"Dimana Reza?" tanya mas Yogi sepulangnya dari kantor.
"Di dalam, Mas. Dia sedang belajar," jawabku yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.Mas Yogi segera melangkah menuju kamar Reza. Tak lama kemudian terdengar Reza berteriak."Gak mau! Aku gak mau Pa!" teriakannya membuatku langsung berlari ke kamarnya.Terlihat di sana mas Yogi sedang mengemasi baju Reza ke dalam koper."Mau dibawa kemana baju-baju Reza, Mas?" tanyaku heran."Reza akan tinggal bersamaku," tatanya kemudian Aku tidak tau maksud perkataannya. Tinggal bersamanya?"Maksutmu apa, Mas? Kita akan pindah? Kenapa kamu gak cerita dulu padaku?" "Reza ikut bersamaku. Aku akan menikah lagi!" katanya membuatku seakan tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya."Kamu bercanda, Mas ??""Aku serius!! Aku bosan hidup denganmu yang bisanya cuma dinrumah! Nggak ngapa-ngapain! Nggak bisa ngurus penampilan, makin hari penampilan makin kusut. Bagaimana bisa aku bertahan dengan wanita sepertimu?!!" hardiknya dengan suara keras."Gak ngapa-ngapain katamu???!!" "Iya, kamu memang ngak ngapa-ngapain di rumah. Kamu cuma melakukan pekerjaan rumah tangga yang sama setiap hari. menungguku pulang saat aku gajian dan meminta uang gajianku," kata-kata yang sangat melukai hatiku."Aku tu pengen punya istri seorang wanita karir yang smart. Tidak hanya di rumah saja sepertimu!!" Bentaknya lagi dengan suara keras."Kamu pikir aku di rumah nggak ngapa-ngapain, Mas??? Kamu pikir aku tidak capek mengurus rumah tiap hari??? Kamu pikir aku sekarang tidak cantik lagi karena aku malas urus diriku sendiri?? Kamu harusnya mikir!!! Aku berubah seperti ini karena aku mengurus keluarga kita setiap hari, sampai sampai gak sempat mengurus diriku sendiri!" Yogi diam dengan tetap mengemasi baju-baju Reza."Harusnya kamu ngaca, Mas!! Kamu itu sudah menjadi suami yang baik atau belum?! Selama ini aku selalu menerima berapapun uang yang kamu berikan padaku walaupun sebenarnya aku binggung ketika uang itu tidak mencukupi keperluan kita selama sebulan. Sekarang kamu menyalahkanku karena aku tidak bisa menjaga penampilanku?? Apa pernah kamu memberiku uang untuk biaya perawatan diri???!!" kataku melepas semua unek-unek yang selama ini kusimpan rapi di dalam kepalaku."Sudaaaahhhhh!!! Nggak usah banyak bicara!! Reza pokoknya ikut aku!!!" katanya sambil menutup koper yang sudah terisi penuh. "Reza gak mau, Pa! Reza mau sama Mama saja!" teriak putra semata wayangku itu."Kalau kamu ikut Mama, kamu gak akan bisa melanjutkan sekolah. Coba lihat Mamamu sekarang. Dia tidak bekerja, dari mana dia akan menghasilkan uang untuk menyekolahkanmu!!" teriak mas Yogi tepat di telingaku.Terlihat wajah Reza yang polos enggan untuk meninggalkanku. "Mas, jika kamu memang mau pergi, silahkan!!! Tapi biarkan Reza tetap tinggal bersamaku!" ucapku berusaha sembaru menahan putraku.Aku berusaha menahan tangis sebisa mungkin. Aku tidak ingin terlihat lemah di mata mas Yogi.Mas Yogi tidak menjawab dan terus berjalan meninggalkanku dengan membawa putra semata wayangku itu."Pa, aku mau sama Mama saja," teriak Reza. Aku yang masih mendengar suara Reza hanya bisa bersedih. "Baiklah Mas, jika memang itu maumu. Akan aku turuti. Akan kubuktikan suatu hari nanti jika aku bisa lebih hebat darimu!!!" ujarku yang masih merasa sakit hati.Mas Yogi tidak menceraikanku terlebih dahulu sebelum meninggalkanku. Itu artinya aku masih sah menjadi istrinya."Suatu saat aku yang akan meminta cerai darimu, Mas! Ingat itu!" kataku dalam hati.Bagaimanapun juga aku tetap sedih mendengar perkataannya. Kata-kata yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.Perasaan sedih masih menyelimutiku. Aku terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa