainya di depan rumah berlantai dua milik kami, Bendi memasukkan mobilnya ke garasi dan langsung menurunkan rolling door garasi dengan rapat.Aku dan Mas Didit saling pandang namun tak berani banyak bertanya, dia lalu meminta Imel untuk menarik cat mobil yang merupakan tempelan untuk membantunya sehingga mobil yang tadi berwarna biru gelap sudah berubah menjadi putih.Setelah selesai ia mengganti pakaiannya dan masuk kembali ke mobil."Kamu gak mampir dulu?" tanya Imel."Aku harus pergi, sebelum polisi tahu bahwa kekacauan di tol tadi adalah perbuatanku," balasnya."Kau akan baik-baik saja?" untuk pertama kalinya pria itu terlihat mengkhawatirkan orang."Iya, Pak, saya akan baik baik saja.""Oh, aku lupa kau punya banyak pengawal," balas Mas Yadi.Pria itu hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berpamitan denganku dan anak perempuanku."Hati-hati ya," ujar Imel."Kenapa kau tidak menambahkan kata sayang di belakang kalimat hati-hati?" tanya pemuda itu mengulum senyum mem
"Itu Papa!" Seru anakku gembira dia membuka mobil dan langsung berlari ke arah papanya.Anak gadisku begitu gembira dan langsung menghambur memeluk papanya, pria itu juga bahagia dan langsung memeluk putrinya."Akhirnya Papa kelur juga, aku rindu," kata Imel, "tapi kenapa tangan dan kaki papa? Kenapa Papa jalannya pincang?"Tanya Imel yang mengomentari gerakan tubuh Mas Yadi, untungnya dia tak tahu bahwa pria itu habis tertembak dua minggu lalu."Apa kabar, Mas?" Sapaku sambil mengulurkan tangan menyalaminya, tanpa kuduga ia memelukku lalu menepuk belakang punggungku perlahan."Alhamdulillah aku baik sekarang," jawabnya tersenyum, sedang aku terbengong dengan sikapnya."Oh be-begitu ya, ba-baguslah." Sial, aku gugup dan canggung, sementara Bendi dan Imel saling melirik dan tersenyum."Kalo begitu ayo kita pulang," ajak Bendi."Lho, kamu siapa?" tanya Mas Yadi pada Bendi."Dia adalah orang yang sudah menolongku dan Imel dari penyekapan Mas, dia juga sering menjengukku ke rumah sakit d
Setelah mengambil semua surat menyurat yang sudah dibuat ulang dari kantor kuasa hukum kami, aku segera mengajak Bendi untuk pergi menjemput Mas Suryadi ke gerbang Rutan Pondok kopi.Mobil kami meluncur di jalan aspal yang mulus lalu berputar di lingkar Selatan dan menuju pinggir kota dimana pusat lembaga pemasyarakatan itu berada."Kamu yakin bahwa papa akan keluar jam 1 siang?""Iya mah begitu informasi yang aku dengar dari Pak Efendy dan petugas sipir yang menelponku," balasnya."Mudah-mudahan lancar ya," gumamku sembari berharap semoga berita tentang kebebasan Mas Yadi bukan hanya lobi semata antara polisi dan TNI, sementara pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi."Apa semuanya akan aman bendi?""Kita harus tetap waspada nyonya, anda pun sekarang berada dalam incaran," balasnya."Apa? Apa maksudnya?""Lihat mobil Chevrolet hitam yang sedang mengikuti di belakang kita? Sejak dari rumah sakit tadi mobil itu terus mengikuti dan mengawasi, aku rasa mereka memang sudah mengi
