Cerbung ini adalah season kedua dari cerbung Karma: kupermalukan di Akad nikahnya, dengan tokoh utama Sakinah dan Letkol Suryadi. Setelah pernikahan Imelda berlangsung mewah dan semarak dalam usia 19 tahun dia kemudian harus menjalani sebuah episode baru yang penuh tantangan dan emosi. Akankah Imelda bertahan dan seperti apa lika-liku kehidupan yang penuh tantangan, apakah hidupnya akan lebih bahagia dari Sakinah atau malah penuh drama? bagaimana dia akan bertahan? Akankah Imelda sekuat Ibunya? Atau malah, menyerah. Ikuti terus ya, 🌹🌹 Jangan lupa, Like, komen dan share ya Kak ❤️ 2 . Selepas acara, pernikahan bahagia yang megah, ketika ketika tamu-tamu berangsur berpamitan dan meninggalkan aula pernikahan, aku dan Bendi kemudian mengobrol berdua sembari menunggu giliran sisa anggota keluarga yang belum bergabung dan berfoto bersama kami. "Kamu kenapa, Mas?" "Wah, kamu manggil aku Mas?" "Iya, bukankah, seorang istri harus menghormati suaminya?" Raut wajah suamiku amat c
Pagi sudah menjelang, gorden jendela sudah dibuka oleh suamiku, dia sendiri terlihat sedang duduk menikmati sarapannya di balkon kamar kami.Kusibak selimut masih dengan sisa perasaan kesal tadi malam karena dia ... ah, sudahlah.Perlahan kugeser pintu kaca dan hendak menyapanya tapi Mas Bendi terlihat menelpon seseorang di sana."Gue curiga, sama dia yang ada di penjara dan sudah menyuruh orang untuk menghancurkan pernikahan gue," ungkapnya sambil menghisap sebatang rokok."Iya ... walaupun tidak mungkin, tapi bisa jadi kan? keluarga tante Sakinah sudah bermusuhan lama dan mereka saling menjerumuskan sampai ke titik ini. Gua nggak mau, gua dan istri gua terus menerus terseret, sampai-sampai Imelda gak akan merasa aman.""Hah, Kolonel William? Siapa dia? .... Oh hakim itu? ada apa dia? hah, anaknya?" Bendi terlihat kaget.Aku makin makin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Bendi tentang mama dan beberapa orang yang pernah menjadi musuh mama. Apakah kini mereka kembali untuk m
Aku tidak bertanya banyak kepada Bendi apa saja yang dibicarakan dengan ibunya, Aku khawatir bahwa semakin tahunya diri ini maka akan membuat diriku sakit hati. Jadi kuikuti saja kemana langkahnya yang mengajakku kembali pulang ke rumah yang sekaligus difungsikan sebagai markas anak buahnya.Sore itu aku berinisiatif menemui orang tua yang masih berada di ibukota, aku ingin memanfaatkan waktu untuk mengambil hatinya sebelum dia kembali ke Singapura.Aku ingin membuktikan bahwa aku juga menantu yang layak diterima, karenanya, setelah meminta izin Bendi dan diantar oleh seorang supir, aku meluncur ke sebuah villa mewah di pinggir kota.Kupegang kuat di pangkuan, sebuah kotak berisi songket dengan sulaman benang emas yang akan kujadikan hadiah untuk ibu mertua, besar harapan agar dia menerima hadiah tersebut sebagai simbol bahwa aku sangat menghormatinya.Sesampainya di sebuah vila mewah, yang dari luar saja sudah kelihatan estetik, aku langsung turun dari mobil dan menuju pintu utama l