meneruskan hidupku. Tidak mungkin aku kembali ke rumah orang tuaku. Mereka pasti akan sedih jika mengetahui kondisiku saat ini.Selama ini aku tidak pernah sedikitpun berkata buruk di depan Ibu dan Bapak soal mas Yogi. Aku selalu membuatnya terlihat baik di mata kedua mertuanya itu.Dalam kesedihanku itu tiba-tiba terdengar seseorang memencet bel rumah. Segera ku berjalan dan melihat siapa yang datang. Ternyata Fida teman kuliahku. Tumben sekali dia datang kesini. Aku membuka pintu untuknya kemudian menyuruhnya untuk masuk."Tumben banget kamu kesini, Da?" tanyaku memulai pembicaraan."Iya nih, re. Aku sedang bingung. Staff accounting kami tiba-tiba resign tadi. Manajerku menyuruhku mencari staff pengganti," katanya kemudian terhenti."Trus? Apa hubungannya dengan pertanyaanku? Apa kamu kesini hanya untuk menceritakan kebingunganmu itu?" tanyaku lagi."Lha bukannya kamu dulu jurusan akuntansi ya, Re?" tanya Fida yang mengingatkanku jika aku pernah kuliah."Oh bener, Da. Aku saja sampai lupa. Maklum karena sekarang hanyalah emak-emak berdaster yang tidak memikirkan masalah karir," jawabku seadanya."Oh ya bagaimana kalau kamu saja yang menjadi pengganti staff di kantorku, itu juga kalau suamimu mengijinkan sih."Aku tidak berniat menceritakan masalah rumah tanggaku. Namun kupikir akan lebih baik jika aku menerima saja tawaran darinya."Boleh deh, Da. Aku juga mulai bosan nih hidup di rumah mulu. Pengen deh kerja kaya kamu gitu," jawabku beralasan. Selain saat ini aku memang butuh kerjaan, ini juga mejadi kesempatanku untuk memulai karirku. "Beneran nih? Mas Yogi gak akan marah kan?" tanya Fida yang tidak mengetahui jika mas Yogi sudah pergi."Nggak akan marah, Da. Tenang saja." "Ya udah besok langsung datang aja. Pakai pakaian yang rapi." "Beneran kan ini?" tanyaku yang masih sedikit kurang yakin."Beneran lah, masa aku bohong," jawab Fida.
Fida pun akhirnya berpamitan setelah hampir setengah jam berada di rumahku."Aku pulang dulu deh kalau gitu, Re.""Oke hati-hati. Sebelumnya makasih ya.""Halah kaya sama siapa saja sih," jawab Fida sebelum akhirnya beranjak.
Rumah kembali sepi setelah Fida pergi. Ruang tv yang biasanya rame oleh teriakan mas Yogi dan Reza kini hanya hening.Ku ingat perkataan mas Yogi yang membuatku sangat sakit hati. Dia menganggapku wanita manja yang hanya duduk-duduk saja di rumah. Menunggu suami pulang saat gajian dan meminta uang gajinya.Pernahkah dia melihatku kecapekan saat membersihkan rumah? Pernahkah dia melihat susahnya aku mengasuh Reza ketika dia kecil hingga saat ini? Pernahkah dia berpikir jika aku tidak pernah mengeluh atas semuanya karena memang sungguh menerima dan mencintainya? Kupikir dia tidak mungkin memikirkan semua itu."Sudahlah, biarkan dia pergi," Aku berusaha menyemangati diriku sendiri."Mungkin memang sudah jalan hidupku seperti ini. Aku harus ikhlas," gumamku lagi.Aku tidak mau lama-lama terpuruk dalam kesedihan. Aku ingin jadi wanita hebat, wanita yang tidak bergantung pada laki-laki. Apalagi laki-laki seperti mas Yogi.Aku akan buktikan padanya jika aku mampu menjadi wanita seperti yang dia mau, bahkan lebih. Agar suatu saat nanti dia memohon-mohon untuk kembali padaku. Dan saat itulah akan ku campakan dia, ini janjiku pada diriku sendiri.Hari ini hari pertama aku akan memulai bekerja. Ini adalah jalan yang tepat untukku menjadi wanita hebat. Usai mandi, aku bergegas bersiap-siap. Menyiapkan barang-barang yang mungkin saja kubutuhkan nanti. Kubawa bolpoin, kalkulator serta beberapa kertas kosong yang mungkin nanti akan berguna. Kuambil ponsel yang sejak tadi ku charge kemudian ku tekan nomer telepon Fida yang kemarin sempat ia berikan.Tak berapa lama kemudian Fida langsung menjawab telepon dariku."Gimana, Re? Udah siap?" tanya Fida dari ujung telepon."Udah nih, jadi jemput kan?" "Iya, aku otewe sekarang ya," jawabnya kemudian segera menutup teleponnya kembali.Kemarin aku sempat menanyakan alamat kantornya, namun dia berkata bahwa dia akan menjemputku saja hari ini.Dia teman baikku ketika kami kuliah dulu. Dulu dia menjadi satu-satunya temanku yang paling kesulitan dalam membayar uang semester, dia hampir memutuskan untuk menyudahi kuliahnya itu karena hambatan biaya. Nasib baik aku selalu mendapat kiriman uang