Kubenahi rambut dan wajahku yang berantakan, aku merutuk karena pria itu menyakiti rahangku, demi Tuhan aku akan bersumpah bahwa dia akan membayarnya.Kini aku harus mencatat daftar panjang orang-orang yang akan aku tuntut dengan pembalasan. Ada William, Didit, Heri, dan sinoembuat masalah Kartika. Mereka bertiga sahabat yang harus dihancurkan.Tiba tiba muncul sesuatu dalam benakku, ide untuk mengadu domba mereka semua dan membuat mereka saling berselisih paham dan saling mencurigai. Perlahan kepercayaan satu sama lain akan tergerus dan hancur tak bersisa, lalu setelahnya, kuhancurkan mereka semua secara hukum juga.Tapi sejujurnya aku pun belum tahu akan memulai dari mana, sulit menentukan mana orang yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana yang tulus dan mana yang hanya modus, mana yang kawan mana yang berpura-pura menjadi kawan lalu menusuk."Aku harus segera menghubungi pengacaraku," batinku sambil meraih ponselku.Tak lama sambungan terhubung, pria yang sudah
Kedatangan orang itu memang mengejutkan, dia yang pernah melayani keluargaku dengan baik dan sempat berkonflik denganku karena membela Suryadi kini sudah berdiri di sini menyapa sopan lalu mengambil tempat duduk."Apa kabar Ibu?""Baik, Hendra, aku tak pernah menyangka kau akan datang, entah harus senang atau heran, tapi aku bersyukur atau kemurahan hatimu," balasku pelan."Saya merasa prihatin atas kabar yang terdengar terakhir kali, terlebih mengetahui bahwa Ibu yang sedang hamil disakiti," jawabnya."Terima kasih atas perhatianmu, bagaimana kabar istri anakmu?" tanyaku."Baik, Nyonya.""Oh, syukurlah."Sesaaat suasana menjadi hening dan kaku, aku dan Hendra sama sama diam, tak tahu harus membahas apa."Bagaimana kabar Letkol Suryadi sekarang?""Dia masih ditahan di kantor polisi," balasku."Bukannya beliau sudah bebas?""Iya, tapi ditahan lagi, itu juga karena aku," jawabku menerawang jauh."Pak Yadi tidaklah jahat, dia hanya salah langka karena menyukai Nyonya Kartika, Tapi saya
"Aku kenal seorang polisi korup, dia cukup dekat dengan Kapolda, jika Nyonya mau, mungkin aku bisa menjaminkan Suryadi dengan menemuinya." Pria itu terlihat memicingkan mata meminta pendapatku."Itu ide bagus, tidakkah mereka curiga kenapa seorang preman mau menjamin Suryadi?""Kenapa tidak, memangnya Anda pikir aku akan menggunakan identitas asli, sebagai seseorang yang kerap menjadi buruan polisi, Aku tidak bisa hidup tanpa menggandakan identitas Nyonya," bisiknya sambil tertawa miring."Kau benar, kadang aku pun ngeri dengan berurusan denganmu, salah langkah atau kurang uang selembar saja resikonya jauh lebih mengerikan daripada penjara," balasku tertawa."Sebetulnya aku melakukan bisnis ini demi uang namun ada beberapa hal yang tidak aku lakukan untuk keuntungan semata," jawabnya sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Jika begitu, lakukan apa yang menurutmu baik," balasku.Tiba tiba dari monitor kamera koridor yang terlihat dari balik panel kaca kamarku, kami dapat mel
"Tante ... aku cariin Tante sejak pertama kali Tante gak pulang, kemana aja," ujarnya sambil menangis."Aku ada masalah dengan Papamu," jawabku."Papa?" Gadis itu langsung menghentikan tangisannya dan nampak amat terkejut."Iya, dia yang sudah membuatku terbaring di sini, nyaris melumpuhkan dan membunuhku," "Ta-tapi kenapa? Bukankah Tante istrinya Papa, lalu kenapa bisa begitu?""Entahlah, hanya dia dan Allah yang tahu.""Aku menyayangi Tante seperti Mamaku, kenapa Papa harus berbuat setega itu?""Memang dia bilang apa denganmu tentangku?""Dia bilang Tante ssakit, tapi aku curiga karena Imel dan Siska ikut menghilang sannpergi dari rumah, balasnya mengusap air mata."Mungkin kita tak bisa serumah lagi, Nak,," ujarku sambil menggenggam tangannya."Kenapa, Tante sama Papa mau cerai?""Iya, dia bahkan hendak memenjarakannaku tanpa alasan andai tidak ada yang turun tangan menegaskan masalah ini, sekali aku minta maaf karena kita tak akan bersama lagi," balasku sambil mengusap wajahnya