"A-apa maksud Mami?" tanyaku, tenggorokanku kering seketika mendengar ungkapannya."Kenapa kau kaget? kau bilang bahwa kau akan siap dengan segala konsekuensi karena sudah memilih Bendi sebagai suamimu?""Ta-tapi bukan begitu," sanggahku."Kami tumbuh dalam lingkungan bisnis kotor dan penuh dengan kelicikan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kami adalah bisnis yang harus dimanfaatkan potensinya," desisnya dengan kejam."Tapi, ini hubungan, Mi ....""Jika kau yakin pada Bendi bahwa cintanya hanya untukmu maka biarkan saja dia pergi ke mana pun, karena pada akhirnya dia akan kembali ke dermaga hatimu," jawabnya santai."Menurut Mami itu mudah tapi menurutku ....""Jangan merasa terbebani, ini hanya permintaan kecil dari mertuamu. Apa kau tidak akan meluluskannya?" tanyanya dengan enteng sambil mengangkat sebelah alisnya."Aku ...." Tak mampu kuberi jawaban yang bisa melegakan antara aku dan dia. Mustahil menyetujui perpisahan di hari kedua setelah pernikahan."Pulanglah, pik
"Apapun yang telah dilakukan ibuku, itu tidak ada kaitannya denganku, Pak.""Hmm, begitu ya, kamu ini naif atau pura pura bodoh sih?" bisiknya dengan tatapan penuh makna.Dadaku makin berdebar, takut dan tidak tahu harus apa pada situasi ini. Cemas dia akan terus mengancamku, akhirnya kuputuskan saja untuk menjauh."Maaf, aku masuk dulu, selamat bermain lagi, Pak," ucapku sambil memaksakan senyum."Kau takut ya, heran sekali bisa ada wanita yang takut padaku, padahal biasanya, wanita akan terpesona," ungkapnya sambil mengangkat kerah bajunya."Bagaimana pun saya akan mengingat perjumpaan kita," jawabku sambil menjauh."Aku pernah dengar kabar bahwa anak Nyonya Sakinah sangat cantik, dia bisa dijadikan alat negosiasi yang bagus alih-alih menikahkan dia dengan seorang preman," ungkapnya menahan langkahku."Saya bukan barang, Pak. Lagi pula saya menikah karena keinginan sendiri," jawabku yang langsung pergi membawa emosi.Di depan pintu aku berpapasan dengan suami, dia terkejut meliha
Esok.hari.Entah kenapa pagi sekali mama datang ke rumah, ia masuk ke kamar dan membangunkanku setelah seorang pengawal Bendi mengantarnya ke kamarku." Bangun imel.""Ada apa?"aku yang masih setengah mengantuk tentu saja terkejut."Bendi di mana?'"Lagi pergi.""Ayo kita pergi," ujarnya Mama sambil menarik lenganku dengan keras. Dia mengajakku pergi dan dari rumah suamiku tanpa alasan yang jelas."Kemana Ma?""Pulang ke rumah!""Kenapa?""Aku tahu, aku merestui pernikahanmu, tapi kami sudah salah," ucap Mama panik."Apa maksudnya Ma, aku gak paham?""Ayo pulang, jangan di sini lagi," ujarnya."Tapi aku istrinya, aku pengantinnya, ini rumahku sekarang," jawabku berusaha menenangkan Mama."Kita salah, Nak, mama minta maaf, Papamu selalu berat untuk setuju dari dulu, dan kini semuanya jelas, sebelum terlambat ayo pergi.""Aku belum mengerti," balasku ragu."Ayo ambil barang penting dan kabur dari sini," ajaknya dengan cepat, kuambil ponsel dan mengikuti mama yang panik, meski bingung,
Karena tidak tahan dan terus terus dibayangi oleh kekhawatiran karena ditelepon oleh pria misterius itu. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung kepada Bendi setelah pagi hari."Mas, aku mau tanya," ucapku setelah dia bergabung di meja makan dan menikmati sarapannya."Apa?""Apa kau menikahiku untuk membalas dendam pada orang tuaku?""Apa maksudmu?" Dia tertawa begitu saja."Apa benar ayahku sudah menghalangi bisnis real estate kalian? Apa benar kau menikahiku hanya untuk menyakitiku?""Apa kau pernah merasa disakiti?""Tidak, belum ...""Dan tidak akan pernah itu terjadi, buat apa aku harus menyakiti istri yang sudah susah payah kukejar?" tanyanya mengernyitkan alis."Aku terus-menerus mendapatkan telepon misterius yang mengingatkan bahwa aku harus segera kabur darimu," bisikku pelan."Kalau begitu masalahnya akan selesai dengan cara yang sangat mudah," ucapnya sembari bangkit dan langsung menuju di mana telepon rumah terpasang lalu dia memotong kabel nya dengan pisau roti yang d
"Bagus karena Imelda sudah datang, Jadi kita bisa memulai acara ini." Ibu mertua menyambut dan menyentuh kedua sikuku dengan lengannya. Dia menyeretku ke depan."Oke," jawab wanita berbaju merah itu dengan lembut. Dia nampak cantik dan elegan bak seorang putri, dia pasti anak orang yang sangat kaya. Gaunnya merah menjuntai hingga ke lantai, belahan di kaki menunjukkan betisnya yang mulus dan seksi.Dia begitu percaya diri, dan levelnya jauh di atasku. Mendadak saat melihatnya perasaanku merasa rendah. Terlebih menyaksikan kedekatannya dengan ibu mertua, dan tangannya yang sejak tadi bergelayut di telapak tangan Mami membuatku seakan-akan harus bersiap patah hati."Dia menantuku, ia adalah wanita yang bijak dan tangguh, bukan begitu Imel?""I-iya, Mi, insya Allah," jawabku. Mas Bendi yang ada di sampingku menggenggam tangan dan tersenyum dengan tulusnya."By the way, ada apa Mi? Mengapa tiba tiba mengundang kami?" tanya suamiku."Ini Irina, anak Om Hardi, pengusaha batu bara dan pe
Persidangan hari ini berakhir, para jaksa dan pengunjung ruang sidang nampak membubarkan diri. Dari sudut ruangan kulihat Irina nampak menatapku dengan mata penuh dendam dan air mata. Dia terlihat sangat murka dan mau melakukan apa saja demi menghukumku."Mari, Anda harus kami bawa ke mobil Tahanan," ucap seorang polisi. Aku yang kebetulan duduk di kursi pesakitan langsung diangkat menuju pintu utara demi meninggalkan ruang sidang. Sekilas kubalikkan badan dan melihat irina nampak berbisikan dengan jaksa yang baru saja menuntutku di depan sidang. Nampaknya jaksa itu memang mengenal Irina sehingga dia pun nampak sangat benci dan terus mengintimidasi diri ini.Ketika keluar ke pelataran pengadilan, aku disambut puluhan wartawan dan jepreten blitz kamera, berbagai pertanyaan mereka lemparkan membuat hati ini tersudut dan makin menciut."Nona Imelda, apa komentar Anda tentang sidang yang berlangsung hari ini?" tanya seorang wanita."Apa Anda sungguh membunuh seseorang demi dendam dan kec
Keesokan hari,Pagi pagi petugas sipir sudah menyuruh untuk bersiap-siap karena hari ini mobil kejaksaan akan datang menjemput untuk Pergi ke pengadilan menghadiri sidang pertama.Seusai sarapan dan merapikan kamar, dua orang petugas datang menjemput dan menyuruhku untuk ikut dengan mereka. Tanganku diborgol dan disuruh mengikuti mereka menyusuri lorong berjeruji di sebelah kanan dan kiri, lalu naik ke atas mobil tersebut.Kuperhatikan jalan yang dilewati mobil dengan perasaan gamang, ada gelisah dan ketegangan tersendiri mengetahui bahwa aku akan menghadapi meja hijau, duduk dan mendengarkan tuntutan jaksa, juga menyimak rentetan bukti-bukti yang mereka catat sebagai penghakiman.Ah, dunia ini kejam sekali untuk manusia sekecil aku.Di sisi lain, aku juga berpikir tentang Nyonya Erika, aku menebak-nebak apa yang terjadi padanya. Mungkinkah dia sudah dipindahkan ke lapas di luar kota atau malah dia sudah bebas dengan jaminan, aku tak tahu pasti.Seorang pengacara menghampiriku, dia Pa
Malam ini kulewati dengan air mata yang tidak henti-hentinya menetes tubuhku kedinginan harus meringkuk di lantai lembab karena sangat berdekatan dengan WC. Perutku yang mulai membuncit terasa berkali-kali keram mungkin karena pengaruh pikiran dan beban yang sedang bergelayut di dalam benakku.Aku pikir aku akan tangguh berada disini, tapi rasa sedih dan tersisih itu membuat pikiran liar di dalam otakku berkelana ke mana-mana. Ternyata begini rasanya, ternyata sakit dan sepahit ini."Maafkan Mami ya, Nak, karena kecerobohan Mami kita harus mendekam di tempat sekotor ini. Tapi Mami percaya bahwa kamu kuat," mengelus perut sendiri.Tak terasa air mata ini kembali menetes jatuh ke lantai dingin di mana aku merebahkan kepala berbantalkan tangan.*Teeeet ....Bunyi alarm panjang khas penjara besar berbunyi, para sipir terdengar mendentang-dentangkan tongkat mereka ke pintu sel para napi."Bangun ... bangun!"Teeet ...Alarm sirine kedua menandakan bahwa pintu penjara sudah tidak dikunci s
"Aku membawamu ke ruang tertutup ini untuk bertanya sekali lagi apa kau membunuh wanita itu?" tanya kepala polisi yang kutaksir sudah berumur juga senior.Dia membawaku pada ruang tertutup yang kedap suara serta di atasnya dilengkapi cctv, jelas dia ingin mengulik informasi dan berusaha menyalahkanku. Jika aku salah bicara maka rekaman video itu akan menjadi bukti."Tidak, aku tidak tahu apa-apa dan aku tidak mau diintrogasi tanpa pengacara," balasku pelan."Jadi begini sikapmu sekarang? Apakah kamu tidak mau kooperatif lagi, Mbak Imelda?""Beberapa saat yang lalu saya mencoba memberi tahu Anda fakta sebenarnya, tapi setelah saya fikir, sudut pandang tersangka akan sangat berbeda dengan sudut pandang polisi. Saya berusaha untuk melepaskan diri sementara polisi akan mencari cara untuk meyakinkan bahwa orang yang mereka sangkakan adalah pelaku sebenarnya. Bagaimana pun keterangan saya, itu akan semakin memberatkan saya, makanya saya butuh pengacara.""Tapi bukti-bukti mengarah padamu!"
Aku khawatir bukan untuk diriku sendiri, tapi aku khawatir pada bayiku. Semakin mendekam di sini, semakin cemas diri ini pada proses lahiran dan pastinya kami akan terpisah jika aku akan menerima hukuman.Beberapa hari kemarin aku masih seorang istri dan menantu yang bahagia, tapi keadaan berbalik dengan cepat, aku kehilangan segalanya, sendirian, tidak punya siapapun di dalam sel ini. Aku menyesali perbuatan, dan harusnya, seseorang memang pantas menyesal dan menyalahkan kecerobohan dirinya. Saat ini kurasakan kerinduan mendalam pada pria dengan senyum manis dan tatapan melelehkan hati, entah bagaimana keadaannya sekarang, apakah sudah membaik dan pulang atau masih sakit parah di ranjang rumah sakit, aku sangat galau akan dirinya. Perlahan air mataku meleleh, dadaku hampa dan pikiran liar ini membunuh rasa kantuk lalu mengajakku untuk tercenung sembari diri ini mengaitkan pegangan pada besi jeruji. Aku tiba tiba ingin pergi dari tempat ini."Kenapa kau tak tidur?""Memikirkan kenapa
Sampai hari keempat, Mama baru datang berkunjung ke tempatku membawakan makanan dan baju ganti. Raut wajah Mama sangat sedih saat memelukku, dia sangat prihatin pada apa yang menimpa diri ini sejak memutuskan untuk menikah dengan Bendi."Imel ... berhari hari Mama menunggu kabar, ternyata kamu ditahan di sini," ucapnya sedih."Lalu siapa yang memberi tahu Mama?""Mertuamu, dia bilang kalau tidak didesak Roni dia tak akan mau menemuiku," jawab Mama dengan sedih."Lalu bagaimana keadaan suamiku, Ma?""Dia masih sakit, dia masih sulit bergerak akibat operasi yang dilakukan dokter, ususnya dipotong karena sobek, terburai bekas perlakuan keji preman jahat itu. Roni masih bisa hidup saja, Mama udah sangat bersyukur." Mama bercerita sambil menggenggam tanganku."Mungkin Tante Vina sangat sakit hati, anaknya sampai kritis seperti itu karena perbuatanku, ah, aku harus minta maaf, Ma....""Iya, kita harus membuat mereka mengetahui bahwa kamu tidak bersalah, kita harus yakinkan.""Tapi, bagaiman
"Bukankah dia dulu adalah anak Dandim 1809, Letkol Suryadi? Apa yang dia lakukan di sini mengapa bisa masuk ke dalam penjara?"Kudengar percakapan itu ketika melewati jajaran terali besi yang berisikan banyak orang.Penghuni blok menatapku dengan segala bentuk tatapan kecurigaan, benci dan sinis karena akhirnya derajatku juga sama dengan mereka. Blok yang kuhuni saat ini adalah blok penjara khusus wanita yang lumayan padat.Hanya satu ruang yang dikosongkan yakni ruang selku yang berisikan aku dan penghuni baru, Nyonya Erika.Tidak banyak yang bisa kupahami mengapa polisi menyatukan kami dalam sel yang sama. Entah itu permintaan Nyonya Erika atau polisi yang sengaja ingin mengerjai kami, aku tidak bisa memikirkannya, yang pasti aku begitu sebal melihat sorot dendam di mata wanita tua yang masih terlihat mewah meski dalam penjara.Aku sangat tidak nyaman dengan caranya!"Apa kau bangga bisa satu sel denganku?" Kini dia membuka pembicaraan."Ya, bangga. Aku bersama seorang penjahat kela
Beberapa jam kemudian Bendi dan anak buahnya digelandang ke kantor polisi, pria itu nampak sangat emosi berpapasan denganku di tempat itu, ada raut kaget, tak percaya dan syok karena tahu bahwa diseretnya dia pasti adalah perbuatanku. Terlebih ada ibunya juga yang duduk di meja lain setelah kami kembali dari ruang introgasi tertutup."Kau ... di sini?" tanyanya dengan mata terbelalak."Sudah kubilang aku tak mau sendiri," jawabku sambil melipat tangan di dada."Polisi tak akan menahan kami, karena mereka tak menemukan bukti, kau tak akan puas!" ujar Bendi menyeringai jahat."Aku tahu kau sembunyikan barang bukti di ruang rahasia yang bahkan aku pun tak pernah mengaksesnya, kau kunci segala barang kejahatanmu di rubanah dengan kode akses dan pintu baja otomatis di bawah kamar tidur mami, kau pikir aku bodoh, sebentar lagi aku akan memberi tahu polisi!""Tutup mulutmu, sebelum kucekik dan kuputar lehermu, dalam sedetik kau akan meninggal," ancamnya."Aku tak takut, mati itu sebuah keni
"Apa?!" Saking kagetnya Nyonya Erika sampai berdiri."Iya, Nyonya, sepertinya ini sangat serius," jawab pria itu."Ya ampun ...." Wanita membeliak ke arahku." ... apa yang sudah kau lakukan?""Sedikit gerakan kecil, dan ya, kau lupa suamiku jaksa, dia punya teman lho, Nyonya," jawabku terkekeh."Jaksa yang kau andalkan itu sedang sekarat!"Rahang wanita itu menegas, memperlihatkan dendamnya padaku."Sudah, jangan pikirkan suamiku, pikir saja keselamatan putramu," balasku."Panggil pengacara saya, suruh semua orang datang dan melindungi aset kita, jangan sampai mereka menyita barang barang berharga!""Ba-baik Nyonya." Orang yang diperintahkan nampak gelagapan, sekali lagi aku tertawa sementara wanita itu masih memicingkan mata, sinis padaku."Kudengar kau hamil, kenapa kau tidak berhati-hati, tidakkah kamu khawatir bahwa anak itu akan kucelakai?""Ah, kamu bicara seakan-akan tidak ada Tuhan yang akan melindungi seseorang."Percakapan kami terhenti karena beberapa orang petugas polis