"Istirahat woy, jangan kerja mulu," Tiba tiba suara Fida mengganggu konsentrasiku. "Duh. Apa sih! Aku jadi buyar nih semuanya," jawabku sedikit kesal. Karena memang kalian tahu sendiri, jika sedikit saja hilang konsentrasi maka laporan keuangan yang kita buat bisa saja fatal. "Hehe, maaf dong, Re. kan aku cuma bercanda doang," jawabnya sedikit cengengesan."Huh kamu. Dikit lagi kelar nih, jadi ngulang dari awal kan," jawabku bete."Nggak papa, biar tambah mahir nanti. Pak Rendi juga nggak bakalan marah kok. Jadi santai aja kerja di sini. Jangan di jadikan sebagai beban, Re," kata Fida lagi."Ya udah deh. Nanti di cek ulang lag," kataku dengan muka bete. "Dari pada kamu bete, yuk makan dulu." Dia mengajakku untuk makan siang.Aku mengiyakan perkataannya kemudian pergi bersama dengannya menuju kantin."Biasanya aku bawa bekal, Re. Tapi hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya jadi nggak sempet masak deh," Fida melanjutkan."Oh, terus bagaimana suami dan anak anakmu, Da? Mere
"Di depan berhenti ya, Pak," kataku pada pak Rendi."Oh rumahmu daerah sini ya, Re?""Iya, Pak. Masih naik angkot sekali lagi sih," jawabku jujur."Saya anterin saja kamu sampai rumahmu, bagaimana?" Pak Rendi menawarkan."Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin. Saya naik angkot aja," jawabku tidak ingin merepotkan pak Rendi lagi."Nggak papa, ayo saya antar aja." "Beneran gak ngrepotin, Pak? Saya malah jadi merasa sungkan," ujarku."Sudah tidak usah sungkan, saya tidak merasa direpotkan kok. Saya malah akan merasa bersalah jika menurunkanmu di sini," lanjut Pak Rendi membuatku akhirnya menyetujuinya."Oh ya, Re, dulu kamu pernah kerja kantoran ya? Kok kamu langsung bisa menyesuaikan diri gitu di kantor tadi. Tidak banyak bertanya juga. Sepertinya sudah paham dengan pekerjaan yang harus kamu kerjakan.""Sebenarnya sebelum menikah saya sempat bekerja, Pak." "Oh begitu. Lalu kenapa berhenti?""Setelah menikah saya memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Karena menurut saya suami saya adalah
"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.Aku bergegas menemui bapak yang baru pulang dari Showroom."Baru pulang, Pak?" "Iya Re, kamu kapan datang?" tanya bapak."Tadi sore, Pak," jawabku lemah."Mana Reza sama Yogi? Mereka nggak ikut?"Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Loh, bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia nggak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?""Memang, Pak. Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima, Pak," tambah Ibu."Memang apa alasan sebenarnya, Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir."Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina," ujar ibu terlihat kesal."Sudah, Re. Kamu nggak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Nggak penting mikirin lelaki yang tak punya hati seperti dia,
"Ngapain kamu di sini?" tanya mas Yogi yang masih kaget melihatku."Aku kerja. Kamu sendiri ngapain?" tanyaku balik.Mas Yogi tidak menjawab pertanyaanku. Mukanya memerah seperti ketakutan."Kenapa? Kamu juga ketemu klien di sini?" tanyaku yang membuatnya semakin gugup.Sebelum mas Yogi sempat menjawab pertanyaanku, seorang wanita datang menghampiri kami."Ada apa, Yang?" terdengar suuara wanita yang membuatku segera menoleh."Ratna???!!" ucapku terkejut saat melihat ternyata Ratna yang berbicara."Yang? Maksutnya apa ini?" tanyaku yang membuat kedua orang itu gelagapan."Oh, itu_itu_" kata Ratna terbata-bata."Jelasin apa maksut ini semua, Mas!!!" kataku dengan nada keras membuat pak Rendi melihat ke arahku."Sebenarnya_sebenarnya Ratna adalah," ucap mas Yogi gugup."Sebenarnya aku adalah pacarnya!" sahut Ratna tanpa rasa bersalah."Hah??? Kenapa harus dia Mas?! Kenapa? Bukannya kamu tau aku sama Ratna itu berteman!!!!!" seruku yang membuat semua pengunjung kafe menoleh ke arahku. A
Kriiinnnnggggggggggg, tiba-tiba ponselku berbunyi saat aku hendak tidur. Aku mengambilnya kemudian kulihat siapa yang menelepon. Betapa kagetnya aku ternyata itu nomer mas Yogi. Apa sekarang dia sudah tidak memblokir nomerku lagi?"Mau apa lagi kamu?" kataku setelah mengangkatnya."Aku mau kita bercerai. Tadinya kupikir aku merasa kasihan sama Reza. Tapi sekarang sudah tidak lagi.""Baik jika itu maumu!" "Aku tidak menyangka kamu secepat itu menemukan penggantiku," katanya yang ternyata salah paham.Karena aku tidak ingin terlihat masih mengharapkannya, aku tidak mengatakan kebenarannya. "Baik. Kapan kita sidang?""Nanti ku kabari lagi," katanya kemudian menutup telepon sebelum aku sempat bertanya keadaan Reza.Jika memang ini yang kamu inginkan, aku akan terima. Aku tidak ingin menjadi wanita payah yang menangisi kepergian suami brengseknya."Kita buktikan, Mas. Siapa yang akan menang!" kataku malam itu. Aku sudah tidak peduli dengannya. Sekarang lebih baik memang kita berpisah. "
"Sepertinya besok saya tidak bisa masuk kerja, Pak. Apa boleh saya ijin satu hari?" kataku meminta ijin pada pak Rendi."Memangnya ada apa, Re? Kenapa mendadak kamu minta cuti?" tanya pak Rendi."Besok sidang perceraian pertama saya, Pak," jawabku jujur.Pak Rendi diam sejenak, tak lama setelah itu kemudian dia kembali berbicara."Kamu masuk aja ya, Re. Sayang kalau kamu harus cuti, gajimu akan terpotong nanti. Lagian kamu masih karyawan baru juga. Tidak baik jika saya memberimu cuti, Re," lanjutnya."Terus sebaiknya bagaimana, Pak? Soalnya saya harus datang ke pengadilan besok. Kalau saya tidak datang pasti mas Yogi mengira saya masih belum bisa menerima keputusannya ini," jelasku."Kamu berangkat habis sidang saja ngggak papa, Re. Bisakan?""Oh, baiklah kalau begitu, Pak." Akhirnya aku memutuskan untuk menerima saran dari pak Rendi. Aku kembali ke ruanganku setelah itu.Jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Fida menghampiriku kemudian berkata."Pulang sendiri ngggak papa kan, Re?"
Ibu meneleponku ketika aku sedang berjalan Pulang. Suaranya terdengar cemas."Re, kamu bisa ke rumah sekarang?" kata Ibu di ujung telepon."Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat cemas begitu?" "Nanti Ibu ceritakan. Sekarang kamu ke sini dulu ya," suruh Ibu kemudian dia menutup telponnya.Tanpa berpikir panjang aku segera memberi tahu pak sopir agar mengantarku ke rumah Ibu."Bu," sapaku setelah sampai di rumah."Akhirnya Kamu datang juga, Re," kata Ibu segera menggandeng tanganku kemudian membawaku masuk."Ada apa, Bu? Ibu terlihat khawatir begitu?""Adikmu itu, Re. Tadi ada telepon dari kampus, katanya dia sudah beberapa hari bolos kuliah. Kemana dia sebenarnya?""Memangnya Diki sekarang nggak di rumah, Bu?""Lha wong tiap hari aja minta uang saku sama Ibu. Ibu mikirnya dia pasti kuliah."Aku belum mengatakan soal kejadian kemarin pada Ibu. Akan ku selidiki dulu masalah ini sebenarnya sebelum kuberi tahukan pada Ibu."Ibu sudah coba telepon Diki?""Udah, tapi nggak diangkat. Ibu sudah m
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken